Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

Kontruksi Sistem Jaminan Sosial dalam Perspektif Ekonomi Islam Aprianto, Naerul Edwin Kiky
Economica: Jurnal Ekonomi Islam Vol 8, No 2 (2017)
Publisher : Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Walisongo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/economica.2017.8.2.1334

Abstract

This article intends to examine the social security system in the perspective of Islamic economy. Using literature review, this article cut social security. For that, it can be concluded that the social security construction in the Islamic economic system has four stages, namely: (1) guarantees the individual against himself (individual guarantees); (2) among individuals with his family (family guarantees); (3) individuals with society (assurance society); and (4) between people within a country (a guarantee). Therefore, the construction of social security system in Islamic economics illustrates that guarantee it in layers. When social security was able to be resolved by the individual, then simply at the level of the individual. But when could not be resolved at the level of the individual, it will be resolved at the level of the family. If not completed in level of the family, it will be resolved at the community level. If social security did not complete in the community, then the obligation of the State to finish itArtikel ini bermaksud untuk mengkaji sistem jaminan sosial dalam perspektif ekonomi Islam. Dengan menggunakan literature review, artikel ini membedah jaminan sosial Islam. Artikel ini menyimpulkan bahwa konstruksi jaminan sosial dalam ekonomi Islam memiliki empat sistem tahapan, yaitu: (1) jaminan individu terhadap dirinya (jaminan individu); (2) antara individu dengan keluarganya (jaminan keluarga); (3) individu dengan masyarakatnya (jaminan masyarakat); dan (4) antara masyarakat dalam suatu negara (jaminan negara). Oleh karena itu, konstruksi sistem jaminan sosial dalam ekonomi Islam menggambarkan bahwa jaminan itu berlapis-lapis. Apabila jaminan sosial mampu diselesaikan oleh individu, maka cukup di level individu. Apabila tidak bisa diselesaikan di level individu, maka akan diselesaikan di level keluarga. Apabila tidak selesai di level keluarga, maka akan diselesaikan di level masyarakat. Apabila jaminan sosial tidak selesai di masyarakat, maka kewajiban negara menyelesaikannya.
PERAN KOMUNIKASI KEPEMIMPINAN DALAM PENGEMBANGAN ORGANISASI PERSPEKTIF ISLAM Aprianto, Naerul Edwin Kiky
El-Jizya : Jurnal Ekonomi Islam Vol 4 No 2 (2016)
Publisher : Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24090/ej.v4i2.2016.pp263-284

Abstract

Kegiatan komunikasi di dalam suatu organisasi bertujuan untuk membentuk saling pengertian dan menyamakan pengalaman di antara anggota organisasi. Dengan adanya komunikasi yang baik, suatu organisasi dapat berjalan dengan lancar. Sebaliknya, kurangnya atau tidak adanya komunikasi, organisasi dapat berantakan. Oleh karena itu, kepemimpinan dalam komunikasi organisasi sangatlah penting karena keberadaan pimpinan menjadi salah satu ujung tombak dari keberhasilan dalam berorganisasi. Tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan kajian tentang peran komunikasi kepemimpinan dalam pengembangan organisasi. Temuan tulisan ini membantah pendapat Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard yang mengemukakan bahwa kepemimpinan berhubungan hierarkis antara atasan dan bawahan, sehingga berfokus kepada para pengikut. Dalam tulisan ini, menyatakan bahwa hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin tidak selalu berada dalam hubungan hierarkis, di mana hal tersebut terdapat hubungan antara atasan dan bawahan sehinggamenjadikan adanya perbedaan kelas status. Di dalam Islam, kepemimpinan merujuk kepada makna khalifah yang memberikan arti menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menggantikan makhluk lain dalam menghuni bumi. Sementara itu, setiap individu yang menghuni di bumi ini disebut sebagai khalifah. Oleh sebab itu, kepemimpinan tidak mengenal perbedaan kelas status. Secara garis besar, peran komunikasi kepemimpinan dalam pengembangan organisasi adalah bersikap adil, memberikan sugesti/ saran, mendukung tercapainya tujuan organisasi, menciptakan rasa aman, sebagai wakil organisasi, sumber inspirasi, dan menghargai anggotanya. Communication activities within an organization is aimed at establishing mutual understanding and equating experience among members of the organization. With good communication, an organization can run smoothly. Conversely, lack or absence of communication will make it unorganized. Therefore, leadership in organizational communication is crucial because the existance of a leader is one of the spearheads of success of an organization. This paper is aimed at discussing role of leadership in the development of organizational communication. The findings of this paper refute Paul Hersey and Kenneth H. Blanchard, who argued that leadeship shows a hierarchical relationship between superiors and subordinates, so they focuse on the followers. Conversely, this paper suggests that the relationship between a leader and those being led are not always in a hierarchical relationship, in which there is relationship between superiors and subordinates causing differences in class status. In Islam, leadership refers to the caliph, which means the representative of God in enforcing His will and the substitute of the other creatures to inhabit the earth. For that reason, individuals who inhabit this earth are also called the Caliph. Therefore, the leadership knows no class distinction status. Broadly speaking, leadership communications roles in the development of the organization is to be fair, to give suggestions/advice, support the achievement of organizational goals, creating a sense of security, as a representative of the organization, sources of inspiration, and appreciate its members.
KEBIJAKAN DISTRIBUSI DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI ISLAM Naerul Edwin Kiky Aprianto
Jurnal Hukum Islam Volume 14, Nomor 2, Desember 2016
Publisher : Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Pekalongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28918/jhi.v0i0.693

Abstract

Pertumbuhan ekonomi tidak terlepas dari keadilan distribusi bagi setiap individu. Namun pada realitanya, nampak terjadi ketidakadilan dan ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan dan kekayaan, sehingga berdampak pada peningkatan jumlah kemiskinan. Kebijakan distribusi dalam Islam menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan yang didasarkan pada al-Qur’an, yakni agar kekayaan tidak beredar hanya pada satu kelompok saja. Untuk itu, tulisan ini menyimpulkan bahwa kebijakan distribusi dalam pembangunan ekonomi Islam menekankan pada penghapusan sistem bunga (ribawi) yang hanya menguntungkan pihak yang bermodal dan berakibat pada penumpukan harta pada golongan tertentu. Selain itu, masyarakat dituntut untuk menyadari akan peran pentingnya menciptakan keadilan distribusi dan mempersempit kesenjangan ekonomi dengan menunaikan zakat, infak, sedekah, wakaf dan waris, sehingga dapat dioptimalkan sebagai sumber pembiayaan pembangunan ekonomi. Kemudian, yang tidak kalah penting dalam kebijakan distribusi adalah dengan mengoptimalkan sukuk sebagai sumber pembiayaan pembangunan negara dalam rangka meningkatkan pelayanan publik, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat
Kontruksi Sistem Jaminan Sosial dalam Perspektif Ekonomi Islam Naerul Edwin Kiky Aprianto
Economica: Jurnal Ekonomi Islam Vol 8, No 2 (2017)
Publisher : Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Walisongo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/economica.2017.8.2.1334

Abstract

This article intends to examine the social security system in the perspective of Islamic economy. Using literature review, this article cut social security. For that, it can be concluded that the social security construction in the Islamic economic system has four stages, namely: (1) guarantees the individual against himself (individual guarantees); (2) among individuals with his family (family guarantees); (3) individuals with society (assurance society); and (4) between people within a country (a guarantee). Therefore, the construction of social security system in Islamic economics illustrates that guarantee it in layers. When social security was able to be resolved by the individual, then simply at the level of the individual. But when could not be resolved at the level of the individual, it will be resolved at the level of the family. If not completed in level of the family, it will be resolved at the community level. If social security did not complete in the community, then the obligation of the State to finish itArtikel ini bermaksud untuk mengkaji sistem jaminan sosial dalam perspektif ekonomi Islam. Dengan menggunakan literature review, artikel ini membedah jaminan sosial Islam. Artikel ini menyimpulkan bahwa konstruksi jaminan sosial dalam ekonomi Islam memiliki empat sistem tahapan, yaitu: (1) jaminan individu terhadap dirinya (jaminan individu); (2) antara individu dengan keluarganya (jaminan keluarga); (3) individu dengan masyarakatnya (jaminan masyarakat); dan (4) antara masyarakat dalam suatu negara (jaminan negara). Oleh karena itu, konstruksi sistem jaminan sosial dalam ekonomi Islam menggambarkan bahwa jaminan itu berlapis-lapis. Apabila jaminan sosial mampu diselesaikan oleh individu, maka cukup di level individu. Apabila tidak bisa diselesaikan di level individu, maka akan diselesaikan di level keluarga. Apabila tidak selesai di level keluarga, maka akan diselesaikan di level masyarakat. Apabila jaminan sosial tidak selesai di masyarakat, maka kewajiban negara menyelesaikannya.
KEBIJAKAN DISTRIBUSI DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI ISLAM Naerul Edwin Kiky Aprianto
Al-Amwal : Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syari'ah Vol 8, No 2 (2016)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (266.491 KB) | DOI: 10.24235/amwal.v8i2.990

Abstract

Pertumbuhan ekonomi tidak terlepas dari keadilan distribusi bagi setiap individu. Namun pada realitanya, nampak terjadi ketidakadilan dan ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan dan kekayaan, sehingga berdampak pada peningkatan jumlah kemiskinan. Kebijakan distribusi dalam Islam menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan yang didasarkan pada al-Qur’an, yakni agar kekayaan tidak beredar hanya pada satu kelompok saja. Untuk itu, tulisan ini menyimpulkan bahwa kebijakan distribusi dalam pembangunan ekonomi Islam menekankan pada penghapusan sistem bunga (ribawi) yang hanya menguntungkan pihak yang bermodal dan berakibat pada penumpukan harta pada golongan tertentu. Selain itu, masyarakat dituntut untuk menyadari akan peran pentingnya menciptakan keadilan distribusi dan mempersempit kesenjangan ekonomi dengan menunaikan zakat, infak, sedekah, wakaf dan waris, sehingga dapat dioptimalkan sebagai sumber pembiayaan pembangunan ekonomi. Kemudian, yang tidak kalah penting dalam kebijakan distribusi adalah dengan mengoptimalkan sukuk sebagai sumber pembiayaan pembangunan negara dalam rangka meningkatkan pelayanan publik, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat
KEBIJAKAN DISTRIBUSI DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI ISLAM Naerul Edwin Kiky Aprianto
Jurnal Hukum Islam Volume 14, Nomor 2, Desember 2016
Publisher : Faculty of Sharia, University of KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28918/jhi.v0i0.693

Abstract

Pertumbuhan ekonomi tidak terlepas dari keadilan distribusi bagi setiap individu. Namun pada realitanya, nampak terjadi ketidakadilan dan ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan dan kekayaan, sehingga berdampak pada peningkatan jumlah kemiskinan. Kebijakan distribusi dalam Islam menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan yang didasarkan pada al-Qur’an, yakni agar kekayaan tidak beredar hanya pada satu kelompok saja. Untuk itu, tulisan ini menyimpulkan bahwa kebijakan distribusi dalam pembangunan ekonomi Islam menekankan pada penghapusan sistem bunga (ribawi) yang hanya menguntungkan pihak yang bermodal dan berakibat pada penumpukan harta pada golongan tertentu. Selain itu, masyarakat dituntut untuk menyadari akan peran pentingnya menciptakan keadilan distribusi dan mempersempit kesenjangan ekonomi dengan menunaikan zakat, infak, sedekah, wakaf dan waris, sehingga dapat dioptimalkan sebagai sumber pembiayaan pembangunan ekonomi. Kemudian, yang tidak kalah penting dalam kebijakan distribusi adalah dengan mengoptimalkan sukuk sebagai sumber pembiayaan pembangunan negara dalam rangka meningkatkan pelayanan publik, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat
ANJAK PIUTANG (FACTORING) DALAM EKONOMI ISLAM Naerul Edwin Kiky Aprianto
ISLAMICONOMIC: Jurnal Ekonomi Islam Vol 8, No 1 (2017)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Islam Negeri (UIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (350.788 KB) | DOI: 10.32678/ijei.v8i1.59

Abstract

Dalam dunia bisnis, pelaku bisnis dan perusahaan selalu ingin memperlancar barang produksinya, sehingga dapat meningkatkan keuntungan dan mempercepat perputaran modal yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan semakin tingginya kebutuhan masyarakat terhadap barang-barang, maka menyebabkan banyak perusahaan menyediakan dana segar yang diperoleh dari lembaga anjak piutang (factoring). Lembaga pembiayaan anjak piutang diartikan sebagai badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang jangka pendek. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengkaji tentang konsep anjak piutang (factoring) dalam perspektif ekonomi Islam dengan menggunakan pendekatan teori hiwalah. Selain itu, tulisan ini juga akan menguraikan manfaat dalam perjanjian anjak piutang (factoring), serta perbedaan konsep anjak piutang secara syariah dan konvensional.
IMPLEMENTASI BENTUK-BENTUK AKAD BERNAMA DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH Naerul Edwin Kiky Aprianto
ISLAMICONOMIC: Jurnal Ekonomi Islam Vol 9, No 1 (2018)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Islam Negeri (UIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (369.868 KB) | DOI: 10.32678/ijei.v9i1.58

Abstract

Abstrak. Implementasi Bentuk-Bentuk Akad Bernama Dalam Lembaga Keuangan Syariah. Pada dasarnya, Islam adalah agama yang sempurna mencakup segala bidang kehidupan manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga secara pribadi tidak mampu untuk memenuhinya dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam memenuhi kebutuhan keduanya, yaitu dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Dalam pembahasan fikih, akad atau kontrak yang dapat digunakan bertransaksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan yang ada. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengkaji bentuk-bentuk akad yang lebih berfokus pada bentuk-bentuk akad bernama. Hal ini merupakan syarat yang utama bagi orang yang melakukan aktivitas ekonomi dan bisnis serta memiliki akibat hukum bagi pihak yang berakad. Abstract. Implementation of Akad Bernama in Sharia Financial Institutions. Property played an important role and have a significant influence in human life. As social beings, humans cannot escape to connect with others in meeting the needs of life. Human needs are very diverse, so personally not able to fulfill it and to be in touch with others. The relationship between one human being with another human being to meet the needs there must be rules that define the rights and obligations of both consensual. The process for making a deal to meet the needs of both the process for berakad or perform a contract. In the discussion of jurisprudence, the contract or contracts which can be used to transact very diverse, according to the characteristics and specifications of the existing needs. Therefore, this paper will examine the forms of contract that is more focused on forms of contract named. This is the main requirement for people doing business and economic activity.
KEMISKINAN DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK ISLAM Naerul Edwin Kiky Aprianto
ISLAMICONOMIC: Jurnal Ekonomi Islam Vol 8, No 2 (2017)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Islam Negeri (UIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (348.998 KB) | DOI: 10.32678/ijei.v8i2.60

Abstract

Kemiskinan merupakan masalah multidimensi karena berkaitan dengan ketidakmampuan akses secara ekonomi, politik, sosial budaya, dan partisipasi dalam masyarakat. Berbagai kebijakan dan program yang ada dirasakan masih kurang efektif dalam upaya menurunkan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini terbukti dengan adanya kecenderungan peningkatan jumlah penduduk miskin dari masa ke masa. Dalam pandangan ekonomi politik Islam, kesinambungan antara keadilan sosial dan distribusi keadilan harus dijaga sehingga diperlukan individu-individu dengan moral yang tinggi. Terdapat dua poros strategi ekonomi politik yang dapat diupayakan untuk meredam pembengkakan kemiskinan. Pertama, kebijakan tidak langsung dengan jalan membenahi infrastruktur penyebab kemiskinan melalui jalur politik. Kedua, kebijakan langsung yang mengaitkan kelembagaan dengan strategi pengurangan kemiskinan, di mana pendekatan kelembagaan beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi dan distribusi tidak dapat diserahkan kepada pasar sehingga diperlukan intervensi pemerintah.
PERAN KOMUNIKASI KEPEMIMPINAN DALAM PENGEMBANGAN ORGANISASI PERSPEKTIF ISLAM Naerul Edwin Kiky Aprianto
el-Jizya : Jurnal Ekonomi Islam Vol 4 No 2 (2016)
Publisher : Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (269.709 KB) | DOI: 10.24090/ej.v4i2.2016.pp263-284

Abstract

Kegiatan komunikasi di dalam suatu organisasi bertujuan untuk membentuk saling pengertian dan menyamakan pengalaman di antara anggota organisasi. Dengan adanya komunikasi yang baik, suatu organisasi dapat berjalan dengan lancar. Sebaliknya, kurangnya atau tidak adanya komunikasi, organisasi dapat berantakan. Oleh karena itu, kepemimpinan dalam komunikasi organisasi sangatlah penting karena keberadaan pimpinan menjadi salah satu ujung tombak dari keberhasilan dalam berorganisasi. Tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan kajian tentang peran komunikasi kepemimpinan dalam pengembangan organisasi. Temuan tulisan ini membantah pendapat Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard yang mengemukakan bahwa kepemimpinan berhubungan hierarkis antara atasan dan bawahan, sehingga berfokus kepada para pengikut. Dalam tulisan ini, menyatakan bahwa hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin tidak selalu berada dalam hubungan hierarkis, di mana hal tersebut terdapat hubungan antara atasan dan bawahan sehinggamenjadikan adanya perbedaan kelas status. Di dalam Islam, kepemimpinan merujuk kepada makna khalifah yang memberikan arti menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menggantikan makhluk lain dalam menghuni bumi. Sementara itu, setiap individu yang menghuni di bumi ini disebut sebagai khalifah. Oleh sebab itu, kepemimpinan tidak mengenal perbedaan kelas status. Secara garis besar, peran komunikasi kepemimpinan dalam pengembangan organisasi adalah bersikap adil, memberikan sugesti/ saran, mendukung tercapainya tujuan organisasi, menciptakan rasa aman, sebagai wakil organisasi, sumber inspirasi, dan menghargai anggotanya. Communication activities within an organization is aimed at establishing mutual understanding and equating experience among members of the organization. With good communication, an organization can run smoothly. Conversely, lack or absence of communication will make it unorganized. Therefore, leadership in organizational communication is crucial because the existance of a leader is one of the spearheads of success of an organization. This paper is aimed at discussing role of leadership in the development of organizational communication. The findings of this paper refute Paul Hersey and Kenneth H. Blanchard, who argued that leadeship shows a hierarchical relationship between superiors and subordinates, so they focuse on the followers. Conversely, this paper suggests that the relationship between a leader and those being led are not always in a hierarchical relationship, in which there is relationship between superiors and subordinates causing differences in class status. In Islam, leadership refers to the caliph, which means the representative of God in enforcing His will and the substitute of the other creatures to inhabit the earth. For that reason, individuals who inhabit this earth are also called the Caliph. Therefore, the leadership knows no class distinction status. Broadly speaking, leadership communications roles in the development of the organization is to be fair, to give suggestions/advice, support the achievement of organizational goals, creating a sense of security, as a representative of the organization, sources of inspiration, and appreciate its members.