Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

TANGGUNG-JAWAB NEGARA ATAS PEMENUHAN KESEHATAN DI BIDANG EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Esterlita Nova Yaser Rantung; Toar Neman Palilingan; Theodorus H. W Lumonon
LEX PRIVATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bagaimana tanggung-jawab negara menurut pasal 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 atas pemenuhan kesehatan dan bagaimana kebijakan hukum negara dalam melaksanakan pasal 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 atas pemenuhan kesehatan di Indonesia, yang mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa Segala bentuk pemenuhan hak atas kesehatan merupakan tanggung jawab negara sebagai pemangku kewajiban, dengan seiringnya perkembangan zaman kesehatan menjadi salah satu faktor penting yang harus dijamin negara karena kesehatan merupakan salah satu bentuk dari hak asasi manusia dimana kesehatan termasuk didalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, dan juga, peran negara untuk mewujudkan hak atas pelayanan kesehatan bagi warga negara sebagai pemenuhan Hak Asasi Manusia diatur dalam beberapa instrumen nasional maupun internasional sehingga negara bertanggung jawab untuk melindungi, memenuhi dan menghormati hak atas kesehatan. Kesehatan merupakan isu kursial dan juga sebagai salah satu penunjang kemajuan suatu negara oleh karena itu pemenuhan hak atas kesehatan ditegaskan didalam pasal 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang kemudian ditafsirkan dalam Komentar Umum Nomor 14 dimana negara yang meratifikasi kovenan tersebut harus tunduk dan menjalankan aturan tersebut terlebih dalam hal ketersedian, aksesibilitas, penerimaan dan kualitas maka sebagai bentuk tanggung jawab negara harus menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas kesehatan. Kata kunci: Tanggung-Jawab Negara, Pemenuhan Kesehatan, Hak Ekonomi Sosial dan Budaya
PRAKTIK KONVENSI KETATANEGARAAN TERHADAP MASA JABATAN JAKSA AGUNG DI INDONESIA Rivana Tesalonika Taroreh; Donald A. Rumokoy; Toar Neman Palilingan
LEX PRIVATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui bagaimana eksistensi konvensi ketatanegaraan di Indonesia dan untuk mengetahui bagaimana pengaturan masa jabatan Jaksa Agung di Indonesia dalam perspektif Konvensi Ketatanegaraan. Perlu dipahami bahwa praktik-praktik dalam bernegara terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat, hadirnya suatu konstitusi adalah sebagai pemenuhan kebutuhan dari masyarakat. Konstitusi menggambarkan karakteristik dari setiap negara juga berfungsi untuk mengontrol pemerintahan. Konstitusi terbagi dua pemahaman yaitu antara konstitusi secara sempit (mencakup konstitusi tertulis saja) dan secara luas (mencakup konstitusi tertulis dan tidak tertulis). Perkembangan ilmu hukum tata negara yang menempatkan pandangan terkait hukum konstitusi cenderung lebih memberikan perhatian khusus kepada konstitusi tertulis yang dianggap sebagai sesuatu yang lebih di atas tingkatannya dibandingkan konstitusi tidak tertulis, padahal kedua hal tersebut merupakan bagian yang penting dalam konstitusi. Hadirnya konvensi ketatanegaraan sebagaimana fungsinya sebagai pelengkap aturan tertulis, seperti ketika konvensi ketatanegaraan hadir untuk memenuhi kebutuhan dari masa jabatan Jaksa Agung. Maka konvensi ketatanegaraan merupakan bagian yang penting dalam penyelenggaraan negara Indonesia. Kemudian pada tahun 2010, permasalahannya yaitu diajukan suatu pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Pasal 22 ayat (1) huruf (d) “berakhirnya masa jabatan” bahwa pasal tersebut menimbulkan multitafsir. Maka di uji pada Mahkamah Konstitusi terkait masa jabatan Jaksa Agung, setelah melewati proses pengujian maka berada pada akhir dari kesimpulan pemikiran hakim yang dituangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 49/PUU-VIII/2010. Putusan tersebut didasarkan pada konvensi ketatanegaraan artinya konvensi ketatanegaraan dijadikan sebagai sarana penafsiran. Hal ini menunjukkan bahwa konvensi ketatanegaraan mempunyai eksistensi yang kokoh dalam penyelenggaraan negara sebagaimana fungsi dari konvensi ketatanegaraan. Kata kunci : Konvensi Ketatanegaraan, Masa Jabatan Jaksa Agung, Putusan MK RI Nomor 49/PUU-VIII/2010
UPAYA PENGAWAS BAWASLU (BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM) DALAM MEMBERANTAS POLITIK UANG (MONEY POLITIC) DI KOTA MANADO Romario Christian Falco Kuntag; Toar Neman Palilingan; Dicky J. Paseki
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 3 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui upaya apa yang dapat dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum dalam memberantas politik uang (Money politic) Terutama di kota Manado dan untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menjadi hambatan badan pengawas pemilihan umum (BAWASLU) dalam memberantas money politic di kota Manado. Dengan metode penelitian yuridis normatif kesimpulan yang didapat: 1. Pemilihan umum yang berlangsung di kota Manado tidak dapat dipisahkan dengan politik uang (money politic). Bentuk politik uang yang dilakukan yaitu pembagian uang tunai, sembako, dan sumbangan. Praktik ini melibatkan seluruh segmen masyarakat khususnya masyarakat kelas bawah yang menjadi tujuan utama karena berbagai keterbatasan yang dimiliki sehingga mudah untuk dipengaruhi. 2. Upaya yang di lakukan Bawaslu khususnya Kota Manado dapat dikatakan sudah dilaksanakan dengan baik yaitu melakukan pencegahan untuk mengurangi kecurangan yang terjadi seperti politik uang, melakukan pencegahan dengan membentuk satuan tugas (Satgas) yang tujuannya untuk mengurangi atau mencegah politik uang yang terjadi satu hari sebelum pemilihan umum. Pemilihan umum sebenarnya sudah berjalan dengan baik, tapi balik lagi kepada masyarakat sebagai oknum utama dalam menentukan pilihan yang dimana masyarakat perlu terlibat langsung dalam penanganan dan juga memberantas politik uang dalam pemilu untuk menentukan pemimpin yang terpilih benar-benar berkualitas bukan pemimpin yang tercipta hasil karena dibayar. Kata Kunci : Bawaslu, Money Politic
PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DALAM KAITANNYA DENGAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA Sergio Kanisius Ridwan; Josepus J. Pinori; Toar Neman Palilingan
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui proses pembentukan desa menurut Undang-Undang No 6 Tahun 2014 dan untuk mengetahui penerapan peraturan desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Dengan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulan yang didapat: Pembentukan peraturan desa harus melibatkan partisipasi masyarakat sebagai wujud desa yang demokratis. Diatur dalam Pasal 60 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yakni masyarakat desa berhak meminta dan memperoleh informasi dari pemerintah desa, mengawasi kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaannya, pembangunan desa, hingga pembinaan kemasyarakatan desa, serta pemberdayaan masyarakat desa. Sesuai dengan konsideran bagian pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yakni desa memiliki hak asal usul dan tradisional untuk mengurusi kepentingan masyarakat setempat. Artinya peraturan desa harus dirancang dengan melibatkan partisipasi masyarakat karena jika tidak, aturan yang dirancang dapat berupa aturan yang tidak memihak kepada masyarakat. Penerapan peraturan desa, sesuai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa harus mampu menjamin adanya kepastian hukum, ketertiban dalam menyelenggarakan pemerintahan desa dan kepentingan umum, memiliki asas keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, kearifan lokal, keberagaman, dan partisipatif. Implementasi dari penyelenggaraan pemerintahan desa harus menjamin bahwa semua asas-asas tersebut terlaksana dengan sebaik mungkin. Kata Kunci : Pembentukan Peraturan Desa
TINJAUAN YURIDIS UU NO. 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL DI BIDANG KETENAGAKERJAAN PADA PROGRAM OLLY DONDOKAMBEY DAN STEVEN KANDOUW TENTANG PERKASA (PERLINDUNGAN PEKERJA SOSIAL KEAGAMAAN) DI SULAWESI UTARA Regina Wilhelmina Andalangi; Toar Neman Palilingan; Syamsia Midu
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami sejauh mana peran pemerintah dan pelaksanaan Program inovasi Olly Dondokambey dan Steven Kandouw diterapkan untuk melakukan perlindungan pada pekerja Bukan Penerima Upah (BPU) terlebih khusus sektor keagamaan. Metode yang digunakan dalam penulisan ini didasarkan pada penelitian yuridis empiris, sehingga dapat disimpulkan : 1. Peran pemerintah sulawesi utara dalam melakukan perlidungan kepada pekerja untuk mendukung program inovasi dengan menerbitkan regulasi Peraturan Daerah Sulawesi Utara No. 9 Tahun 2022 dan Peraturan Gubernur Sulawesi Utara No. 6 Tahun 2018. 2. Pelaksanaan program pemerintah sulawesi utara dengan ditunjang oleh BPJS Ketenagakerjaan melaksakan dua jaminan yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. Kata Kunci: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Ketenagakerjaan, Perlindungan Pekerja Sosial Keagamaan.
WANPRESTASI AKIBAT PENYALAHGUNAAN KEADAAN DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM UANG KOPERASI DI KOTA MANADO Febiola V Katiandagho; Ronny A. Maramis; Toar Neman Palilingan
LEX PRIVATUM Vol. 11 No. 5 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilakukan sama sekali. Berdasarkan pasal 1238 KUHPerdata menjelaskan bahwa debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah atau akte sejenisnya atau berdasarkan kekuatan dari perikatan itu sendiri, yaitu bila perikatan ini menyebabkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul wanprestasi. Kegiatan pinjam meminjam uang pada koperasi sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat saat ini, Koperasi sebagai gerakan ekonomi yang tumbuh dari masyarakat, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat atas asas kekeluargaan. Koperasi berasal dari bahasa “co operation” yang berarti kerja sama. Pada masa sekarang atau masa yang akan datang khususnya masyarakat kalangan menengah kebawah tetap masih memerlukan koperasi. Zaman yang semakin berkembang pada seluruh aspek kehidupan, tentunya akan memberikan dampak yang berpengaruh bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya agar dapat mengikuti perkembangan zaman. Tujuan koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan anggota pada khusunya dan masyarakat pada umumnya.
KEDUDUKAN DAN FUNGSI KOMPONEN CADANGAN DALAM MEMPERKUAT SISTEM PERTAHANAN NEGARA DITINJAU DARI UU NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA Puteri Puslatpur; Toar Neman Palilingan; Feiby S. Wewengkang
LEX PRIVATUM Vol. 11 No. 5 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan memahami pengaturan terkait pelaksanaan komponen cadangan di Indonesia dan untuk mengetahui dan memahami kedudukan dan fungsi komponen cadangan dalam memperkuat sistem pertahanan negara. Dengan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulan yang didapat: 1. UU No. 3/2002 Tentang Pertahanan Negara menyebutkan Komponen Cadangan sebagai bagian dari Komponen Pertahanan negara dalam Pasal 1 Angka 6. Terkait pengaturan tentang pelaksanaan Komponen cadangan, Undang-Undang Pertahanan Pasal 8 Ayat (3) yang menyebutkan bahwa Komponen Cadangan dalam Undang-Undang. Hal tersebut yang mendasari terbitnya Pengaturan terkait pelaksanaan komcad diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara. Pengaturan tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya. Saat ini Komcad dari tahun 2021 hingga 2023 belum ada bentuk aksi nyata di dalam masyarakat. 2. Kedudukan Komcad dalam Undang-Undang Pertahanan dalam dikerahkan untuk menghadapi ancaman Militer, sementara dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional diatur dalam Pasal 27 yang dapat disimpulkan bahwa anggota komcad berkedudukan sebagai warga sipil yang dibekali kemampuan upaya pertahanan sebagai kekuatan pendukung untuk memperkuat kemampuan komponen utama. Kata Kunci : komponen cadangan, sistem pertahanan negara
Penerapan Praktik Inkonstitusional Bersyarat Di Mahkamah Konstitusi Efer Musa Tamungku; Donald A. Rumokoy; Toar Neman Palilingan
LEX PRIVATUM Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan praktik inkonstitusional bersyarat di Mahkamah Konstitusi serta implikasi hukumnya. Sejak Mahkamah Konstitusi berdiri pada Tahun 2003 di Republik Indonesia seringkali Mahkamah Konstitusi menujukan progresnya melalui pembaharuan hukum yang diciptakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai pegadilan norma “¢ourt of law” juga sebagai penjaga konstitusi sejati “the true guardian of constitution. Salah satu bentuk hasil dari tabrakan terhadap hukum positif yakni dengan dikeluarkannya jenis amar putusan konstitusional bersyarat “conditionally constitutional” dan inkonstitusional bersyarat “conditionally unconstitutional” yang sebelumnya berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 jo. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi, hanya diatur tiga jenis amar putusan yakni putusan dikabulkan, ditolak, dan tidak dapat diterima. Salah satu amar putusan inkonstitusional bersyarat yang menimbulkan perdebatan dikalangan para sarjana hukum maupun masyarakat luas pada saat Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja, dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat, yang harus diperbaiki oleh pembentuk undang-undang selama dua tahun, apabila tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu tersebut maka undang-undang a qou harus dinyatakan inkonstitusional secara parmanen dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Secara normatif undang-undang a qou cacat formil dan diakui oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya, seharusnya apabila suatu norma yang dinyatakan cacat prosedural harus dimaknai cacat keseluruhan dan dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, namun Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan kemanfaatan hukum, yakni undang-undang a qou menyederhanakan beberapa undang-undang melalui metode omnibus law dan beberapa muatan materiil yang dianggap penting sehingga apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan inkostitusional berdasarkan hukum positif maka akan terjadi suatu kegaduhan besar di Republik Indonesia. Kata kunci: Konstitusi, Mahkamah Konstitusi, Putusan Inkonstitusional Bersyarat.
PEMBAGIAN KEKUASAAN DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA Refo Rivaldo Fransiscus Pangaribuan; Toar Neman Palilingan; Feiby S Mewengkang
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 5 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimanakah pembagian kekuasaan di Indonesia sebelum dan sesudah amandemen UUD NRI Tahun 1945 dan untuk mengetahui bagaimanakah implementasi prinsip check and balances dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Dengan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulan yang didapat: 1.Berdasarkan perkembangannya, Indonesia mengalami beberapa perubahan yang signifikan dalam hal kelembagaan, fungsi, wewenang dan kedudukan. Seperti halnya sebelum adanya amandemen UUD NRI Tahun 1945 dalam hal yang disebut diatas MPR mempunyai kedudukan yang tertinggi dari semua Lembaga negara yang ada, dikarenakan fungsi dan wewenangnya yang sangat luas dan mempengaruhi Lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Namun setelah amandemen ke-4 UUD NRI Tahun 1945, kedudukan kelembagaan di Indonesia menjadi setara, tidak ada lagi Lembaga tertinggi negara dan hanya ada Lembaga tinggi negara. 2. Amandemen UUD NRI Tahun 1945 telah mengubah kekuasaan dan kewenangan serta pola hubungan antara lembaga negara, antara pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga cabang kekuasaan itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Dengan adanya prinsip checks and balances, maka kekuasaan negara diatur, dibatasi, dan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh pribadi-pribadi yang sedang menduduki lembaga-lembaga tinggi negara. Penerapan teori pembagian kekuasaan dan teori check and balances merupakan suatu sarana agar demokrasi dan negara hukum dapat berjalan. Kata Kunci : pembagian kekuasaan, sistem pemerintahan di indonesia
ANALISIS YURIDIS HAK IMUNITAS ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM MENJALANKAN TUGAS DAN FUNGSINYA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN Ridho Giani Arbie; Toar Neman Palilingan; Ronald E. Rorie
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 5 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hak imunitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat banyak menimbulkan pro dan kontra dikalangan pemerhati hukum dan konstitusi khususnya masyarakat yang menilai secara langsung wakil rakyat yang dipilihnya. Permasalahan tentang penggunaan hak imunitas anggota DPR ialah penilaian masyarakat terhadap perlindungan hukum (hak imunitas) atas para wakil rakyat tersebut yang berkesan hanya melindungi kepentinganpribadi dan bukan demi kepentingan rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendalami terkait kedudukan dewan perwakilan rakyat dalam sistem ketatanegaraan di indonesia. dan sejauh mana batasan-batasan penggunaan hak imunitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan hukum positif yang berlaku saat ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Adapun hasil dari penelitian ini kedudukan DPR dapat dipandang melalui segi hierarkis dan segi fungsi, dimana apabila ditinjau dari hirarki maka DPR yang eksistensinya diatur secara tegas dalam konstitusi terkualifikasikan sebagai lembaga negara pada lapis pertama yang disebut constitutional organ. Sedangkan dalam segi fungsi maka kedudukan DPR tergolong sebagai lembaga negara utama (Primary Constitutional Organ) yang bergerak pada lingkup kekuasaan legislatif dan pengawasan serta Batasan-batasan penggunaan hak imunitas Anggota DPR diakomodir melalui dua hal pokok pembatasan, yaitu “Hukum Perundang-undangan” dan “Etika Profesi (Kode Etik)”, dimana kedua hal tersebut menghendaki adanya batasan terhadap penggunaan Hak Imunitas Pejabat DPR hanya berlaku sepanjang dimaknai dalam menjalankan tugas dan fungsi kenegaraannya. Kata Kunci : Hak Imunitas, Dewan Perwakilan Rakyat, Sistem Ketatanegaraan.