Hamid Sarong
Universitas Islam Negeri Ar Raniry Banda Aceh

Published : 1 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search

Kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam Wilayah Otonomi Aceh Hamid Sarong; Syahrizal Abbas; Mahdi Mahdi
Syarah: Jurnal Hukum Islam & Ekonomi Vol. 10 No. 1 (2021): SYARAH : Jurnal Hukum Islam
Publisher : Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47766/syarah.v10i1.220

Abstract

Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang diberikan oleh undang-undang. Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada sehingga kewenangan itu merupakan kewenangan yang sah. Kewenangan organ pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankan kewenangan. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar. Demikian juga terkait dengan kewenangan Mahkamah Syariyah di Aceh sebagaimana diatur dalam Bab XVIII pasal 128 ayat 3 yang menegaskan bahwa Mahkamah Syariyah berwewenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang hukum keluarga, muamalah dan jinayah yang didasarkan atas syariat islam. Pencantuman pengaturan seperti ini tidak lazim sebagaimana terdapat pada peradilan Agama dan Peradilan Umum.  Fokus penulisan artikel ini adalah; Mengapa ketentuan kewenangan Mahkamah Syar’iyah di atur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh?. Metode penelitian dalam artikel ini adalah penelitian normatif karena sumber datanya diperoleh dari data sekunder bahan primer seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa  Aceh, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Hasil penelitian disertasi ini menunjukkan bahwa; Terdapat dua alasan penempatan kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam Undang-undang Republik Indonesia Tentang Pemerintahan Aceh. Alasan pertama karena sebagai implementasi dari perintah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Terutama pada aspek agama. Alasan kedua karena penempatan pengaturan kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam Undang-undang Republik Indonesia tentang Pemerintahan Aceh merupakan pengaturan yang tidak lazim. Namun demikian, dimungkinkan sebagai bentuk pengecualian sepanjang hal itu disepakati dan ditetapkan menurut ketentuan hukum yang sah, maka hal itu dapat di pandang sah sebagai bentuk pengecualian yang terbatas adanya.