Claim Missing Document
Check
Articles

Found 28 Documents
Search

Putusan Talak Raj’i pada Kasus Poliandri: Analisis Hukum Islam terhadap Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho Nomor 216/Pdt.G/2015/MS-JTH Abbas, Syahrizal; Mutia, Datul
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 3, No 1 (2019)
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/sjhk.v3i1.4865

Abstract

Poliandri adalah sistem perkawinan dimana seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan. Al-qur’an dan Hadits melarang tindakan poliandri. Namun kenyataannya, ditemukan kasus poliandri di kalangan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya cerai talak pada Mahkamah Syari’iyah Jantho dalam putusan Nomor 216/Pdt.G/2015/MS-JTH. Dalam perkara ini suami menceraikan isterinya karena melakukan poliandri.  Penelitian ini bertujuan mengetahui dasar pertimbangan Hakim dalam memutus talak raj’i karena poliandri. Pada sisi lain, penelitian ini juga menggali pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap perkara talak raj’i karena poliandri. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi pustaka (library research). Hasil penelitian ini menemukan bahwa hakim menjatuhkan talak raj’i terhadap isteri yang melakukan poliandri di dasarkan pada larangan Al-quran dan Hadits tentang poliandri. Di samping itu, hakim juga mempertimbangkan kemaslahatan anak Pemohon dan Termohon yang masih dibawah umur yang sangat membutuhkan kasih sayang penuh dari kedua orangtuanya. Tindakan hakim ini sejalan dengan hukum positif dan hukum Islam. Untuk mengantisipasi munculnya praktek poliandri di masyarakat, di sarankan kepada  pihak KUA dan tokoh agama agar memberikan pembinaan dan bimbingan perkawinan sehingga tidak terjadi pelanggaran hukum. Di sarankan juga kepada pemerintah untuk membuat regulasi yang dapat mencegah munculnya hukum poliandri dan mengatur hukuman kepada pelaku poliandri.
The Concept of Joint Property Ownership of Husband and Wife Musfira, Musfira; Abbas, Syahrizal; Khairani, Khairani; Khafidah, Wahyu
International Conference on Multidisciplinary Research Vol 4, No 1 (2021): ICMR
Publisher : Universitas Serambi Mekkah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (172.313 KB) | DOI: 10.32672/pic-mr.v4i1.3733

Abstract

Dualism of Competences in The Settlement of Child Abusement Cases in Aceh: Case Number 231/Pid.Sus/2018/ PN Bna and 005/JN/2017/Ms-Lgs [Dualisme Kewenangan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Pencabulan Anak di Aceh: 231/Pid.Sus/2018/ PN Bna dan 005/JN/2017/Ms-Lgs] Rispalman Rispalman; Syahrizal Abbas; Desi Ariani
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 10, No 1 (2021)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v10i1.10520

Abstract

Abstract: There is a dualism of competencies in the settlement of cases of sexual abuse of children in Aceh. The practice of dualism of competencies occurs in the settlement of cases of criminal acts of sexual abuse against children in Aceh where case Number 231/Pid.Sus/2018/PN Bna was resolved in the Banda Aceh District Court and case Number 005/JN/2017/Ms-Lgs was resolved in the Mahkamah Syar'iyah Langsa. The research questions are why there is the dualism of authority in resolving cases of child molestation in Aceh and what is the juridical basis for the Banda Aceh District Court and the Langsa Mahkamah Syar'iyah Court in adjudicating cases of child abuse. This research uses normative juridical research. Dualism occurs because the Qanun Jinayat and the Child Protection Law (UUPA) regulate the sexual abuse of children. The juridical basis of the District Court in the settlement of cases of criminal acts of sexual abuse against children in case Number 231/Pid.Sus/2018/PN Bna uses Law Number 35 of 2014 concerning Child Protection (UUPA), and the juridical basis of the Syar'iyah Court in the settlement cases of criminal acts of sexual abuse against children in case Number 005/JN/2017/Ms-Lgs using Article 47 of Aceh Qanun Number 6 of 2014 concerning Jinayat Law. The judicial process against Aceh Qanun Number 6 of 2014 concerning Jinayat Law was carried out at the Syar'iyah Court. The norm that has the authority to adjudicate is the Syar'iyah Court by implementing the Qanun Jinayat. Abstrak: Terdapat dualisme kewenangan dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak di Aceh. Praktiknya dualisme kewenangan terjadi dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak di Aceh dimana pada perkara Nomor 231/Pid.Sus/2018/PN Bna diselesaikan di Pengadilan Negeri Banda Aceh dan perkara Nomor 005/JN/2017/Ms-Lgs di selesaikan di Mahkamah Syar’iyah Langsa. Rumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah mengapa terjadi dualisme kewenangan dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak di Aceh dan apa dasar yuridis Pengadilan negeri Banda Aceh dan Mahkamah Syar’iyah Langsa dalam mengadili perkara pencabulan terhadap anak. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif. Dualisme terjadi dikarenakan Qanun Jinayat dan Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) mengatur pencabulan terhadap anak. Adapun landasan yuridis Pengadilan Negeri dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak pada perkara Nomor 231/Pid.Sus/2018/PN Bna menggunakan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UUPA), dan landasan yuridis Mahkamah Syar’iyah dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak pada perkara Nomor 005/JN/2017/Ms-Lgs menggunakan Pasal 47 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Proses peradilan terhadap Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dilaksanakan di Mahkamah Syar’iyah. Secara norma yang berwenang mengadili ialah Mahkamah Syar’iyah dengan menerapkan Qanun Jinayat.
Penegakan Hukum Lingkungan Terhadap Pencemaran Daerah Aliran Sungai Krueng Teunom (Studi Kasus Merkuri di Kecamatan Teunom Kabupaten Aceh Jaya) Harry Fajar Rizki; Syahrizal Abbas; Jamhir Jamhir
Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 11, No 1 (2021)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/dusturiyah.v11i1.8323

Abstract

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya sistematis dan terpadu guna melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah akan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Dilakukan melalui tindakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan penegakan hukum. Penelitian ini bertujuan menjawab permasalahan : Pertama, bagaimana penegakan hukum lingkungan menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di daerah aliran sungai Krueng Teunom. Kedua, bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh LSM di Aceh terhadap dampak penegakan hukum pencemaran daerah aliran sungai Krueng Teunom. Ketiga, faktor apakah yang menjadi penghambat dalam penegakan hukum terhadap pencemaran daerah aliran sungai Krueng Teunom. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis empiris. Teknik pengumpulan data yaitu dengan studi dokumen, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, telah terjadi penegakan hukum lingkungan terhadap pencemaran daerah aliran sungai Krueng Teunom. Kedua, LSM telah melakukan upaya-upaya seperti mendesak pemerintah  agar segera menangani pencemaran merkuri dan mendesak Pemerintah Daerah Aceh (Pemda) untuk melakukan penelitian terhadap baku mutu air. Ketiga, adanya tarik menarik kepentingan antara Pemda Aceh Jaya dengan para pengusaha. Adapun saran dari peneliti khususnya kepada Pemerintah Aceh Jaya agar selalu melakukan sosialisasi mengenai dampak dari pencemaran daerah aliran sungai. Kemudian kepada LSM yang ada di Aceh Jaya agar mengawal Pemerintah dalam hal penegakan hukum terhadap pencemaran daerah aliran sungai, dan untuk mahasiswa agar meneliti lebih lanjut tentang pencemaran daerah aliran sungai Krueng Teunom dari sudut pandang yang bertentangan dengan Undang-undang.
SISTEM GARANSI BARANG ELEKTRONIK DALAM FIQIH MUAMALAH DAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Syahrizal Abbas; Edi Yuhermansyah; Dara Masyittah
Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 9, No 2 (2019)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/dusturiyah.v9i2.5317

Abstract

In a transaction, especially elecronic goods can not be separated from the possibility of defects or damage to goods traded in the future, causing electronic goods manufacturers to provide guarantess ( warranty ) and impose and right to consumers with certain conditions. Regarding the time or warranty period for an item according to Malikiyah scholars whose nature is not perishable takes longer. In general, currently electronic goods are only given a one-year warranty period. Whereas in Law Number 8 Article 27 of 1999 concerning the Consumer Protection Law, the risk period for goods traded within a period of 4 years has been contained. The formulation of the problem and the pupose of this study is to find out how the warranty system is in muamalah fiqh and how is the guarantee system in the consumer protection law. The research method used can be classified as a descriptive analysis of reseach in two perspectives, namely in muamalah fiqh and UUPK, and with a qualitative approach, data is obtained through library research. The resulth of this study show that the warranty system in muamalah fiqh shows that the khiyar system for goods that have defects or damage in them ( disgrace ) applies when there is a defect ( disgrace ) damage to goods that are not easily damaged. Regarding the time to sue for losses is not set a definite time limit because items that are not easily damaged, especially electronics require a long time. And the results of research into the warranty system in the UUPK stipulate that the seller or business actor is obliged to provide guarantess for goods sold as a form of warranty for damaged goods, and the seller will be subject to criminal sanctions when compensation claims made by the consumer are rejected or not fulfilled. Regarding the time limit for the prosecution of damaged goods is set for 4 ( four ) years.  
FASAKH NIKAH DENGAN ALASAN SUAMI MISKIN (Studi Perbandingan antara Ulama Syafi’iyyah dan Hukum Positif di Indonesia) Muhammad Habibi; Syahrizal Abbas; Sitti Mawar
Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 8, No 2 (2018)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/dusturiyah.v8i2.4358

Abstract

In a family sometimes painful actions arise from involuntary causes (not intentionally), not on the wishes of the husband, such as because the husband is poor or poor so he does not have a living to fulfill his wife's rights in the form of food, clothing and home at a certain time, which makes the wife ask to part with her husband through the divorce (fasakh) path. Regarding the problem of the wife asking for fasakh (carrying out divorce) by reason of a poor husband there are differences of opinion between the Syafi'iyyah Ulama and Positive Law in Indonesia concerning the provisions that must be fulfilled by both. This study wants to answer the question of how the provisions of fasakh marriage are based on the reasons of poor husbands according to Syafi'iyyah Ulama and Positive Law in Indonesia. To get answers, the author uses primary data sources and secondary data. The research method that I use is Descriptive Comparative method that is research by analyzing and comparing opinions, reasons and interpretations of the arguments used as the opinions of the two groups. The results of the study indicate that the fasakh of marriage on the grounds of a poor husband according to the Shafi'iyyah Ulama is permissible and validly carried out on condition; 1) A wife who is married between being patient and divorced, 2) Judge's decision, in the form of; a. determination of poor status according to the provisions, b. giving an opportunity to a husband to work for a living, c. Fasakh implementation period three days after the wife reported. 3) Separated by reciting fasakh instead of divorce, and still having three times the right of divorce if in the future you want to remarry with a new contract. Whereas according to Positive Law in Indonesia fasakh marriage by reason of poor and permissible husband with conditions, 1) occur shikak between wife and husband, 2) wife make a divorce letter, 3) Decision judge namely proof of poor husband in a literal manner, 4) Court decision drop one bain sughra talak. From the explanation above, it can be concluded that the provisions of the fasakh of marriage by reason of poor husbands in the opinion of the Syafi'iyyah clerics are better and fair because they are supported by a strong foundation and are most in accordance with the soul, basis and principles of Islamic law. Therefore in Indonesia requires more explicit rules about fasakh (divorce) with the excuse of poor husbands. 
Klausula Akad Rahn Dari Perspektif Hukum Islam Dan Urgensi Notaris Dalam Penyusunannya Ihyannisak Zain; Syahrizal Abbas; Zahratul Idami
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 26 No. 2: MEI 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/iustum.vol26.iss2.art10

Abstract

The practice of Shari‘a Court, especially rahn contracts in the form of standard clauses, still have a number of problems, including the norms of the contents of the contract. This study discusses first, whether the norms in the contents of the rahn contract on Sharia Pawnshop (pegadian Syariah) are in accordance with the provisions of Islamic law. Second, the urgency of notary involvement in the formulation of the Sharia pawnshop rahn contract clause in an effort to guarantee consumer protection. The methodology used in this research is a normative study with secondary data sources derived from legal materials, with a statutory and conceptual approach. This research concludes: first, the norm contained in the contents of the rahn contract on Sharia Pawnshop is not in accordance with the provisions of Islamic law because it contains the invalid (fasid) conditions of a contract. Second, the need for the involvement of a Notary Public to safeguard any predetermined rules regarding rahn contracts to be carried out, as well as efforts to ensure legal protection for consumers to secure the position between rahin and murtahin for it to become balanced for the rahn contract clause to be based on justice.
Sharia-Based Regional Regulations in the Indonesian National Law System Syahrizal Abbas; Ramzi Murziqin
Jurnal Ilmiah Peuradeun Vol 9 No 3 (2021): Jurnal Ilmiah Peuradeun
Publisher : SCAD Independent

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26811/peuradeun.v9i3.673

Abstract

This study aimed to explain the existence of sharia-based regional regulations and discuss the form of legal system regulation of sharia-based regional regulations in Indonesia. After the reformation, changes in the legal system in Indonesia began, especially the change from a centralized pattern to a decentralized one and the granting of regional autonomy authority, this was marked by the issuance of regional regulations based on the needs of each region. The next problem is the emergence of the desire to establish sharia-based regional regulations such as in Aceh, South Sulawesi, and West Java which invites legal discourse on the legal system in Indonesia. This study used a qualitative method with a normative legal approach. The subjects of this study were the namely elements of the Central and Regional Government, and Members of the DPRD. In addition, information was also collected from scholars, academics, and legal practitioners. The research procedure was carried out in four steps: observation, in-depth interviews, and documentation. The data were analyzed using an inductive model. The research findings showed that; first, the implementation of post-reform Islamic Shari'a cannot be separated from the increase in democratic life in Indonesia. Second, the application of Islamic Shari'a is the desire of the community as the foundation and order of social, national, and religious life. Third, the application of sharia-based regional regulations in addition to being elite political capital is also part of increasing identity and cultural revival and social life of the community.
Konversi Perjanjian Kredit Perbankan Konvesional Menjadi Akad pada Perbankan Syariah Muhammad Dustur; Syahrizal Abbas; Sri Walny Rahayu
Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 9, No 02 (2021): Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hidayah Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30868/am.v9i02.1878

Abstract

Pasca disahkannya Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syari’ah berimplikasi pada keharusan semua bank konvensional beralih pada perbankan berbasis syari’ah. Bank konvensional yang berbasis perjanjian kredit mengalihkan kredit nasabah kepada Bank Syari’ah melalui subrogasi. Peralihan tersebut berbeda dengan fatwa DSN Nomor 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Hutang. Penelitian bertujuan untuk menganalisis implementasi konversi dari perjanjian kredit menjadi akad syari’ah dan status hak dan kewajiban nasabah pasca konversi. Penelitian menggunakan penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual dan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach). Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunnjukkan bahwa implementasi konversi kredit dari perbankan konvensional kepada perbankan syari’ah bertentangan dengan fatwa DSN Nomor 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Hutang. Hal ini dikarenakan Perbankan Syari’ah tidak terlebih dahulu memberikan penjaman kepada nasabah untuk melunasi kredit di perbankan syari’ah. Status hak dan kewajiban nasabah beralih dari bank konvensional kepada perbankan syari’ah. Nasabah berkewajiban membayar kepada perbankan syari’ah karena merupakan kreditur baru yang menggantikan kreditur lama yakni perbankan konvensional.
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN SANKSI NYA Rizqy Rizqy; Syahrizal Syahrizal
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 3, No 2 (2018)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (323.862 KB) | DOI: 10.22373/justisia.v3i2.5931

Abstract

Kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya adalah untuk mengintegrasikan dan mengoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa bertentangan satu sama lain. Berkaitan dengan itu, hukum harus mampu mengintegrasikannya sehingga benturan-benturan kepentingan itu dapat ditekan sekecil-kecilnya. Pengorganisasian kepentingan-kepentingan itu dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan tersebut dengan cara membatasi kepentingan lain pihak. Perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam KUHP pada pasal 1365 yaitu tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut. Pasal 1367 menyatakan bahwa Seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atas disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Setiap perbuatan yang dianggap melanggar peraturan yang telah terdapat peraturannya dalam perundang-undangan maka perbuatan tersebut akan dijatuhkan sanksi terhadap pelakunya. Hal ini diterapkan agar pelaku perbuatan melanggar hukum dapat bertanggung jawab atas perbuatannya yang telah mengakibatkan kerugian kepada orang lain.