Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PERBEDAAN QANUN ACEH DAN PERATURAN DAERAH SYARI’AH DI INDONESIA Saifuddin Saifuddin; Hofifah Hofifah
Jurnal Adijaya Multidisplin Vol 1 No 02 (2023): Jurnal Adijaya Multidisiplin (JAM)
Publisher : PT Naureen Digital Education

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Materi muatan dalam qanun Aceh dan peraturan daerah syari’ah (perda syari’ah) bisa dinilai sama, karena keduanya mengakomodir nilai-nilai syari’at sebagai hukum positif yang berlaku di masyarakat. Namun, hal tersebut tidak bisa dijadikan landasan untuk menyamakan keduanya dalam segala aspek. Tujuan dari Penelitian ini adalah membuktikan sejauh mana kesamaan antara qanun Aceh dan perda syari’ah, dan hal apa saja yang menjadi pembeda di antara keduanya. Setelah melakukan library reseach serta menghubungkan berbagai penelitian berkaitan yang telah ada sebelumnya, hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa qanun Aceh dan Perda syari’ah tidak sepenuhnya sama dari segala aspek, meskipun fungsi, lembaga pembentuk, kedudukan dalam hukum nasional, lembaga pengawas, kedudukan naskah akademik hingga materi muatan dalam qanun Aceh ini sama dengan perda syariah, namun qanun Aceh dan perda syariah memiliki dasar hukum yang berbeda. Jika qanun Aceh harus selalu mendasar pada prinsip-prinsip yang diatur dalam syari’at Islam yang merupakan turunan atau penjabaran dari UU No. 11 Tahun 2006. Berbeda halnya dengan perda syari’ah yang yang lahir karena otonomi daerah dan berdasar pada UU No. 32 Tahun 2004, yang juga berakibat pada lembaga penguji keduanya, jika uji materi perda syari’ah dilakukan oleh MA, maka uji materi qanun Aceh dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah.
Proteksi Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara Hofifah Hofifah
ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol 16, No 2 (2022): ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/adliya.v16i2.18275

Abstract

The relocation of the State Capital requires the existence of binding legal rules, inseparable from the main purpose of the existence of a constitution is the protection of Human Rights. Considering that prior to the transfer of IKN these areas already had indigenous people, it must be ensured that IKN Law does not contain discrimination and protects the rights of indigenous peoples as part of human rights.. This paper aims to examine the extent to which human rights protection is guaranteed in the IKN Law. This research uses normative juridical with the IKN Law as the object of research. The IKN Law has provided protection for certainty and human rights guarantees in several articles related to guaranteeing customary cultural heritage and guaranteeing a decent life, but this law has not succeeded in providing socio-economic guarantees for indigenous peoples from the impacts of the development of the IKN, accompanied by not giving equal democratic rights to the IKN community in choosing their leaders which will have an impact on economic discrimination between immigrant communities and indigenous peoples and deprivation of the people's democratic right to choose their own leaders, so the essence of democracy will not be achieved.Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) mengharuskan adanya aturan hukum yang mengikat, tidak terlepas dari tujuan utama dari adanya konstitusi adalah perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Mengingat sebelum adanya pemindahan IKN daerah-daerah tersebut telah memiliki penduduk asli, maka harus dipastikan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) tidak mengandung diskriminatif serta melindungi hak-hak masyarakat adat sebagai bagian dari HAM. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji sejauh mana keterjaminan proteksi HAM dalam UU IKN. Dalam penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif atau penelitian dogmatik dengan UU IKN sebagai objek penelitian. UU  IKN sudah memberikan proteksi kepastian dan keterjaminan HAM dalam beberapa pasal terkait keterjaminan warisan budaya adat dan keterjaminan hidup layak, akan tetapi UU ini belum berhasil memberikan keterjaminan sosial ekonomi terhadap masyarakat adat dari dampak pembangunan IKN, disertai tidak diberikannya hak demokrasi yang sama bagi masyarakat IKN dalam memilih pemimpinnya yang akan berdampak pada diskriminatif ekonomi antara masyarakat pendatang dan masyarakat adat serta terampasnya hak demokrasi masyarakat untuk memilih sendiri pemimpinnya, dengan begitu esensi dari demokrasi tidak akan tercapai.
Pelibatan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Pengawasan Hakim Mahkamah Agung dalam Lingkungan Peradilan Perspektif Fath Dhari’ah Hofifah Hofifah
Al-Qanun: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam Vol 26 No 1 (2023): Al-Qanun, Vol. 26, No. 1, Juni 2023
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/alqanun.2023.26.1.96-107

Abstract

The question is still often asked whether the Corruption Eradication Commission (KPK), in carrying out its function as the vanguard of corruption eradication (TIPIKOR), also supervises judges within the Supreme Court (MA) judiciary. Even though from a juridical perspective, the KPK's authority is not included in the supervision of individual Supreme Court judges who have become the authority of the Judicial Commission (KY), the KPK continues to supervise issues of corruption, gratuities, buying and selling of cases and other forms of TIPIKOR within the Supreme Court justice environment, and not judges as the object. This research envisages what if the KPK is involved in supervising Supreme Court judges by using the thinking method of Fath Dhari'ah, which considers the good and bad consequences of establishing law. This study uses a normative method with descriptive analysis techniques. The result of this study is that the involvement of the KPK in supervising Supreme Court judges in the Supreme Court justice environment contains more mafsada than the desired maslahah.