Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search
Journal : JOGED

KOMODIFIKASI TARI BADAYA DALAM UPACARA ADAT MAPAG PANGANTEN SUNDA Pradasta Asyari; Dade Mahzuni; R. M. Mulyadi Mulyadi
Joged Vol 22, No 2 (2023): OKTOBER 2023
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v22i2.11273

Abstract

ABSTRAKBadaya merupakan sebuah jabatan di dalam pertunjukan Wayang yang merujuk kepada emban geulis yang bertugas untuk mempersipkan segala kebutuhan Keraton sekaligus menari di hadapan Raja dan petinggi Keraton. Di awal perkembangannya, tari Badaya ini digunakan sebagai tari bubuka dalam pertunjukan Wayang Wong, yang kini telah beralih fungsi menjadi sebuah tari komoditi yang digunakan sebagai materi pokok dalam rangkaian Upacara Adat Mapag Panganten Sunda. Perubahan yang terjadi tidak hanya secara tekstual pada bentuk seninya, melainkan terhadap masyarakat itu sendiri sebagai pelaku dalam sektor ekonomi, industri, politik, dan pariwisata. Tulisan ini berupaya untuk menjelaskan bagaimana proses terjadinya tari Badaya menjadi sebuah tari komoditi dalam Upacara Adat Mapag Panganten melalui pemikiran Raymond Williams dan Theodor W. Adorno. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan secara etnografi dan historical analysis. Kajian ini memperoleh hasil bahwa komodifikasi tari Badaya memiliki standarisasi yang menggiring kemasan dengan pemadatan koreografi, durasi penampilan yang singkat, busana yang glamour dan mewah, rias sederhana, serta aksesibilitas instrumen pengiringnya.ABSTRACKBadaya is a position in the Wayang performance that refers to the Emban Geulis whose job is to prepare all the needs of the palace as well as dance in front of the king and other palace officials. At the beginning of its development, this Badaya dance was used as a powder dance in the Wayang Wong performance, which has now changed its function into a commodity dance which is used as the main material in a series of Sundanese Mapag Panganten Traditional Ceremonies. Changes that occur are not only textual in the form of art, but also to the community itself as an actor in the economic, industrial, political, and tourism sectors. This paper attempts to explain how the process of the Badaya dance becoming a commodity dance in the Mapag Panganten Traditional Ceremony through the thoughts of Raymond Williams and Theodor W. Adorno. The method used is a qualitative method with an ethnographic approach and historical analysis. This study finds that the commodification of Badaya dance has standardization that leads to packaging with compaction of choreography, short duration of performance, glamorous and luxurious clothing, simple make-up, and accessibility of accompanying instruments.