p-Index From 2019 - 2024
1.048
P-Index
This Author published in this journals
All Journal LEX PRIVATUM
Natalia Lengkong
Unknown Affiliation

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search
Journal : LEX PRIVATUM

BERAKHIRNYA PERJANJIAN INTERNASIONAL DITINJAU DARI KONVENSI WINA 1969 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Eliezer Joel Tangkuman; Imelda Amelia Tangkere; Natalia Lengkong
LEX PRIVATUM Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perjanjian Internasional dapat dibatalkan sesuai dengan isi perjanjian, dimana perjanjian internasional dapat dibatalkan sesuai dengan isi perjanjian, atau dapat dibatalkan karena terjadinya pelanggaran ketentuan perjanjian, atau terdapat perubahan yang fundamental, pembatalan perjanjian internasional di atur dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui tahapan-tahapan pembatalan perjanjian internasional di tinjau dari Konvensi Wina tahun 1969 dan akibat hukum apa yang ditimbulkan dengan adanya pembatalan perjanjian internasional sesuai dengan hukum internasional. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Adapun hasil dari penelitian ini Konvensi Wina 1969 telah mengatur tentang berakhirnya pengikatan diri pada suatu perjanjian internasional (termination or withdrawal or denunciation) yang pada dasarnya harus disepakati oleh para pihak pada perjanjian dan diatur dalam ketentuan perjanjian itu sendiri. Konvensi Wina 1969 membedakan pengakhiran perjanjian yang didasarkan kepada kesepakatan para pihak dengan pengakhiran yang dilakukan secara sepihak seperti pembatalan dan penghentian sementara, untuk pengakhiran yang dilakukan sepihak, harus mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh perjanjian itu atau melalui prosedur Konvensi Wina 1969 tentang Invalidity, Termination, Withdrawal from or Suspension of the Operation of Treaty. dan Dampak hukum ataupun konsekuensi dari berakhirnya suatu perjanjian internasional dapat dilihat dalam Konvensi Wina 1969 yang merupakan induk dari pengaturan perjanjian internasional. Dalam pasal 70 yang mengatur mengenai Consequences of the termination of a treaty pada ayat 1 dan 2. Kata Kunci : Pembatalan, Perjanjian Internasional, Konvensi Wina 1969.
Hak dan Kewajiban Negara dalam Keanggotaan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menurut Hukum Organisasi Internasional Audrey L. Manoy; Fernando J.M.M Karisoh; Natalia Lengkong
LEX PRIVATUM Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Artikel ini menjelaskan tentang hak-hak dan kewajiban suatu negara sebagai anggota UNESCO. Melalui penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan data sukunder melalui studi literatur dengan hasil penelitian bahwa Tanggung jawab negara timbul bila terdapat pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan perjanjian internasional maupun berdasarkan pada kebiasaan internasional. Berdasarkan hukum internasional, suatu negara bertanggung jawab bilamana suatu perbuatan atau kelalaian yang dapat dipertautkan kepadanya melahirkan pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik yang lahir dari suatu perjanjian internasional maupun dari sumber hukum internasional lainnya. Dengan demikian, secara umum unsur-unsur tanggung jawab negara adalah: Ada perbuatan atau kelalaian (actor omission) yang dapat dipertautkan (imputable) kepada suatu Negara dan Perbuatan atau kelalaian itu merupakan suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik kewajiban itu lahir dari perjanjian maupun dari sumber hukum internasional lainnya. Negara anggota berkewajiban untuk menunjang program UNESCO dan Untuk menjalankan program-program UNESCO, setiap negara anggota wajib memberikan iurannya sesuai dengan kemampuan membayar dari masing-masing negara yang diukur dengan Pendapatan Nasional Bruto (PNB) setiap negara. Sebaliknya Negara anggota berhak mendapatkan jaminan perlindungan dan pelestarian terhadap budaya-budaya setiap negara yang tidak hanya karena berpotensi mengalami kepunahan, tetapi lebih dari itu yaitu untuk mempertahankan peradaban dunia. UNESCO sebagai sebuah organisasi fungsional tentu harus berkomitmen dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab tersebut. Kata kunci : Hak, Tanggung Jawab Negara, UNESCO
PENERAPAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PENDETENSIAN DIRUMAH DETENSI IMIGRASI (RUDENIM) MANADO BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN Muhammad Rian Abdul; Natalia Lengkong; Feiby S Mewengkang
LEX PRIVATUM Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaturan bagi warga negara asing yang melanggar aturan Keimigrasian di Indonesia dan untuk mengetahui penerapan Standar Operasional Prosedur pendetensian bagi warga negara asing yang melanggar UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Dengan metode penelitian yuridis normatif disimpulkan : 1. Terhadap orang asing yang melanggar aturan keimigrasian diberlakukan Undang-Undang No 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian mengatur mengenai pengawasan terhadap orang asing yang masuk ke Indonesia. dalam keimigrasian terdapat dua jenis pengawasan yaitu: Pengawasan Administrasi dan Pengawasan Operasional. Kedua pengawasan keimigrasian tersebut harus dilaksanakan secara maksimal oleh keimigrasian agar tingkat pelanggaran keimigrasian seperti warga negara asing masuk secara ilegal ke indonesia semakin menurun dengan demikian maka kedaulatan negara juga dapat terlindungi dari intervensi negara lain. 2. Penerapan SOP Pendetensian bagi warga negara asing dilakukan berdasarkan peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: IMI.197- OT.02.01 Tahun 2013 Tentang Standar Operasional Prosedur Rumah Detensi Imigrasi (SOP RUDENIM) yang mengatur ada 6 prosedur yang harus di laksanakan yaitu: a. Pendetensian, b. Pelayanan deteni, c. Penjatuhan sanksi pelanggaran tata tertib, d. Pemindahan deteni e. Penanganan deteni dan f. Pemulangan dan deportasi. Kata Kunci : warga negara asing, aturan Keimigrasian
KERJASAMA PEMERINTAH INDONESIA DAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM PENANGANAN PENGUNGSI DI INDONESIA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL Sindriani Akase; Caecilia J.J Waha; Natalia Lengkong
LEX PRIVATUM Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerjasama pemerintah Indonesia dengan organisasi internasional dalam penanganan pengungsi. Dengan menggunakan metode pemelitian hukum normatif, disimpulkan bahwa: 1. Indonesia telah melaksanakan hokum internasional meengenai perlindungan hukum bagi pengungsi yang diatur dalam Konvensi 1951 dan Protokol New York 1967, serta menjalankan hukum nasional yang mengatur tentang pengungsi di Indonesia yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 126 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. 2. Pemerintah Indonesia telah melaksanakan kerjasama dengan organisasi internasional yakni UNHCR dan IOM dalam penanganan pengungsi ysng berada di Indonesia. UNHCR. memberikan status kepengungsian terhadap para pengungsi dan menyediakan perlindungan bantuan kemanusiaan, sedangkan IOM memfasilitasi semua kebutuhan para pengungsi, seperti perawatan medis, perumahan komunitas, hingga memulangkan para pengungsi ke negara asalnya secara sukarela. Kata Kunci : Kerjasama, Pengungsi, Organisasi Internasional.
PEREKRUTAN TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA SEBAGAI KEJAHATAN PERANG MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Shania Regina Tampilang; Devy K. G. Sondakh; Natalia Lengkong
LEX PRIVATUM Vol. 13 No. 1 (2024): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimana Pengaturan Hukum Humaniter Internasional Tentang Perekrutan Tentara Anak Dalam Konflik Bersenjata Sebagai Kejahatan Perang dan untuk mengetahui bagaimana Penegakkan Hukum Humaniter Internasional yang dapat di terapkan terhadap perekrutan Tentara Anak dalam suatu konflik bersenjata sebagai kejahatan perang. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Hukum humaniter internasional mengatur perekrutan anak sebagai tentara dalam Konvensi Jenewa tentang perlindungan penduduk sipil tahun 1949, dan ketentuan serupa juga diatur dalam Protokol Tambahan II tahun 1977 yang melarang perekrutan anak sebagai tentara. Aturan Hukum Perburuhan Internasional yang melarang mempekerjakan anak di bawah umur juga membatasi perekrutan tentara anak-anak. Perekrutan tentara anak-anak adalah tindakan ilegal menurut Konvensi Internasional Hak Anak dan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak dalam hal menjaga hak asasi anak, Bahkan Statuta Roma tahun 1998 menyatakan bahwa merekrut anak di bawah umur sebagai tentara merupakan kejahatan perang. 2. Penegakan hukum yang dilakukan terhadap Thomas Lubanga adalah melalui mekanisme Mahkamah Pidana Internasional. ICC berwenang mengadili tersangka utama Thomas Lubanga Dyilo karena Kongo dianggap sebagai negara yang tidak mampu (unable) menegakkan sistem hukum nasionalnya berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (3). Kata Kunci : tentara anak, kejahatan perang
TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PERLINDUNGAN CAGAR BUDAYA SAAT KONFLIK BERSENJATA Vanaquesa Pingkan; Natalia Lengkong; Stefan Obaja Voges
LEX PRIVATUM Vol. 13 No. 2 (2024): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perlindungan cagar budaya (cultural property) dalam Hukum Internasional telah ada sejak masa Romawi dan Yunani. Cagar budaya dianggap sebagai bagian dari peradaban kehidupan manusia. Pada masa modern, merusakkan cagar budaya masuk dalam kategori melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan perkembangan yang ada, perlindungan akan cagar budaya mulai dibuat dalam konvensi-konvensi internasional. Ini dibuktikkan dengan hadirnya Konvensi den Haag 1954 yang merupakan konvensi pencetus dari konvensi perlindungan cagar budaya lainnya. Akan tetapi, kehadiran Konvensi den Haag 1954 sebagai salah satu konvensi yang melindungi cagar budaya, tidak bisa menjamin perlindungan yang efektif. Dalam konflik bersenjata internasional antara Rusia dan Ukraina terdapat lebih dari 300 situs cagar budaya yang rusak akibat konflik yang terjadi. Situs ini meliputi tempat ibadah, museum, bangunan bersejarah, monumen bersejarah, perpustakaan dan tempat pengarsipan. Konflik yang terjadi di tempat lainnya juga menghasilkan hal yang sama. Mekanisme yang disediakan telah mencakup keseluruhan proses, baik pada masa damai, saat konflik bersenjata dan sesudah konflik bersenjata. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah negara mengambil langkah preventif pada masa damai untuk mencegah perusakan terjadi di cagar budaya. Selain itu, peran masyarakat dan pihak-pihak terkait juga sangat penting untuk membantu menjaga cagar budaya yang ada. Kata Kunci: Cagar Budaya, Perlindungan, Hukum Internasional, Konflik Bersenjata.