Iswinarno Doso Saputro
Departemen Bedah Rekonstruksi Plastik dan Estetik, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

PENGARUH ORAL N-ACETYLCYSTEIN TERHADAP POLA FAKTOR PERTUMBUHAN ENDOTEL VASKULAR (VEGF) DAN FAKTOR PERTUMBUHAN FIBROBLAS (FGF) PADA MODEL KERETA LISTRIK TIKUS Elisabeth Prajanti Sintaningrum; Iswinarno Doso Saputro; Lobredia Zarasade
Jurnal Rekonstruksi dan Estetik Vol. 5 No. 1 (2020): Jurnal Rekonstruksi dan Estetik, June 2020
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (781.412 KB) | DOI: 10.20473/jre.v5i1.24315

Abstract

Highlights: Kadar rata-rata VEGF pada kelompok tikus yang menerima NAC lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Hasil FGF pada kelompok tikus kontrol lebih tinggi pada hari ke-0 dan hari ke-8 dibandingkan dengan kelompok tikus yang menerima NAC. Di dalam kadar FGF dan VEGF tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok yang menjalani perlakuan dan kelompok kontrol negatif. Abstrak: Latar Belakang:  Luka bakar listrik  menyebabkan cedera serius dengan mortalitas 20-30% dan 74% korban  selamat  dengan  cedera  permanen  dan  sekuel.  Tingkat  nekrosis  pada luka  bakar  seringkali  sulit  untuk  ditentukan  karena sirkulasi mikrovaskuler pada  jaringan  dalam  terlibat.  N- acetylcysteine  (NAC) dapat mengatasi stres oksidatif dan memiliki efek perlindungan  terhadap  kerusakan  jaringan  dari radikal  bebas,  secara  hipotetis  dengan  sekresi berbagai faktor pertumbuhan yang  mempercepat   penyembuhan   luka.   Penelitian  ini  bertujuan  untuk mempelajari pengaruh NAC terhadap tingkat faktor pertumbuhan endotermal vaskular (VEGF) dan faktor pertumbuhan fibroblast  (FGF)  dalam  model  luka bakar listrik tikus. Metode: Penelitian ini menggunakan desain randomized post-test only control group. Dalam penelitian ini, terdapat empat puluh dua tikus jantan galur Wistar yang ditempatkan dalam enam kelompok. Setiap tikus menerima arus bolak listrik sebesar 220 volt dengan intensitas 450-500 mA pada satu ekstremitas. Pengambilan sampel arteri femoralis dilakukan setelah pemberian dosis pertama NAC, setelah dosis pada hari ketiga, dan setelah delapan hari dari masing-masing dosis. Seluruh spesimen arteri femoralis dikenai pewarnaan dengan metode imunohistokimia dan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 300 kali untuk mengevaluasi ekspresi VEGF dan FGF. Data dari seluruh sampel dikumpulkan dan kemudian dianalisis secara statistik. Hasil: Kadar rata-rata VEGF kelompok tikus yang menerima NAC lebih tinggi daripada kelompok kontrol dari awal pengamatan sampai hari ke 8. Hasil FGF pada  tikus  kontrol  lebih  tinggi  pada  hari  ke-0  dan  hari  ke-8  dibandingkan dengan kelompok tikus yang menerima NAC. Namun, dalam tes yang berbeda tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0,05) yang  ditemukan pada pengukuran VEGF dan FGF pada hari yang sama antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Kesimpulan: Tidak ada perbedaan yang signifikan pada VEGF dan FGF antara kelompok kontrol negatif dan kelompok yang menjalani perlakuan.
SUBGLOTTIC STENOSIS (SGS) PASCA TRAUMA INHALASI Jilvientasia Godive Lilihata; Iswinarno Doso Saputro
Jurnal Rekonstruksi dan Estetik Vol. 6 No. 2 (2021): Jurnal Rekonstruksi dan Estetik, Desember 2021
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1875.825 KB) | DOI: 10.20473/jre.v6i2.31836

Abstract

Highlights: Pentingnya evaluasi FOL sejak awal setelah cedera inhalasi. Sekuel cedera inhalasi pada subglotis dapat dicegah dengan menggunakan ETT ukuran kecil dengan tekanan cuff yang tidak terlalu tinggi. Abstrak: Latar Belakang:  Laryngotracheal  stenosis  (LTS)  terjadi  pada  24-53%  pasien pasca trauma inhalasi Insiden komplikasi pasca pembedahan LTS adalah 33- 34% dan mortalitas pasca pembedahan adalah 1,5-2%.SGS sering terjadi pada cedera inhalasi pasca intubasi. Ilustrasi Kasus: Pasien  dengan  luka  bakar  pada  area  wajah  dan  keempat ekstremitas,  akibat  ledakan  tabung  gas  pada  ruangan  tertutup.  Sembilan  jam pasca  trauma,  pasien  mengeluhkan  kesulitan  bernapas.  Pasien  diintubasi selama 2 hari pasca trauma dan 5 kali intubasi lainnya dengan ETT cuff 6,5 mm untuk  tindakan  operasi.  Tidak  ada  data  tekanan  cuff  pasien.  Hari  ke-38 perawatan  di  rumah  sakit,  pasien  mengeluh  suaranya  serak  dan  terkadang merasa sulit bernapas. Hasil fiber optic laryngoscopy (FOL) pasien menunjukan 30%  penyempitan  pada  subglotis.  Pasien  didiagnosis  dengan  SGS  stadium  1. Pasien tidak membutuhkan tindakan pembedahan dan hanya diobservasi. Hasil: Evaluasi FOL sebaiknya dilakukan sejak awal setelah cedera inhalasi. Namun, pada pasien kami, evaluasi FOL baru dilakukan setelah gejala SGS muncul. Risiko peningkatan SGS terkait dengan keparahan cedera inhalasi, tingkat peradangan, durasi penggunaan tabung endotrakeal (ETT) yang lama (lebih dari 10 hari), penggunaan ETT yang besar, dan intubasi berulang. Tekanan cuff pada ETT bisa menyebabkan masalah seperti bekas luka dan penyempitan pada subglotis. Tekanan cuff yang direkomendasikan adalah 20-30 cmH2O, dan perlu diukur dan disesuaikan setiap 4-12 jam. Pasien kami mengalami intubasi sebanyak 6 kali tanpa pengukuran tekanan cuff. Stadifikasi SGS sering menggunakan sistem Cotton Meyer staging, di mana Stadium 1 SGS biasanya tidak memerlukan tindakan pembedahan. Kesimpulan: Sekuel cedera inhalasi pada subglotis dapat dicegah dengan melakukan intubasi sesuai indikasi dan menggunakan Endotracheal Tube (ETT) ukuran kecil dengan tekanan cuff yang tidak terlalu tinggi. Hal ini dapat membantu mengurangi risiko terjadinya Subglottic Stenosis (SGS) yang serius.