Tulisan ini membahas wali nikah dalam tinjauan imam syafii dan imam hanafi. Wali nikah sebagaimana diketahui bahwa merupakan bagian dari persoalan pernikahan yang keberadaannya masih diperselisihkan. Dalam suatu pernikahan, konsep perwalian ini merupakan bagian yang tak terpisahkan sebab hal ini merupakan salah satu dari syarat legal pernikahan Islam yang harus dipenuhi. Perempuan yang menikah harus menggunakan wali? Mayoritas ulama mewajibkan, namun bagi Imam Abu Hanifah Status wali nikah dalam suatu akad nikah adalah sunah, bukan fardlu yang bisa membatalkan perkawinan, hanya saja wali memiliki hak untuk menyetujui pernikahan atau tidak. Dan perempuan bisa menjadi wali dalam suatu akad nikah, selain itu perempuan yang sudah dewasa kamal al-ahliyyah bisa menikahkan dirinya sendiri ataupun menjadi wakilnya. Tulisan ini termasuk kedalam jenis penelitian kepustakaan (library research), yang bersifat deskriptif analisis. Teknik pengumpulan datanya adalah dengan mencari dan mengumpulkan kitab-kitab dan buku-buku serta jurnal atau blog, terutama yang berkaitan dengan studi masalah ini, kemudian menggunakan pendekatan Ushul Fiqh dan Qaidah Fiqhiyyah. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan penyusun, hasilnya sebagai berikut Menurut Imam Syafi’i, kehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak sah. Imam Hanafi berpendapat bahwa apabila seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa wali, sedang calon suaminya sebanding (kufu’), maka pernikahan boleh. Menikahkan dirinya dan anak perempuannya yang masih belum dewasa (kecil) dan dapat pula sebagai wakil dari orang lain. Tetapi sekiranya wanita itu ingin kawin dengan seorang laki-laki yang tidak kufu’, maka wali dapat menghalanginya. Menurut golongan Hanafiyah, keberadaan wali dalam Suatu perkawinan hukumnya sunnah.