Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

WALI NIKAH DALAM PERSPEKTIF IMAM SYAFI’I DAN IMAM HANAFI Muhammad Ridho; Abd Hannan
AL-MUQARANAH Vol 1 No 2 (2023): Agustus
Publisher : Prodi Perbandingan Madzah Fakultas Syari'ah Universitas Islam Zainul Hasan Genggong Probolinggo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tulisan ini membahas wali nikah dalam tinjauan imam syafii dan imam hanafi. Wali nikah sebagaimana diketahui bahwa merupakan bagian dari persoalan pernikahan yang keberadaannya masih diperselisihkan. Dalam suatu pernikahan, konsep perwalian ini merupakan bagian yang tak terpisahkan sebab hal ini merupakan salah satu dari syarat legal pernikahan Islam yang harus dipenuhi. Perempuan yang menikah harus menggunakan wali? Mayoritas ulama mewajibkan, namun bagi Imam Abu Hanifah Status wali nikah dalam suatu akad nikah adalah sunah, bukan fardlu yang bisa membatalkan perkawinan, hanya saja wali memiliki hak untuk menyetujui pernikahan atau tidak. Dan perempuan bisa menjadi wali dalam suatu akad nikah, selain itu perempuan yang sudah dewasa kamal al-ahliyyah bisa menikahkan dirinya sendiri ataupun menjadi wakilnya. Tulisan ini termasuk kedalam jenis penelitian kepustakaan (library research), yang bersifat deskriptif analisis. Teknik pengumpulan datanya adalah dengan mencari dan mengumpulkan kitab-kitab dan buku-buku serta jurnal atau blog, terutama yang berkaitan dengan studi masalah ini, kemudian menggunakan pendekatan Ushul Fiqh dan Qaidah Fiqhiyyah. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan penyusun, hasilnya sebagai berikut Menurut Imam Syafi’i, kehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak sah. Imam Hanafi berpendapat bahwa apabila seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa wali, sedang calon suaminya sebanding (kufu’), maka pernikahan boleh. Menikahkan dirinya dan anak perempuannya yang masih belum dewasa (kecil) dan dapat pula sebagai wakil dari orang lain. Tetapi sekiranya wanita itu ingin kawin dengan seorang laki-laki yang tidak kufu’, maka wali dapat menghalanginya. Menurut golongan Hanafiyah, keberadaan wali dalam Suatu perkawinan hukumnya sunnah.
PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN Robiatun Hasanah; Abd Hannan
AS-SAKINAH Vol 1 No 2 (2023): Agustus
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syari'ah Universitas Islam Zainul Hasan Genggong Probolinggo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Manusia adalah makhluk hidup termulia yang di karuniai akal pikiran dalam memandang proses perkawinan, perkawinan adalah sesuatu yang sakral dalam ajaran agama dan kepercayaan. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang-undang ini terdiri dari 14 BAB dan 67 Pasal dan untuk implementasinya dilengkapi Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaannya dan dinyatakan berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975. Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Perkawinan menegaskan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan UUD 1945. Hal ini menegaskan sifat keagamaan dari sebuah perkawinan.