Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Perkawinan Lintas Agama Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif: Interfaith Marriage Perspective of Islamic Law and Positive Law Stelvia Wemly Noya; Hamzah Mardiansyah; Budi Srianto; Kalijunjung Hasibuan; Muhammadong
Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 7 No. 5: MEI 2024
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/jks.v7i5.2619

Abstract

Perkawinan menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila terjadi perkawinan lintas agama, maka Perkawinan yang dilangsungkan oleh pihak laki-laki dengan perempuan baik dalam pandangan hukum islam tidaklah sah dan tidak dibolehkan sebagaiamana dalam Q.S. Al Baqarah ayat 221). Kemudian dalam Pasal 40 huruf c KHI menegaskan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Begitu pula ditegaskan dalam Pasal 44 KHI bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam, sejalan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang dikeluarkan pada tanggal 1 Juni 1980. Selain itu, Fatwa MUI 4/2005 juga menegaskan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Sedangkan menurut hukum positif, perkawinan lintas agama juga dilarang sebagaimana Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Di samping itu ketentuan Pasal 8 (f), bahwa Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku, dilarang kawin. Bahkan dengan diterbitkan SE Ketua MA 2/2023 tentang petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antar umat berbeda agama dan kepercayaan, maka pernikahan beda agama adalah tidak dapat dicatatkan karena jika diajukan ke pengadilan, hakim tidak dapat dikabulkan permohonan pencatatan perkawinannya.
Perlindungan Hukum bagi Debitur Macet Kredit dan Mengalamai Perampasan di Jalan: Legal Protection for Debtors with Bad Credit and Experiencing Robbery on the Street Yohanes Pande; Karolus Charlaes Bego; Hamzah Mardiansyah; Stefanus H. Gusti Ma; Christina Bagenda
Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 7 No. 5: MEI 2024
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/jks.v7i5.5342

Abstract

Salah satu klausul penting dalam perjanjian kredit adalah terkait jaminan kredit. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, diketahui bahwa bank wajib mempunyai keyakinan bahwa debitur akan mengembalikan hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Keyakinan tersebut didasarkan atas hasil analisa kreditur terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha debitur. Terkait dengan jaminan kredit, agunan merupakan salah satu bentuk dari jaminan kebendaan. perlindungan hukum terhadap debitur apabila terjadi kredit macet, terutama terhadap debitur yang mengalami musibah sehingga tidak memiliki kemampuan untuk membayar kredit, dapat teratasi dengan jalan Rescheduling, Reconditioning, Restructuring atau kombinasi ketiganya dan jalan yang terakhir yaitu Eksekusi. Artinya, perlindungan hukum terhadap debitur tetap dilakukan oleh kreditur sepanjang pihak debitur mempunyai itikad baik dan peristiwa yang menyebabkan terjadinya kredit macet tidak dilakukan secara sengaja oleh debitur. Dan pihak kreditur juga tidak boleh secara sepihak ingin merampas atau mengambil barang jaminan atau mengambil barang (kendaraan) yang beli secara kredit apabila pihak debitur mengalami macet kredit.