Menurut sejarah, pengakuan bersalah pada sistem peradilan pidana sudah dikenal sejak zaman kuno. Bahkan, pengakuan bersalah dapat dijadikan dasar yang kuat bagi hakim untuk memutus suatu perkara. Pengakuan terdakwa di dalam proses persidangan bisa berupa pengakuan secara lisan ataupun secara tulisan. Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa, yang mensyaratkan bahwa pemeriksaan dan pembuktian lebih lanjut perlu untuk dilakukan. Dalam pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi “keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai alat bukti yang lain”. Bahkan Majelis Hakim dalam proses persidangan untuk menjatuhkan putusan minimal ada dua alat bukti sah yang dijadikan sebagai pijakan, sebagaimana dijelaskan pada Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga menjelaskan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.