p-Index From 2019 - 2024
0.408
P-Index
This Author published in this journals
All Journal Amerta
I Made Geria
Pusat Riset Arkeologi Lingkungan Maritim dan Budaya Berkelanjutan, BRIN

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

OPTIONS FOR JOINT ARCHAEOLOGICAL, ETHNO-ARCHAEOLOGICAL, AND ANTHROPOLOGICAL RESEARCH IN PAPUA Marian Vanhaeren; I Made Geria; Gusti Made Sudarmika; Hari Suroto; Enrico Kondologlt; Wulf Schiefenhoevel
AMERTA Vol. 40 No. 1 (2022)
Publisher : Badan Riset dan Inovasi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55981/amt.2022.16

Abstract

Abstrak. Opsi untuk Penelitian Arkeologi Bersama, Ethno-Arkeologi dan Antropologi di Papua. Papua memiliki potensi arkeologi yang besar, serta masih dijumpai tradisi prasejarah yang masih berlangsung hingga saat ini. Provinsi Papua dan Papua Barat menawarkan kesempatan yang sangat menarik untuk penelitian interdisipliner di bidang prasejarah dan keragaman budaya. Temuan arkeologis menunjukkan bahwa manusia mendiami bagian timur New Guinea sekitar 40.000-50.000 tahun yang lalu. Karena imigrasi utama kemungkinan besar terjadi dari barat Pulau New Guinea dihuni lebih awal. Penelitian arkeologi dan terkait sejauh ini hanya menetapkan beberapa situs dan bukti-bukti lain dari hunian awal manusia prasejarah di Papua Nugini. Tulisan ini bertujuan menggambarkan potensi penelitian arkeologi, antropologi, etnografi di Papua dan menyebutkan secara khusus penelitian arkeologi dan etnoarkeologi di Kabupaten Pegunungan Bintang, di wilayah suku Mek dan Ok. Metode penelitian dalam tulisan ini yaitu studi pustaka, survei, ekskavasi dan pendekatan etnoarkeologi. Hasil penelitian menunjukan bahwa pegunungan Papua menjadi pusat pertanian awal di dunia. Hingga saat ini masih dijumpai tradisi prasejarah di Papua yaitu pembuatan kapak batu, alat tulang dan tradisi megalitik. Tradisi prasejarah ini dijumpai di wilayah pegunungan dan pesisir. Penelitian, pertanggalan absolut situs dan publikasi arkeologi Papua masih sedikit jika dibandingkan dengan Papua Nugini. Hal ini menjadi potensi ke depan untuk melakukan penelitian dan publikasi bersama. Kata kunci: Etnografi, prasejarah, warisan budaya, rumah peradaban   Abstract. With its prehistoric tradition still found to this present day, Papua is considered to have high archaeological potential. Papua and West Papua Provinces offer particularly interesting opportunities for interdisciplinary research in prehistory and cultural diversity. Archaeological findings show that humans inhabited the eastern half of New Guinea (NG) at least 40,000–50,000 years ago. As primary immigration most likely happened from west to east, the western half of the island of NG must have been inhabited even earlier. Archaeological and related research has established only a few sites and other signs of early human occupancy in the Indonesian part of NG. This review describes the potential of archaeological, anthropological, and ethnographic research in the Indonesian Papuan Provinces and specifically discusses recent ethnographic, archaeological, and ethno-archaeological work carried out in the Star Mountain Regency among the Mek and the Ok. The research methods employed in this research were literature review, survey, excavation, and ethnoarchaeological approaches. The findings show that Papuan highlands became one of the earliest centres of horticulture. Until now, there are still prehistoric traditions found in Papua, such as stone adzes, bone tools, and megalithic traditions. These prehistoric traditions are easily found in the highlands and coastal areas. Research sites absolute dating, and archaeological publication related to Papua is still considered low compared to PNG. Many facets of Papuan cultural diversity are still to be discovered for future research and collaborative publication.   Keywords: Ethnography, prehistory, cultural heritage, rumah peradaban  
PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BERKELANJUTAN DI BALI BAGIAN SELATAN Titi Surti Nastiti; I Made Geria; Atina Winaya; Ni Putu Eka Juliawati; Harry Octavianus Sofian; Retno Handini; I Gusti Made Suarbhawa; Unggul Wibowo; I Wayan Windia; Suyarto
AMERTA Vol. 40 No. 1 (2022)
Publisher : Badan Riset dan Inovasi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55981/amt.2022.18

Abstract

Abstrak. Berdasarkan sumber prasasti, diketahui bahwa kearifan lokal masyarakat Bali dalam mengelola sumber daya air setidaknya telah ada sejak abad ke-11. Adapun pertanian dengan sistem subak muncul sejak abad ke-8. Pengelolaan sumber daya air dalam masyarakat Bali berpijak pada pemuliaan air dan alam sekitarnya yang berpedoman pada konsep Tri Hita Karana yang terdiri atas Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan. Parhyangan berkenaan dengan kepercayaan pemuliaan air melalui upacara ritual. Pawongan berkenaan dengan warga desa adat yang mengelola sumber daya air sesuai aturan yang disepakati (awig-awig). Kemudian palemahan berkenaan dengan pengelolaan tata ruang yang mempertimbangkan resapan air, pemuliaan vegetasi, pengaturan pola hunian, dan keselarasannya dengan sumber air. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi nilai-nilai kearifan di dalam pengelolaan sumber daya air di Bali beserta status keberlanjutannya. Adapun metode yang digunakan adalah studi kepustakaan, survei, analisis deskriptif, serta analisis keberlanjutan dengan metode Multi-Dimensional Scalling (MDS). Hasil analisis menunjukkan bahwa status keberlanjutan pengelolaan air mempunyai nilai relatif tinggi pada dimensi sosial-budaya dan nilai relatif rendah pada dimensi ekonomi-ekologi. Oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan melalui strategi kebijakan guna menyelaraskan setiap dimensi pembangunan berkelanjutan agar peradaban pengelolaan air di Bali, khususnya di Bali Selatan, dapat berlangsung optimal. Kata kunci: pengelolaan air, budaya berkelanjutan, Bali Abstract. Sustainable Water Resources Management in South Bali. The ancient Bali inscriptions inform that the Balinese people had developed water management based on their local wisdom since at least the 11th century. The agricultural irrigation system called Subak has existed even further since the 8th century. The water management system in Balinese society accentuates revering and honoring the water and its natural surroundings by applying the Tri Hita Karana concept in everyday life, which consists of Parhyangan, Pawongan, and Palemahan. Parhyangan is related to the belief in revering the water through ritual ceremonies. Pawongan is associated with the traditional village residents who managed water resources following agreed rules (awig-awig). Finally, Palemahan is related to spatial management by considering water conservation areas, vegetation areas, and occupancy areas with its water source’s sustainability. The study aims to identify the local knowledge in water management practices and determine the continuity status of its constancy. The data collection uses literature study, survey, descriptive analysis, and Multi-Dimensional Scaling analysis. The results represent that the sustainability status of water management has a relatively high score in the social-culture dimension. In contrast, it has a relatively low score in the economy and ecology dimensions. Therefore, it needs policy strategies to balance every extent of Bali’s water management so it can be optimized, especially in the South Bali area. Keywords: water management, cultural sustainability, Bali