Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Indonesia Berdaya

Persoalan Lingkungan Hidup dalam UU Cipta Kerja dan Arah Perbaikannya Pasca Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 Fathul Hamdani; Ana Fauzia; Eduard Awang Maha Putra; Eno Liska Walini; Bagus Ageng Pambudi; Lalu Nahudatu Akbariman
Indonesia Berdaya Vol 3, No 4: August-October 2022
Publisher : UKInstitute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47679/ib.2022302

Abstract

One the things in the Law Number 11 year of 2020 about Job Creation that cause problem is the deletion of an article concerning Environmental Permit Obligations. Environmental Permit Obligation is not strictly regulated in the Law of Job Creation. However, a petitioner must get a ruling about Environmental Eligibility to be permitted in running a business. Environmental Permission’s Nomenclature and Substance in Law of Environmental Protection and Management is changed into Environmental Agreement in the Law of Job Creation. The purpose of writing this article is to analyze environmental disputes in the Law of Job Creation, analyze environmental issue connected to Human Right, and also suggest improvement concerning environmental provision after the constitutional court’s decision number 91/PUU-XVIII/2020. The result of the research indicate that in order for a legal product that is born to be functional in the order of life of the nation and state, the legal product must accommodate what is the soul of the nation, which must be in accordance with and in harmony with the values contained in the Constitution. In addition, the right to the environment is one of the human rights regulated by the constitution, so that the revision of the Job Creation Law after the Constitutional Court’s decision related to the environment must prioritize human rights and sustainable development, especially by accommodating related environmental permit obligations in the form of Environmental Impact Assessment. Abstrak: Salah satu hal di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang memunculkan persoalan adalah dihapusnya pasal mengenai kewajiban izin lingkungan. Dalam UU Cipta Kerja, izin lingkungan tidak diatur secara tegas. Namun, untuk mendapatkan izin berusaha, pemohon harus mendapatkan keputusan mengenai kelayakan lingkungan. Izin Lingkungan dalam UU PPLH diubah nomenklatur dan substansinya menjadi persetujuan lingkungan dalam UU Cipta Kerja. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengkaji permasalahan lingkungan hidup dalam UU Cipta Kerja, mengkaji isu lingkungan hidup dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, serta memberikan saran perbaikan mengenai ketentuan lingkungan hidup pasca Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agar suatu produk hukum yang dilahirkan menjadi fungsional dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, maka produk hukum tersebut harus mengakomodir apa yang menjadi jiwa bangsa, yakni harus sesuai dan selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Konstitusi. Selain itu , hak atas lingkungan hidup adalah salah satu hak asasi yang diatur oleh Konstitusi, sehingga revisi UU Cipta Kerja pasca putusan MK terkait lingkungan hidup harus mengedepankan hak asasi manusia dan pembangunan yang berkelanjutan, khususnya dengan mengakomodir terkait kewajiban izin lingkungan berupa Amdal.
Pelayanan Publik dalam Pelaksanaan Perlindungan Warga Negara melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Eduard Awang Maha Putra; Putri Rizkika Bahri; Suci Rizki Ananda; Baiq Riska Anggi Safitri
Indonesia Berdaya Vol 5, No 2 (2024)
Publisher : UKInstitute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47679/ib.2024805

Abstract

The manifestation of public services in health services is the establishment of the Social Security Organizing Agency (BPJS), but the concept and practice in the field are often contradictory. So this study aims to analyze the Concept and Practice of Public Services by BPJS Health. The writing method used is normative legal writing, using statutory and conceptual approaches. The results showed that BPJS Kesehatan as a health service institution was formed based on Law No. 24 of 2011 concerning BPJS and BPJS Kesehatan is obliged to have Public Service Standards. In practice, health services for patients with self-financing and insurance tend to be prioritized, while BPJS Health patients are always neglected. The factors causing the low quality of health services for BPJS Kesehatan patients are in terms of regulations, namely the absence of regulations related to standardization in the limitation of service quota provision. The law enforcement factor is due to the lack of maximum or optimal internal supervision functions from the Ministry of Health, Hospital Supervisory Board, and BPJS Health in ensuring that service restrictions do not occur in all Health Facilities. The facility factor, which is still inadequate and limited health workers and inadequate facilities provided such as limited rooms, medical equipment, and medicines—the community factor influences because in practice there are often bribes between some elements of the community.Abstrak: Manifestasi pelayanan publik dalam pelayanan kesehatan yakni dibentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akan tetapi antara konsep dan prakteknya di lapangan kerapkali bertolak belakang. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Konsep dan Praktek Pelayanan Publik oleh BPJS Kesehatan. Metode penulisan yang digunakan adalah penulisan hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukan bahwa BPJS Kesehatan sebagai lembaga pelayanan kesehatan dibentuk atas dasar UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS dan BPJS Kesehatan berkewajiban untuk memiliki Standar Pelayanan Publik (SPP). Dalam prakteknya pelayanan kesehatan pasien dengan pembiayaan sendiri dan asuransi cenderung lebih diutamakan, sementara pasien BPJS Kesehatan selalu dianaktirikan. Adapun faktor-faktor penyebab rendahnya kualitas pelayanan kesehatan bagi pasien BPJS Kesehatan yakni dari segi regulasi tidak adanya regulasi terkait dengan standarisasi dalam batasan pemberian kuota layanan. Dari faktor penegak hukum disebabkan kurang maksimal atau optimalnya fungsi pengawasan internal dari Kemenkes, Badan Pengawas Rumah Sakit dan BPJS Kesehatan dalam memastikan agar pembatasan layanan tidak terjadi di seluruh Fasilitas Kesehatan. Dari faktor sarana yakni masih kurang memadai dan terbatasnya tenaga kesehatan dan tidak memadainya fasilitas yang diberikan seperti terbatasnya ruangan, alat medis, dan obat-obatan. Faktor masyarakat mempengaruhi karena dalam praktiknya kerap kali terjadi sogok menyogok antara beberapa oknum masyarakat.