Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Refleksi dan Naratif Self and Others: Kajian Sense of Place Anak Terhadap Lingkungan Tempat Tinggal Melalui Auto-Etnografi (Reflection and Narrative of Self and others: Study of Children Sense of Place toward Their Environment Through Auto-Ethnography) Prakoso, Susinety
Journal of Regional and City Planning Vol 26, No 3 (2015)
Publisher : The ITB Journal Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (941.564 KB) | DOI: 10.5614/jpwk.2015.26.3.5

Abstract

Penelitian auto-etnografi merupakan penelitian yang bertujuan untuk memahami pengalaman budaya tertentu melalui naratif diri dan pengalaman personal. Dalam tulisan ini, penelitian auto-etnografi dipilih sebagai pendekatan alternatif untuk memahami konsep sense of place pada anak-anak. Tulisan auto-etnografi ini merupakan bentuk deskripsi narasi diri yang menempatkan diri dalam konteks sosial tertentu. Tulisan ini berangkat dari refleksi diri (self) melalui suara (voice) seorang perempuan mengenai bagaimana sense of place masa kanak-kanaknya terhadap lingkungan tempat tinggal membentuk pandangan dan sikapnya sebagai diri (self) seorang ibu terhadap sense of place kedua orang anak-anaknya (others) pada lingkungan tempat tinggal. Metode pengumpulan data dilakukan dengan mengandalkan ingatan lingkungan tempat tinggal masa kecil, ingatan masa sekarang dan diperkuat dengan data wawancara dengan keluarga dan dokumentasi pribadi. Aspek place dalam penelitian ini berada di ruang dan waktu masa kini dan di ruang dan waktu masa lalu. Hasil penelitian menunjukkan sense of place anak-anaknya (others), bukan karena persepsi negatif mereka terhadap lingkungan tempat tinggal, tetapi karena kehidupan keseharian anak-anak (others) yang telah terperangkap dalam situasi institusionalisasi dan familialisasi yang diciptakan oleh diri sendiri (self). Bila direfleksikan, bukan karena perubahan jaman atau perbedaan gaya hidup maupuun budaya bermain, tapi lebih pada bagaimana pengalaman diri yang dipengaruhi oleh masa lalu, mempengaruhi bagaimana diri bersikap dan berpandangan pada kehidupan anak-anaknya, termasuk pada sense of place anak-anaknya.Kata kunci. Auto-etnografi, anak, ibu, sense of place, lingkungan tempat tinggal. Auto-ethnographic studies are aimed at understanding particular cultural experiences through self-narratives and personal experiences. In this paper, auto-ethnography was chosen as an alternative approach to understanding the concept of children’s sense of place. This auto-ethnographic paper is a form of self-narrative description that puts the self in a particular social context. It departs from self reflection through a woman’s voice about how the sense of place from her childhood home environment has shaped the view of and attitude towards herself as a mother (self) with respect to her children’s (others) sense of place from their childhood home environment. The data gathering method consisted of relying on the woman’s childhood memories about her home environment, present-day memories, supplemented with data from interviews with family members, also using family documents. The aspect of place in this auto-ethnographic research is situated between the space and time of today and the space and time of the past. The results of this study indicate that the sense of place of the children (others) is not formed by negative perceptions of their home environment, but by their everyday lives that are caught in situations of institutionalization and familialization created by the self itself. Upon reflection, it is not formed by a change of times, lifestyle, or play culture but rather by the way the past influences self experience, by the way the self behaves itself, and by the view on the children’s lives, including their sense of place.Keywords. Auto-ethnography, child, mother, sense of place, home environments.
Refleksi dan Naratif Self and Others: Kajian Sense of Place Anak Terhadap Lingkungan Tempat Tinggal Melalui Auto-Etnografi (Reflection and Narrative of Self and others: Study of Children Sense of Place toward Their Environment Through Auto-Ethnography) Susinety Prakoso
Journal of Regional and City Planning Vol. 26 No. 3 (2015)
Publisher : The Institute for Research and Community Services, Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.5614/jpwk.2015.26.3.5

Abstract

Penelitian auto-etnografi merupakan penelitian yang bertujuan untuk memahami pengalaman budaya tertentu melalui naratif diri dan pengalaman personal. Dalam tulisan ini, penelitian auto-etnografi dipilih sebagai pendekatan alternatif untuk memahami konsep sense of place pada anak-anak. Tulisan auto-etnografi ini merupakan bentuk deskripsi narasi diri yang menempatkan diri dalam konteks sosial tertentu. Tulisan ini berangkat dari refleksi diri (self) melalui suara (voice) seorang perempuan mengenai bagaimana sense of place masa kanak-kanaknya terhadap lingkungan tempat tinggal membentuk pandangan dan sikapnya sebagai diri (self) seorang ibu terhadap sense of place kedua orang anak-anaknya (others) pada lingkungan tempat tinggal. Metode pengumpulan data dilakukan dengan mengandalkan ingatan lingkungan tempat tinggal masa kecil, ingatan masa sekarang dan diperkuat dengan data wawancara dengan keluarga dan dokumentasi pribadi. Aspek place dalam penelitian ini berada di ruang dan waktu masa kini dan di ruang dan waktu masa lalu. Hasil penelitian menunjukkan sense of place anak-anaknya (others), bukan karena persepsi negatif mereka terhadap lingkungan tempat tinggal, tetapi karena kehidupan keseharian anak-anak (others) yang telah terperangkap dalam situasi institusionalisasi dan familialisasi yang diciptakan oleh diri sendiri (self). Bila direfleksikan, bukan karena perubahan jaman atau perbedaan gaya hidup maupuun budaya bermain, tapi lebih pada bagaimana pengalaman diri yang dipengaruhi oleh masa lalu, mempengaruhi bagaimana diri bersikap dan berpandangan pada kehidupan anak-anaknya, termasuk pada sense of place anak-anaknya.Kata kunci. Auto-etnografi, anak, ibu, sense of place, lingkungan tempat tinggal. Auto-ethnographic studies are aimed at understanding particular cultural experiences through self-narratives and personal experiences. In this paper, auto-ethnography was chosen as an alternative approach to understanding the concept of children's sense of place. This auto-ethnographic paper is a form of self-narrative description that puts the self in a particular social context. It departs from self reflection through a woman's voice about how the sense of place from her childhood home environment has shaped the view of and attitude towards herself as a mother (self) with respect to her children's (others) sense of place from their childhood home environment. The data gathering method consisted of relying on the woman's childhood memories about her home environment, present-day memories, supplemented with data from interviews with family members, also using family documents. The aspect of place in this auto-ethnographic research is situated between the space and time of today and the space and time of the past. The results of this study indicate that the sense of place of the children (others) is not formed by negative perceptions of their home environment, but by their everyday lives that are caught in situations of institutionalization and familialization created by the self itself. Upon reflection, it is not formed by a change of times, lifestyle, or play culture but rather by the way the past influences self experience, by the way the self behaves itself, and by the view on the children's lives, including their sense of place.Keywords. Auto-ethnography, child, mother, sense of place, home environments.
Live-Work Housing Concept for Rusunawa in Indonesia: Is it Possible? Vina Triyuliana; Susinety Prakoso
Journal of Regional and City Planning Vol. 31 No. 2 (2020)
Publisher : The Institute for Research and Community Services, Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.5614/jpwk.2020.31.2.2

Abstract

Living and working in the same unit is part of the everyday life of low-income people who live in slum areas to overcome their economic situation. However, when they are evicted from slums and relocated to Rusunawa (vertical public rental housing), their live-work life is no longer possible. Empirically, living in Rusunawa puts many residents in financial difficulties. This article is aimed to investigate the feasibility of a live-work housing concept for Rusunawa. Based on observations at Rusunawa Pesakih in West Jakarta, this article revealed that only 48% of a total of 64 commercial spaces provided by Rusunawa were occupied for home industry businesses. In-depth interviews with 40 residents showed that 70% of them had a diversity of potential skills related to home industries. However, their skills were unchanneled and unaccommodated. This article also found that 35% of them did take-home work-related activities in the corridors of Rusunawa. The findings indicated that there is a potential for live-work life in Rusunawa and an opportunity to bring back the live-work life into Rusunawa. This article proposes design recommendations for live-work housing concepts for Rusunawa by increasing the percentage of workplace units from 10% to 25% and by categorizing the Rusunawa units into four types according to the characteristics of the home industry: the regular type (36 m2), the live-with type (40 m2), the live-near type (40-54 m2), and the live-nearby type (60-70 m2). This article may provide inspiration for policymakers and architectural designers for future planning and design of Rusunawa that empower residents economically.Abstrak. Tinggal dan bekerja di unit yang sama adalah bagian dari kehidupan sehari-hari orang-orang berpenghasilan rendah yang tinggal di daerah kumuh untuk mengatasi situasi ekonomi mereka. Namun, ketika mereka diusir dari permukiman kumuh dan dipindahkan ke Rusunawa, lapangan kerja mereka hilang. Secara empiris, tinggal di Rusunawa menyebabkan kesulitan keuangan warga. Artikel ini bertujuan untuk menyelidiki kemungkinan konsep perumahan live-work untuk Rusunawa. Berdasarkan pengamatan di Rusunawa Pesakih di Jakarta Barat, artikel ini menemukan bahwa hanya 48% dari total 64 ruang komersial yang disediakan oleh Rusunawa ditempati untuk bisnis industri rumahan. Wawancara mendalam dengan 40 penduduk menunjukkan bahwa 70% dari mereka memiliki keterampilan keragaman potensial yang terkait dengan industri rumah tangga. Namun, keterampilan mereka tidak tersalurkan dan tidak diakomodasi. Artikel ini juga menemukan bahwa 35% dari mereka melakukan kegiatan yang terkait dengan pekerjaan di rumah di koridor Rusunawa. Temuan ini mengungkapkan bahwa ada potensi kehidupan live-work di Rusunawa dan kesempatan untuk membawa kembali kehidupan live-workke Rusunawa. Artikel ini mengusulkan rekomendasi desain konsep perumahan live-workuntuk Rusunawa dengan meningkatkan persentase unit tempat kerja dari 10% menjadi 25% dan dengan mengelompokkan unit Rusunawa menjadi empat jenis sesuai dengan karakteristik industri rumah. Mereka adalah tipe reguler (36 m2), tipe live-with (40 m2), tipe live-near (40-54 m2) dan tipe live-nearby (60-70 m2). Artikel ini dapat memberikan inspirasi bagi pembuat kebijakan dan perancang perumahan untuk perencanaan dan desain Rusunawa di masa depan yang dapat memberdayakan penghuninya secara ekonomis.Kata kunci. Desain perumahan publik, Rusunawa, perumahan berpenghasilan rendah, konsep live-work.
RASA KELEKATAN ANAK PADA RUANG PUBLIK TERPADU RAMAH ANAK (RPTRA) Susinety Prakoso; Julia Dewi
NALARs Vol 17, No 1 (2018): NALARs Volume 17 Nomor 1 Januari 2018
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24853/nalars.17.1.1-10

Abstract

ABSTRAK. Fakta empiris membuktikan bahwa kehadiran suatu taman lingkungan dapat berkontribusi pada terbentuknya rasa kelekatan seseorang, termasuk anak, pada tempat. Rasa kelekatan anak pada tempat perlu ada dan penting karena memberikan kontribusi positif bagi perkembangan fisik dan mental anak. Tulisan ini bertujuan untuk memahami apakah kehadiran RPTRA, yang secara ekstensif dibangun oleh Pemprov DKI Jakarta sejak tahun 2015, telah berkontribusi pada terbentuknya rasa kelekatan anak pada tempat? Apakah RPTRA telah menjadi tempat favorit anak? Bagaimana rasa kelekatan anak terhadap RPTRA dapat dipahami melalui dimensi pembentuk rasa kelekatan anak pada tempat? Lokasi studi adalah 10 RPTRA yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta. Pengukuran dan pemahaman rasa kelekatan anak terhadap RPTRA dilakukan melalui observasi, wawancara dan pengisian kuesioner oleh pengguna anak (n=597) di lokasi RPTRA.  Hasil pengukuran menunjukkan 77% responden anak menyatakan ada rasa kelekatan terhadap RPTRA dan 95% responden anak memberikan penilaian positif terhadap RPTRA sebagai tempat favorit mereka. Rasa kelekatan anak terhadap RPTRA dibentuk oleh 1) dimensi penggunaan RPTRA secara kolektif oleh anak bersama teman dan keluarga 2) dimensi tempat, seperti: kemudahan akses dan kedekatan lokasi RPTRA dengan rumah tinggal, keamanan, ketersediaan fasilitas ruang luar untuk bermain, dan ketersediaan fasilitas ruang dalam untuk belajar dan melakukan berbagai aktivitas terstruktur yang edukatif; 3) Dimensi proses, seperti: peluang untuk melakukan berbagai aktivitas di RPTRA, pengalaman yang berulang bersama teman sebaya dan keluarga, kemudahan pergerakkan bolak balik ke RPTA, dan durasi waktu. Kata kunci: Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA), anak, rasa kelekatan pada tempat ABSTRACT. Empirically, the availability of parks contributed to the development of children’s place attachment. Having a sense of place attachment is essential for children’s physical and mental well-being. This paper aimed to obtain an understanding whether child-friendly integrated public spaces or called RPTRA, which was initiated and built extensively by The Jakarta City Provincial Government since 2015, had contributed to the development of children’s place of attachment and if RPTRA was considered as one of children’s favourite place. How children’s sense of attachment to RPTRA could be understood using three-dimensional, person-place-process framework.  This paper described a study of ten RPTRA located in Jakarta. We examined and measured children’s sense of attachment to RPTRA, based on observation, interviews, and data collected from children (n-597) who completed on-site questionnaires. The results show that 77% of children had developed a sense of attachment to RPTRA and 95% of children had positive feelings towards RPTRA as one of their favourite places. The development of children’s sense of attachment to RPTRA: 1) occurs at collective level with peers; 2) is influenced by place dimensions, such as easy access and proximity between RPTRA and home, security, availability of outdoor facilities for playing, and availability of indoor facilities for studying and other educative activities; and 3) is expressed through actions, experiences, repetitive movements or proximity-maintaining behaviors and length of time spend in RPTRA.  Keywords: Child-friendly Integrated Public Spaces (RPTRA), children, place attachment
PENGEMBANGAN COMMERCIAL STREET BAGI PEDESTRIAN DI RUANG KORIDOR JALAN KOTA TUA JAKARTA Clarice Alverina; Felia Srinaga; Susinety Prakoso
Jurnal Strategi Desain dan Inovasi Sosial Vol 2, No 1 (2020): Desain Sebagai Strategi Pendorong Inovasi Sosial? Mungkin!
Publisher : School of Design Universitas Pelita Harapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37312/jsdis.v2i1.2564

Abstract

Jalan merupakan ruang publik yang memiliki persentase terbesar dalam suatu kota dan menjadi pusat aktivitas pergerakan manusia khususnya bagi pedestrian. Di Indonesia, isu mengenai jalur pedestrian belum dapat diatasi dengan baik. Isu ini dapat dilihat pada kawasan Fatahillah, Kota Tua Jakarta yaitu tepatnya pada Jalan Cengkeh. Jalan Cengkeh terletak di antara Lapangan Fatahillah dan fasilitas parkir. Saat ini, jalan dan jalur pedestrian tidak memiliki daya tarik dan tidak menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman. Keadaaan ini didukung pula dengan bangunan sekitarnya yang memiliki kondisi serupa. Pada negara-negara lain salah satu pengelolaan jalan yang sudah terbukti berhasil menarik aktivitas pengunjung adalah pengelolaan commercial street. Pengelolaan commercial street banyak dilakukan pada jalan yang sudah memiliki konektivitas yang baik dan berada pada posisi yang strategis. Melalui hal tersebut, pengelolaan ini dipilih sebagai pengembangan jalan pada Jalan Cengkeh. Melihat permasalahan yang ada, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui elemen dan kriteria bagi keberhasilan sebuah commercial street, aktivitas apa yang perlu dikembangkan pada sebuah jalan serta bagaimana penerapannya pada jalur pedestrian di Kota Tua Jakarta.  Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melalui studi literatur, studi preseden dan observasi lapangan. Penelitian ini menghasilkan tiga elemen utama dan delapan kriteria jalan untuk menciptakan jalan komersil yang menarik/hidup dan baik/nyaman. Elemen utama terdiri dari elemen jalan, elemen commercial building, dan elemen jalur pedestrian. Kriteria jalan adalah imageability, human scale, enclosure, aman, nyaman, daya tarik, transparansi dan interaktif. Aktivitas yang terjadi pada commercial street berupa aktivitas berdasarkan postur, berdasarkan kebutuhan dan berdasarkan perilaku. Penelitian ini juga menghasilkan 3 konsep perancangan yang merupakan solusi bagi pengembangan Jalan Cengkeh menjadi commercial street yaitu konsep jalan, konsep commercial building, dan konsep jalur pedestrian.
Perancangan Fasilitas Pendidikan Anak Usia Dini Desa Gunung Sari Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang Susinety Prakoso; Felia Srinaga; Julia Dewi; Dicky Tanumihardja; Santoni Santoni
Jurnal Sinergitas PKM & CSR Vol 1, No 1 (2016): October
Publisher : Universitas Pelita Harapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstractThis paper demonstrates the design process of Early Childhood Education Center (ECDC) in Gunung Sari Village at Mauk, Tangerang. This project is a collaborative community service between the Architecture Department at Universitas Pelita Harapan and Habitat for Humanity Indonesia. This paper highlights the design process of ECDC involving pre-school’s children through mosaic approach developed by Clark and Moss (2011). The aim of this approach is to contribute to the design of ECDC that is meaningful and responsive to young children’s needs. Mosaic approach is based on a participatory method that recognize young children’s competencies and responsive to the ‘voice’ of the young children (aged 3-6). Three stages of mosaic approach have been applied: 1) gathering children’s and adult’s perspectives; 2) discussing (reviewing) the material; 3) discussing on areas of continuity and change. Observation, child-conferencing and mapping are three different techniques of mosaic approach that have been applied in this study. The end process of the design of ECDC is in the form of technical drawings, images and model that will be used by Habitat for Humanity Indonesia in the construction process. This paper also reflects on key lessons learned in working with young children through participation process and mosaic approach.  Keywords:  design process, early childhood education center, participation, mosaic approach.AbstrakTulisan ini bertujuan untuk berbagi pengalaman proses perancangan bangunan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Desa Gunung Sari Kecamatan Mauk, Tangerang. Kegiatan ini merupakan kerjasama program studi Arsitektur Universitas Pelita Harapan dengan Habitat for Humanity Indonesia, sebagai bagian dari kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PkM). Proses perancangan bangunan PAUD menggunakan pendekatan partisipasi dengan teknik mosaic approach (Clark and Moss, 2011), dengan tujuan untuk menghasilkan rancangan yang peka terhadap kebutuhan anak serta bermakna bagi anak. Mosaic approach merupakan pendekatan penelitian yang digunakan untuk mendengar ‘suara’ anak dan mengakui kompetensi anak, terutama anak usia pra-sekolah (3-6 tahun). Tiga tahapan mosaic approach diterapkan dalam proses perancangan meliputi: 1) mengumpulkan pandangan anak dan orang dewasa; 2) membahas material yang terkumpul; 3) memutuskan apa yang perlu diteruskan dan diubah. Prinsip multi method mosaic approach yang dilaksanakan adalah observasi, child conferencing dan mapping. Hasil dari keseluruhan proses perancangan bangunan PAUD adalah rancangan final PAUD dalam bentuk gambar kerja, gambar presentasi serta maket bangunan yang digunakan oleh pihak Habitat for Humanity Indonesia untuk pelaksanaan pembangunan fisik di lapangan. Tulisan ini fokus pada pendekatan partisipasi dengan teknik mosaic approach yang digunakan dalam melaksanakan proses perancangan bangunan PAUD, serta mendeskripsikan evaluasi keberhasilan pendekatan partisipasi dan teknik mosaic approach.Kata kunci: proses perancangan, sekolah, partisipasi, mosaic approach, anak
PERANCANGAN LANSEKAP TAMAN DAN PENEMPATAN RUMAH DOA [LANDSCAPE AND INTERIOR DESIGN OF PRAYER GARDEN/HOME] Felia Srinaga; Susinety Prakoso; Julia Dewi; Alvar Mensana; Fernitia Richtia Winnerdy
Jurnal Sinergitas PKM & CSR Vol 3, No 2 (2019): April
Publisher : Universitas Pelita Harapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Planning the construction of a prayer home is one of the appropriate steps to enrich students’ spirituality at Sekolah Tinggi Teologia Cipanas (STTC). Designing a prayer home that traces STTCs vision and mission, along with its valuable location in Cipanas, will offer a blessed and peaceful touch to the design of the prayer home. On the first stage of this proposal, a preliminary design scheme for a prayer home had been created in the earlier semester. The purpose of the activity in this second stage is to design a Prayer Garden that supports the prayer home, which had been designed in previous stage, by utilizing the land between buildings by developing a concept that is contextual with its surrounding nature. The main site issue in STTC is the underutilized inter-building space, the abandoned open space and the lack of continuous access from the inner building to the outer landscape areas – equally from the public space to the more private space (the prayer home). Through this Prayer Garden design, it is expected that the STTC community can utilize the existing open spaces to the fullest – to support the spiritual development for students, the continuing companionship for STTC community and surrounding societies, especially by providing facility for a retreat or similarly religious activities. In this second stage of the proposal, the relationship between outdoor landscape, indoor garden, and the Prayer Home will be simply understood with rendered images. Additionally, construction working drawing and cost estimation for all construction items will also be produced – in order to use the outcome of this proposal immediately applied to construction phase of the development.Bahasa Indonesia AbstrakIde rumah/ taman doa merupakan salah satu langkah yang tepat untuk membangun spiritualitas mahasiswa/i di Sekolah Tinggi Teologia Cipanas. Untuk itu perancangan rumah doa yang kontekstual dengan VISI, MISI STTC dan Lokasi yang berada di Cipanas, akan mewarnai desain rumah doa ini. Pada tahap pertama dari kegiatan PkM ini, telah dibuat rancangan awal dari rumah doa tersebut. Permasalahan utama dari lokasi di STT- Cipanas adalah kurang termanfaatkannya ruang antar bangunan yang ada, ruang luar yang kurang terolah dan kurangnya ruang peralihan yang menerus/mengalir dari bangunan dalam ke ruang luar atau dari ruang/tempat publik ke ruang yang lebih privat (rumah doa). Tujuan kegiatan di tahap kedua ini adalah merancang taman yang mendukung rumah doa yang telah dirancang dalam tahap I dengan memanfaatkan lahan antar bangunan dengan mengembangkan konsep yang kontekstual dengan alam. Dengan terencananya tempat/taman doa ini, diharapkan komunitas STTC dapat memanfaatkan ruang terbuka yang ada dengan maksimal untuk mendukung pengembangan spiritual bagi mahasiswa-i/komunitas STTC dan komunitas sekitar yang membutuhkan tempat retreat/doa. Pada tahap kedua ini, akan diteruskan dengan gambar suasana lansekap dan interior dari taman dan rumah doa. Selain daripada itu, di tahap kedua ini akan dilakukan kegiatan gambar kerja dan perhitungan biaya pembangunan dari seluruh taman dan rumah doa, sehingga hasil kegiatan dapat segera diterapkan dalam pembangunannya.Kata Kunci:  
Perancangan Lansekap Taman Dan Penempatan Rumah Doa Susinety Prakoso; Julia Dewi; Alvar Mensana; Fernitia Richtia Winnerdy
Prosiding Konferensi Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat dan Corporate Social Responsibility (PKM-CSR) Vol 1 (2018): Prosiding PKM-CSR Konferensi Nasional Pengabdian kepada Masyarakat dan Corporate Socia
Publisher : Asosiasi Sinergi Pengabdi dan Pemberdaya Indonesia (ASPPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1264.107 KB)

Abstract

Pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini dilakukan dalam 2 (dua) tahap. Tahap I dilakukan diakhir tahun 2017, yaitu: perancangan rumah/taman doa dan tahap II dilaksanakan pada pertengahan tahun 2018, yaitu: perancangan lansekap taman dan penempatan rumah doa. Permasalahan dari proses kegiatan ini adalah perencanaan dan pembangunan rumah/taman doa dalam lahan yang terbatas dengan dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang sudah ada di Sekolah Tinggi Teologia Cipanas (STTC). Dalam proses perancangan tahap II, kegiatan ini mengajak komunitas STTC untuk berpartisipasi dalam mendesain lansekap maupun interior dari rumah doa. Pelaksanaan tahap II menggunakan metode partisipasi Design Thinking/Riung Desain dengan 3 tahapan kerja, yaitu: tahap menggali permasalahan dan potensi yang ada, tahap mengembangkan tema rancangan, dan tahap solusi dan menggambarkan hasil. Kegiatan Design Thinking/Riung Desain diikuti oleh 32 orang mahasiswa/i yang terbagi menjadi 3 kelompok dan 4 orang dosen dalam 1 kelompok dosen. Masing-masing kelompok dipandu oleh seorang fasilitator (pelaksana PKM). Hasil kegiatan ini berupa gambar-gambar, pandangan/pendapat sebagai masukan bagi penataan lansekap, interior, dan perletakan serta jumlah rumah/taman doa yang dibutuhkan Hasil kegiatan ini juga mensimpulkan beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan dalam perancangan rumah/taman doa, lansekap dan interiornya adalah: a). Fungsi/potensi pengembangan b). Sirkulasi dan perletakan yang membutuhkan privacy c). Maintenance/pemeliharaan d). Security/keamanan e). Kapasitas/jumlah dan besaran f). Program dan penjadualan pemakaian g). Elemen pendukung interior dan eksterior h). Material/bahan.
Proses Perancangan Ruang Bimbingan Belajar “Makhota” Di Krukut Jakarta Susinety Prakoso; Felia Srinaga, Julia Dewi, Dicky Tanumihardja, Alvar Mensana
Prosiding Konferensi Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat dan Corporate Social Responsibility (PKM-CSR) Vol 2 (2019): Peran Perguruan Tinggi dan Dunia Usaha dalam Mempersiapkan Masyarakat Menghadapi Era I
Publisher : Asosiasi Sinergi Pengabdi dan Pemberdaya Indonesia (ASPPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (568.848 KB) | DOI: 10.37695/pkmcsr.v2i0.510

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan proses perancangan kembali ruang bimbingan belajar “Mahkota” di daerah Krukut Jakarta Barat. Perancangan kembali ruang bimbingan belajar Mahkota merupakan bagian dari kegiatan PkM program studi Arsitektur Universitas Pelita Harapan bekerja sama dengan mitra Yayasan Beritakan Kasih. Perancangan ruang bimbingan belajar ini mendesak untuk dilakukan karena 1) bangunan bimbel terlihat kumuh; 2) ruang kelas terlalu kecil; 3) ventilasi ruang kelas yang buruk; 4) bangunan bimbel terkena banjir. Lokasi bimbel yang terletak di permukiman padat penduduk memberikan peluang pada perancangan kembali bimbel untuk berfungsi sebagai tempat belajar dan bermain bagi anak-anak yang kurang mampu secara ekonomi untuk memperoleh pelajaran tambahan sekolah. Rancangan kembali ruang bimbingan belajar Mahkota meliputi penataan kembali layout/denah ruang belajar, penataan ruang eksterior dan ruang interior bimbel. Proses perancangan ruang bimbingan belajar menggunakan pendekatan partisipasi, dengan tujuan untuk menghasilkan rancangan yang peka terhadap kebutuhan anak serta bermakna bagi anak. Kegiatan PKM dilakukan dalam empat tahap, yaitu 1) community background research; 2) mengumpulkan pandangan anak dan orang dewasa; 3) membahas material yang terkumpul; 4) memutuskan apa yang perlu diteruskan dan diubah. Luaran kegiatan PKM ini adalah rancangan final gambar desain ruang bimbingan belajar dalam bentuk gambar kerja, gambar presentasi serta maket bangunan yang digunakan oleh Yayasan untuk pelaksanaan pembangunan fisik di lapangan.
Investigasi strategi desain ruang ramah tunarungu berbasis simulasi multisensori Ersalina Trisnawati; Julia Dewi; Susinety Prakoso
ARSNET Vol. 2 No. 1 (2022)
Publisher : Department of Architecture Faculty of Engineering Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1030.959 KB) | DOI: 10.7454/arsnet.v2i1.38

Abstract

Penelitian ini menggunakan metode simulasi analisis akustik dan visual untuk mengevaluasi kualitas ruang, serta memahami bagaimana desain ruang tertentu dapat menghadirkan kualitas multisensori yang dapat mendukung penyandang tunarungu. Simulasi analisis akustik menggunakan Ecotect untuk mengukur reverberasi dan pantulan suara. Sementara simulasi analisis visibilitas menggunakan depthmapX untuk mengukur isovist pengguna, integrasi, dan visibilitas ruang. Hasil simulasi menunjukkan bahwa ruang dengan sumber suara dari atas akan lebih baik dalam mendistribusi suara tanpa menimbulkan tingkat reverberasi ruang yang tinggi. Sumber suara berbentuk pocket dan organic enclosure dapat mengurangi tingkat reverberasi dan pantulan suara dalam ruang, meningkatkan privasi ruang sekaligus memberikan lapang pandang yang cukup luas bagi penglihatan kaum tunarungu. Hasil penelitian ini menemukan bahwa ada tiga konsep utama yang mempengaruhi kualitas akustik dan visual bagi kaum tunarungu, yaitu enclosure yang mempengaruhi tingkat privasi dan reverberasi ruang, integrasi yang menentukan visibilitas spasial dan orientasi massa atau bidang, serta material yang mempengaruhi kualitas absorpsi suara dalam ruang. This study addressed the auditorial necessity and visual potential of the deaf using acoustic and visual analysis simulation. Due to the poorly designed room acoustics, the deaf people had difficulties communicating, despite the use of hearing aids or cochlear implants. This condition often causes some distorted sound waves in hearing aids. To compensate for the deficiency in auditory abilities, the deaf people relied on their peripheral vision as a source of information for communication. However, the understanding of parameters of room geometry that are necessary to support both the acoustic and visual qualities of the deaf was limited. Based on the depthmapX and Ecotect simulations, this study discovered that the source of the sound in space should come from the top to minimise the reverberation time. Spaces in the form of pockets and with organic enclosure also minimise the reverberation time and sound reflection, achieving privacy while maintaining the potential peripheral vision of the deaf. The study also revealed that a room with acoustic and visual qualities for the deaf should incorporate three concepts, i.e., an enclosure to achieve a certain level of privacy and sound reverberation; integration of spatial visibility following the room or wall orientations; and consideration of the use of materials to absorb the different frequencies of sound.