Widiatmoko, Arif
Faculty Of Medicine Universitas Brawijaya

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

KADAR TUMOR NECROSIS FACTOR- PLASMA PADA BERBAGAI DERAJAT KEPARAHAN AKNE VULGARIS DI RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG Ekasari, Dhany Prafita; Sugiman, Tantari; Widiatmoko, Arif
Majalah Kesehatan FKUB Vol 5, No 2 (2018): Majalah Kesehatan Fakultas Kedokteran
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (354.706 KB) | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.005.02.3

Abstract

Abstrak Akne vulgaris (AV) merupakan penyakit peradangan kronis pada unit pilosebaseus. Tumor necrosis factor-α (TNF-α) merupakan sitokin proinflamasi yang terlibat dalam patogenesis inflamasi AV. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan TNF-α dengan derajat keparahan AV dan menunjukkan hasil yang bervariasi. Hingga saat ini, belum ada data perbandingan kadar TNF-α plasma pada individu dengan berbagai derajat keparahan AV. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kadar TNF-α plasma pada berbagai derajat keparahan AV dan menentukan perbedaan kadar TNF-α plasma pada berbagai derajat keparahan AV. Desain penelitian yang digunakan yaitu analitik observasional potong lintang dengan jumlah subjek 72 penderita AV yang datang ke Instalasi Rawat Jalan Kulit dan Kelamin RSUD dr. Saiful Anwar Malang dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subjek dikelompokkan menjadi 3 kelompok derajat keparahan AV, yaitu ringan, sedang dan berat berdasarkan klasifikasi Combined Acne Severity Scale (CASC) menurut Lehmann. Variabel yang diukur adalah kadar TNF-α plasma dengan metode ELISA. Hasil rerata kadar TNF-α plasma pada AV derajat ringan 14,72±7,97  pg/ml, AV sedang 15,39±12,13 pg/ml, dan AV berat 13,92±7,11 pg/ml. Analisis statistik rerata kadar TNF-α dengan menggunakan uji statistik nonparametrik Kruskall-Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p > 0,05) pada ketiga derajat keparahan AV, namun kadarnya masih di atas rentang kadar normal. Penelitian ini menyimpulkan  bahwa kadar TNF-α plasma meningkat pada AV walaupun peningkatannya tidak sesuai dengan derajat keparahan. 
TERAPI EKSISI PADA NEUROFIBROMA Yulian, Inneke; Widiatmoko, Arif; Retnani, Diah Prabawati
Majalah Kesehatan FKUB Vol 5, No 3 (2018): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (572.635 KB) | DOI: 10.21776/ub.majalahkesehatan.005.03.7

Abstract

Neurofibroma dapat tampak sebagai nodul soliter atau dapat merupakan bagian dari neurofibromatosis atau penyakit Von Recklinghausen. Neurofibroma sering dikeluhkan karena alasan kosmetik atau adanya rasa nyeri terbakar dan gatal. Seorang laki-laki 56 tahun mengeluh benjolan di dada sebelah kiri sejak 43 tahun yang lalu. Benjolan awalnya muncul seperti jerawat yang bertambah besar secara lambat dan kadang terasa nyeri jika tersenggol baju sejak beberapa bulan terakhir. Riwayat keluarga ibu dan anak pasien terdapat benjolan yang sama. Pasien memiiki riwayat penyakit epilepsi. Pada pemeriksaan dermatologis didapatkan nodul sewarna kulit, bentuk bulat, batas tegas, diameter 3 mm-7,5 mm pada perabaan didapatkan konsistensi kenyal, mudah bergerak dan tidak terfiksasi dengan jaringan dibawahnya. Tidak didapatkan nodul lisch, freckles pada ketiak maupun tanda cafe-au lait. Pada pasien dilakukan tindakan bedah eksisi atas indikasi rasa tidak nyaman pada pasien. Pemeriksaan histopatologi jaringan hasil eksisi dengan pewarnaan HE  dan imunohistokimia S100 menunjukkan gambaran sesuai dengan suatu neurofibroma. Neurofibroma dapat tumbuh secara invasif. Pada lesi yang mengganggu secara kosmetik sering dilakukan terapi pembedahan. Modalitas terapi pembedahan untuk menghilangkan neurofibroma bergantung pada tipe, lokasi, ukuran tumor. Modalitas terapi dapat dipilih  bedah eksisi, bedah listrik maupun reseksi.  Pada kasus ini dipilih modalitas terapi bedah eksisi pada neurofibroma. Hasil terapi  setelah satu bulan menunjukkan hasil yang baik. Tidak tampak adanya gambaran skar hipertrofik 
ANALISIS PERBEDAAN RETURN SAHAM, TRADING VOLUME ACTIVITY DAN BID-ASK SPREAD SEBELUM DAN SESUDAH STOCK SPLIT Widiatmoko, Arif; Paramita, V. Santi
Jurnal Manajemen Vol 14 No 1 (2017): Jurnal Manajemen
Publisher : Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (748.224 KB)

Abstract

The purpose of this research is to know stock return, trading volume activity and ¬bid-ask spread before and after stock split at company listed in Indonesia Stock Exchange. This study was conducted on all companies listed in Indonesia Stock Exchange 2010-2014 period with the number of research samples of 30 companies through purposive sampling technique. Data collection method used is non-participant technique with data analysis technique Paired Samples T-Test. Based on the result found that there is no difference between stock return, trading volume activity and ¬bid-ask spread before and after stock split.
Eksisi dengan Rhomboid Flap pada Karsinoma Basoskuamosa di Area Temporal: Laporan Kasus Arif Widiatmoko; Sinta Murlistyarini; Silfia Mandasari
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 31 No. 1 (2019): APRIL
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (485.469 KB) | DOI: 10.20473/bikk.V31.1.2019.71-78

Abstract

Latar belakang: Karsinoma basoskuamosa merupakan varian agresif karsinoma sel basal (KSB) yang jarang serta memiliki kecenderungan rekuren dan metastasis. Teknik Rhomboid flap merupakan salah satu teknik penutupan luka eksisi luas di area temporal. Tujuan: Mengevaluasi kasus jarang karsinoma basoskuamosa dan salah satu tatalaksananya. Kasus: Seorang perempuan usia 43 tahun datang dengan keluhan benjolan pada pelipis kiri yang mudah berdarah sejak 6 bulan. Status dermatologis pada regio temporal sinistra didapatkan tumor soliter berbentuk bulat dengan diameter 1,2 cm disertai erosi dan krusta kehitaman. Pemeriksaan dermoskopi menunjukkan telangiektasis tidak teratur, masa keratin, area keputihan dan ulserasi. Pemeriksaan Fine Needle Aspiration Biopsy menunjukkan sebaran dan kelompok sel-sel dengan inti bulat-oval, pleomorfik hiperkromatik, membran inti ireguler. Eksisi dengan jarak irisan 5 mm dari tepi tumor dan Rhomboid flap dilakukan untuk mengangkat tumor dan menutup luka. Pemeriksaan histopatologis sesuai gambaran karsinoma basoskuamosa yang menunjukkan proliferasi sel-sel berinti bulat-oval, pleomorfik, hiperkromatik, dengan nukleolus prominen. Sel di bagian tepi tersusun palisading dengan retraction spacer menginfiltrasi stroma. Tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening dan tidak didapatkan metastasis pada foto rontgen toraks. Pembahasan: Karsinoma basoskuamosa merupakan bentuk agresif dari KSB. Eksisi dengan jarak irisan > 4 mm bisa digunakan untuk terapi KSB non-morpheaform dengan diameter < 2 cm. Rhomboid flap berbentuk belah ketupat digunakan untuk menutup luka di area temporal dan memberi hasil yang baik secara kosmetik dengan sedikit komplikasi. Simpulan: Eksisi dengan jarak irisan 5 mm dan Rhomboid flap memberikan hasil yang baik untuk karsinoma basoskuamosa area temporal.
Epidermoid Cyst of Sole Wuriandaru Kurniasih; Arif Widiatmoko
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol. 32 No. 1 (2022)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jkb.2022.032.01.13

Abstract

An epidermoid cyst is benign cystic tumor coated with squamous epithelium and contains keratin. It generally appear on the body parts which have pilosebaceous follicles, such as head, neck, and body. The manifestation of the disease is a skin-colored, mobile, painless nodule with a punctum in the center. Epidermoid cyst of sole is often similar to clavus, callus, and verruca plantaris. However, epidermoid cyst of sole is rare because the area is without pilosebaceous follicles. The etiopathology is believed due to trauma that causes implantation of epidermal cells into the dermis layer, thus triggering the formation of epidermoid cysts. This case report a girl with an epidermoid cyst of sole that was initially thought as a verruca plantaris and clavus. A 14-year-old girl complained about a bump on her right foot that got bigger during nine months. The lesions surface was slippery, and the patient felt pain when walking. The patient denied any trauma or changing footwear with friends or relatives. Examination in the right lateral plantar pedis region, a nodule was found skin-colored, round, measuring 2x2 cm, and solitary. The patient was planned to undergo excochleation, but since a white cystic mass was found during the operation, it was continued with extirpation surgery. The histopathological examination results showed a stroma with keratin, which was concluded as an epidermoid cyst. In the case of epidermoid cysts with atypical clinical symptoms and unusual lesion locations, histopathological examination is required for a definite diagnosis.
Laporan Kasus: MYCOSIS FUNGOIDES FASE DINI DENGAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI YANG MENYERUPAI DERMATITIS LIKENOID: SERIAL KASUS Diah Prabawati Retnani; Herman Saputra; Arif Widiatmoko
Majalah Kesehatan FKUB Vol. 9 No. 2 (2022): Majalah Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/majalahkesehatan.2022.009.02.6

Abstract

Mycosis Fungoides  adalah keganasan sel limfosit T yang langka dan bersifat indolen pada kulit dengan evolusi klinis berupa bercak, plak dan tumor. Mycosis Fungoides fase dini  sulit terdeteksi karena kemiripannya dengan keradangan pada kulit  berpola likenoid.  Mycosis Fungoides dan dermatitis likenoid memiliki terapi dan prognosis  yang berbeda sehingga harus dapat dilakukan diagnosis yang akurat. Kami melaporkan serial kasus  Mycosis Fungoides dari dua orang pasien wanita yang terdiagnosis pada fase dini dengan gejala klinis berupa bercak dan plak multipel disertai gatal menahun. Kasus pertama terjadi pada usia 60 tahun dengan gejala selama 8 tahun sedangkan kasus kedua terjadi pada usia 58 tahun dengan gejala selama 6 tahun.  Bercak dan plak pada kedua pasien tersebut berlokasi di area yang terlindung dari sinar matahari disertai skuama halus, sebagian hiperpigmentasi, bervariasi bentuk dan ukuran. Hasil pemeriksaan histopatologi dari sediaan biopsi kulit kedua penderita berupa reaksi likenoid yang mengandung sejumlah  sel limfoid atipik, serebriformis. Hasil  pewarnaan imunohistokimia menunjukkan CD3 positif membentuk epidermotropisme, rasio CD4/CD8 8:1, Ki67 positif sekitar  25%  dan CD20 negatif.  Dari kedua kasus ini dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan imunohistokimia dapat membatu menegakkan diagnosis Mycosis Fungoides pada dua orang wanita tua dengan keluhan gatal disertai bercak atau plak yang menahun dengan gambaran histopatologik berupa reaksi likenoid dengan  epidermotropisme.