Berdasarkan studi kasus di Aceh Utara, tulisan ini hendak menunjukkan realitas kompleks tentang komodifikasi Syariâat Islam oleh elite yang sedang memerintah di Aceh. Realitasnya, birokratisasi Syariâat Islam telah menutup ruang bagi lahirnya wacana tandingan (counter discourse) dari masyarakat terhadap wacana yang dikembangkan oleh negara. Hal itu termanifestasi pada pelbagai Qanun yang telah disahkan. Qanun-qanun tersebut justeru memperlihatkan dominasi kepentingan elite yang sedang memerintah daripada aspirasi yang disuarakan oleh masyarakat. Sementara itu, birokratisasi dayah (pondok pesantren salafi/tradisional) dan penciptaan ketergantungan ekonomi dayah pada negara melalui kegiatan yang mengatasnamakan âpembinaanâ dayah ternyata merupakan kedok bagi dominasi negara terhadap teungku dayah (elite agama Islam tradisional). Dominasi ini berhasil memposisikan teungku dayah sebagai jastifikator pelbagai kebijakan pemerintah. Akibatnya, peran teungku dayah di Aceh yang pada awalnya adalah aktor sosial yang secara vis a vis sanggup berhadapan dengan pemerintah dalam mengkritisi pelbagai kebijakan berdasarkan aspirasi yang berkembang di masyarakat menjadi pudar. Based on a case study in North Aceh district, this paper wants to demonstrate the complex reality of current commoditization of Syariâah committed by political elites in Aceh. In fact, the bureaucratization of Syariâah has closed democratic spaces which enable civil society including local religious elite to counter stateâs discourses and policies. Such bureaucratization was manifested in the enactment of several Qanuns which unveil the domination of ruling elitesâ interests over societyâs interests and aspiration. On the other hand, the bureaucratization of dayah (traditional or salafi pesantren) and the formation of its economic dependence on stateâs budgets through what called as âdayah guidance/direction programsâ became a powerful means for the state apparatus to co-opt teungku dayah as Islamic local religious elites. Such cooptation has successfully positioned teungku dayah to act as justificatory actor toward various government policies. As the result, the historical role of teungku dayah in Aceh as the main political actor, which able to criticize government policies based on people aspiration, is fading away in the aftermath of conflict in Aceh.
Copyrights © 2014