ABSTRAK Menikah salah satu sunnah Rasulullah Muhammad saw. Sejak dahulu hingga saat sekarang ini pernikahan tetap dilakukan oleh manusia. Apabila seorang lelaki merasa cocok untuk mengarungi kehidupan bersama dengan seorang perempuan yang dicintainya maka pernikahan adalah solusinya. Namun sebelum pelaksanaan pernikahan ada beberapa hal yang harus diketahui dan dipertimbangkan oleh dua pasangan, sehingga kehidupan keluarganya menjadi sakinah, mawaddah dan rahmah. Hal tersebut adalah Kufu yang artinya sama, setara, atau sepadan dari laki-laki terhadap perempuan yang akan dinikahinya. Imam Hanafi berpendapat bahwa pernikahan yang tidak kufu, para wali wajib menghalanginya. Sedangkan Imam Syafi’I berpendapat pernikahan yang tidak kufu harus dibatalkan, kecuali jika pernikahan tersebut mendapat ridha dari perempuan dan para walinya. Menurut mereka, kemaslahatan suami-istri tidak akan tercapai bila tidak ada keserasian (kufu). Imam Hanafi dan Imam al-Syafi’i sepakat menempatkan ad-din (agama), an-nasab(keturunan), al-hurriyah (kemerdekaan), as-sinaah (propesi atau pekerjaan), sebagai kriteria kufu kecuali harta atau kekayaan, dan bebas dari cacat. Bertitik tolak dari adanya perbedaan persepsi dua Imam tersebut mendorong penulis untuk membuat tulisan berjudul: “ Kufu Bidang Harta Dalam Pernikahan Serta Relevansinya di Indonesia (Studi Kompertaif antara Imam Hanafi dan Imam al-Syafi’i”. Kesimpulannya adalah Imam Hanafi dan Imam Syafi’i sepakat sama menempatkan agama, nasab, propesi atau pekerjaan, kemerdekaan sebagai kriteria kufu, dan mereka berbeda pendapat tentang harta atau kekayaan. Imam Hanafi menempatkan harta sebagai kriteria kufu dalam pernikahan. Termasuk memiliki harta untuk membayar mahar dan nafkah serta membiayai nafkah istri. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa kekayaan tidak termasuk dalam kriteria kufu dalam pernikahan. Begitu juga, Imam Hanafi menetapkan harta sebagai kriteria kufu dilatar belakangi kekosmopolitan masalah serta adat (urf) kebiasaan orang Irak pada masa itu yang mengharuskan konsep penetapan kufu agar tidak salah dalam memilih pasangan hidup, dan agar terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa kekayaan tidak termasuk dalam kriteria kufu dalam pernikahan disebabkan beliau memandang kemaslahatan pernikahan itu tidak dapat diukur pada hartanya akan tetapi pada budi pekertinya. Sedangkan Relefansi pendapat Imam Hanafi tentang harta adalah kriteria kufu dalam pernikahan pada kondisi sekarang tepat atau jaiz dengan syarat mengutamakan agamanya. Kalau harta sebagai ukuran untuk kelanggengan berumah tangga tanpa mempertimbangkan agama atau keimanan serta ketaqwaannya, maka hukumnya haram, sebab banyak rumah tangga yang berantakan berakhir dengan perceraian. Sedangkan Relefansi pendapat Imam al-syafi’i tentang kufu bidang harta pada kondisi masyarakat bangsa Indonesia sekarang ini banyak yang menerima dan ada juga yang tidak menerima sesuai dengan kebiasaan (urf) masyarakat setempat.
Copyrights © 2022