Solehuddin Harahap
Unknown Affiliation

Published : 11 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

KAIDAH-KAIDAH USHUL YANG BERHUBUNGAN DENGAN DALIL YANG DIPERSELISIHKAN (MUKHTALIF): QAUL AS-SHAHABI (KAJIAN TAKHRIJ AL-FURU’ ALA AL-USHUL) Solehuddin Harahap
HUKUMAH: Jurnal Hukum Islam Vol 1, No 2 (2018)
Publisher : STAI Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55403/hukumah.v1i2.235

Abstract

Ijtihad salah satu alat yang menunjukkan bahwa " al Islamu sholih fi kuli zaman wal makan" yang artinya Islam itu bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman "syariat" yang tidak fondamen dalam ajaran Islam. Ushul fikih adalah adalah ilmu tentang dalil fikih secara global, cara mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil itu, dam tentang hal yang ihwal pelaku istimbat. Menurut kalangan syafiiyah yaitu abdullah Bin Umar al Baidowi ( wafat tahun 685 H). sedangkan dalam ilmu ushul fikih ini ada dua kaidah yaitu diamana secara umum masyarakat banyak yang menyamakan yaitu satu qawaidul fikiyah dan qawaidul ushuliyah. Padahal terdapat dua perbedaan dalam kedua pengertian istilah dan konsep diatas.
BAGIAN LEBIH BAGI TUKANG JAGAL PADA PENYEMBELIHAN HEWAN QURBAN DITINJAU MENURUT HUKUM ISLAM Lukman Hakim; Solehuddin Harahap
HUKUMAH: Jurnal Hukum Islam Vol 1, No 2 (2018)
Publisher : STAI Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55403/hukumah.v1i2.236

Abstract

Penyembelihan hewan qurban merupakan ibadah dihari idul adha sehingga masyarakat menjadikannya sebuah tradisi. Namun dalam hal pemberian lebih kepada tukang jagal pada penyembelihan hewan qurban sering terjadi dimasyarakat sehingga perlu mengetahui tinjauan hukum  Islam  nya.
KEDUDUKAN HUKUM SEBAGAI PERINTAH DARI PEMBENTUK UNDANG-UNDANG ATAU PENGUASA Darlius -; Solehuddin Harahap
HUKUMAH: Jurnal Hukum Islam Vol 3, No 2 (2020)
Publisher : STAI Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55403/hukumah.v3i2.227

Abstract

Konteks dalam suatu negara, hukum merupakan salah satu produk kekuasaan yang dihasilkan melalui suatu proses kesepakatan politik di parlemen. Hukum yang dihasilkan tersebut kemudian akan dengan sendirinya berlaku ditengah-tengah kehidupan masyarakat setelah mendapat pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah. Namun yang menjadi suatu permasalahan yang serius dewasa ini adalah ketika lahirnya suatu undang-undang yang hanya merupakan kesepakatan politik oleh para elit dan penguasa untuk mencapai keinginannya. Dengan demikian hukum yang merupakan panglima dalam kehidupan masyarakat sehari-hari yang mempunyai peranan untuk menciptakan suatu keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan dimasyarakat kemudian menjadi suatu hal yang kontradiksi dengan kenyataan yang terjadi dan di alami oleh masyarakat itu sendiri.
PENGARUH TAQ’ID DENGAN ISTIDLAL PADA PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA FIQIH (AL-ISTISHAB, AL-ISTISLAHI, DAN QIYAS AL-ISTIDLAL) Solehuddin Harahap
HUKUMAH: Jurnal Hukum Islam Vol 2, No 1 (2019)
Publisher : STAI Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55403/hukumah.v2i1.237

Abstract

Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang disepakati dan hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum yang kita sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada beberapa hukum Islam yang tidak disepakati dan diantaranya akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini yaitu Istishab, Istislahi, dan Istidlal. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan nya sebagai sumber hukum Islam.
METODE IJTIHAD IMAM AL - SYAUKANI A Safri; Solehuddin Harahap
HUKUMAH: Jurnal Hukum Islam Vol 1, No 2 (2018)
Publisher : STAI Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55403/hukumah.v1i2.233

Abstract

Menarik untuk dikemukakan, bahwa al-Syaukani menempatkan ijma' dan qiyas sebagai alternatif dalam pernyataan di atas, sedangkan ia sendiri mengajukan kritik-kritik tajam, terhadap otoritas ijma 'dan qiyas sebagai dalil hukum sebagaimana diakui oleh sebagian kalangan. Dalam pandangannya bahwa ijma' merupakan hasil ijtihad berimplikasi pada penolakannya terhadap kehujjahan ijma', karena baginya menetapkan sesuatu sebagai hujjah syar'iyah (dalil hukum) haruslah didasarkan pada argumen yang meyakinkan, sedangkan argumen-argumen yang menetapkan kehujahan ijma’ dianggap tidak sesuai sasarannya. Sementara tentang qiyas, al-Syaukani hanya dapat menerima qiyas yang illatnya manshushah (tersurat) dalam hukum ashl (pokok). Hal ini berbeda dengan Para ulama mutsbit al-qiyas (pendukung qiyas) atau jumhur Sunni yang menerima keberadaan illat baik manshushah (tersurat) maupun mustanbathah (melalui penalaran).
PERJANJIAN TIDAK BERPOLIGAMI PADA AKAD NIKAH MENURUT IBNU QUDAMAH Rionaldi -; Solehuddin Harahap
HUKUMAH: Jurnal Hukum Islam Vol 1, No 2 (2018)
Publisher : STAI Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55403/hukumah.v1i2.234

Abstract

Ibnu Qudamah, sebagai salah seorang ahli fiqh dan zuhud, ia adalah seorang mujtahid murajjih ( faqihunnafsi ), dan juga dikenal sebagai ulama yang bermazhab Hanbali dan juga sosok pemikir Islam yang banyak mewarnai khazanah intelektual pemikiran hukum Islam. Di dalam kitab “Al-Mughni” Ibnu Qudamah telah berpendapat bahwa: ada syarat yang manfaatnya kepada isteri, maka syarat itu harus dipenuhi oleh suami, isteri tidak akan diusir dari kampungnya/negarannya, tidak berpergian bersama isteri, tidak akan kawin lagi dan tidak akan menyakitinya. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi suami, maka perempuan atau isteri dapat minta fasakh terhadap suami diantaranya Ibnu Qudamah berpendapat : “Apabila isteri memberi syarat pada suami tidak menikah selain isteri tersebut dan kemudian suami menikah, maka terjadi perceraian.” (firaq).
HUKUM SHALAT SUNNAH SEBELUM MAGHRIB KAJIAN DALAM MUKHTALIF AL-HADIS Solehuddin Harahap
HUKUMAH: Jurnal Hukum Islam Vol 2, No 2 (2019)
Publisher : STAI Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (170.405 KB) | DOI: 10.55403/hukumah.v2i2.152

Abstract

Di antara shalat sunnah yang kita kenal, adalah shalat sunnah rawatib yang dilaksanakan beriringan dengan shalat fardhu baik sebelum ataupun sesudahnya. Diantara keseluruhan shalat sunnah tersebut, ada yang kesunnahannya bersifat muakkad (sangat dianjurkan), ada yang hanya sebatas mustahab (dianjurkan), ada yang hanya sekedar dibolehkan, ada yang dimakruhkan bahkan diharamkan. Namun tentu tidak semua hukum yang disebutkan di atas disepakati oleh para ulama. Hal tersebut dikarenakan adanya beberapa faktor yang menimbulkan perdebatan di antara mereka. Di antaranya adalah ditemukannya beberapa hadits yang secara lahir maknanya bertentangan satu sama lain, atau dalam ilmu hadits hal tersebut dikenal dengan istilah mukhtalaf al-ahadits.Perbedaan yang ditimbulkan adalah perbedaan dalam hal menyikapi hadits-hadits tersebut. Karena dalam ilmu mukhtalaf al-hadits sendiri para ulama telah merumuskan beberapa cara atau solusi dalam menyikapi hadits-hadits tersebut. Antara lain adalah dengan al-jam’u (mencari titik temu), al-tarjih (mencari yang paling kuat), dan ma’rifah an-nasikh wal mansukh (mengetahui mana yang menasakh dan mana yang dimansukh).Namun permasalahannya tidak berhenti sebatas dengan mengetahui cara-cara di atas. permasalahan lain yang sering muncul adalah timbulnya perbedaan pandangan di antara para ulama mengenai cara mana yang paling tepat untuk digunakan dalam menyikapi hadits-hadits yang bertentangan itu. Yang pada akhirnya akan menimbulakan perbedaan dalam pengambilan kesimpulan hukum sesuai cara yang ditempuh oleh masing-masing ulama.
HUKUM MEMANDIKAN DAN MENSHALATKAN JENAZAH YANG BERCAMPUR MUSLIM DAN NON MUSLIM PERSFEKTIF IMAM ABU HANIFAH Muhammad Alfis; Solehuddin Harahap
HUKUMAH: Jurnal Hukum Islam Vol 3, No 2 (2020)
Publisher : STAI Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55403/hukumah.v3i2.230

Abstract

Studi tentang pendapat Imam Abu Hanifah tentang hukum memandikan dan menshalatkan jenazah yang bercampur antara muslim dan non muslim yang sesuai dengan hukum Islam dalam kajian secara teoritis terutama dalam bidang hukum Islam (fiqh). Pembahasan ini dirasa penting sebagai bahan kajian hukum Islam karena persoalan diatas kaitannya erat dengan hubungan antar manusia yang tentu saja diatur dalam ajaran Islam. Terutama dalam pendapat Imam Abu Hanifah yang  dianut oleh masyarakat Indonesia
KUFU BIDANG HARTA DALAM PERNIKAHAN SERTA RELEVANSINYA DI INDONESIA (Studi Kompratif Antara Imam Abu Hanifah Dan Imam Syafi’i) Solehuddin Harahap
HUKUMAH: Jurnal Hukum Islam Vol 5, No 1 (2022)
Publisher : STAI Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55403/hukumah.v5i1.329

Abstract

ABSTRAK Menikah salah satu sunnah Rasulullah Muhammad saw. Sejak dahulu hingga saat sekarang ini pernikahan tetap dilakukan oleh manusia. Apabila seorang lelaki merasa cocok untuk mengarungi kehidupan bersama dengan seorang perempuan yang dicintainya maka pernikahan adalah solusinya. Namun sebelum pelaksanaan pernikahan ada beberapa hal yang harus diketahui dan dipertimbangkan oleh dua pasangan, sehingga kehidupan keluarganya menjadi sakinah, mawaddah dan rahmah. Hal tersebut adalah Kufu yang artinya sama, setara, atau sepadan dari laki-laki terhadap perempuan yang akan dinikahinya. Imam Hanafi berpendapat bahwa pernikahan yang tidak kufu, para wali wajib menghalanginya. Sedangkan Imam Syafi’I berpendapat pernikahan yang tidak kufu harus dibatalkan, kecuali jika pernikahan tersebut mendapat ridha dari perempuan dan para walinya. Menurut mereka, kemaslahatan suami-istri tidak akan tercapai bila tidak ada keserasian (kufu). Imam Hanafi dan Imam al-Syafi’i sepakat menempatkan ad-din (agama), an-nasab(keturunan), al-hurriyah (kemerdekaan), as-sinaah (propesi atau pekerjaan), sebagai kriteria kufu kecuali harta atau kekayaan, dan bebas dari cacat. Bertitik tolak dari adanya perbedaan persepsi dua Imam tersebut mendorong penulis untuk membuat tulisan berjudul: “ Kufu Bidang Harta  Dalam Pernikahan Serta Relevansinya di Indonesia (Studi Kompertaif antara Imam Hanafi dan Imam al-Syafi’i”. Kesimpulannya adalah Imam Hanafi dan Imam Syafi’i sepakat sama menempatkan agama, nasab, propesi atau pekerjaan, kemerdekaan sebagai kriteria kufu, dan mereka berbeda pendapat tentang  harta atau kekayaan. Imam Hanafi menempatkan harta sebagai kriteria kufu dalam pernikahan. Termasuk memiliki harta untuk membayar mahar dan nafkah serta membiayai nafkah istri. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa kekayaan tidak termasuk dalam kriteria kufu dalam pernikahan. Begitu juga, Imam Hanafi menetapkan harta sebagai kriteria  kufu dilatar belakangi kekosmopolitan masalah serta adat (urf) kebiasaan orang Irak pada masa itu yang mengharuskan konsep penetapan kufu agar tidak salah dalam memilih pasangan hidup, dan agar terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa kekayaan tidak termasuk dalam kriteria kufu dalam pernikahan disebabkan beliau memandang kemaslahatan pernikahan itu tidak dapat diukur pada hartanya akan tetapi pada budi pekertinya. Sedangkan Relefansi pendapat Imam Hanafi tentang harta adalah kriteria kufu dalam pernikahan pada kondisi sekarang tepat atau jaiz dengan syarat mengutamakan agamanya. Kalau harta sebagai ukuran untuk kelanggengan berumah tangga tanpa mempertimbangkan agama atau keimanan serta ketaqwaannya, maka hukumnya haram, sebab banyak rumah tangga yang berantakan berakhir dengan perceraian. Sedangkan Relefansi pendapat Imam al-syafi’i tentang kufu bidang harta pada kondisi masyarakat bangsa Indonesia sekarang ini banyak yang menerima dan ada juga yang tidak menerima sesuai dengan kebiasaan (urf) masyarakat setempat.
SIYASAH SYARI’IYAH DALAM PERSPEKTIF ISLAM Solehuddin Harahap
HUKUMAH: Jurnal Hukum Islam Vol 5, No 2 (2022)
Publisher : STAI Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55403/hukumah.v5i2.381

Abstract

Tidak keliru jika dikatakan bahwa siyâsah berarti penyelenggaraan pemerintahan dankenegaraan. Karena dalam penyelenggaraan negara itu sudah pasti ada unsur mengendalikan,mengatur, memerintah, mengurus, mengelolah, melaksanakan administrasi, dan membuatkebijaksanaan dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat. Siyâsah yang didasarkanpada Al-Qur’an dan Hadis Nabi dikenal dengan istilah Siyâsah Syar’iyyah, yakni Siyâsahyang dihasilkan oleh pemikiran manusia yang berdasarkan etika, agama, dan moral denganmemperhatikan prinsip-prinsip umum syari’at dalam mengatur hidup manusia bermasyarakatdan bernegara. Siyâsah Syar’iyyah disebut juga politik ketatanegaraan yang bersifat syar’i.