Artikel ini merupakan hasil penelitian atas isue penundaan pemilu serentak nasional tahun 2024. Isue hukum ini berkembang memanas seiring suhu politik-hukum Indonesia yang terus meningkat. Diskursus penundaan pemilu bergema sejak tahun 2022 didengungkan oleh kalangan elit dengan berbagai skenario subjektif dan tidak rasional, bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan konstitusi, dimana salah satu ciri pemilu demokratis adalah penyelenggaraan pemilu secara periodik/ berkala. Tujuan penelitian ini adalah untuk memetakan regulasi yang mengatur periodesasi/keberkalaan pemilu, serta menganalisis isue konstitusionalitas penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan presiden. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif dengan beberapa pendekatan antara lain; pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual, pendekatan analitis, dan pendekatan filsafat. Hasil/temuan penelitian ini, bahwa pengaturan perihal periodesasi penyelenggaraan pemilu di Indonesia setiap lima tahun telah diatur secara tegas dalam pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan juga Pasal 7 ayat (1) yang memberikan batasan bahwa Presiden dan Wakil Presiden menjabat selama lima tahun, hanya dapat untuk dua kali masa jabatan. Penundaan pemilu hanya dapat dilakukan pada situasi/kondisi hal ikhwal kegentingan yang memaksa, atau adanya ancaman/gangguan yang sifatnya luar biasa (extra ordinary). UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur perihal penundaan pemilu maupun penambahan masa jabatan Presiden, sehingga setiap gerakan penundaan pemilu/ penambahan masa jabatan Presiden merupakan gerakan yang inkonstitusional. Secara subtansif, penundaan Pemilu 2024 dianggap mengkhianati amanat reformasi, pelecehan terhadap konstitusi (contempt of the constitution), dan merampas hak rakyat. Penundaan Pemilu tanpa alasan extra ordinary akan berdampak pada delegitimasi pemerintah, instabilitas nasional, dan menjadi preseden buruk untuk demokrasi Indonesia.
Copyrights © 2023