Mamasa is the district of the province of West Sulawesi which has a custom which it was accepted and implemented by the local society. To oversee the implementation of adat by the local society, fifteen traditional leaders were elected in each region. Some of them were given the title Indo' (Mother) even though they were male. The title Indo' given to traditional leaders is intended so that they become leaders who protect, guard, and ensure peace, tranquility, and the welfare of their society. The pattern of leadership of the traditional leader with the title Indo' describes Mamasa's egalitarian and humanist culture, but this culture later changed into the patriarchal, superior and exclusive culture by Zendeling Christelijke Gereformeerde Kerk (ZCGK) came to Mamasa as a religious movement. This paper aims to examine the social and cultural impacts arising from deconstruction which makes the values of local wisdom in Mamasa experience changed it. Previously, Mamasa's local wisdom contained egalitarian and humanist values, then with the entry of zending into Mamasa, it shifted into the patriarchal, individualist, and authoritarian culture. In order to be able to conduct research, the method of data collection was carried out by the authors through interviews and document review. One of the results found in the research is that there is a gender bias towards Christian women who are not entrusted with holding ecclesiastical positions in the Toraja Mamasa Church (GTM) either as Pastors, Elders, or as Deacons so that they cannot participated in ecclesiastical trials at GTM.Mamasa merupakan sebuah kabupaten di propinsi Sulawesi Barat yang memiliki adat di mana adat itu diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Untuk mengawasi pelaksanaan adat oleh masyarakat adat, dipilihlah 15 orang ketua adat di masing- masing daerah. Sebagian dari mereka diberi gelar Indo’ (Ibu) kendatipun mereka berjenis kelamin laki- laki. Gelar Indo’ yang diberikan kepada ketua adat dimaksudkan agar mereka menjadi pemimpin yang mengayomi, melindungi dan berusaha menjamin kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan masyarakatnya. Pola kepemimpinan ketua adat yang bergelar Indo’ ini mendeskripsikan budaya Mamasa yang egaliter dan humanis, namun budaya itu kemudian berubah menjadi budaya patriakhal, superrior, dan eksklusif oleh kedatangan Zendeling Christelijke Gereformeerde Kerk (ZCGK) ke Mamasa sebagai gerakan keagamaan. Tulisan ini bertujuan untuk meneliti dampak sosial dan budaya yang ditimbulkan dari dekonstruksi yang membuat nilai- nilai kearifan budaya di Mamasa mengalami perubahan. Sebelumnya, kearifan lokal Mamasa mengandung nilai yang egaliter dan humanis kemudian dengan masuknya zending ke Mamasa maka berubah menjadi budaya yang patriarki, individualis, dan otoriter. Untuk dapat melakukan penelitian, maka metode pengumpulan data dilakukan oleh penulis melalui wawancara dan telaah dokumen. Salah satu hasil yang ditemukan dalam penelitian adalah adanya bias gender kepada perempuan Kristen yang tidak diberi kepercayaan untuk memegang jabatan gerejawi di Gereja Toraja Mamasa (GTM) baik itu sebagai Pendeta, Penatua, maupun sebagai Diaken sehingga tidak dapat diutus menjadi peserta dalam persidangan gerejawi di GTM.
Copyrights © 2023