cover
Contact Name
Nur Hamid
Contact Email
elnur.hamid@walisongo.ac.id
Phone
+6285733036860
Journal Mail Official
ihyaulumaldin@walisongo.ac.id
Editorial Address
Kantor Pascasarjana, Jalan Walisongo Nomor 3-5, Kota Semarang 50185, Jawa Tengah, Indonesia
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din
ISSN : 14113708     EISSN : 25805983     DOI : -
International Journal IhyaUlum al-Din is an Indonesian journal of Islamic Studies published biannually by the State Islamic University (UIN) Walisongo Semarang Indonesia. The journal was firstly published in March 2000, presented in three languages (English, Arabic, and Indonesian). The journal focuses on Islamic studies with special emphasis on Indonesian Islamic original researches.
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 18, No 1 (2016)" : 10 Documents clear
KARAKTER HUBUNGAN DAN HARMONISASI KEHIDUPAN ANTARA KELOMPOK KEAGAMAAN RIFA’IYAH DAN NU Yuwono, Dandung Budi
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 1 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (137.684 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.1.1733

Abstract

This research is to reveal the socio-religious conflicts that have been occurred between the religious group of Rifa’iyah and NU (Nahdlatul Ulama). The result of this research showed that economic competition has resulted in social conflicts and tensions. There has been a sensitive relation between religious groups of Rifa’iyah and NU. In ordert to create and keep a harmony, both need various activities that include togetherness between Rifa’iyah and NU as a social cohesion. In the future, religious spirit and ‘corporate culture’ is a model how to develop a harmony, which can provides support for preventing conflict. This research is classified as qualitative research. The data in this research is collected using three of data collection techniques, namely observation, participative observation, and indepth-interview. The analysis data used in this research is triangulation analysis techniques with attention to emic and ethic perspective.---Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap konflik sosio-religius yang terjadi antara kelompok keagamaan Rifa'iyah dan NU (Nahdlatul Ulama). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persaingan ekonomi telah mengakibatkan konflik sosial dan ketegangan di antara dua kelompok tersebut. Terdapat hubungan sensitif antara kelompok agama Rifa'iyah dan NU. Dalam rangka menciptakan dan menjaga harmoni, keduanya membutuhkan berbagai kegiatan yang mencakup kebersamaan antara Rifa'iyah dan NU sebagai sebuah kohesi sosial. Ke depan, semangat religius dan 'budaya perusahaan' adalah model bagaimana mengembangkan harmoni, yang bisa memberi dukungan untuk mencegah konflik. Penelitian ini diklasifikasikan sebagai penelitian kualitatif. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu observasi, observasi partisipatif, dan indepth-interview. Data analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis triangulasi dengan memperhatikan aspek emik dan etik.
KONSEP ADIL DALAM POLIGAMI: Telaah Pemikiran Mushthofa Al-‘Adawi dalam Tafsir Al-Tashïl Lita’wïl Al-Tanzïl Faisol, Yufni
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 1 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (353.476 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.1.1730

Abstract

Poligamy has been a sensitive issue and a heated debate among ulamas, Muslim scholars, and interpreters of the Qur’an since a long time ago. There are three opinions on interpreting verses considered as the source of law on poligamy and which is written in the books of  the Qur’anic exegeses. Firstly, the group of interpreters who allow poligamy absolutely and extremely flexible. Secondly, the group of interpreters who allow poligamy but under very strict requirements. Thirdly, the group of interpreters who reject and prohibit and even consider poligamy as an unlawful act for any reasons. Within such a context Shaykh Mushthafā al-‘Adawī  wants to give a full explanation about the understanding on poligamy especially that is related to the concept of equality in the poligamy by interpreting qur’anic verses  which are understood controversially by using the  methode of interpreting the Qur’an with other verses of the Qur’an, sound narration, munāsabah al-ayāt (interralated quranic verses), and the context of the verse of poligamy itself.---Poligami telah menjadi isu sensitif dan perdebatan sengit antara para ulama, ilmuwan Muslim, dan penafsir Alquran sejak dahulu kala. Ada tiga pendapat dalam menafsirkan ayat-ayat yang dianggap sebagai sumber hukum tentang poligami dan yang ada dalam kitab-kitab tafsir Alquran. Pertama, kelompok penafsir yang mengizinkan poligami dan sangat fleksibel. Kedua, kelompok penafsir yang mengizinkan poligami namun memiliki persyaratan yang sangat ketat. Ketiga, kelompok penafsir yang menolak dan melarang dan bahkan menganggap poligami sebagai tindakan melanggar hukum karena alasan apapun. Dalam konteks seperti itu, Syekh Mushthafā al-'Adawī ingin memberikan penjelasan lengkap tentang pemahaman poligami terutama yang berkaitan dengan konsep kesetaraan dalam poligami dengan menafsirkan ayat-ayat qur'an yang dipahami secara kontroversial dengan menggunakan metode untuk menafsirkan Qur'an dengan ayat-ayat Al Qur'an lainnya, narasi yang baik, munāsabah al-ayāt, dan konteks ayat poligami itu sendiri.
Paradigma Hukum Islam dalam Penyelesaian Sengketa Rokhmad, Abu
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 1 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (128.999 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.1.1731

Abstract

Disputes are a human phenomenon that is always present in society. In the event of a dispute, there are two mechanisms that can be used to resolve it, namely through court (litigation) and outside court (non-litigation). The litigation paradigm believes that the law must be enforced to end the conflict. In addition, a non-litigation paradigm is used, a paradigm that is rooted in consensus, deliberation or peace settlement between the parties. The philosophy of resolution is not to seek absolute victory on the one hand, so there must be another party to lose. This paradigm further encourages the conflict to end by making all parties as winners (win-win solution). Even if there is an unfulfilled desire, then both parties must bear the same weight loss. Islamic law also recognizes two paradigms of dispute settlement. Islamic law supports any dispute settled by law in the court (al-qadha). There is nothing wrong if society brings the issue before the judge. But Islamic law calls for moral advice, it is better for the parties to make peace and settle the matter in a kinship (islah, tahkim).---Sengketa merupakan fenomena manusiawi yang hampir selalu ada di masyarakat. Jika terjadi sengketa, ada dua mekanisme yang dapat digunakan untuk menyelesaikannya, yaitu melalui pengadilan (litigasi) dan di luar pengadilan (non-litigasi). Paradigma litigasi meyakini bahwa hukum harus ditegakkan untuk mengakhiri konflik yang terjadi. Di samping itu, juga digunakan paradigma non-litigasi, yaitu paradigma yang berakar pada konsensus, musyawarah atau penyelesaian damai antar para pihak. Falsafah resolusinya bukan untuk mencari kemenangan mutlak di satu pihak sehingga harus ada pihak lain yang kalah. Paradigma ini lebih mendorong agar konflik dapat diakhiri dengan menjadikan semua pihak sebagai pemenang (win-win solution). Kalaupun ada keinginan yang tak terpenuhi, maka kedua belah pihak harus menanggung beban kalah yang sama beratnya. Hukum Islam juga mengenal dua paradigma penyelesaian sengketa. Hukum Islam mendukung setiap sengketa diselesaikan secara hukum di pengadilan (al-qadha). Tidak ada yang salah bila masyarakat membawa persoalannya dihadapan hakim. Tetapi hukum Islam menyerukan anjuran moral, sebaiknya para pihak berdamai dan menyelesaikan masalahnya secara kekeluargaan (islah, tahkim).
GAGASAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PESANTREN (1970-1980) Untung, Slamet
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 1 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (411.767 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.1.1732

Abstract

The major problem of this article is how Abdurrahman Wahid’s ideas on developing pesantren education. It is elaborated into major sub-problems, namely the pesantren existence in the political frame of the New Order in the decades of 1970s and 1980s, Abdurrahman Wahid’s view on pesantren, and on the framework of developing pesantren education. This research is designed as qualitative one using hermeneutic and content analysis approaches. The findings of this research show that the phenomena of inability of pesantren in facing the New Order power, the policies of non pro-pesantren regime, and political suppression and systematical marginalization to pesantren done by the New Order regime in the decades of 1970s and 1980s became the factors that opened the way for the emergence of pesantren educational development ideas. Meanwhile, the common manifestations of the stagnant and apprehensive pesantren conditions were the internal factors encountered by pesantren at that time. To change these pesantren conditions, innovative ideas, namely “pesantren dynamicization” was introduced.---Masalah utama tulisan ini adalah bagaimana gagasan Abdurrahman Wahid tentang pengembangan pendidikan pesantren. Hal ini diuraikan menjadi sub-masalah utama, yaitu keberadaan pesantren dalam kerangka politik Orde Baru dalam dekade 1970-an dan 1980an, pandangan Abdurrahman Wahid tentang pesantren, dan dalam rangka pengembangan pendidikan pesantren. Penelitian ini dirancang secara kualitatif dengan menggunakan pendekatan analisis hermeneutik dan isi. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa fenomena ketidakmampuan pesantren dalam menghadapi kekuasaan Orde Baru, kebijakan rezim non pro-pesantren, dan penekanan politik dan marginalisasi sistemik terhadap pesantren yang dilakukan oleh rezim Orde Baru pada dekade 1970-an dan 1980 menjadi faktor yang membuka jalan bagi kemunculan gagasan pengembangan pendidikan pesantren. Sementara itu, manifestasi umum dari kondisi pesantren yang stagnan dan memprihatinkan adalah faktor internal yang dihadapi pesantren saat itu. Untuk mengubah kondisi pesantren ini, maka ide inovatif, yaitu “dinamika pesantren” diperkenalkan.
Titik Temu Pemikiran Mahmoud Mohamed Thaha dan Abdullahi Ahmed An-Na'im Khoir, Tholkhatul
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 1 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (286.429 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.1.1746

Abstract

Abdullahi Ahmed an-Na'im is deeply influenced by the Islamic Reform Movement in Sudan pioneered by Mahmoud Mohamed Taha. Together with other Taha supporters, an-Na'im formed a sociopolitical community that became famous for Tahaism. This article wants to show how the relationship of the two minds is so close and how Islamic legal thought of an-Na'im is partially influenced by Taha. In terms of historical research methodology, it can be said that Taha is a history of idea for an-Na'im. This is because the thought of an-Na'im turns out to be the same as Taha in terms of the importance of the naskh, and differs in worship, mysticism, socialism, and public reason. Moreover, the underlying power of the theorem an-Na'im is not merely an individual, not of individual processes aware of its importance in the flow of thought, but rather of the collective goals of a group that underlie individual thought. Most of his thoughts cannot be properly understood as long as their relation to life or to the social implications of human life are not taken into account.---Abdullahi Ahmed an-Na‘im sangat terpengaruh oleh Gerakan Reformasi Islam di Sudan yang dipelopori oleh Mahmoud Mohamed Taha. Bersama sama dengan para pendukung Taha lainnya, an-Na‘im membentuk sebuah komunitas sosial politik yang kemudian terkenal dengan Tahaisme. Artikel ini ingin menunjukkan betapa hubungan pemikiran keduanya sangat dekat dan betapa pemikiran hukum Islam an-Na‘im sebagiannya dipengaruhi oleh Taha. Dalam istilah metodologi penelitian sejarah, dapat dikatakan bahwa Taha adalah history of idea bagi an-Na‘im. Hal ini karena pemikiran an-Na‘im ternyata sama dengan Taha dalam hal pentingnya naskh, dan berbeda dalam hal ibadah, tasawwuf, sosialisme, dan public reason. Selain itu, kekuatan yang mendasari sikap teoritis an-Na‘im bukan semata merupakan sesuatu yang individual semata, yakni tidak berasal dari proses individu menyadari kepentingannya dalam arus pemikiran, akan tetapi lebih berasal dari tujuan-tujuan kolektif suatu kelompok yang mendasari pemikiran individu. Sebagian besar pemikirannya tidak dapat dimengerti secara tepat selama kaitannya dengan kehidupan atau dengan implikasi sosial kehidupan manusia tidak diperhitungkan.
Titik Temu Pemikiran Mahmoud Mohamed Thaha dan Abdullahi Ahmed An-Na'im Tholkhatul Khoir
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 1 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (286.429 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.1.1746

Abstract

Abdullahi Ahmed an-Na'im is deeply influenced by the Islamic Reform Movement in Sudan pioneered by Mahmoud Mohamed Taha. Together with other Taha supporters, an-Na'im formed a sociopolitical community that became famous for Tahaism. This article wants to show how the relationship of the two minds is so close and how Islamic legal thought of an-Na'im is partially influenced by Taha. In terms of historical research methodology, it can be said that Taha is a history of idea for an-Na'im. This is because the thought of an-Na'im turns out to be the same as Taha in terms of the importance of the naskh, and differs in worship, mysticism, socialism, and public reason. Moreover, the underlying power of the theorem an-Na'im is not merely an individual, not of individual processes aware of its importance in the flow of thought, but rather of the collective goals of a group that underlie individual thought. Most of his thoughts cannot be properly understood as long as their relation to life or to the social implications of human life are not taken into account.---Abdullahi Ahmed an-Na‘im sangat terpengaruh oleh Gerakan Reformasi Islam di Sudan yang dipelopori oleh Mahmoud Mohamed Taha. Bersama sama dengan para pendukung Taha lainnya, an-Na‘im membentuk sebuah komunitas sosial politik yang kemudian terkenal dengan Tahaisme. Artikel ini ingin menunjukkan betapa hubungan pemikiran keduanya sangat dekat dan betapa pemikiran hukum Islam an-Na‘im sebagiannya dipengaruhi oleh Taha. Dalam istilah metodologi penelitian sejarah, dapat dikatakan bahwa Taha adalah history of idea bagi an-Na‘im. Hal ini karena pemikiran an-Na‘im ternyata sama dengan Taha dalam hal pentingnya naskh, dan berbeda dalam hal ibadah, tasawwuf, sosialisme, dan public reason. Selain itu, kekuatan yang mendasari sikap teoritis an-Na‘im bukan semata merupakan sesuatu yang individual semata, yakni tidak berasal dari proses individu menyadari kepentingannya dalam arus pemikiran, akan tetapi lebih berasal dari tujuan-tujuan kolektif suatu kelompok yang mendasari pemikiran individu. Sebagian besar pemikirannya tidak dapat dimengerti secara tepat selama kaitannya dengan kehidupan atau dengan implikasi sosial kehidupan manusia tidak diperhitungkan.
KARAKTER HUBUNGAN DAN HARMONISASI KEHIDUPAN ANTARA KELOMPOK KEAGAMAAN RIFA’IYAH DAN NU Dandung Budi Yuwono
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 1 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (137.684 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.1.1733

Abstract

This research is to reveal the socio-religious conflicts that have been occurred between the religious group of Rifa’iyah and NU (Nahdlatul Ulama). The result of this research showed that economic competition has resulted in social conflicts and tensions. There has been a sensitive relation between religious groups of Rifa’iyah and NU. In ordert to create and keep a harmony, both need various activities that include togetherness between Rifa’iyah and NU as a social cohesion. In the future, religious spirit and ‘corporate culture’ is a model how to develop a harmony, which can provides support for preventing conflict. This research is classified as qualitative research. The data in this research is collected using three of data collection techniques, namely observation, participative observation, and indepth-interview. The analysis data used in this research is triangulation analysis techniques with attention to emic and ethic perspective.---Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap konflik sosio-religius yang terjadi antara kelompok keagamaan Rifa'iyah dan NU (Nahdlatul Ulama). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persaingan ekonomi telah mengakibatkan konflik sosial dan ketegangan di antara dua kelompok tersebut. Terdapat hubungan sensitif antara kelompok agama Rifa'iyah dan NU. Dalam rangka menciptakan dan menjaga harmoni, keduanya membutuhkan berbagai kegiatan yang mencakup kebersamaan antara Rifa'iyah dan NU sebagai sebuah kohesi sosial. Ke depan, semangat religius dan 'budaya perusahaan' adalah model bagaimana mengembangkan harmoni, yang bisa memberi dukungan untuk mencegah konflik. Penelitian ini diklasifikasikan sebagai penelitian kualitatif. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu observasi, observasi partisipatif, dan indepth-interview. Data analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis triangulasi dengan memperhatikan aspek emik dan etik.
KONSEP ADIL DALAM POLIGAMI: Telaah Pemikiran Mushthofa Al-‘Adawi dalam Tafsir Al-Tashïl Lita’wïl Al-Tanzïl Yufni Faisol
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 1 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (353.476 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.1.1730

Abstract

Poligamy has been a sensitive issue and a heated debate among ulamas, Muslim scholars, and interpreters of the Qur’an since a long time ago. There are three opinions on interpreting verses considered as the source of law on poligamy and which is written in the books of  the Qur’anic exegeses. Firstly, the group of interpreters who allow poligamy absolutely and extremely flexible. Secondly, the group of interpreters who allow poligamy but under very strict requirements. Thirdly, the group of interpreters who reject and prohibit and even consider poligamy as an unlawful act for any reasons. Within such a context Shaykh Mushthafā al-‘Adawī  wants to give a full explanation about the understanding on poligamy especially that is related to the concept of equality in the poligamy by interpreting qur’anic verses  which are understood controversially by using the  methode of interpreting the Qur’an with other verses of the Qur’an, sound narration, munāsabah al-ayāt (interralated quranic verses), and the context of the verse of poligamy itself.---Poligami telah menjadi isu sensitif dan perdebatan sengit antara para ulama, ilmuwan Muslim, dan penafsir Alquran sejak dahulu kala. Ada tiga pendapat dalam menafsirkan ayat-ayat yang dianggap sebagai sumber hukum tentang poligami dan yang ada dalam kitab-kitab tafsir Alquran. Pertama, kelompok penafsir yang mengizinkan poligami dan sangat fleksibel. Kedua, kelompok penafsir yang mengizinkan poligami namun memiliki persyaratan yang sangat ketat. Ketiga, kelompok penafsir yang menolak dan melarang dan bahkan menganggap poligami sebagai tindakan melanggar hukum karena alasan apapun. Dalam konteks seperti itu, Syekh Mushthafā al-'Adawī ingin memberikan penjelasan lengkap tentang pemahaman poligami terutama yang berkaitan dengan konsep kesetaraan dalam poligami dengan menafsirkan ayat-ayat qur'an yang dipahami secara kontroversial dengan menggunakan metode untuk menafsirkan Qur'an dengan ayat-ayat Al Qur'an lainnya, narasi yang baik, munāsabah al-ayāt, dan konteks ayat poligami itu sendiri.
Paradigma Hukum Islam dalam Penyelesaian Sengketa Abu Rokhmad
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 1 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (128.999 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.1.1731

Abstract

Disputes are a human phenomenon that is always present in society. In the event of a dispute, there are two mechanisms that can be used to resolve it, namely through court (litigation) and outside court (non-litigation). The litigation paradigm believes that the law must be enforced to end the conflict. In addition, a non-litigation paradigm is used, a paradigm that is rooted in consensus, deliberation or peace settlement between the parties. The philosophy of resolution is not to seek absolute victory on the one hand, so there must be another party to lose. This paradigm further encourages the conflict to end by making all parties as winners (win-win solution). Even if there is an unfulfilled desire, then both parties must bear the same weight loss. Islamic law also recognizes two paradigms of dispute settlement. Islamic law supports any dispute settled by law in the court (al-qadha). There is nothing wrong if society brings the issue before the judge. But Islamic law calls for moral advice, it is better for the parties to make peace and settle the matter in a kinship (islah, tahkim).---Sengketa merupakan fenomena manusiawi yang hampir selalu ada di masyarakat. Jika terjadi sengketa, ada dua mekanisme yang dapat digunakan untuk menyelesaikannya, yaitu melalui pengadilan (litigasi) dan di luar pengadilan (non-litigasi). Paradigma litigasi meyakini bahwa hukum harus ditegakkan untuk mengakhiri konflik yang terjadi. Di samping itu, juga digunakan paradigma non-litigasi, yaitu paradigma yang berakar pada konsensus, musyawarah atau penyelesaian damai antar para pihak. Falsafah resolusinya bukan untuk mencari kemenangan mutlak di satu pihak sehingga harus ada pihak lain yang kalah. Paradigma ini lebih mendorong agar konflik dapat diakhiri dengan menjadikan semua pihak sebagai pemenang (win-win solution). Kalaupun ada keinginan yang tak terpenuhi, maka kedua belah pihak harus menanggung beban kalah yang sama beratnya. Hukum Islam juga mengenal dua paradigma penyelesaian sengketa. Hukum Islam mendukung setiap sengketa diselesaikan secara hukum di pengadilan (al-qadha). Tidak ada yang salah bila masyarakat membawa persoalannya dihadapan hakim. Tetapi hukum Islam menyerukan anjuran moral, sebaiknya para pihak berdamai dan menyelesaikan masalahnya secara kekeluargaan (islah, tahkim).
GAGASAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PESANTREN (1970-1980) Slamet Untung
International Journal Ihya' 'Ulum al-Din Vol 18, No 1 (2016)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (411.767 KB) | DOI: 10.21580/ihya.17.1.1732

Abstract

The major problem of this article is how Abdurrahman Wahid’s ideas on developing pesantren education. It is elaborated into major sub-problems, namely the pesantren existence in the political frame of the New Order in the decades of 1970s and 1980s, Abdurrahman Wahid’s view on pesantren, and on the framework of developing pesantren education. This research is designed as qualitative one using hermeneutic and content analysis approaches. The findings of this research show that the phenomena of inability of pesantren in facing the New Order power, the policies of non pro-pesantren regime, and political suppression and systematical marginalization to pesantren done by the New Order regime in the decades of 1970s and 1980s became the factors that opened the way for the emergence of pesantren educational development ideas. Meanwhile, the common manifestations of the stagnant and apprehensive pesantren conditions were the internal factors encountered by pesantren at that time. To change these pesantren conditions, innovative ideas, namely “pesantren dynamicization” was introduced.---Masalah utama tulisan ini adalah bagaimana gagasan Abdurrahman Wahid tentang pengembangan pendidikan pesantren. Hal ini diuraikan menjadi sub-masalah utama, yaitu keberadaan pesantren dalam kerangka politik Orde Baru dalam dekade 1970-an dan 1980an, pandangan Abdurrahman Wahid tentang pesantren, dan dalam rangka pengembangan pendidikan pesantren. Penelitian ini dirancang secara kualitatif dengan menggunakan pendekatan analisis hermeneutik dan isi. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa fenomena ketidakmampuan pesantren dalam menghadapi kekuasaan Orde Baru, kebijakan rezim non pro-pesantren, dan penekanan politik dan marginalisasi sistemik terhadap pesantren yang dilakukan oleh rezim Orde Baru pada dekade 1970-an dan 1980 menjadi faktor yang membuka jalan bagi kemunculan gagasan pengembangan pendidikan pesantren. Sementara itu, manifestasi umum dari kondisi pesantren yang stagnan dan memprihatinkan adalah faktor internal yang dihadapi pesantren saat itu. Untuk mengubah kondisi pesantren ini, maka ide inovatif, yaitu “dinamika pesantren” diperkenalkan.

Page 1 of 1 | Total Record : 10