cover
Contact Name
MUHAMMAD SIDDIQ ARMIA
Contact Email
msiddiq@ar-raniry.ac.id
Phone
+6281317172202
Journal Mail Official
jurnal.petita@ar-raniry.ac.id
Editorial Address
http://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/about/editorialTeam
Location
Kota banda aceh,
Aceh
INDONESIA
PETITA: Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Syariah (PJKIHdS)
ISSN : 25028006     EISSN : 25498274     DOI : https://doi.org/10.22373/petita.v6i1
Core Subject : Religion, Social,
PETITA journal has aimed to deliver a multi-disciplinary forum for the discussion of thoughts and information among professionals concerned with the boundary of law and sharia, and will not accept articles that are outside of PETITA’s aims and scope. There is a growing awareness of the need for exploring the fundamental goals of both the law and sharia systems and the social consequences of their contact. The journal has tried to find understanding and collaboration in the field through the wide-ranging methods represented, not only by law and sharia, but also by the social sciences and related disciplines. The Editors and Publisher wish to inspire a discourse among the specialists from different countries whose various legal cultures afford fascinating and challenging alternatives to existing theories and practices. Priority will therefore be given to articles which are oriented to a comparative or international perspective. The journal will publish significant conceptual contributions on contemporary issues as well as serve in the rapid dissemination of important and relevant research findings. The opinions expressed in this journal do not automatically reflect those of the editors. PETITA journal have received papers from academicians on law and sharia, law theory, constitutional law, research finding in law, law and philosophy, law and religion, human rights law, international law, and constitutionality of parliamentary products. In specific, papers which consider the following scopes are cordially invited, namely; • Sharia Law • Constitutional Law • International Law • Human Rights Law • Land Property Law • Halal Law • Islamic Law • Sharia Court • Constitutional Court • Refugee Law • Transitional Justice • Trade Law • Regional Law • Institutional Dispute Law • Legal Thought • Law and Education • Humanitarian Law • Criminal Law • Islamic Law and Economics • Capital Punishment • Child Rights Law • Family Law • Anti-Corruption Law • International Trade Law • Medical Law
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol 5 No 2 (2020)" : 9 Documents clear
NATIONALISM IN A STATE BASED ON PANCASILA Anang Dony Irawan
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 5 No 2 (2020)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2505.554 KB) | DOI: 10.22373/petita.v5i2.85

Abstract

We certainly know how lately nationalism in our society seems to be fading. This is partly due to the large number of outside influences that continue to erode the nation's culture that has been passed down by the ancestors of the Indonesian nation. The efforts to foster nationalism based on Pancasila are efforts to manifest love for this nation which is the great consensus of the founders of the Indonesian nation. Pancasila is the embodiment of devotion, tolerance, mutual cooperation and noble values ​​adhered to by the Indonesian nation, which recently faded along with the strengthening of the issue of SARA, differences in political views, separatist movements, acts of terror, and violence against fellow children of other nations. This shows the instability of national and state life that is no longer based on Pancasila. If this continues without any real effort to revive the pillars of Pancasila, then this condition can endanger the survival of the nation and state. The values ​​of nationalism must again become the main choice for integrating Indonesian society which has been divided by the conflict or friction that occurs in society. Nationalism does not distinguish the components of the nation based on groups or others, but rather the unity and integrity of the nation which is built from the diversity of its citizens. The spirit of nationalism needs to be revived again for all citizens to strengthen the life of the nation and state so that the interests of groups who want this nation to be destroyed and divided are not easily overtaken. The history of the nation has proven that with strong nationalism this nation can become independent and manage its own life. Abstrak: Kita tentu tahu bagaimana belakangan ini nasionalisme dalam masyarakat kita seolah kian memudar. Hal ini antara lain disebabkan banyaknya pengaruh dari luar yang terus menggerus budaya bangsa yang telah diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Upaya menumbuhkan nasionalisme berlandaskan Pancasila adalah upaya perwujudan kecintaan kepada bangsa ini yang merupakan konsensus agung para pendiri bangsa Indonesia. Pancasila adalah perwujudan pengabdian, toleransi, gotong royong dan nilai-nilai luhur yang dianut bangsa Indonesia, yang belakangan memudar seiring menguatnya isu SARA, perbedaan pandangan politik, gerakan separatis, aksi teror, dan kekerasan terhadap sesama anak bangsa lainnya. Hal ini menunjukkan akan adanya instabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak lagi melandaskan pada Pancasila. Bila hal ini terus berlangsung tanpa ada upaya nyata untuk kembali menghidupkan pilar-pilar Pancasila, maka kondisi ini akan membahayakan keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai nasionalisme haruslah kembali menjadi pilihan utama untuk mengintegrasikan masyarakat Indonesia yang telah terpecah belah dengan adanya konflik maupun gesekan yang terjadi di masyarakat. Nasionalisme tidak membedakan komponen bangsa berdasarkan golongan ataupun lainnya, melainkan persatuan dan kesatuan bangsa yang dibangun dari keberagaman warga negaranya. Semangat nasionalisme perlu digelorakan lagi bagi seluruh warga negara untuk memperkokoh kehidupan berbangsa dan bernegara agar tidak mudah ditunggangi kepentingan kelompok-kelompok yang menginginkan bangsa ini hancur dan terpecah belah. Sejarah bangsa telah membuktikan, dengan nasionalisme yang kokoh bangsa ini dapat merdeka dan mengatur kehidupannya sendiri. Abstrak: Kita tentu tahu bagaimana belakangan ini nasionalisme dalam masyarakat kita seolah kian memudar. Hal ini antara lain disebabkan banyaknya pengaruh dari luar yang terus menggerus budaya bangsa yang telah diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Upaya menumbuhkan nasionalisme berlandaskan Pancasila adalah upaya perwujudan kecintaan kepada bangsa ini yang merupakan konsensus agung para pendiri bangsa Indonesia. Pancasila adalah perwujudan pengabdian, toleransi, gotong royong dan nilai-nilai luhur yang dianut bangsa Indonesia, yang belakangan memudar seiring menguatnya isu SARA, perbedaan pandangan politik, gerakan separatis, aksi teror, dan kekerasan terhadap sesama anak bangsa lainnya. Hal ini menunjukkan akan adanya instabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak lagi melandaskan pada Pancasila. Bila hal ini terus berlangsung tanpa ada upaya nyata untuk kembali menghidupkan pilar-pilar Pancasila, maka kondisi ini akan membahayakan keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai nasionalisme haruslah kembali menjadi pilihan utama untuk mengintegrasikan masyarakat Indonesia yang telah terpecah belah dengan adanya konflik maupun gesekan yang terjadi di masyarakat. Nasionalisme tidak membedakan komponen bangsa berdasarkan golongan ataupun lainnya, melainkan persatuan dan kesatuan bangsa yang dibangun dari keberagaman warga negaranya. Semangat nasionalisme perlu digelorakan lagi bagi seluruh warga negara untuk memperkokoh kehidupan berbangsa dan bernegara agar tidak mudah ditunggangi kepentingan kelompok-kelompok yang menginginkan bangsa ini hancur dan terpecah belah. Sejarah bangsa telah membuktikan, dengan nasionalisme yang kokoh bangsa ini dapat merdeka dan mengatur kehidupannya sendiri.Kata Kunci: Pancasila, Nasionalisme, Warga Negara, Ideology Bangsa Indonesia.
SHARIA CONTEXTUALISATION TO ESTABLISH THE INDONESIAN FIQH Nawir Yuslem
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 5 No 2 (2020)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2555.733 KB) | DOI: 10.22373/petita.v5i2.96

Abstract

The codifying of Islamic law through legislation is the right choice to realise the future of Islamic law in Indonesia. the role of the state is in the development and formulation of Islamic law. The state has played a very important role in supporting and equipping the development of the implementation of ijtihad. This can be realised through the state by way of provision of funds, facilities and educational institutions that can create a conducive environment to enhance the ability of ijtihad, advances of science, improving the quality and quantity of scholars and scientists. If the scholars can carry out their functions by providing fresh ideas and thoughts (ijtihad) that are appropriate in responding to contemporary problems. The state has obliged to form a consultative meeting to search and choose the most appropriate ideas and thoughts to be guided and used as legally applicable regulations and made as law. In this case, the state (government) must be very careful when it will determine the legislation that is binding on the people so that these regulations must be able to maximally meet the needs of the community while being able to solve their problems fairly. If not, then Muslims will again adhere to the opinion that only independent clerics and mujtahids can be trusted to formulate and develop laws that will govern people's lives through their ijtihad and fatwas. Therefore, the state must truly guarantee the freedom and independence of the activities of the legislative agency, while maintaining a collective role in determining and codifying correct opinions. Abstrak: Kodifikasi hukum Islam melalui peraturan perundang-undangan merupakan pilihan yang tepat untuk mewujudkan masa depan hukum Islam di Indonespia, khususnya dalam melihat eran negara dalam pengembangan dan perumusan hukum Islam. Negara berperan sangat penting dalam mendukung dan memperlengkapi perkembangan pelaksanaan ijtihad. Hal ini dapat diwujudkan oleh negara dengan cara penyediaan dana, fasilitas dan lembaga pendidikan yang dapat menciptakan lingkungan yang kondusif untuk meningkatkan kemampuan ijtihad, kemajuan ilmu pengetahuan, peningkatan kualitas dan kuantitas ulama dan ilmuwan. Jika para ulama dapat menjalankan fungsinya dengan maksimal, maka akan muncul ide dan pemikiran segar (ijtihad) yang tepat dalam menjawab permasalahan kontemporer. Negara berkewajiban membentuk permusyawaratan untuk mencari gagasan dan pemikiran yang paling tepat untuk dijadikan pedoman, dan dijadikan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini negara (pemerintah) harus sangat berhati-hati ketika akan menetapkan peraturan perundang-undangan yang mengikat rakyat, sehingga peraturan tersebut harus mampu secara maksimal memenuhi kebutuhan masyarakat, sekaligus mampu menyelesaikan permasalahan terbaru secara adil. Jika tidak, maka umat Islam akan kembali berpegang pada ulama dan mujtahid independen yang dapat dipercaya untuk merumuskan dan mengembangkan hukum, untuk mengatur kehidupan masyarakat melalui ijtihad dan fatwa para ulama. Oleh karena itu, negara harus benar-benar menjamin kebebasan dan independensi kegiatan lembaga legislatif, dengan tetap menjaga peran kolektif dalam menentukan dan mengkodifikasikan pendapat yang benar. Kata Kunci: Kontekstualisasi Syariah, Fiqh Indonesia, Hukum Praktis
ISLAMIC SHARIA IN ACEH AND ITS IMPLICATIONS IN OTHER REGIONS IN INDONESIA Yasrul Huda
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 5 No 2 (2020)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2577.398 KB) | DOI: 10.22373/petita.v5i2.98

Abstract

This article will discuss the impact of implementation of Sharia law in Aceh to other provinces in Indonesia, including West Sumatera. Considering the development of various regional regulations in West Sumatra, there are some things that need to be noted. First, the desire to make regional regulations consuisting sharia is more dominated by the desires of certain political parties. It is not supported by other government agencies in the form of existing local regulation follow-up even though the political party always claims that the regulation is the desire of the wider community. Consequently, it is difficult to reject the impression that the presence of these regulations is solely for the political interests of parties, or the interests of heads of government. Second, the emergence of these regulations is highly determined by the figures driving the emergence of these regulations. So, when they are no longer in their positions, then the attention to the implementation of these regulations is reduced or nonexistent. Third, there are differences of opinion or understanding among regional leaders that overcoming the problem of poverty, problems in education and the economy is far more important than just making sharia regulations. As a result of the accumulation of these three things, the momentum of the emergence of the need for sharia regulations often appears and then disappears and then reappears following certain events in the community; like in the month of Ramadan or other Islamic celebrations. Abstrak: Artikel ini akan membahas dampak penerapan syariat Islam di Aceh terhadap provinsi lain di Indonesia, termasuk Sumatera Barat. Melihat perkembangan berbagai peraturan daerah di Sumatera Barat, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, keinginan untuk membuat peraturan daerah yang menganut syariah lebih didominasi oleh keinginan partai politik tertentu. Hal tersebut tidak didukung oleh instansi pemerintah lainnya berupa tindak lanjut perda yang ada, meskipun partai politik selalu mengklaim bahwa perda tersebut merupakan keinginan masyarakat luas. Akibatnya, sulit untuk menolak kesan bahwa kehadiran peraturan tersebut semata-mata untuk kepentingan politik partai, atau kepentingan kepala pemerintahan. Kedua, munculnya peraturan-peraturan tersebut sangat ditentukan oleh tokoh-tokoh pendorong munculnya peraturan-peraturan tersebut. Jadi, ketika mereka tidak lagi pada posisinya, maka perhatian terhadap pelaksanaan peraturan tersebut berkurang atau tidak ada. Ketiga, adanya perbedaan pendapat atau pemahaman di antara para pemimpin daerah bahwa mengatasi masalah kemiskinan, masalah pendidikan dan ekonomi jauh lebih penting daripada hanya membuat peraturan syariah. Akibat akumulasi dari ketiga hal tersebut, momentum munculnya kebutuhan akan peraturan syariah seringkali muncul, kemudian menghilang dan kemudian muncul kembali mengikuti peristiwa-peristiwa tertentu di masyarakat; seperti di bulan Ramadhan atau perayaan Islam lainnya. Kata Kunci: Hukum Syariah, Implikasi Syariah, Otonomi Khusus, Hukum Pidana Islam
THE DUTCH COLONIAL ECONOMIC’S POLICY ON NATIVES LAND PROPERTY OF INDONESIA Chairul Fahmi
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 5 No 2 (2020)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2590.587 KB) | DOI: 10.22373/petita.v5i2.99

Abstract

This paper analyzes the historical shifts of land property rights in Indonesia's archipelago and how new land laws were formed, especially during the Dutch colonization era. After the Netherlands East Indies (NEI) established in the 18th century and proclaimed itself as a sovereign landlord over the East Indies (Indonesia), the role of indigenous law (adat law) and its rights to lands have diminished by a new form of law namely the European law system (the civil code). By adopting the European civil code, the colonial Dutch declared all uncertified lands and all forests’ resources were the Dutch colonial State's property and to be managed by the colonial authority [State’s domain]. For Adat peoples, these rights belong to them, either as individuals or as groups, and it had been recognized by their customary law (adat law) legally, which they have had since their ancestors inhabited within the land, territories, and resources. Further significant impact toward the adat rights to land, when the Agrarian Act (agrarisch wet) applied in 1870 by the colonial government, had severely impacted towards the land right of indigenous peoples in Indonesia, by which most of them had lost their adat property right to lands and forest resources. In contrast, the Dutch colonial State was gained millions of guldens for economic profit from the expropriation of the native land and from unpaid native slaves who worked in the Dutch plantation sectors. Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk menganalisis sejarah perubahan hak milik tanah di kepulauan Indonesia, dan bagaimana hukum tentang agraria dibentuk, khususnya pada zaman penjajahan Belanda. Setelah kolonial Hindia Belanda memproklamirkan berdirinya the Netherland East Indies (NEI) pada abad ke 18, dan menyatakan diri sebagai negara yang berdaulat atas seluruh wilayah Hindia Timur (Indonesia), telah menyebabkan peran hak kolektif atas tanah adat dihapus dengan adanya system hukum Eropa (Hukum Sipil). Penerapan system hukum sipil oleh penjajah Belanda yang menyatakan bahwa tanah-tanah yang tidak mempunyai legalitas (sertifikat), serta wilayah hutan berserta kekayaannya merupakan properti negara dan dikelola oleh institusi negara (State domain). Sebaliknya, bagi masyarakat adat, kekayaan tersebut merupakan milik adat, baik secara individu maupun kelompok. Hal ini telah diakui berdasarkan hukum adat, dimana wilayah (tanah adat) beserta kekayaan di dalamnya merupakan warisan dari leluhurnya. Lebih jauh, pengaruh penerapan system hukum agrarian/sipil Eropa telah menyebabkan dampak negative terhadap kepemilikan tanah adat, dimana hak-hak milik (komunal) mereka menjadi hilang. Sebaliknya, kolonial Belanda memperolah keuntungan ekonomi jutaan gulden dari kegiatan eksploitasi dan kompensasi dari hak konsesi, serta dari perbudakaan rakyat diperusahaan-perusahan perkebunan milik kolonial Belanda. Kata Kunci: Kolonial Belanda, Kebijakan Ekonomi, Tanah Milik Indonesia
THEORETICAL REVIEW OF ISLAMIC LEGAL SOURCES ACCORDING TO THE MISREPRESENTATION THEORY OF HALLAQ Rahmat Budiman
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 5 No 2 (2020)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2543.611 KB) | DOI: 10.22373/petita.v5i2.100

Abstract

The existence of Islamic law from time to time in a Muslim community is believed to be the result of an in-depth study of the sources of Islamic law: the Qur’an (the Word of God), Hadith (sayings of the Prophet Muhammad), Ijtihad (the process of making a legal decision by independent interpretation of the legal sources, the Qur’an and the Sunnah), Qiyas (the deduction of legal prescriptions from the Qur’an or Sunnah by analogic reasoning), as well as Ijma (the result of the agreement of the Scholars). These sources of Islamic law were then poured into Usul al-Fiqh, which was then considered as a concrete form of Islamic law itself. This is reinforced by the classical teachings of orientalist Scholars who acknowledge that Islamic law is preserved in Usul al-Fiqh by great Scholars. However, this concept was challenged by Hallaq with a misrepresentation of his theory. He stated that Sharia can exist in society, not because of the role of Usul al-Fiqh but the role of the Fatwa (authoritative legal opinion), which is given by the Mufti and is applied by practitioners of Islamic law in Muslim-majority societies. Abstrak: Eksistensi hukum Islam dari masa ke masa di suatu komunitas muslim diyakini sebagai hasil kajian mendalam dari sumber Hukum Islam berupa Al- Quran, Hadist, Ijtihad, Qiyas, maupun berupa hasil kesepakatan para ulama (Ijma). Sumber – sumber hukum Islam ini kemudian dituangkan ke dalam Ushul Fiqh yang kemudian dinaggap sebagai wujud konkrit dari hukum Islam itu sendiri. Hal ini diperkuat oleh ajaran – ajaran klasik para sarjana orientalis yang mengakui bahwa hukum Islam dipelihara di dalam Ushul Fiqh karya ulama – ulama besar. Namun konsep ini mendapat tentangann dari Hallaq dengan misrepresntasi teorinya. Hallaq menyatakan bahwa Syariah dapat eksis di masyarakat bukan karena peranan dari Ushul Fiqh namun karena adanya peranan Fatwa yang dihidupkan oleh Mufti, dan diaplikasikan oleh para praktisi Hukum Islam di masyarakat mayoritas Islam. Kata Kunci: Sumber Hukum Islam, Syariah, Ushul Fiqh, Mufti, Fatwa
HALAL CERTIFICATION PROCEDURE IN MALAYSIA AND INDONESIA Johari Ab Latiff
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 5 No 2 (2020)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2642.476 KB) | DOI: 10.22373/petita.v5i2.102

Abstract

Pharmaceutical products deals with different component of materials or substances and its whole process are more critical than food products. Malaysia has launched and implemented the Malaysian Standard MS 2424:2012 Halal Pharmaceuticals-General Guidelines since 2012 on halal pharmaceuticals and to the pharmaceutical manufacturers. The government of Indonesia also making halal labelling on all products mandatory in Indonesia by 2019. This momentum of halal certification for pharmaceutical products by both countries need to be enhance by improving the initiatives the implementation of standard and guidelines. The objectives of the study are to explain the concept of halal pharmaceuticals based on halal certification procedure in Malaysia and Indonesia, to examining the evidence from the Holy Al-Quran, as-Sunnah and dalil due to the determination of halal pharmaceuticals products, to analyse general principles based on Islamic law to the determination of halal pharmaceutical products and to identify a new method based on Islamic principles in determining the halal pharmaceutical products. In general, the qualitative method is used in this study, the data collection methods are through document analysis. The findings of this study. First, in understanding the concept of halal pharmaceuticals in Malaysia and Indonesia it is basically not only based on Islamic law alone, but also subject to the criteria and regulations enforced in both countries. Second, the Islamic principle of halal and haram, darurah and fatwa is a basis or general Islamic principle applicable to determine halal pharmaceuticals products. Third, the comprehensive method or criteria for determination of halal pharmaceutical products is encompassing the principle of pharmaceuticals derived from halal substances, materials, the principle of Maslahah, the principle of Ihtiyathand the principle of Istihalah Tammah. Abstrak: Produk farmasi berkaitan dengan komponen bahan atau zat yang berbeda dan seluruh prosesnya lebih penting daripada produk makanan. Malaysia telah meluncurkan dan menerapkan Standar Malaysia MS 2424:2012 Pedoman Umum Farmasi Halal sejak 2012 tentang obat-obatan halal dan kepada produsen farmasi. Pemerintah Indonesia juga mewajibkan pelabelan halal pada semua produk di Indonesia pada 2019. Momentum sertifikasi halal untuk produk farmasi oleh kedua negara perlu ditingkatkan dengan meningkatkan inisiatif penerapan standar dan pedoman. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan konsep kehalalan obat berdasarkan prosedur sertifikasi halal di Malaysia dan Indonesia, mengkaji dalil-dalil dari Al-Qur'an, As-Sunnah dan dalil karena penentuan produk obat halal, menganalisis prinsip-prinsip umum berdasarkan hukum Islam untuk penentuan produk farmasi halal dan untuk mengidentifikasi metode baru berdasarkan prinsip-prinsip Islam dalam menentukan produk farmasi halal. Artikel ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan metode pengumpulan datanya melalui analisis dokumen. Temuan dalam artikel ini adalah, pertama, dalam memahami konsep kehalalan farmasi di Malaysia dan Indonesia pada dasarnya tidak hanya berdasarkan syariat Islam saja, tetapi juga tunduk pada kriteria dan peraturan yang berlaku di kedua negara. Kedua, syariat Islam tentang halal dan haram, darurah dan fatwa merupakan dasar atau prinsip umum Islam yang berlaku untuk menentukan kehalalan produk farmasi. Ketiga, metode atau kriteria yang komprehensif dalam penetapan kehalalan produk farmasi meliputi prinsip kehalalan obat yang berasal dari zat, bahan, prinsip mashlahah, prinsip ihtiyath dan prinsip istihalah tammah. Kata Kunci: Sertifikasi Halal, Penetapan Farmasi, Produk Halal di Malaysia dan Indonesia
ANALYSIS OF ABSOLUTE COMPETENCE OF DISTRICT COURTS AND SYARI’AH COURTS Rosmawardani Muhammad
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 5 No 2 (2020)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2585.89 KB) | DOI: 10.22373/petita.v5i2.103

Abstract

The District Court and Syari’ah Court (Mahkamah Syar’iyah) jurisdictions to deal with child sexual abuse cases have still overlapped. This issue generates legal uncertainty in the enforcement of Jinayat Law in Aceh. This study aims to analyze the resolution patterns over child sexual abuse cases in Aceh, the resolution patterns over child sexual abuse cases at District Courts, and the efforts to solve dualism issues of the courts in trying child sexual abuse cases in Aceh. This study employed a juridical-empirical method that attempts to analyze behaviors of law enforcement officials in handling sexual abuse cases in Aceh using case and statute approaches based on the rules and principles of law studies. The legal materials utilized in this study were Law, Qanun, Government Regulation, and Syari’ah Court and District Court Decisions. Data were analyzed qualitatively. The findings reveal that both District Courts and Syari’ah Courts still settle sexual abuse cases. The results also point out that the resolution patterns in adjudicating sexual abuse cases at District Courts are categorized into adult offenders and young offenders. The provisions stipulated in the Criminal Procedure Code (KUHAP) are applied for adult offenders, while the Juvenile Criminal Justice System Law is regulated for young offenders. The efforts to overcome dualism are generating new policies by the Supreme Court to delegate the authority to solve sexual abuse cases and other jinayat cases from District Courts to Syari’ah Courts, and the issuance of Memorandum of Understanding (MoU) between Aceh Syari’ah Courts, Aceh Regional Police, Aceh High Prosecutor’s Office, and Aceh High Court governing the authorization limits over the settlement of jinayat cases. Abstrak: Kewenangan mengadili kasus pelecehan seksual pada anak masih tumpang tindih antara Pengadilan Negeri dan Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penegakan hukum jinayat di Aceh. Penelitian bertujuan menganalisis pola penyelesaian kasus pelecehan seksual anak di Aceh, pola penyelesaian kasus pelecehan seksual di Pengadilan Negeri dan upaya menyelesaikan dualisme pengadilan dalam mengadili perkara pelecehan seksual terhadap anak di Aceh. Penelitian menggunakan metode penelitian yuridis empiris yang berusaha menganalisis prilaku aparat penegak hukum dalam menangani kasus pelecehan seksual di Aceh dengan menggunakan pendekatan kasus dan pendekatan konseptual sesuai dengan kaidah dan asas-asas dalam ilmu hukum. Bahan hukum yang digunakan UU, Qanun, Peraturan Pemerintah dan putusan hakim Mahkamah Syar’iyah dan putusan hakim Pengadilan Negeri. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanganan kasus pelecehan seksual masih dipraktikkan di Pengadilan Negeri dan Mahkamah Syar’iyah. Pola penanganan kasus di pengadilan negeri dalam mengadili kasus pelecehan seksual dapat dikategori menjadi dua yaitu pelaku dewasa dan pelaku anak. Bagi pelaku dewasa menggunakan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam KUHAP sementara bila anak yang melakukannya berpedoman pada UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Upaya mengakhiri dualisme adalah dengan melahirkan kebijakan baru oleh Mahkamah Agung untuk melimpahkan kewenangan penyelesaian kasus pelecehan seksual dan kasus jinayat lainnya dari Pengadilan Umum kepada Mahkamah Syar’iyah dan adanya MoU antara Mahkamah Syar’iyah Aceh, Kepolisian Daerah Aceh, Kejaksaan Tinggi Aceh dan Pengadilan Tinggi Aceh terkait batasan kewenangan penyelesaian perkara jinayat. Kata Kunci: Kompetensi Mutlak, Pengadilan Negeri, Pengadilan Syari’ah, Mengadili Jarimah, Pelecehan Seksual Anak
JUDICIAL ACTIVISM IN INDONESIA Rahayu Prasetianingsih
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 5 No 2 (2020)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2650.234 KB) | DOI: 10.22373/petita.v5i2.106

Abstract

The existence of Constitutional Court becomes important as requisite for the rule of law principle and democracy in Indonesia. Amendment of the Constitution by Indonesia National Assembly has chosen to share judicial power held by the Supreme Court and Constitutional Court with the authority to judicial review of legislation to the Constitution. The Constitutional Court as Guardian of the Constitution has its own role in establishing constitutional culture in Indonesia. Commitment to constitutionalism is adistinctive constitutional culture which will also develop the constitution itself. Commitment to UUD 1945 as the limitation to the powers and a guarantee of constitutional rights that must be protected by the Constitutional Court with the authority to review as the implementation of Indonesia constitutionalism. Constitutional culture discuss in this paper is focused on understanding constitutional culture which will affect the implementation of the constitution by "the formal institutions of the state", especially in relation to the citizenry. The Constitutional Court in review of the legislation to the constitution has used various methods of Constitutional interpretation to uphold the law and substantive justice. From several decisions seem that the constitutional interpretation made by the Constitutional Court was expanding the existing notions of UUD 1945 or event change the constitution. The Constitutional Court leads to judicial activism and can be said that the constitutional court has become super body. On the other side, presence of the Constitutional Court expected to complement the government system of Indonesia, in accordance with the function can motivate the performance of other state institutions, in this case the legislator in order to establish better legislation. Abstrak: Mahkamah Konstitusi menjadi syarat penting bagi terwujudnya prinsip negara hukum dan demokrasi di Indonesia. Perubahan Konstitusi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat telah membagi kekuasaan kehakiman kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan pengujian undang-undang terhadap Konstitusi. Mahkamah Konstitusi sebagai Penjaga Konstitusi memiliki peran tersendiri dalam membangun budaya konstitusi di Indonesia. Komitmen terhadap konstitusionalisme merupakan budaya konstitusi yang khas yang juga akan mendinamisasi konstitusi itu sendiri. Komitmen terhadap UUD 1945 sebagai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak konstitusional yang harus dilindungi oleh Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan pengujian sebagai implementasi konstitusionalisme Indonesia. Budaya konstitusi yang dibahas dalam tulisan ini fokus pada pemahaman budaya konstitusi yang akan mempengaruhi pelaksanaan konstitusi oleh "lembaga formal negara", terutama dalam kaitannya dengan warga negara. Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap konstitusi telah menggunakan berbagai metode penafsiran Konstitusi untuk menegakkan hukum dan keadilan substantif. Dari beberapa putusan tampak bahwa penafsiran konstitusi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan perluasan dari pengertian UUD 1945 yang sudah ada atau bahkan mengubah konstitusi. Mahkamah Konstitusi mengarah pada judicial activism dan dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi telah menjadi super body. Di sisi lain, kehadiran Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat melengkapi sistem pemerintahan Indonesia, sesuai dengan fungsinya dapat memotivasi kinerja lembaga negara lainnya, dalam hal ini pembentuk undang-undang agar dapat membentuk peraturan perundang-undangan yang lebih baik.Kata Kunci: Judicial Review, Penafsiran Konstitusi, Budaya Konstitusi
INTRODUCTION Muhammad Siddiq Armia; Muhammad Syauqi Bin-Armia
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 5 No 2 (2020)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/petita.v5i2.126

Abstract

Page 1 of 1 | Total Record : 9