cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam
ISSN : 24605565     EISSN : 25031058     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue " Vol 2 No 2 (2016): Desember" : 10 Documents clear
Analisis terhadap Larangan Analogi dalam ‎Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang ‎Hukum Pidana Yasin, Ikhsan Fatah
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (92.271 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.2.408-419

Abstract

Abstract: This article discusses the analysis of the prohibition of analogy in the Draft Bill. The majority of the experts of jurisprudence against analogy. The author does not agree with the ban on using the analogy in the Draft Bill, but justifies the analogy with the record, the judge must be competent and with integrity. If the judge is unable to make analogy, then he could use self-interpretation to find a legal decition. The argument of usage of analogy is to seek substantial justice for the people without setting aside the individual’s rights, because by using the analogy, the rule of law will remain unfulfilled. It is because the crime, in its various forms, is still contrary to morality even though it is not written, and even if the crime has an impact to the public. In Islamic law, the method of qiyâs compiled by Imam Shafi’i in may be used as a good analogy, because qiyâs method has been tested by producing many laws.Keywords: Analogy, draft bill, the criminal code. Abstrak: Artikel ini membahas tentang analisis terhadap larangan analogi dalam RUU KUHP. Mayoritas para ahli ilmu hukum menentang analogi. Penulis tidak sepakat dengan larangan menggunakan analogi dalam RUU KUHP, tetapi membenarkan analogi dengan catatan, hakimnya harus kompeten dan berintegritas. Jika hakimnya memang tidak mampu untuk beranalogi, maka ia masih bisa menggunakan interpretasi untuk menemukan hukumnya.   Argumen diperbolehkannya analogi adalah untuk mencari keadilan substansial bagi masyarakat tanpa menyampingkan perlindungan individu, sebab dengan menggunakan analogi kepastian hukum akan tetap terpenuhi. Karena kejahatan, dalam berbagai bentuknya, tetap saja bertentangan dengan kesusilaan meskipun ia tidak tertulis, apalagi jika kejahatan tersebut membawa pengaruh kepada masyarakat luas. Dalam hukum Islam, metode qiyâs yang disusun oleh Imam Syafi’i dalam berijtihad mungkin dapat digunakan sebagai proses analogi yang baik, sebab metode qiyâs ini sudah teruji dengan memproduksi banyak hukum. Kata Kunci: Analogi, Rancangan Perundang-undangan, KUHP.
Dialektika Hukum Islam pada Masa Awal Islam Junaidy, Abdul Basith
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (124.153 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.2.420-439

Abstract

Abstract: The dynamic and dialectical theory of Islamic law had been since the time of the Prophet Muhammad (p.b.u.h). However, the theory of Islamic law in a comprehensive form had just started at the time of al-Shafi’i, and then continuously further developed and refined by the next future jurists of different schools of Islamic law there. The theory of classical Islamic law seeks to integrate the authoritative text (nushûsh) and the role of human reason (ra’y). However, the function of the human mind is at a lower level (subordinate) and additional (subsidiary) rather than function doctrine revealed by God (nushûsh). All schools of Islamic law that had developed at that time had to conform to the model of integration that had to do certain concessions if it wanted to gain recognition as a legitimate school of law. For example, traditionalists must accept ra’y in the form of qiyâs. For this reason, the schools of Islamic law which would not accept qiyâs, it would have been out of the circulation, such as Zahiri and Hasywiyah schools.Keywords: Islamic Law, Early time of Islam, nushûsh, ra’y. Abstrak: Teori hukum Islam yang dinamis dan dialektis sudah ada sejak masa Rasulullah saw. Namun, teori hukum dalam bentuknya yang komprehensif baru dimulai pada masa al-Syafi’i, kemudian secara berkesinambungan terus dikembangkan dan disempurnakan oleh para fuqaha masa berikutnya dari berbagai mazhab hukum Islam yang ada. Teori Hukum Islam klasik berupaya mengintegrasikan antara teks otoritatif (nushûsh) dan peran nalar manusia (ra’y).  Namun fungsi nalar manusia  berada pada tingkatan yang lebih rendah (subordinatif) dan tambahan (subsider) dibanding fungsi ajaran yang diwahyukan Tuhan (nushûsh). Semua aliran hukum yang berkembang pada saat itu harus menyesuaikan diri dengan model integrasi yang ada dengan melakukan konsesi-konsesi tertentu jika ingin mendapatkan pengakuan sebagai aliran hukum yang sah. Misalnya, aliran tradisionalis harus menerima ra’y dalam bentuk qiyâs. Atas dasar itu, aliran-aliran hukum yang tidak mau menerima qiyâs, dengan sendirinya hilang dari peredaran, seperti mazhab Zahiri dan mazhab Hasywiyah.Kata Kunci: Hukum Islam, Masa Awal Islam, nushûsh, ra’y.
Eksploitasi Jasa Anak Menurut Undang-Undang ‎Nomor 23 Tahun 2002 dan Hukum Pidana Islam Hakiky, Shofiyul Fuad
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (183.119 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.2.275-302

Abstract

Abstract: Exploitation to a child is an inhumane act. Although a ban on the exploitation of child’s services is legally mentioned in legislation, but it is different in reality. We can see some adult people take their babies to begging, singing under traffic light, even they are recruited as factory workers and others. It is because the exploiters of the children’s service are less fear or underestimate to the existing sanctions under the child protection legislation No. 23 of 2002. The criminal sanction against perpetrators of child exploitation as contained in Law No. 23 of 2002 section 83, 84, and 88 is considered less straight.  On Islamic jurisprudence perspective, a child is in need of special attention. It can be in the form of guidance, education, and legal protection. Whatever is done by a child, it has not been subjected to the burden of law. So that even if the child was given a penalty, then the punishment should be an educational one, not to exceed the limit of a child’s ability. On the other hands, considering the mental and psychological effects of the child is quite important for his/her development in the future. Keywords: Exploitation, children’s services, law, Islamic criminal law.   Abstrak: Eksploitasi anak merupakan tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Meskipun larangan eksploitasi jasa anak ada dalam undang-undang, tetapi pada kenyataannya masih terjadi, contohnya; anak bayi yang diajak orang tuanya mengemis, mengamen di pingir perempatan lampu lalu lintas, buruh pabrik, dan lain-lain. Hal tersebut dikarenakan pelaku eksploitasi jasa anak kurang takut atau meremehkan sanksi yang ada dalam undang-undang perlindungan anak No.23 tahun 2002. Sanksi pidana terhadap pelaku eksploitasi jasa anak yang tercantum dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terletak pada pasal 83, 84, dan 88. Dalam pandangan fiqh anak-anak perlu mendapat perhatian khusus, berupa pembinaan, pendidikan, dan perlindungan hukum. Apapun yang dilakukan oleh anak-anak belum dikenai beban hukum, sehingga kalaupun anak itu diberikan sanksi, maka sanksinya harus bersifat pendidikan, tidak melampaui batas kemampuan anak, dan harus mempertimbangkan efeknya terhadap perkembangan jiwa anak. Kata Kunci: Eksploitasi, jasa, anak, undang-undang, Hukum pidana Islam.
Hak Pemanfaatan Sumber Daya Alam Perspektif ‎Hukum Islam Mugiyati, Mugiyati
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (705.11 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.2.440-471

Abstract

Abstract: Islam gives freedom to people to utilize the public natural resources, because everyone has the irtifâq right namely to use immovable good, whether it belongs to an individual or public property. Common ownership is allowed in Islamic law if an object which is intended and used for the public. The principle of freedom granted by Islam for the right holders to use is not without limit, but constrained by accountability and adherence to sharia. The right holders in using theirs’ is to be in line with the principle of maqâshid al-syarî’ah. On the basis of this principle, they are prohibited to use their rights in excess which lead to infringement and damages to the interests of the others as well as the rights and interests of the general public. Of course, this can be jailed (ta’zîr) by the judge.Keywords: Right holder, natural resources, Islamic law. Abstrak: Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk memanfaatkan sumber daya alam yang bersifat publik, karena setiap orang memiliki hak irtifâq yaitu hak pemanfaatan benda tidak bergerak, baik benda itu milik individu atau milik umum”. Kepemilikan umum dimungkinkan dalam hukum Islam jika suatu benda pemanfaatannya diperuntukan bagi masyarakat umum yang mana masing-masing saling membutuhkan. Prinsip kebebasan yang diberikan Islam bagi pemilik hak untuk mempergunakan haknya bukanlah bebas tanpa batas, namun dibatasi oleh pertanggungjawaban dan kepatuhan pada syariah. Pemegang hak dalam menggunakan haknya harus sejalan dengan maqâshid al-syarî’ah. Atas dasar prinsip ini pemilik hak dilarang mempergunakan haknya secara berlebihan yang menimbulkan pelanggaran hak dan kerugian terhadap kepentingan orang lain maupun terhadap hak dan kepentingan masyarakat umum dan dapat dikenai hukuman penjara (ta’zîr) oleh hakim.Kata Kunci: Hak pemanfaatan, sumber daya alam, hukum Islam.
Hak Restitusi Korban Tindak Pidana Perdagangan ‎Orang Perspektif Hukum Pidana Islam Pramugarini, Yushinta
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (485.771 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.2.335-359

Abstract

Abstract: This article discusses the analysis of Islamic criminal law on restitution rights of victims of human trafficking crime. The provisions concerning the restitution of human trafficking crime have been defined in article 48 paragraph 2 No. 21 of 2007 on the Eradication of Trafficking in Persons. Understanding restitution according to Law No. 21 of 2007 on the Eradication of Trafficking in Persons is the payment of compensation charged to the offender by a court decision which is legally binding on the material loss and/or immaterial suffered by the victim or the descendent.  In an Islamic criminal law, the perpetrators of criminal acts of trafficking in persons also have in common or equally punishable by cumulative. Cumulative punishment under Islamic criminal law,  in the form of sanctions, is ta’zir reinforced or exacerbated by diyat (fine).Keywords: Islamic criminal law, restitution rights, trafficking in persons. Abstrak: Artikel ini membahas tentang analisis hukum pidana Islam terhadap hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang. Ketentuan mengenai restitusi tindak pidana perdagangan orang telah dirumuskan dalam pasal 48 ayat 2 No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang. Pengertian restitusi menurut Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil dan/atau immateril yang diderita korban atau ahli warisnya. Dalam hukum pidana Islam, bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang juga terdapat kesamaan atau sama-sama dihukum dengan hukuman kumulatif. Hukuman kumulatif dalam hukum pidana Islam, yaitu berupa sanksi ta’zîr yang diperkuat atau diperberat dengan diyat (denda).Kata Kunci: Hukum pidana Islam, hak restitusi, perdagangan orang.
Hukuman bagi Orang Tua yang Membunuh Anaknya ‎menurut Hukum Pidana Islam dan KUHP Faizah, Sayyidah Nur
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.514 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.2.303-334

Abstract

Abstract: According to the Islamic Criminal Law, the crime of child murder by parents is an act which is committed by parents to their child which aims to take the life or eliminate the benefits of his/her limbs. In the legal appointment of qishâsh, parents are not punished or killed for killing his son. But if it does not get the punishment, it will often happen crimes committed by parents to their children today and the future. Because of that, the parents continued to receive punishment in the form ta’zîr. According to the Criminal Code, a criminal act to children by the parents is a person who deliberately robs the lives of others, taking the life of others intentionally or unintentionally, then the person will be threatened and sentenced to criminal punishment according to the Criminal Code Chapter XIX on a crime against life chapter 338 to 350 and can also be seen in Law No. 23 of 2003 on the protection of children such as in article 80 paragraph 3 and paragraph 4.Keywords: Murder, parents, child, Islamic criminal law. Abstrak: Menurut Hukum Pidana Islam, tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya adalah tindakan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya yang bertujuan untuk menghilangkan nyawa atau menghilangkan manfaat dari anggota badan anaknya. Di dalam kertentuan hukum qishâsh, orang tua tidak diqishâsh karena membunuh anaknya, akan tetapi jika tidak mendapatkan hukuman maka akan sering terjadi kejahatan-kejahatan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya saat ini dan masa yang akan datang, karena itu orang tua tetap mendapat hukuman berupa ta’zir. Menurut KUHP, pindak pidana pembunuan anak oleh orang tuanya adalah seseorang yang dengan sengaja merampas nyawa orang lain, menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja atau tidak disengaja, maka seseorang tersebut akan diancam dan dijatuhi dengan hukuman pidana sesuai dengan KUHP Bab XIX yaitu kejahatan terhadap nyawa pasal 338 sampai 350 dan dapat juga dilihat dalam UU No.23 tahun 2003 tentang perlindungan anak seperti pada pasal 80 ayat 3 dan ayat 4.  Kata Kunci: Pembunuhan, orang tua, anak, hukum pidana Islam, KUHP.
Pembentukan Kualitas Anak pada 1000 Hari ‎Pertama Kehidupan Perspektif Hukum Islam Qulub, Siti Tatmainul
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (131.53 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.2.472-496

Abstract

Abstract: The quality of a child is influenced by two determining factors, namely genetic factor and environmental factor. These factors influence is very large, especially during the first 1,000 days of life of a child, starting from the time of pregnancy to breastfeeding until the age of 2 years. When the baby’s vital organs begin to form, together with it also the baby started to feel on a given stimulus, record and imitate communication and habits performed by his mother that he will take up next. Lack of stimulation and nutrition, especially during this period, will have a major impact in the long term life. Islam has provided guidance to establish quality of a child at 1,000 days of life. During pregnancy, many parents are encouraged to be grateful and be merry, to eat halal and good food, to reproduce worship, etc. After the birth, they are led to recite âdhân and iqâmah for a newborns, to give a good name, and breast feeding for 2 full years.Keywords: Quality of kid, the first 1,000 days of life, Islamic law. Abstrak: Kualitas anak dipengaruhi oleh dua faktor pembentuk, yakni faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut berpengaruh sangat besar terutama saat 1000 hari pertama kehidupan (HPK) anak, yang dimulai sejak masa kehamilan hingga menyusui sampai usia anak 2 tahun. Ketika organ-organ penting bayi mulai terbentuk, bersamaan itu juga  bayi mulai dapat merasakan stimulus yang diberikan dari luar, merekam dan menirukan komunikasi serta kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh ibunya yang akan ia bawa hingga seterusnya. Kurangnya rangsangan dan terutama gizi pada masa ini, akan berdampak besar dalam jangka panjang kehidupannya. Islam telah memberikan tuntunan untuk membentuk anak yang berkualitas pada 1000 HPK. Pada masa kehamilan, orang tua dianjurkan banyak bersyukur dan bergembira, makan makanan yang halal dan baik, memperbanyak ibadah, dsb. Setelah kelahiran, dituntun untuk membacakan adzan dan iqamah pada bayi yang baru lahir, memberikan nama yang baik, dan menyusui anak selama 2 tahun penuh.Kata Kunci: Anak berkualitas, 1000 hari pertama kehidupan, hukum Islam
Perlindungan Hukum bagi Perempuan Korban ‎Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum ‎Islam ikhsan, Amirul
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (103.456 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.2.255-274

Abstract

Abstract: This article discusses the legal protection for women-victims of domestic violence within the perspective of Islamic law. Legal protection for women-victims of domestic violence is clearly regulated in Law No. 23 of 2004. It should be recognized that the presence of the law is to open a way for unfolding of domestic violence and to safeguard the civil rights of victims, where it was previously considered as a private area that no one outside the household environment entries. On the perspective of Islamic law, legal protection in the Law number 23 of 2004 has been consistent with the objectives of shariah. It is to enforce Islamic law to gain the pleasure of Allah. In this context, husband and wife should complement each other and work together in building a harmonious household.Keywords: Legal protection, victims, domestic violence, Islamic law. Abstrak: Artikel ini membahas tentang perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga perspektif hukum Islam. Perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) diatur dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 (UUPKDRT), harus diakui kehadirannya membuka jalan bagi terungkapnya kasus KDRT dan upaya perlindungan hak-hak korban, yang pada awalnya KDRT dianggap sebagai wilayah privat yang tidak seorang pun di luar lingkungan rumah tangga dapat memasukinya. Perspektif hukum Islam, perlindungan hukum dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 (UUPKDRT) telah sesuai dengan tujuan syariah yaitu untuk menegakkan syariat Islam, menuju ridha Allah swt, suami dan istri harus saling melengkapi dan bekerja sama dalam membangun rumah tangga yang harmonis menuju derajat takwa.Kata Kunci: Perlindungan hukum, korban, kekerasan dalam rumah tangga, hukum Islam.
Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana ‎Pencucian Uang menurut Hukum Islam amalia, Renata
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (129.673 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.2.385-407

Abstract

Abstract: This article highlights a corporate responsibility in the crime of money laundering in accordance with Islamic law. Corporate criminal liability set forth in article 6 of Law No. 8 of 2010 which states that in the case of money laundering as defined in Article 3, Article 4 and Article 5 committed by a corporation, crime laid against and/or personnel controlling corporation. Islamic law also recognize the existence of the legal entity or corporation. This is evidenced by the jurists who introduced treasury as the legal agency. It has rights and can take legal action but can not be burdened with responsibility because they do not have the knowledge and choice. So that if a legal agency has committed a crime then a person who should be accountable are administrators or managers of the legal agency. But there are also penalties for legal entities, such as the punishment of dissolution, destruction, eviction and foreclosure.Keywords: Corporate, money laundering, Islamic criminal law. Abstrak: Artikel ini membahas tentang pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pencucian uang menurut hukum Islam. Pertanggungjawaban pidana korporasi diatur dalam pasal 6 UU No. 8 tahun 2010 yang menyebutkan bahwa dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap dan/atau personil pengendali korporasi. Hukum Islam juga mengenal adanya badan hukum atau korporasi, hal ini dibuktikan dengan para fuqaha yang mengenalkan baitul mal (perbendaharaan negara) sebagai badan hukum. Badan hukum ini mempunyai hak dan dapat melakukan tindakan hukum tetapi tidak dapat dibebani pertanggungjawaban karena tidak memiliki pengetahuan dan pilihan. Sehingga apabila badan hukum melakukan suatu tindak pidana maka yang dapat dimintakan pertanggungjawaban adalah pengurus atau pengelola badan hukum tersebut, tetapi ada pula hukuman bagi badan hukum, seperti hukuman pembubaran, penghancuran, penggusuran dan penyitaan.Kata Kunci: Korporasi, pencucian uang, hukum pidana Islam
Tindak Pidana Gratifikasi Perspektif Hukum Pidana ‎Islam dan Undang-Undang di Indonesia Zakariyah, Ahmad
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (234.26 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.2.360-384

Abstract

Abstract: This article discusses the criminal acts of gratification on the perspective of Islamic criminal law and the law in Indonesia. In law, the perpetrator gratification will be sanctioned imprisonment and fine. For the giver of gratification would be punishable by a term of imprisonment of one year and a maximum of five years with a fine of not less than fifty millions and a maximum of two hundred and fifty millions. While for state officials who receive gratuities will be subject to imprisonment for life or a minimum of four years and maximum of 20 years with a fine of two hundred millions to one billion rupiahs. In the Islamic criminal law, both the giver and the receiver of gratification will be cursed by God dan both will be given ta’zîr. The ta’zîr sanctions can include the death penalty, flogging, imprisonment, exile, confiscation of goods/wealth, in the form of moral sanction of dismissal and announced whole communities.Keywords: Gratification, Islamic criminal law, legislation. Abstrak: Artikel ini membahas tentang tindak pidana gratifikasi perspektif hukum pidana Islam dan undang-undang di Indonesia. Dalam undang-undang, pelaku gratifikasi akan diberi sanksi penjara dan denda. Bagi pemberi gratifikasi akan diancam dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dengan denda paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak dua ratus lima puluh juta rupiah, sedangkan bagi pejabat negara yang menerima gratifikasi akan diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dengan denda dari dua ratus juta rupiah sampai satu miliar rupiah. Dalam hukum pidana Islam, baik pemberi maupun penerima gratifikasi akan dilaknat oleh Allah swt dan keduanya akan diberikan sanksi ta’zîr. Sanksi ta’zîr bisa berupa hukuman mati, hukuman cambuk, penjara, pengasingan, perampasan barang/kekayaan, pemecatan dan sanksi moral berupa diumumkan kemasyarakat luas.Kata Kunci: Gratifikasi, hukum pidana Islam, undang-undang.

Page 1 of 1 | Total Record : 10