cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam
ISSN : 24605565     EISSN : 25031058     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue " Vol 3 No 1 (2017): Juni" : 10 Documents clear
Jihad dalam Perspektif Muhammad Fethullah Gulen Fithriyawan, Husni Fithriyawan
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 3 No 1 (2017): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5618.596 KB) | DOI: 10.15642/aj.2017.3.1.226-252

Abstract

Abstract: According to Fethullah Gulen, Jihad in a muslim spiritual life is a process to know closer one’s God. There are two kinds of jihad in his opinion; major jihad which is a jihad for oneself and minor jihad, which is directed toward others. Jihad toward oneself is considered a major jihad because it is directed to fight against one’s destructive ego as well as negative thought. Such things could deny a muslim to attain the ultimate perfection. By subduing oneself negative aspects, he or she will discover his/her true identity and finally discover and love his/her God.by doing so, he or she will get spiritual happiness. In contrast, minor jihad is an active fulfilment of a Muslim toward his or her religion. Major jihad influences dearly to minor jihad. Both jihads should work hand in hand. While major jihad has spiritual nature, minor jihad is physical. A good muslim will always perform jihad so that he or will have a balance of spiritual and physical life. Key words: Jihad, Muhammad Fethullah Gulen. Abstrak: Jihad dalam pandangan Fethullah Gulen merupakan sebuah proses dalam kehidupan seorang muslim agar lebih dekat dan mengenal Allah. Menurutnya, ada dua kategori jihad, yakni jihad besar yang merupakan jihad terhadap diri sendiri dan jihad kecil yang merupakan jihad terhadap orang lain. Jihad terhadap diri sendiri masuk dalam kategori jihad besar karena memerangi ego, emosi dan pikiran yang negatif dalam diri manusia sebagai upaya mengatasi hambatan antara diri sendiri dan jati dirinya, mengenali jiwa, dan akhirnya mengenali Tuhan, mencintai Tuhan, dan berbahagia secara spiritual. Sedangkan jihad kecil merupakan pemenuhan aktif seseorang terhadap perintah dan tugas dalam Islam, proses untuk membuat orang lain bisa mencapai jati dirinya didasarkan pada mengatasi hambatan antara manusia dan keimanan sehingga mereka dapat memilih secara bebas untuk beriman atau tidak beriman. Jihad yang pertama kali harus dilakukan adalah jihad besar, karena ia memiliki pengaruh yang signifikan bagi jihad kecil. Jihad dalam Islam yang menekankan pada harmonisasi antara jihad besar yang bersifat batiniah dan jihad kecil yang bersifat lahiriah, maka orang beriman yang selalu berjihad, baik jihad kecil maupun besar, akan memiliki keseimbangan fisik dan spiritual yang sangat bagus. Kata Kunci: Jihad, jihad besar, jihad kecil, Muhammad Fethullah Gulen.
Analisis Hukum Pidana Islam Tentang Poligami Tanpa Izin Istri ., Salamul Huda
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 3 No 1 (2017): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5124.58 KB) | DOI: 10.15642/aj.2017.3.1.1-26

Abstract

Abstract: This article analyses sanction of polygamy without proper procedure, namely permission from the wife(s). Polygamy without consent from wife(s) is an offence to the origin of marriage as stipulated in article 279 of the Penal Code. It states that the offender knows the existence of his partner’s marriage and the existence of legal obstruction against his action. This offence is punishable with maximum of 5 year imprisonment for those who know the existence of such legal obstruction, and with maximum of 7 year imprisonment if he deliberately conceal it. From the perspective of Islamic criminal law, the offence of polygamy without consent of existing wife(s) is considered ta’zîr because it is a jarimah (offence) which is a breach to individual rights. Punishment of ta’zîr depends on the discretion of the regulator.   Keywords: Islamic criminal law, polygamy, permission from the wife(s). Abstrak: Artikel ini membahas tentang analisis hukum pidana Islam terhadap sanksi poligami tanpa izin istri. Poligami tanpa izin istri merupakan bagian dari kejahatan terhadap asal usul pernikahan sebagaimana tertuang dalam Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 279 tentang kejahatan asal-usul pernikahan menyebutkan bahwa pelaku yang memenuhi unsur mengadakan perkawinan, mengetahui perkawinan-perkawinannya yang telah ada, mengetahui perkawinan-perkawinan pihak lain, dan adanya penghalang yang sah, diancam pidana penjara 5 tahun bagi yang melakukan pernikahan dengan mengetahui adanya penghalang yang sah dan hukuman penjara 7 tahun bagi yang melakukan pernikahan menyembunyikan penghalang yang sah. Dalam perspektif hukum pidana Islam, melakukan pernikahan tanpa izin istri yang sah merupakan tindak pidana yang mengakibatkan pelakunya mendapatkan hukuman ta’zîr karena merupakan bagian dari jarimah yang menyinggung hak perorangan (individu). Sanksi ta’zîr yang diberikan dalam pelaku tindak pidana tersebut ialah penjara yang ditentukan oleh penguasa. Kata Kunci: Hukum pidana Islam, poligami, izin istri.
Larangan Menggunakan Bangunan atau Tempat untuk Berbuat Asusila perspektif Maqâshid al-Syarî’ah Kusumawati, Dini Siti
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 3 No 1 (2017): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4012.098 KB) | DOI: 10.15642/aj.2017.3.1.27-45

Abstract

Abstract: This discusses the prohibition of using any property to perform indecency in Surabaya as regulated by Surabaya municipality’s bylaw No 77/1999. The enactment of this law started in 2012 by the closing of prostitution quarter of Gang Dolly which was considered one of the biggest ones in Southeast Asia. From the perspective of Islamic law, this by law is in agreement with maqâshid al-syarî’ah of hifzh al-dîn (protection of religion) as well as hifzh al-nasl (protection of offspring) in the dharûriyyât (primary rank). This is because prostitution is an ever present offence, regardless time and space. Extra intensive caution should be paid to prevent its return. Effort to improve economic welfare of the population should minimize the reoccurrance of prostitution. Keywords: Prostitution, maqâshid al-syarî’ah, Surabaya. Abstrak: Artikel yang berjudul tinjauan maqâshid al-syarî’ah terhadap Perda Nomor 7 Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan atau Tempat untuk Melakukan Perbuatan Asusila di Kota Surabaya. Perda Nomor 7 Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan atau Tempat untuk Melakukan Perbuatan Asusila di Kota Surabaya sudah dibuat sejak tahun 1999, namun penerapan Perda ini mengalami ketidakjalanan hukum, dan baru benar-benar diterapkan dari tahun 2012 hingga sampai saat ini, terbukti dari Pemerintah Kota Surabaya yang berhasil menutup lokalisasi Dolly yang merupakan tempat lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara. Dalam kajian maqâshid al-syarî’ah, Perda Nomor 7 Tahun 1999 ini termasuk dalam kategori hifzh al-dîn (memelihara agama) dan hifzh al-nasl (memelihara keturunan) dalam peringkat dharûriyyât (primer). Pelacuran memang menjadi fenomena sosial yang tidak mengenal tempat dan suasana. Ia akan senantiasa hadir selama ada yang membutuhkan. Oleh sebab itu, Pemerintah Kota Surabaya harus tetap berupaya untuk memberantas pelacuran dan harus terus melakukan program-progam yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat karena kondisi kesejahteraan yang baik akan mengurangi potensi terjadinya pelacuran. Kata Kunci: Maqâshid al-syarî’ah, Perda, Perbuatan asusila.
Analisis Fiqh Jinâyah terhadap Sanksi Pengemis di Muka Umum di Kota Surabaya Mubarok, Muhammad Subhan
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 3 No 1 (2017): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3940.027 KB) | DOI: 10.15642/aj.2017.3.1.46-64

Abstract

Abstract: This article discusses the prohibition of public begging in Surabaya. According to article 504 of the Penal Code and Surabaya municipality by law no. 17/2009. In Surabaya, beggars who have been considered breaching the law operate in street intersections. This is considered breaching of public order. Thus, this is not a crime but a minor violation of the law. They are arrested for one day and brought to social department for briefings. The punishment is so lenient that it can be called as a pardon. In Islamic criminal law perspective, such a leniency is allowed as long as not erasing punishment altogether. Keywords: Public begging, sanction, ta’zîr. Abstrak: Artikel ini membahas tentang fikih jinâyah terhadap laragan mengemis di muka umum di kota Surabaya. Larangan engemis di muka umum diatur dalam Pasal 504 KUHP Junto Perda Tahun 2009 Juncto Perda No. 17 Tahun 2009 di Surabaya tentang pengemis di muka umum. Pengemis yang melanggar ketertiban umum adalah pengemis yang beroperasi dan mangkal di berbagai perempatan jalan, mereka akan dimasukkan ke dalam penjara untuk 1 hari saja dan setelah itu akan dikembalikan kembali ke dinas sosial untuk mendapatkan pembinaan. Dengan hukuman 1 hari tadi diharapkan dapat menjadikan efek jera kepada para pengemis sehingga di kemudian hari mereka tidak mengulangi kembali, kemudian melihat hukuman yang didapat dari pengemis yang mengemis di muka umum dengan melanggar ketertiban umum, maka hukuman tersebut masuk dalam katgegori pemaaf dikarenakan salah satu sebab hapusnya hukuman ta’zîr yakni para pengemis hanya mendapat hukuman selama 1 hari, tetapi tidak menghapuskan seluruhnya. Kata Kunci: Sanksi pengemis, di muka umum, ta’zîr.
Tindak Pidana Turut Serta Sebagai Perantara Suap Perspektif Hukum Pidana Islam Irawan, Adeng Septi
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 3 No 1 (2017): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5535.845 KB) | DOI: 10.15642/aj.2017.3.1.65-90

Abstract

Abstract: This article discusses about the sanction of criminal act as a bribery mediator under the perspective of Islamic Criminal Law. The criminal act as a bribery mediator is explained in the Penal Code in Article 55 Paragraph (1) ie those who do, who order to do, and who participate in doing the deed. The bribery crime is also described in Article 12 Sub-Article c of Law No. 31 year 1999 jo Law No. 20 year 2001 on the “eradication of corruption cases that punishment for the perpetrator of bribery, gratification, etc., will be imprisoned and/or sanction. Even in the specific provision, if corruption is done by causing harm to the state, such as a national disaster or at a time when the country is in a state of economic crisis, it can be subject to capital punishment. The purposes of applying punishment in positive law are to create certainty, justice, and legal benefit in Indonesia. The Islamic criminal law has made it clear that unlawful acts in bribery (isytirâk fî al jarîmah al-risywah) according to Muslim scholars are haram (unlawful). The punishment for the perpetrators of isytirâk fî al jarîmah al-risywah is tazîr. Keywords: Criminal act, bribery mediator, Islamic criminal law. Abstrak: Artikel ini membahas tentang sanksi tindak pidana turut serta sebagai perantara suap perspektif hukum pidana Islam. Tindak pidana turut serta dijelaskan dalam KUHP dalam pasal 55 ayat (1) yaitu mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. Adapun tindak pidana suap dijelaskan dalam Pasal 12 huruf c UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa ancaman hukuman bagi pelakunya, baik itu suap, gratifikasi, dan lain-lain, akan dikenakan hukuman penjara dan/atau denda. Bahkan dalam ketentuan khususnya, apabila korupsi dilakukan dengan mengakibatkan bahaya bagi negara, seperti terjadi bencana nasional atau pada saat negara dalam keadaan krisis ekonomi, maka dapat diancam hukuman mati. Tujuan penerapan hukuman tersebut adalah menciptakan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum di Indonesia. Hukum pidana Islam telah menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum dalam turut serta suap (isytirâk fî jarîmah al-risywah) menurut para ulama adalah haram dan hukumannya adalah ta’zîr. Kata Kunci: Tindak pidana, perantara suap, hukum pidana Islam.
Sanksi Prostitusi Online Perspektif Hukum Islam Zumaroh, Ria
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 3 No 1 (2017): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4609.09 KB) | DOI: 10.15642/aj.2017.3.1.91-112

Abstract

Abstract: This article discusses Islamic penal law perspective on the punishment of online prostitution through social media. In practice, the legal basis of punishing pimps is the Penal Code article 296 with the maximum of 1 year and 4 months of imprisonment or maximum fine of fifteen thousand rupiahs, article 506 with maximum one year of imprisonment. The Penal Code article 284 also punishes prostitutes who act in voluntary adultery. Likewise, the Law No. 11 2008 on electronic information and transaction article 27 (1) states that the felon of this crime is punished with maximum of six year of imprisonment or maximum fine of one billion rupiahs. This punishment is considered lenient and not making felon learning any lesson for his/her wrong doing. In Islamic penal law, online prostitution is considered jarîmah ta’zîr because there is no textual reference on this crime. Judges is authorized to decide punishment for the felon of this jarîmah ta’zîr. Keywords: punishment, online prostitution, social media, Islamic law Abstrak: Artikel ini membahas tentang sanksi prostitusi online melalui media sosial dilihat dari perspektif hukum Islam. Dasar hukum yang digunakan dalam menjerat mucikari adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 296 yaitu pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah; dan Pasal 506 yakni pidana kurungan paling lama satu tahun. Bagi seorang PSK, Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyebutkannya sebagai pesenggamaan atas dasar suka sama suka, yang dilakukan oleh seseorang dengan orang yang telah bersuami atau beristri (permukahan) sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 284 KUHP. Adapun dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 27 Ayat (1), dijerat dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sanksi ini dirasa kurang memberikan efek jera kepada pelaku. Dalam hukum pidana Islam, tindak pidana prostitusi online termasuk dalam kategori jarîmah ta’zîr, karena tidak ada ketentuan nash mengenai tindak pidana ini. Hakim diberi kewenangan untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku jarîmah ta’zîr. Kata Kunci: Sanksi, prostitusi online, media sosial, hukum Islam.
Tinjauan Maqâshid al-Syarî’ah terhadap Hukuman Kebiri bagi Pelaku Tindak Pidana Pedophilia Siyanti, Nur
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 3 No 1 (2017): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6871.555 KB) | DOI: 10.15642/aj.2017.3.1.113-143

Abstract

Abstract: Castration against felons involving in pedhofilia is proposed Indonesia. The proposal considered it as additional punishment. Castration can be done by getting rid of testicle or by injecting antiandrogen hormone such as cyproterone acetate (CPA), medroxyprogesterone acetate (MPA), leuprolide dan triptoreline which function to weaken testosterone hormone. Pedofilia is a sexually based crime targeting children by felons who suffer from abnormal sexual development. From the perspective of maqâshid al-syarî’ah, castration can be considered a part of protection of reason (hifzh al-‘aql). It should prevent perpetrator from doing such an evil deed and will protect community from this wrong doing. Keywords: Pedofilia, castration, maqâshid al-syarî’ah Abstrak: Hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana pedofilia merupakan tambahan hukuman berupa tindakan bedah dengan cara membuang testis sebagai penghasil hormon testosteron, atau dengan suntik kimia, yaitu dengan menyuntikkan hormon anti androgen seperti cyproterone acetate (CPA), medroxyprogesterone acetate (MPA), leuprolide dan triptoreline yang berfungsi untuk melemahkan hormon testosteron, yang diberikan kepada pelaku atas kejahatan yang dilakukan terhadap anak akibat kelainan perkembangan seksual pelaku yang abnormal. Maqâshid al-syarî’ah memandang bahwa tambahan hukuman kebiri, baik yang melalui metode bedah ataupun suntik kimia, bagi pelaku tindak pidana pedofilia adalah sebagai upaya dalam melindungi terpeliharanya akal (hifzh al-‘aql) dan relevan dengan tujuan hukum Islam, yaitu untuk melindungi masyarakat dari rasa takut akan ancaman kejahatan tersebut. Hukuman tersebut diharapkan mampu memberikan efek jera bagi pelaku, serta berfungsi preventif terhadap kemungkinan terjadinya pengulangan jenis kejahatan yang sama, dan represif dalam mendidik pelaku agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahan. Kata Kunci: Maqâshid al-syarî’ah, hukuman kebiri, pedofilia.
Perbarengan Tindak Pidana Pembunuhan dan Pencurian Perspektif Hukum Pidana Islam Chasen, Subaeri
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 3 No 1 (2017): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4056.372 KB) | DOI: 10.15642/aj.2017.3.1.144-163

Abstract

Abstract: This article discusses criminal concourse of organized murder and theft with force which is regulated in Penal code article 340 and 55. The subjective and objective aspects in these crime is fulfilled and beyond reasonable doubt. From the perspective of Islamic criminal law, organized murder and theft concourse is called ta’addud al-jarâ’im in which lighter crime (theft) is absorbed by weightier crime (organized murder). The concept absorption is named al-jabb in Islamic criminal law. Thus, the punishment of theft is absorbed by the punishment of organized murder, which is capital punishment (qishâsh). Keywords: Criminal concourse, organized murder, forced theft, Islamic criminal law. Abstrak: Artikel ini membahas tentang perbarengan tindak pidana antara pembunuhan berencana dan pencurian dengan kekerasan dalam tinjauan fikih jinâyah. Kejahatan perbarengan tindak pidana antara pembunuhan berencana dan pencurian dengan kekerasan melanggar ketentuan pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 dan pasal 365 ayat (2) ke 2. Dalam pandangan fikih jinâyah, kasus perbarengan tindak pidana (concursus) pembunuhan berencana dan pencurian dengan kekerasan seharusnya mendapat hukuman mati atau qishâsh. Hal tersebut didasarkan kepada salah satu teori yang digunakan dalam memutuskan perkara gabungan tindak pidana yang di dalam kaidah fikih jinâyah dikenal dengan ta’addud al-jarâ’im atau gabungan hukuman, yaitu teori penyerapan (al-jabb). Teori al-jabb atau teori penyerapan adalah penjatuhan satu hukuman terhadap pelaku tindak pidana ganda dengan cara hukuman yang lebih kecil diserap oleh hukuman yang lebih besar, dalam hal ini adalah hukuman mati. Kata Kunci: Perbarengan tindak pidana, pembunuhan berencana, pencurian dengan kekerasan, hukum pidana Islam.
Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana Narkotika Perspektif Hukum Pidana Islam Rohmah, Ivvany Ningtyas Seily
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 3 No 1 (2017): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5548.141 KB) | DOI: 10.15642/aj.2017.3.1.164-191

Abstract

Abstract: Punishment remission in Sidoarjo correction facility is granted to nearly all inmates with conditions set out by regulations. It is granted in many forms; general remission, special remission, additional remission, and decade remission. Remission for drug-related inmates is announced during ceremony of Indonesia’s independence declaration in Sidaorjo’s main square. Drug-related inmates gain their remission for good conduct in a sense that they repent from their past wrong doings. Remission in Islamic penal law is called takhfîf al-uqûbah (punishment leniency). Keywords: Remission, drug inmates, correctional facility. Abstrak: Pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Sidoarjo diberikan dengan beberapa syarat yang telah ditentukan oleh peraturan-peraturan yang ada. Remisi diberikan dengan beberapa jenis, yaitu remisi umum, remisi khusus, remisi tambahan dan juga remisi dasawarsa. Remisi diberikan kepada pelaku tindak pidana narkotika dengan cara mengumumkan pada saat upacara hari Kemerdekaan Negara Republik Indonesia di pendopo Sidoarjo. Remisi dalam hukum pidana Islam disebut juga dengan takhfîf al-uqûbah (keringanan hukuman), remisi diberikan kepada narapidana narkotika karena itu adalah hak bagi setiap narapidana yang telah memenuhi syarat pemberian remisi, dan dalam hal ini setiap narapidana yang telah berkelakuan baik atau dengan kata lain bila narapidana narkotika telah menyesal atau bertaubat, maka narapidana narkotika berhak mendapatkan sesuatu yang harus diterima sebagi hak warga binaan pemasyarakatan. Kata Kunci: Remisi, Narapidana Narkotika, Lembaga Pemasyarakatan Sidoarjo.
Kekuatan Yuridis Persumpsion Dalam Proses Pembuktian Perkara Aunurrofiq, M
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 3 No 1 (2017): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6856.478 KB) | DOI: 10.15642/aj.2017.3.1.192-225

Abstract

Abstract: This article discusses judicial strength of judge’s presumption in the examination process according to Islamic law of criminal procedure and Indonesian code of criminal procedure. Since there are numerous motive of crime nowadays, judges must always follow procedure and have sufficient legal knowledge in the examination process to ensure just verdicts. In the process, judicial presumption play crucial role but it must be based on evidence according to Indonesian code of criminal procedure. Similarly, in Islamic criminal procedure, presumption is important to be basis of verdict as long as supported by other evidence. The difference is that presumption in Indonesian code of criminal procedure can only be considered as indirect evidence, whereas is Islamic criminal procedure, it can perform as direct evidence. Thus, the use of presumption in examination of criminal cases depends on the judges’ wisdom. Keywords: Presumption, Islamic law of criminal procedure, Indonesian code of criminal procedure. Abstrak Artikel ini membahas tentang kekuatan yuridis persumpsion hakim dalam proses pembuktian perkara menurut Hukum Acara Pidana Islam dan KUHAP. Kekuatan yuridis persumpsion, menurut KUHAP, baru bisa mempunyai kekuatan hukum untuk menjatuhkan putusan jika dikaitkan dengan alat bukti yang lain. Kekuatan yuridis persumpsion menurut Hukum Acara Pidana Islam, sudah mempunyai kekuatan hukum untuk menjatuhkan putusan meskipun tanpa didukung oleh alat bukti lain. Persumpsion dalam KUHAP dan Hukum Acara Pidana Islam keduanya mempunyai kesamaan, yakni sama-sama dapat digunakan sebagai alat bukti dan mempunyai kekuatan hukum dalam proses pembuktian, sedangkan yang membedakan adalah KUHAP berlaku pada pembuktian tidak langsung sedangkan dalam Hukum Acara Pidana Islam berlaku pada pembuktian langsung. Sedangkan kelebihan serta kekurangannya tergantung kepada hakim, apakah ia mampu menggunakan persumpsion dengan arif dan bijaksana atau tidak dalam menangani, mengadili dan menjatuhkan putusan. Kata Kunci: Persumpsion, pembuktian perkara, Hukum acara pidana Islam, KUHAP.

Page 1 of 1 | Total Record : 10