cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota kendari,
Sulawesi tenggara
INDONESIA
Al-'Adl
ISSN : 19794916     EISSN : 26155540     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Al-'Adl merupakan Jurnal Ilmiah yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah IAIN Kendari. Al-'Adl secara spesifik mempublikasikan tulisan ilmiah baik naskah ilmiah maupun hasil penelitian yang berorientasi pada masalah hukum Islam dan pranata sosial serta kajian keislaman lainnya.
Arjuna Subject : -
Articles 11 Documents
Search results for , issue "Vol 1, No 1 (2008): Al-'Adl" : 11 Documents clear
Al-Asy'Ariyah (Sejarah Timbul, Abu Hasan al-Asy’ari dan Pokok-Pokok Ajarannya) Beti Mulu
Al-'Adl Vol 1, No 1 (2008): Al-'Adl
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (105.142 KB) | DOI: 10.31332/aladl.v1i1.816

Abstract

In the history of Islamic thought development, it is generally known that there are two contradictory features of kalam's thought. The thought of the Mu'tazilite kalam has rational or logical thinking, whereas al-Ash'ariyyah has a traditional-style thought, kalam thought that does not give freedom of will and do to man, a small force for reason, the power of God's will that applies eternally -the absolute, and tied to the literal meaning in providing interpretation of the verses of the Qur'an. The thought of this kalam will give birth to traditional understandings of Islamic teachings and will foster sublime attitude fatalistic life in man. This understanding is found in the Ash'arite and Maturidiyyh Bukhara schools. Abu al-Hasan al-Ash'ari as the founder and founder of al-Ash'ari school, was originally a loyal follower of the Mutazilite doctrine, because of several things that contradicted his conscience, his thoughts and the social conditions of society (he felt the need to abandon that doctrine ) and even led to a new theology as a reaction against the teaching of the Mu'tazilites. In understanding the text, the Mu'tazilites used reason and then provided an interpretation of the text or the revelation according to reason. The Ash'ariah, on the contrary, first to the text of revelation and then bring the rational arguments to the text of the revelation. The Mu'tazilites used a lot of ta'wil or interpretation in understanding the texts of revelation, while the Ash'ariahs held much to the meaning of lafzi or texted from the text of revelation. In other words, the Mu'tazilites read the implicit in the text, the Ash'ariites read the explicit. At the end of the 3rd century, H appeared two prominent figures, Abu al-Hasan al-Ash'ari in Bashrah and Abu Mansur al-Maturidi in Samarkand. They were united in their denial of the Mu'tazilites. Ash'ariah is a Traditional theological school composed by Abu Hasan al-Ash'ari (935) in reaction to the Mu'tazila theology. In the classification of Islamic theology, Asy'ariah and Maturidiah are both called Sunnah Wal-Jamaah experts. Maturidiah flow is widely embraced by the Muslims who mazhab Hanafi Asy'ariah school is generally embraced by Muslims who mazhab Sunni
Keterkaitan Fisika dengan Al-Qur'an Abdul Kadir
Al-'Adl Vol 1, No 1 (2008): Al-'Adl
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (163.937 KB) | DOI: 10.31332/aladl.v1i1.751

Abstract

Dengan mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan fungsi manusia sebagai Khalifah fil Ardi dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya, dengan 4 (empat) unsur penting yang menjadi landasan dalam keilmuan sains, yakni; observasi, pengukuran, analisis, dan pikiran yang kritis dan penalaran yang rasional.Sains adalah sunnatullah, bahwa alam semesta mempunyai keteraturan yang keteraturan itu adalah bukti tunduknya alam terhadap perintah Tuhan.Untuk lebih memahami fenomena alam, maka tidak cukup hanya mempelajari Fisika Klasik, tapi sangat perlu juga mempelajari Fisika Modern, atau dengan kata lain, kita tidak cukup hanya belajar tentang eksoteris Islam (syari’at) tapi perlu dan sangat perlu kita belajar masalah esoteris Islam (hakikat), sehingga membuat kita lebih bijaksana dalam memaknai hidup dan bersikap dalam hidup.Pedoman hidup yang lebih lengkap untuk dijadikan pelajaran perilaku dalam bersikap dan bertindak tidak lain adalah “Al-Qur’anul Karim”. Oleh sebab itu bila ingin hidup sejahtera di dunia maka tidak ada pilihan lain kecuali memiliki ilmu pengetahuan. Bila ingin hidup bahagia di akhirat kelak juga dengan ilmu pengetahuan (agama), dan jika ingin menggapai keduanya (kebahagiaan dunia dan akhirat) juga harus dengan ilmu pengetahuan (Al-Hadist).
Menggagas Sistem Ekonomi Alternatif (Upaya Mencari Kedudukan Ekonomi Islam) Mashur Malaka
Al-'Adl Vol 1, No 1 (2008): Al-'Adl
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (35.574 KB) | DOI: 10.31332/aladl.v1i1.817

Abstract

What Paul A. Samuelson discloses in The Family of Economic which he calls The Main Stream of Economic, if we look further we will soon encounter a vacuum of economic thought from the first year of the AD until the discovery of ST. Tomas Aquinas in 1270 AD at that time interval according to "The family tree of economic" is filled with the normative scholastic thought.It is an unavoidable fact that Muslims have lost their thinking power for hundreds of years. Imitation of the western mind without any cross check the source of thought makes Muslims blinded by innovations that are born in various fields. The view of Muslims seems to be closed by the concepts laid down, so the effort to compromise them with Islamic concepts seems unthinkable. Muslim dependence on the concept offered makes it inferior to the Islamic ability to find solutions to the problem of life in all things. Yet Allah promises perfection of Islam as Religion as well as life guidance.Historical books of economic thought do not exist, or if any such as Schumpeter merely touches on a few lines of explanation of the old contributions of Islam. A very ironic thing, given Adam Smith, who is famous as the father of Economics mentioned in "The Wealth Of Nation" that the advanced economy is an Arab economy led by Muhammad and His Immediate Successor.This irrationality recurred when Samuelson explained the diagram of the origin of economics. He listed the Bible as the origin of the science, none of the economists objected when the Islamic scientists reappointed Islamic economics and made the Qur'an and Hadith a source of reference for many economists who rejected it including Muslim economists.To quote Adiwarman Karim's statement, if we would honestly admit that economics is the heritage of human civilization, it is like a tiered building of the level that every people has contributed to thinking in their own time. Fortunately, the storm of the economic crisis makes our minds re-enlightened with a reality that the Islamic economic system that is endorsed by Islamic financial institutions is more able to survive than the capitalist and socialist economic system.
Konsep Tarjih dalam Ilmu Ushul Fiqih M Idris
Al-'Adl Vol 1, No 1 (2008): Al-'Adl
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (132.825 KB) | DOI: 10.31332/aladl.v1i1.752

Abstract

Tarjih pada prinsipnya adalah memilih dan mengamalkan dalil atau alasan yang terkuat diantaranya dalil-dalil yang tampak adanya perlawanan satu sama lainya. Munculnya upaya tarjih adalah karena adanya perlawanan diantara dalil-dalil hukum yang akan dijadikan hujjah atau alasan dalam menetapkan hukum, yang dalam hukum fiqhi dikenal dengan istilah ; (مسبا لك الترجيع) yakni langkah-langkah pentarjihan yang terbagi kepada dua bagian, yaitu tarjih terhadap dalil-dalil nash yang berlawanan dan tarjih terhadap qiyas. Para ulama sepakat bahwa pada dasarnya tidak terdapat perlawanan pada dalil nash. Terjadi perlawanan tersebut hanyalah didasarkan pandangan mujtahid dari segi zahirnya nash. Atau menurut pandangan al-Syaukani dan al-Qhazali bahwa perlawanan itu hanya pada nash yang zanny, bukan yang qath’iy. Jika terjadi perlawanan pada nash-nash yang zanny, maka jalan penyelesaiannya adalah lewat tarjih yakni dengan yang berpegang  kepada yang terkuat dan meninggalkan yang lainnya. Meskipun tetdapat perbedaan cara pentarjihan terhadap dalil nash yang berlawanan, namun pada prinsipnya ulama ushul sepakat bahwa yang diamalkan adalah yang lebih hemat (راجع). inilah prinsip dasar tarjih dengan meninjau segala-galanya.     
Aspek-Aspek Program Keluarga Berencana yang Berkaitan Dengan Hukum Pidana Sriwati Sakkirang
Al-'Adl Vol 1, No 1 (2008): Al-'Adl
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (46.255 KB) | DOI: 10.31332/aladl.v1i1.818

Abstract

The family planning program is an enterprise that regulates the number of births in such a way that for both mother and baby and for the father and his family or the community concerned will cause harm as a direct result of the birth. This national program, undertaken by the community with help, support and full protection by the government. Efforts to prevent pregnancy is one of the main activities undertaken in running the family planning program.        Family planning is a deliberate human effort to organize or plan a pregnancy in a family unlawfully and morally for family welfare.
Perkawinan Beda Agama Menakar nilai-Nilai Keadilan KHI Resensi Karya M. Karsayuda Husain Insawan
Al-'Adl Vol 1, No 1 (2008): Al-'Adl
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (157.508 KB) | DOI: 10.31332/aladl.v1i1.746

Abstract

Perkawinan beda agama merupakan persoalan yang tidak kunjung usai diperdebatkan. Ada yang mengatakan setuju; adapula yang keras menentangnya, tetapi keduanya mendasarkan argumennya dengan bersandar pada teks Kitab Suci. Pendapat pertama dengan paradigma antropologisnya mengatakan bahwa apabila kawin beda agama dilarang, maka di mana letak penghargaan terhadap hak asasi manusia. Demikian pula dampak sosialnya dapat terjadi “kumpul kebo” dengan lahirnya bayi-bayi manusia yang tidak berdosa serta akibat lain yang bakal muncul. Pendapat lain yang berparadigma teologis menilai bahwa apapun alasannya, kawin beda agama tetap dilarang secara syar’i. Melihat masalah ini,  pemerintah justru mengeluarkan INPRES No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang benar-benar tidak memberi ruang bagi pelaksanaan nikah beda agama. Karya M. Karsayuda ini mengasah wawasan akademis kita dengan memberikan kajian tentang takaran nilai keadilan yang terakomodir dalam KHI ketika merespons kawin beda agama, sekaligus menawarkan agar  pemerintah melakukan reposisi terhadap KHI agar lebih luwes dan ”mengintip” peluang legislasinya.
Teknik Periwayatan Hadis: Cara Menerima dan Meriwayatkan Hadis Sulaemang Sulaemang
Al-'Adl Vol 1, No 1 (2008): Al-'Adl
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (49.033 KB) | DOI: 10.31332/aladl.v1i1.753

Abstract

Umat Islam telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran islam. Ia menempati kedudukannya setelah Al-Qur’an. Keharusan mengikuti hadis bagi umat islam baik berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur’an. Hal ini karena hadis merupakan mubayyin terhadap    Al-Qur’an, yang seharusnya siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memahami dan menguasai hadis. Begitu pula halnya, menggunakan hadis tanpa Al-Qur’an, karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama yang didalamnya berisi garis besar syariat. Dengan demikian, antara hadis dengan al-qur’an memiliki kaitan sangat erat, yang untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.Oleh karena itu maka perlu diketahui Teknik Periwayatan Hadis dari Nabi terhadap sahabat, serta cara sahabat meriwayatkan hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis shahih dan mana yang ditolak.Nabi Muhammad SAW dalam kedudukannya sebagai nabi dan rasul Allah, telah berhasil membimbing umat kepada ajaran agama yang dibawanya. Walaupun ia sukses dalam membimbing umatnya, tetapi kehidupan sehari-harinya tetap sederhana, tidak jarang ia terlihat menjahit sendiri pakaiannya yang sobek dimana ia juga berstatus sebagai kepala rumah tangga yang hidup ditengah-tengah masyarakat.Apabila kedudukan Nabi tersebut dilihat dan dihubungkan dengan bentuk-bentuk hadis yang terdiri dari sabda, perbuatan, taqrir dan hal ihwalnya, maka dapatlah dinyatakan bahwa hadis Nabi telah disampaikan oleh Nabi dalam berbagai cara. Pertama, Nabi menyampaikan hadisnya secara lisan dan perbuatan dihadapan orang banyak di masjid pada waktu malam dan subuh. Kedua, terkadang Nabi menyampaikan Hadisnya berupa teguran terhadap orang yang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat. Ketiga, Nabi manyampaikan Hadisnya berupa jawaban atas pertanyaan dari sahabatnya. Keempat, dengan cara berupa permintaan penjelasan, berupa taqrir yang harus dicontohkan perbuatan Nabi yang menyangkut ibadah dan sebagainya.Selanjutnya cara menerima dan meriwayatkan Hadis Nabi SAW. adalah suatu proses penerimaan hadis oleh seorang Rawi dari seorang gurunya, yang setelah dipahami, dihafal, dihayati, diamalkan, ditulis lalu disampaikan kepada orang lain sebagai murid dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.Jadi ada tiga hal yang harus dipenuhi dalam periwayatan Hadis yakni, kegiatan menerima Hadis dari Periwayat hadis, kegiatan menyampaikan Hadis itu kepada orang lain, dan ketika Hadis itu disampaikan susunan rangkaian periwayatan disebutkan.
Maqasid al-Syar'i li Al-Maslahah Mustafa Mustafa
Al-'Adl Vol 1, No 1 (2008): Al-'Adl
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (128.782 KB) | DOI: 10.31332/aladl.v1i1.754

Abstract

Bahwa yang paling mengetahui apa kandungan tujuan syariat serta kandungan maşlahah padanya, hanyalah Tuhan sendiri. Adapun manusia hanyalah sekedar ikhtiar dengan memberdayakan kemampuan nalar seoptimal mungkin dengan menggunakan segenap konsep metodologi yang relevan untuk dapat menangkap maksud Syariat yang kandungannya sangat luas dan maknanya sangat dalam, dan bermuara pada kemaslahatan umat manusia, yakni maslahat dunia akhirat.Antara pendekatan teosntris dan pendekatan antroposentris dan juga pendekatan sosio-historis didukung oleh pendekatan lainnya mutlak harus digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum publik syariat, dan seiring dengan orientasi maşlahah yang sangat luas cakupannya, maka perumus hukum tersebut adalah harus para mujtahid yang berkompeten dan mampu menggunakan pendekatan interdisipliner.Bahwa hukum publik Islam itu bukanlah hukum yang kaku dan sekali jadi (tidak bisa diubah). Hukum tersebut adalah harus berubah terus sesuai tingkat kemajuan zaman dan tidak mengenal final. Modernisasi hukum Islam tidak lain adalah upaya para mujtahid untuk merumuskan dan menerapkan hukum Islam secara gradual sesuai laju dinamika perkembangan masyarakat di era kontemporer, khususnya pada negara-negara yang warganya menganut agama yang pluralistik. Dengan demikian hukum publik Islam dapat teraktualisasi sesuai semangat perkembangan zaman dan sesuai maksud syariat demi kemaslahatan umat manusia dunia-akhirat dalam suasana pluralitas agama.
Kemiskinan Menurut Al-Qur'an Muh Daming K.
Al-'Adl Vol 1, No 1 (2008): Al-'Adl
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3860.445 KB) | DOI: 10.31332/aladl.v1i1.523

Abstract

beberapa bentuk kemiskinan, misalnya miskin harta, miskin kemauan, miskin keterampilan, miskin morat, miskin sumber daya dan lain sebagainya. Al-Qur'an menggunakan beberapa terminologi yang berbeda untuk menunjuk pada konteks kemiskinan tersebut, misalnya dengan menggunakan kata maskanah (miskin) dan faqr (tidak memiliki tenaga/ kemampuan) yang berarti kemiskinan karena faktor ketidak mampuan secara fisik. Lebih lanjut penulis mengemukakan bahwa ada tiga macam wujud kemiskinan, yaitu : 1) Kemiskinan jiwa (rohani), 2) Kemiskinan materi, dan 3) Kemiskinan yang berarti kebutuhan manusia akan al-Khaliq penciptanya.Kata Kunci : Kemiskinan materi, kemiskinan rohani, masakin, faqir, imlaq, ailat, dhai'f, mustadh'af
Zakat Profesi Abdul Muhammad
Al-'Adl Vol 1, No 1 (2008): Al-'Adl
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (68.462 KB) | DOI: 10.31332/aladl.v1i1.750

Abstract

, penghasilan profesi adalah salah satu bentuk harta kekayaan yang dihasilkan dari usaha seseorang, yang tidak jauh berbeda dengan penghasilan lainnya yang diperoleh dari usaha tertentu lainnya seperti usaha pertanian dan perdagangan. Perbedaannya terletak pada sumber penghasilan itu sendiri serta sifat modal yang diinvestasikannya. Kalau usaha pertanian dan perdagangan, misalnya, sumbernya berasal dari hasil tanaman dan barang dagangan dengan modal yang bersifat materiil. Sedangkan penghasilan profesi sumbernya berasal dari jasa dengan modal yang bersifat immateriil berupa kecerdasan dan ketrampilan serta kemampuan pribadi seseorang. Terlepas dari persoalan berbedanya sumber penghasilan tersebut, yang pasti bahwa penghasilan yang diperoleh seseorang dari usahanya itu adalah merupakan harta kekayaan, yang apabila jumlahnya mencapai standar minimum (nishab) wajib zakat, maka wajib hukumnya untuk dikeluarkan zakatnya. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa penghasilan profesi  sekalipun sumber usahanya tidak disebutkan di dalam nash-nash syari’at (al-Qur’an dan al-Hadits), namun bila jumlahnya mencapai nishab zakat, hukumnya wajib dikeluarkan zakatnya.Adapun cara perhitungannya, menurut penulis, apabila penghasilan itu diperoleh secara periodik, misalnya perhari seperti dokter atau perbulan seperti gaji pegawai atau anggota legislatif, maka pada saat diperolehnya penghasilan itu kemudian dikeluarkan biaya kebutuhan pribadi dan keluarga serta tanggungan lainnya perhari bagi penghasilan dokter, dan biaya kebutuhan pribadi dan keluarga serta tanggungannya perbulan bagi  penghasilan gaji bulanan; sedangkan sisanya bila mencukupi nilai nishab hasil pertanian (senilai harga beras 653 kg), maka wajib dikeluarkan zakatnya 5%. Akan tetapi bila sisa gaji (gaji bersih) itu tidak mencukupi nishab hasil pertanian, maka diperhitungkan berdasarkan nishab zakat uang dan hasil perdagangan, dengan mengakumulasikannya selama satu tahun qamariyah (hijriyah). Atau dengan kata lain, jika sisa gaji itu setelah ditabung selama satu tahun qamariyah dan jumlahnya mencapai setara harga 85 gram emas, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5%, akan tetapi bila tidak mencukupi maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya.

Page 1 of 2 | Total Record : 11