cover
Contact Name
Amalia Setiasari
Contact Email
jkpi.puslitbangkan@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
jkpi.puslitbangkan@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia
ISSN : 19796366     EISSN : 25026550     DOI : -
Core Subject : Agriculture,
Indonesian Fisheries Policy Journal present an analysis and synthesis of research results, information and ideas in marine and fisheries policies.
Arjuna Subject : -
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol 7, No 2 (2015): (November 2015)" : 6 Documents clear
MODEL PENGENDALIAN OUTPUT PENANGKAPAN UNTUK PENYESUAIAN TERHADAP KUOTA NASIONAL TUNA SIRIP BIRU SELATAN Purwanto Purwanto; Lilis Sadiyah; Fayakun Satria
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 7, No 2 (2015): (November 2015)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (200.509 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.7.2.2015.103-114

Abstract

Pengelolaan perikanan tuna sirip biru selatan (SBT) dilakukan oleh Komisi Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan (CCSBT) dengan pengendalian output melalui penetapan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB). Untuk tahun 2015 – 2017, Indonesia menerima alokasi JTB sebesar 750 ton SBT per tahun. Dalam pemanfaatan kuota tersebut, bila total hasil tangkapan SBT dalam satu tahun lebih rendah dari kuota, maka sisa kuota hanya dapat dimanfaatkan tahun berikutnya dan tidak boleh melebihi 20% dari sisa kuota. Sebaliknya, bila total hasil tangkapan SBT dalam satu tahun melebihi kuota, CCSBT dapat mengenakan tindakan korektif, berupa antara lain pengembalian kelebihan tangkapan dan pengurangan kuota nasional pada tahun berikutnya. Capaian pemanfaatan kuota nasional SBT ditentukan oleh hasil tangkapan masing-masing kapal. Mengingat hasil tangkapan masing-masing kapal terkadang tidak sesuai dengan kuotanya walaupun hasil tangkapan nasional sesuai dengan kuota nasional, Indonesia perlu melakukan pengendalian output masing-masing kapal. Untuk mendukung upaya pengendalian tersebut perlu disusun kaidah pengendaliannya. Kaidah tersebut disajikan dalam tulisan ini. Management of southern bluefin tuna fishery (SBT) is conducted by the Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) using output control through the total allowable catch (TAC). Indonesia will receive an allocation of 750 tonnes of SBT per year, for the years 2015 - 2017. In the utilization of the quota, if the total catch of SBT in one year is lower than the quota, then the remaining quota can only be used next year and must not exceed 20% of the remaining quota. Conversely, if the total catch of SBT in a year exceeds the quota, CCSBT may impose corrective action, such as, among others, the return of excess catch and national quota reduction in the following year. The achievement of national quota utilization of SBT is determined by the catch of each vessel. In view of the catch of each vessel may not comply each vessel’s quota although the national catches do not exceed the national quota, Indonesia needs to implement an output control of each vessel. To support this management measure, control rules need to be developed. The rules are presented in this paper.
STRATEGI PEMULIHAN SUMBER DAYA IKAN BILIH (Mystacoleucus padangensis) DAN PENGENDALIAN IKAN KACA (Parambassis siamensis) DI DANAU TOBA, SUMATERA UTARA Endi Setiadi Kartamihardja; Dimas Angga Hedianto; Chairulwan Umar
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 7, No 2 (2015): (November 2015)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (434.283 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.7.2.2015.63-69

Abstract

Sejak ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) diintroduksi ke Danau Toba tahun 2003, produksi tangkapan ikan bilih meningkat tajam dari 8.500 ton pada tahun 2007 menjadi 45.000 ton pada tahun 2012. Produksi tangkapan tersebut telah berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan nelayan dan kesejahteraannya di sekitar Danau Toba. Namun mulai tahun 2013, produksi ikan bilih menunjukkan penurunan yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti tekanan penangkapan yang menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan, kawasan suaka ikan bilih belum ditetapkan dan dilindungi, permainan harga ikan bilih berukuran kecil dengan permintaan yang tinggi dan masuknya ikan asing invasif (ikan kaca, Parambassis siamensis). Makalah ini membahas strategi pemulihan sumberdaya ikan bilih dan upaya pengendalian ikan kaca di Danau Toba, Sumatera Utara. Since bilih fish (Mystacoleucus padangensis) introduced to Lake Toba in 2003, the catch production of the fish increased sharply from 8,500 tons in 2007 to 45,000 tons in 2012. The catch production has a positive impact on increasing income and welfare of the fishermen around the Lake Toba. However, beginning in 2013, the production of bilih fish showed a decline caused by various factors, such as fishing pressure of the destructive gear, bilih fish reserve areas has not been established and protected, bilih fish of small size intensively catch due to more demanding with high price and the influx of invasive alien fish species of glass fish, Parambassis siamensis. This paper discusses the enhancement and management strategy of the bilih fish resources and efforts to control of glass fish in the Lake Toba, North Sumatra.
PENGEMBANGAN DAN UJI COBA MODEL EVALUASI PENGELOLAAN PERIKANAN MELALUI PENDEKATAN EKOSISTEM Indra Jaya; Nimmi Zulbainarni
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 7, No 2 (2015): (November 2015)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4804.57 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.7.2.2015.115-131

Abstract

Salah satu masalah utama pengelolaan perikanan Indonesia saat ini adalah belum adanya model evaluasi yang cukup praktis untuk melihat dan mengevaluasi secara komprehensif dan terukur efektifitas tindakan pengelolaan (management measures). Dalam makalah ini dikembangkan model evaluasi pengelolaan perikanan melalui pendekatan berbasis ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management = EAFM). Evaluasi pengelolaan dilakukan secara kuantitatif agar jelas arah dan besarnya upaya yang mesti diambil untuk perbaikan kinerja dari evaluasi tersebut. Evaluasi dilakukan melalui pembobotan pada setiap aspek pengelolaan yang kemudian diakumulasikan untuk mendapatkan gambaran hasil evaluasi yang lebih utuh. Dari setiap aspek pengelolaan dikembangkan indikator-indikator beserta nilai acuan/baku untuk membantu proses evaluasi. Hasil akhir dari model evaluasi ditampilkan dalam bentuk peta kombinasi tingkat pengelolaan sumberdaya ikan (SDI) dan tingkat pengelolaan (pengendalian upaya) pemanfaatan, yang dibagi kedalam 4 kuadran. Kuadran I (warna merah) menunjukkan bahwa tingkat pengelolaan SDI dan pengendalian pemanfaatan yang dicapai masih rendah/buruk, sebaliknya apabila tingkat pengelolaan SDI yang dicapai adalah tinggi/baik dan demikian pula dengan tingkat pengendalian pemanfaatannya maka hasil evaluasi berada pada kuadran III (hijau). Sementara itu, apabila tingkat pengelolaan SDI rendah/buruk, namun tingkat pengendalian pemanfaatan tinggi/baik maka hasil evaluasi berada pada kuadran II (jingga). Apabila tingkat pengelolaan SDI tinggi/baik, namun tingkat pengendalian pemanfaatan rendah/buruk maka hasilevaluasi berada pada kuadran IV (kuning). Dengan demikian, dapat diketahui sejauh mana pencapaian pengelolaan perikanan, khususnya pengelolaan perikanan pada WPP yang dilakukan dari waktu ke waktu, sehingga dapat diberikan arahan/rekomendasi dan rencana aksi yang tepat untuk meningkatkan kinerja kegiatan pengelolaan perikanan di WPP tersebut. One major management problem related with capture fisheries in Indonesia is the lack of practical evaluation model to comprehensively observe and effectively measure management measures initiated by different authorities. In this paper we have developed fisheries management evaluation model utilizing ecosystem-base approach. Management evaluation was measured quantitatively by means of weighted analysis to each management aspects, thus direction and the amount of effort for improvement could be develop effectively. To assist the evaluation process, management indicators and treshold value were developed, followed by analyzing existing fisheries management condition and presented in the form of map with four quadrants combining aspects of fisheries utilization and control (conservation measures). The first quadrant reflects a poor condition on fisheries management and regulation (red colour). If both management and regulation of fisheries resources are in a good condition, then evaluation results will be shown in the third quadrants (green). For good fisheries management but poor fisheries regulation will resulted in the second quadrants (orange), while the opposite shown in the fourth quandrants (yellow). As a result, using the proposed evaluation model we can analyze existing management performance of fisheries in all WPPs (fisheries management areas), followed by suggesting appropriate recomendation to improve fisheries management in Indonesia.
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI SUNGAI SERKAP KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU Chairulwan Umar; Eko Prianto; Priyo Suharsono Sulaiman
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 7, No 2 (2015): (November 2015)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (74.083 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.7.2.2015.71-77

Abstract

Sungai Serkap memiliki sumberdaya ikan yang unik dan beragam. Jumlah jenis ikan di Sungai Serkap pada tahun 2013 ditemukan sebanyak 54 jenis yang sebagian besar merupakan ikan perairan asam. Selain memiliki sumberdaya ikan yang melimpah, Sungai Serkap merupakan habitat ikan merah (Pectenocypris sp), ikan arwana kuning (Scleropages aureus) dan labi-labi (Amyda cartilagynea), dimana arwana kuning dan labi-labi termasuk biota yang dilindungi sedangkan ikan merah diduga ikan endemik dan merupakan spesies baru dari genus Pectenocypris. Walaupun ekosistem perairan Sungai Serkap masih alami namun aktifitas manusia disekitarnya dapat mengancam kualitas lingkungan dan kelestarian sumberdaya ikan di sungai tersebut. Beberapa faktor yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan antara lain: i) pembalakan liar, ii) kebakaran hutan, iii) penutupan kanal atau anak-anak sungai, iv) penangkapan pada musim pemijahan, v) eksploitasi jenis ikan tertentu dan vi) belum adanya reservat atau suaka perikanan. Untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya perikanan di masa mendatang diperlukan langkah-langkah pengelolaan sebagai berikut: (1) penetapan suaka perikanan, (2) rehabilitasi hutan rawa, (3) penetapan waktu dan lokasi penangkapan ikan, (4) re-stocking ikan arwana kuning dan (5) pengembangan co-managemen. Serkap river has been unique and diverse of fish resources. In 2013, the number of fish that found in Serkap River were 54 species which mostly are acidic water fish. Besides of having abundant resources, the Serkap River is a habitat for red fish (Pectenocypris sp), arwana yellow fish (Scleropages aureus) and labilabi (Amyda cartilagynea), where arwan yellow fish and labi-labi including protected biota while the red fish suspected as an endemic fish and represent a new species from Pectenocypris genus. Although the ecosystems in Serkap River is still natural/clean/unspoiled but human activity around there could threaten the environmental quality and preservation of fish resources in the river. Some factors that could threaten the sustainability of fish resources are: i) illegal logging, ii) forest fire, iii) the closure of canals or creeks, iv) fishing on spawning season, v) exploitation of certain fish and vi) the absence of reservat or fish santuary. Special treatment of fisheries management is needed to ensure the sustainability of fisheries resources in the future as follows: (1) the determination of fish santuary, (2) the rehabilitation of swamp forest, (3) determination of time and location of fishing, (4) restocking of arwana yellow fish and (5) development of comanagement.
ANALISIS PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN KOTA BENGKULU Isa Nagib Edrus
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 7, No 2 (2015): (November 2015)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (505.588 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.7.2.2015.79-92

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk menyusun arahan pengembangan kawasan minapolitan berbasis kegiatan budidaya perikanan Kota Bengkulu. Pendekatan dalam menilai kawasan tersebut menggunakan analisis agroekosistem. Hasil analisis menunjukan bahwa prioritas pengembangan kawasan minapolitan secara berurut adalah: (1) pengembangan infrastruktur, sarana dan prasarana; (2) pengembangan kawasan terpadu budidaya lele dan kelembagaan; (3), restrukturisasi sistem pembinaan dan pelayanan di kawasan minapolitan, dan (4), pengembangan kawasan terpadu budidaya bandeng. Prioritas komoditas yang layak dikembangkan berturut-turut adalah (1) budidaya lele; (2) budidaya nila; (3) budidaya gurami; dan (4) budidaya bandeng. Pengembangan budidaya lele di wilayah kota dan budidaya bandeng di wilayah pesisir merupakan opsi yang terbaik. This paper has aimed to making some guidelines for the minapolitan area development based on fishpond culture activities in Bengkulu City. An approach used to value the areas was Agroecosystem analysis. Outputs of analysis showed that the development priorities for a minapolitan area respctively are (1) Infrastructure and facility development; (2) integrated areal development for catfish pondculture and institution establisment; (3) education and service systems in a minapolitan area; and (4) integrated areal development for milkfish-pondcultures. Pondculture priorities of commodities feasible developed respectivelly are (1) catfish; (2) nila; (3) gurami, and (4) milkfish.
ANALISIS DAMPAK PELARANGAN ALIH MUATAN (TRANSHIMENT) IKAN HASIL TANGKAPAN PADA ARMADA PUKAT CINCIN PELAGIS BESAR (Studi kasus pada perikanan pukat cincin pelagis besar di WPP NRI 716-717 berbasis di Bitung) Agustinus Anung Widodo; Suryanto Suryanto
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 7, No 2 (2015): (November 2015)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (213.503 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.7.2.2015.93-102

Abstract

Kegiatan alih muatan (transhipment) umumnya dilakukan pada kapal pukat cincin pelagis besar yang dioperasikan dengan sistem grup, maka implementasi Permen KP Nomor 57/Permen Kp/2014 menjadi efektif bagi armada tersebut. Kajian dampak kebijakan ini terhadap aspek perikanan dan sumberdaya tuna telah dilakukan di perairan WPP 716 dan 717 khusus bagi perikanan pukat cincin pelagis besar berbasis di Bitung. Untuk kajian ini digunakan data yang dikumpulkan enumerator pada tahun 2013-2014, data pengamatan di atas kapal tahun 2013, dan data kapal yang diperoleh dari Ditjen PSDKP dan WCPFC. Hasil analisis menunjukkan bahwa jeda operasi penangkapan armada pukat cincin yang dioperasikan di WPP NRI 716 dan 717 yang berbasis di Bitung telah mengurangi pasokan bahan baku ke pabrik pengaelangan tuna di Bitung dan sekitarnya sebesar ± 40.968 ton ikan tuna sejak ± 8 bulan terakhir. Dalam rangka memenuhi sebagian pasokan bahan baku ke pabrik pengalengan tuna tersebut, sejak akhir Agustus 2015 sebanyak ± 10 kapal pukat cincin pelagis besar jenis penangkap yang sebelumnya dioperasikan dengan transhipment menjadi tanpa transshipment. Pada kapal-kapal tersebut dilakukan perubahan palkah nya sebelum dioperasikan sehingga memungkinkan tidak melakukan transhipment selama trip operasi penangkapan. Kapal pukat cincin pelagis besar jenis penangkap yang berukuran 181-220 GT dengan kekuatan mesin 600 HP merupakan ukuran ideal. Dengan tanpa beroperasi ± 8 bulan memberikan peluang tumbuh dan memijah bagi ikan dan diperkirakan ± 40.968 ton tuna tidak ditangkap. Ukuran cakalang yang awalnya ± 41 cmFL menjadi ikan dewasa berukuran ± 61 cmFL. Madidihang yang awalnya berukuran 40-41 cmFL menjadi ikan dewasa berukuran ± 70 – 71 cmFL. Bagi ikan tuna mata besar yang awalnya berukuran 40 cmFL menjadi berukuran ± 64 cmFL dan ikan tuna matabesar masih memerlukan ± 15 bulan lagi hingga mencapai ukuran dewasa (Lm 100cmFL). The practice of transhipment at large pelagic purse seine fleet group system makes the implementation of regulaiton PERMEN KP Nomor 57/Permen Kp/2014 regulation is effective for the fleet. Study on impacts of the practice of transhipment to the tuna fisheries and resources in Indonesian FMA 716 and 717 based at Bitung has been conducted. D ata and information are used in the study were from port sampling program year 2013 and 2014, onboard observer program of 2013, 2015 ship database from the Surveillance Directorate General and WCPFC. The analysis showed that since last 8 months, the operational pauses of the fleet based in Bitung and operating on 716 and 717 WPP NRI have reduced ± 40,968 tonnes of raw materials to the tuna canneries in Bitung and surroundings. Since August 2015 about 10 large pelagic purse seiners that are previously operated as large pelagic purse seiners with transshipment become to large pelagic pure-seiner without transshipment. The fish hold of the purse seiner have been revitalized so that possible to be operated without transhipment during fishing trip. Large pelagic purse seiner 181-220 GT class indicated as ideal size purse seiner that operated without transhipment. Having operational pauses of 8 month, it provides opportunity of 40,968 tonnes of tuna to grow and spawn. It is estimated the size of skipjack from the initial size of 41 cm FL become matured fish with size about 61 cmFL. Yellowfin tuna from the initial size of 40-41 cmFL become matured fish with size about 70 – 71 cmFL. Bigeye tuna from the initial size of 40 cmFL become about 64 cmFL and need atleast about 15 month to become matured stage i.e. 100 cmFL.

Page 1 of 1 | Total Record : 6