cover
Contact Name
Intan Permatasari Hermawan
Contact Email
vitek@uwks.ac.id
Phone
+6282337854228
Journal Mail Official
vitek@uwks.ac.id
Editorial Address
Jl. Dukuh Kupang Barat XVI No. 1 Surabaya
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Vitek : Bidang Kedokteran Hewan
ISSN : 24609773     EISSN : 26858894     DOI : -
Core Subject : Health, Science,
Journal Vitek published scientific manuscripts in the field of veterinary medicine. The manuscript can be researched, articles pillowcase reverse (review), and case reports.
Articles 96 Documents
Performa reproduksi pada sapi potong peranakan limosin Ruswandono Wirjatmadja
VITEK : Bidang Kedokteran Hewan Vol 4 (2014): VITEK - Bidang Kedokteran Hewan
Publisher : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tinggi rendahnya status reproduksi sekelompok ternak, dipengaruhi oleh lima hal sebagai berikut: angka Kebuntingan (Conception Rate), jarak antara kelahiran (Calving Interval), angka Perkawinan per kebuntingan (Service per Conception), umur pertama kali kawin, Estrus post partus (bulan).Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa reproduksi sapi Peranakan Limosin dari program Inseminasi Buatan di Kecamatan Kertosono Kabupaten Nganjuk. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Kertosono, Kabupaten Nganjuk, dengan jumlah sapi betina yang diamati 109 ekor dan umur rata-rata antar 2 – 5 tahun. Metode yang digunakan adalah survey yaitu dengan melakukan wawancara langsung dengan peternak, catatan yang ada pada peternak dan inseminator, pengamatan langsung di lapangan. Pakan yang diberikan jerami, hijauan (rumput gajah), dan dedak Padi. Data diperoleh dari data sekunder yang berasal dari wawancara langsung dengan peternak, catatan yang ada pada peternak dan insemiantor, serta pengamatan di lapangan kemudian dianalisis dengan menggunakan metode statistik deskriptif untuk melihat rata – rata dan standar deviasinya. Data yang diambil meliputi : umur pertama kali kawin, angka konsepsi (Conception Rate), angka perkawinan per kebuntingan (Service per Conception), calving Interval (bulan), estrus post partus (bulan), Nilai dari hasil survei terhadap sapi limosin sejumlah 109 ekor sapi limosin betina sehat dan sudah dua kali atau lebih beranak diperoleh hasil sebagai berikut : umur pertama Kawin 18,00 + 0,39 bulan, conception rate 63,24 + 1,01 %, estrus post partus 1,90 + 0,83 bulan, Service per Conception 1,78 + 0,05, Calving Interval 13,00 + 0,77 bulan.
Pengaruh Pemberian Pakan Tambahan Tepung Bekicot (Achatina Fulica) Terhadap Motilitas dan Viabilitas Spermatozoa pada Mencit (Mus Musculus) Agus Sjafarjanto; Fradila Nurmahita Rosandi
VITEK : Bidang Kedokteran Hewan Vol 5 (2015): VITEK - Bidang Kedokteran Hewan
Publisher : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tepung bekicot (Achatina fulica) terhadap motilitas dan viabilitas spermatozoa mencit (Mus musculus).Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah mencit sebagai control, mencit yang diberi tepung bekicot 1 g, 2 g, dan 3 g. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya pada tanggal 4 Agustus sampai 18 Agustus 2014. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analisis Varian (ANOVA).Hasil penelitian menunjukkan, bahwa ada pengaruh tepung bekicot (Achatina fulica) terhadap motilitas dan viabilitas spermatozoa mencit (Mus musculus). Perlakuan pemberian tepung bekicot (Achatina fulica) 3 g mampu meningkatkan motilitas dan viabilitas spermatozoa dibandingkan dengan pemberian tepung bekicot (Achatina fulica) 1 g dan 2 g.
Perbandingan Mula dan Lama Kerja Anestesi Umum dengan Premedikasi antara Acepromazine dengan Kombinasi Acepromazine-Atropine Sulfat pada Kucing Lokal (Felis Domestica) Desty Apritya; Tria Ardiani
VITEK : Bidang Kedokteran Hewan Vol 5 (2015): VITEK - Bidang Kedokteran Hewan
Publisher : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan mula dan lama kerja anestesi umum dengan premedikasi antara acepromazine dengan kombinasi acepromazine-atropin pada kucing lokal (Felis Domestica).Penelitian ini menggunakan hewan coba sebanyak 27 ekor kucing yang dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan, yaitu P1, P2, dan P3. Masing-masing kelompok terdiri dari 9 ekor. P1 merupakan kelompok kontrol yang diberikan ketamin sebagai obat tunggal dengan dosis 20 mg/KgBB injeksi secara intramuskular. P2 merupakan kelompok yang diberikan acepromazine 0,2 mg/KgBB sebagai premedikasi secara subkutan dan ketamin 20 mg/KgBB IM. P3 diberikan kombinasi acepromazine 0,2 mg/KgBB dengan atropin 0,04 mg/KgBB keduanya diinjeksi secara subkutan dan ketamin 20 mg/KgBB intramuskular.Data yang diperoleh diuji dengan metode statistik anova. Hasil yang didapat mula dan lama kerja anestesi pada P2 (ketamin-acepromazine) tidak berbeda nyata terhadap P3 (ketamin-acepromazine-atropin), dan keduanya memiliki perbedaan yang nyata terhadap P1 (ketamin).
The Potential of Red Roses Extract (Rosa Damascena Mill) As an Antiseptic Stomatitis in Snakes (Python Reticulatus) on The Total Number Leukocyte and Defferential Counting of Leukocytes Dian Ayu Kartika Sari; Novi Setyaningrum
VITEK : Bidang Kedokteran Hewan Vol 5 (2015): VITEK - Bidang Kedokteran Hewan
Publisher : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This study aimed to determine the effect of red roses extracts (Rosa damascena Mill) as an antiseptic stomatitis in snakes (Python reticulatus) on the total number leukocyte and defferential counting of leukocytes. Male snakes with an average weights 200 grams, length of ± 1 to 1.3 m, and derived from same parent, were used as experimental animals in the study. Statistical analysis method using ANOVA with five treatments and four repetitions were continued using HSD test if there were significant differences found in the study. The unhomogenous data processed by ANOVA were continuously processed using Kruskal Wallis test. The treatment groups consisted of the P0 (control +), the P1 (stomatitis control), the P2, P3, P4 (stomatitis treatment). P0 and P1 groups were given placebo the P2, P3, P4 each got a red rose flower extract 12,5%, 25%, 50%. Respectively medications were given topically, once a day, for two weeks. Blood sampling was performed after treatment, respectively counting number and type of leukocytes. Data were analyzed by ANOVA and Kruskal Wallis. Result showed there were no significant differences in leukocytes and all type of leukocytes cells, namely: heterophile, eosinophils, basophils, lymphocytes, and monocytes.
Effects of Flour Shell Mussels (Perna Viridis sp.) to The Serum Levels of Calcium in Male Local Rooster Era Hari Mudji; Muhammad Zaki Mubarah
VITEK : Bidang Kedokteran Hewan Vol 5 (2015): VITEK - Bidang Kedokteran Hewan
Publisher : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This study aimed to determine the effects of adding flour shell mussels (Perna viridis sp) On serum levels of calcium in the male range chicken. This study uses a completely randomized design (CRD) with 4 treatments, and each treatment be repeated 5 times. Treatment consists of : Giving green shells flour 0%, 0.9%, 1.8%, 2.7%. Data were analyzed by Duncan's test and LSD.The results showed that administration of green flour shells with multiple levels in the male range chicken was highly significant (P <0.01) on serum calcium levels range chicken males, Conclusions of this study are : Provision of additional flour shell mussels feed on male domestic poultry as a source of minerals with a dose of 0%, 0.9%, 1.8%, 2.7% had an influence on serum calcium levels in the blood.
Potensi Escherichia Coli sebagai "Foodborne Zoonotic Disease" Freshinta Jellia Wibisono
VITEK : Bidang Kedokteran Hewan Vol 5 (2015): VITEK - Bidang Kedokteran Hewan
Publisher : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Makanan adalah sumber energi utama bagi manusia. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka akan semakin meningkatkan kebutuhan akan makanan yang tidak hanya sehat, melainkan makanan yang bergizi dan juga aman untuk dikonsumsi. Zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia ataupun sebaliknya, sedangkan foodborne zoonotic disease merupakan suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh makanan. E.coli merupakan salah satu penyebab foodborne zoonotic disease, bersifat infeksius, dan menghasilkan toksin. Di masyarakat terdapat banyak kasus kesakitan atapun kematian yang disebabkan oleh makanan (foodborne disease). Infeksi karena strain patogenik E.coli mungkin merupakan penyebab paling umum diare di negara-negara berkembang. Beberapa jenis bahan makanan yang dapat berperan sebagai sumber penularan penyakit yang disebabkan oleh E.coli strain pathogen antara lain 52% bahan makanan tersebut adalah yang berasal dari ternak sapi. Kejadian outbreak penyakit pada manusia biasanya berhubungan dengan terjadinya kontaminasi E.coli strain patogen pada daging sapi. Penularan dapat terjadi melaui proses pemotongan hewan yang kurang higienis di rumah potong dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi bakteri pada daging. Sedangkan kontaminasi pada susu dapat terjadi akibat ambing sapi perah telah terinfeksi oleh bakteri, atau kontaminasi berasal dari alat-alat pemerahan yang digunakan. Daging dan susu yang telah terkontaminasi dan tidak dimasak secara sempurna dapat menyebabkan infeksi E.coli pada manusia yang mengkonsumsi. Penyebaran penyakit dapat terjadi secara zoonosis dari hewan (sapi) ke manusia, namun demikian dapat juga terjadi dari manusia ke manusia. Sanitasi yang buruk merupakan penyebab banyaknya kontaminasi bakteri E.coli dalam air bersih yang dikonsumsi masyarakat. Agar terhindar dari fooborne disease, setiap orang harus memperhatikan sanitasi dan higiene makanan yang akan atau telah diolah. Selain itu suhu yang tepat dalam menyimpan dan mengolah harus diperhatikan agar makanan tersebut tidak terkontaminasi. Oleh karena itu, perlu diupayakan peningkatan kewaspadaan dan kesadaran masyarakat terhadap kemungkinan penularan penyakit foodborne zoonotic disease. Dari upaya tersebut sangat ditentukan oleh kerjasama yang baik dan terpadu antara petani, peternak, penyuluh peternakan, peneliti dan para pengambil kebijakan .
Prevalensi Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola sp) pada Sapi Potong Marek Yohana Kurniabudhi
VITEK : Bidang Kedokteran Hewan Vol 5 (2015): VITEK - Bidang Kedokteran Hewan
Publisher : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ternak ruminansia sangat berperan penting untuk kehidupan manusia, selain menyediakan bahan makanan, wol, kulit, pupuk kandang juga sebagai sumber tenaga untuk kegiatan pertanian. Penyakit Fasciolosis merupakan salah satu penyakit penting dalam peternakan ruminansia. Rumah Potong Hewan adalah tempat yang mudah untuk melihat tingkat prevalensi Fasciolosis Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat prevalensi infeksi cacing Fasciola sp dan perbandingan prevalensi infeksi cacing Fasciola sp antara Sapi Potong di Rumah Potong Pegiriian Surabaya Tahun 2014.Selama bulan April 2014 sampai Juli 2014 prevalensi fasciolosis di RPH Pegirian Surabaya terdapat 4,89 %. Kejadian Fasciolosis tertinggi terjadi pada musim basah yaitu pada periode bulan April 2014 sampai Mei 2014 dan kejadiannya menurun saat mulai musim kemarau periode bulan Juni 2014 sampai Juli 2014. Kejadian infeksi sering ditemukan pada jenis Sapi Madura sebanyak 53 ekor. Jenis Sapi Bali (34 ekor), Sapi Onggole (30 ekor) dan Sapi Simental (31 ekor) juga ditemukan infeksi Fasciola sp dengan nilai prevalensi yang tidak berbeda jauh. Jenis Sapi Limosin menunjukkan kejadian paling rendah terinfeksi Fasciola sp yaitu sebanyak 28 ekor.
Uji sensitivitas anti bakteri dan anti jamur terhadap megabacterium secara in vitro Miranti Candrarisna; Edi Boedi Santosa; Sudarmanto Indarjulianto; Surya Amanu
VITEK : Bidang Kedokteran Hewan Vol 5 (2015): VITEK - Bidang Kedokteran Hewan
Publisher : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Uji sensitivitas terhadap bakteri megabacterium penyebab Megabacteriosis pada burung import dilakukan dengan menggunakan beberapa anti bakteri seperti : Ampisillin, Enrofloksasin, Eritromisin, Klindamisin, Kloramfenikol, Streptomisin, dan Tetrasiklin. Sedangkan anti jamur yang digunakan : Griseofulvin, Ketokonazol dan Nystatin. Penelitian ini bertujuan mengkaji potensi obat anti bakterial dan anti jamur terhadap megabacterium. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Virologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. Pengujian sensitivitas beberapa obat anti bakterial dan anti jamur dilakukan dengan menggunakan agar disc diffusion method (metode penghambatan cakram dish pada media Muller Hilton Agar plat) secara in vitro. Pengamatan dilakukan pada suhu 370C selama 24-48 jam dalam suasana anaerob. Hasil pengamatan berupa pembentukan diameter zona hambatan di sekitar kertas cakram. Hasil penelitian yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan: megabacterium resistensi terhadap Ampisillin, dan megabacterium sangat sensitif terhadap Griseofulvin, kemudian diikuti Enrofloksasin, Klindamisin, Kloramfenikol, Nystatin, Ketokonazol, Eritromisin, Tetrasiklin dan Streptomisin.
Profil Diferensiasi Sel Th-1 pada Penderita Tuberkulosis Nurul Hidayah; Sofia Fajarwati
VITEK : Bidang Kedokteran Hewan Vol 5 (2015): VITEK - Bidang Kedokteran Hewan
Publisher : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penyakit tuberkulosis (TB) disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosisi). Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2%. Pada daerah dengan ARTI 1%, maka diantara 100.000 penduduk, rata-rata terjadi 100 penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50% penderita adalah BTA positif. Walaupun vaksin telah ada, namun prevalensi TB belum berkurangMycobacterium tuberculosis terhirup dalam bentuk aerosol droplet nuclei dan mencapai sekmen distant dari bronchoalveolar tree, terutama pada bagian bawah paru-paru. M. tuberculosis difagosit oleh makrofag alveolar. Makrofag ini mempunyai dua fungsi yaitu sebagai efektor antimikroba dan untuk respon sitokin proinflamatori.Sel Th1 berasal dari sel T CD4+. Sel TCD4+ dapat berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Pemilihan jalur perkembangan ditentukan oleh sinyal dari sitokin yang diterima. M. tuberculosis merupakan bakteri intraselular. Pengenalan makrofag terhadap M. tuberculosis bisa melalui TLR-2, yang pada akhirnya akan menghasilkan molekul sitokin IL-12. Stimulasi dari sel NK juga didapatkan yaitu berupa IFN-γ. IFN-γ ini juga menstimulasi makrofag untuk menghasilkan IL-12. IL-12 adalah sitokin kunci untuk mengubah Th0 menjadi Th1 dan menginduksi celluler mediated immunity (CMI)CMI sangat dibutuhkan untuk mengeradikasi bakteri. Hal ini dikarenakan antibodi akan sulit menjangkau M. tuberculosis yang sudah berada dalam sel. Oleh karena itu, Th1 yang mengawali induksi CMI lebih diperlukan dari pada Th2. Sehingga berbagai sel dan molekul yang dibutuhkan untuk diferensiasi Th0 menjadi Th1 juga sama pentingnya. LAM adalah salah satu komponen dinding sel M. tuberculosis. Karena berada dipermukaan, LAM sangat mungkin menjadi bagian yang pertama dikenali oleh sistem imun hospes. Dari beberapa penelitian LAM diketahui dapat meningkatkan diferensiasi sel T menjadi Th1.
The Comparison of Ketamine, Xylazine and Ketamine-Xylazine Combination to Rat (Rattus Norvegicus) Ratna Widyawati; Bayu Dirgantara Syahputra Ayomi
VITEK : Bidang Kedokteran Hewan Vol 5 (2015): VITEK - Bidang Kedokteran Hewan
Publisher : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The mean of this research is to observed the OOA (Onset Of Action), DOA (Duration Of Action), Cardiovascular (CRT), respiration system (respiration type and respiration rate) on giving of Ketamine, Xylazine that compare to the combination of Ketamine-Xylazine to rat and reach the anesthetic choice that can fulfill the basic anestesia criteria ( sedation, analgesia, relaxation, safe and applicable).This research use 30 rats that separated in to 3 groups, each group consist of 10 rats. Group P1 got pre-anestesia treatment with atropine (0,05 mg/kg body weight) subcutaneously and 10 minutes latter is given the induction of anestesia with Ketamine (50-200mg/kg body weight) intramuscularly, Group P2 got pre-anestesia treatment with atropine (0,05 mg/kg body weight) subcutaneously and 10 minutes latter is given the induction of anestesia with Xylazine (5-10 mg/kg body weight) intramuscularly and Group P3 got pre-anestesia treatment with atropine (0,05 mg/kg body weight) subcutaneously and 10 minutes latter is given induction of anestesia with Ketamine and Xylazine intramuscularly.Result of the research to OOA and DOA (F < 0,05 < 0,01) show that faint time is earlier in the post injection of ketamine-xylazine. The result of research of anestesia duration to cardiovascular system (CRT) show that there is not real different for the three treatment (F > 0,05 > 0,01) while in the three treatment there is real different for the anestesia stage (F < 0,05 < 0,01). Result of the research for the anestesia duration in the respiration system especially in respiration type show that there is not real different in that three treatment (F > 0,05 > 0,01) while in the anestesia stage show that there is real different (F < 0,05 < 0,01). Research result about the respiration rate in the three treatment show that there is no real different (F > 0,05 > 0,01) so was the treatment in anestesia stage show that there is real different (F < 0,05 < 0,01).

Page 2 of 10 | Total Record : 96