cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan
ISSN : 2087295X     EISSN : 26142813     DOI : -
Core Subject : Social,
Negara Hukum is a journal containing various documents, analyzes, studies, and research reports in the field of law. Jurnal Negara Hukum has been published since 2010 and frequently published twice a year.
Arjuna Subject : -
Articles 11 Documents
Search results for , issue "Vol 10, No 1 (2019): JNH VOL 10 NO. 1 Juni 2019" : 11 Documents clear
Preface JNH Vol. 10 No. 1 Juni 2019 Harris Sibuea
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 10, No 1 (2019): JNH VOL 10 NO. 1 Juni 2019
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (44.086 KB)

Abstract

Pelindungan Hak Paten atas Pengetahuan Obat Tradisional Melalui Pasal 26 UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten (Protection of Patent Rights on Traditional Medicine Knowledge Through Article 26 of Law No. 13 of 2016 Concerning Patents) Trias Palupi Kurnianingrum
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 10, No 1 (2019): JNH VOL 10 NO. 1 Juni 2019
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (764.831 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v10i1.1222

Abstract

Patent as a branch of Intellectual Property Rights (IPR) serves to protect inventions on the field of technology, one of them being medicine. The rise on the number of cases on the theft of genetic resources and traditional knowledge on the field of medicine for commercialization purposes shows that the protection of patent rights on traditional medicine knowledge is still not optimal. This article is the result of a normative juridical research which is supported by an empirical data, examines the protection of patent rights on traditional medicine knowledge and the implementation of Article 26 of Law No. 13 of 2016 on Patents (Patent Law year 2016). In the research results, it was mentioned that even though the TRIPs Agreement did not accommodate the traditional knowledge, the presence of Patent Law year 2016 complemented the Indonesian government's efforts to save the knowledge of traditional medicines from biopiracy and misappropriation. It is necessary to regulate the disclosure obligation in TRIPs agreement and further mechanism regarding benefit sharing and granting access to traditional medicines knowledge. AbstrakPaten merupakan salah satu cabang Hak Kekayaan Intelektual yang berfungsi untuk melindungi invensi di bidang teknologi, salah satunya obat-obatan. Maraknya kasus pencurian sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional di bidang obat-obatan untuk tujuan komersialisasi menunjukkan bahwa pelindungan hak paten atas pengetahuan obat tradisional masih belum maksimal. Artikel ini merupakan hasil penelitian yuridis normatif yang didukung dengan data empiris, membahas mengenai pelindungan hak paten atas pengetahuan obat tradisional dan implementasi Pasal 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten 2016). Di dalam hasil penelitian, disebutkan meskipun Perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) belum mengakomodasi pengetahuan tradisional namun hadirnya UU Paten 2016 melengkapi usaha pemerintah Indonesia dalam menyelamatkan pengetahuan obat tradisional dari biopiracy dan misappropriation. Perlu pengaturan kewajiban disclosure di dalam Perjanjian TRIPs dan mekanisme lebih lanjut mengenai benefit sharing dan pemberian akses atas pengetahuan obat tradisional.
Back Pages JNH Vol. 10 No. 1 Juni 2019 Harris Sibuea
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 10, No 1 (2019): JNH VOL 10 NO. 1 Juni 2019
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (11.251 KB)

Abstract

Perempuan dalam Prostitusi: Konstruksi Pelindungan Hukum Terhadap Perempuan Indonesia dari Perspektif Yuridis dan Viktimologi (Women in prostitution: Construction of Legal Protection Towards Indonesian Women from a Juridical and Victimitarian Perspective) Yaris Adhial Fajrin; ach faisol triwijaya
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 10, No 1 (2019): JNH VOL 10 NO. 1 Juni 2019
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1199.423 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v10i1.1203

Abstract

The practice of prostitution involving women as the main perpetrator creates a negative stigma that sees women as guilty persons. Even though there are also women who are involved in the practice of prostitution due tocoercion. This condition creates a bias towards the position of the victim in the practice of prostitution. This paper is to examine the involvement of women in the practice of prostitution while also recognizing the position of women that are involved in the practice of prostitution. This research uses the normative juridical research method. Women in the prostitution network can be identified as victims due to both internal and external pressure.Women are perpetrators if involved without any pressure from other parties. Women are victims if they act as service providers, suffered, because of force by power from others, besides the relative requirements of women as victims of prostitution when involved in the practice of prostitution because they have been victims of sexual violence and make prostitution as livelihoods. Thus, it is hoped that legislators will soon be able to formulate limits on victims in the context of legal reform and just law enforcement. AbstrakPraktik prostitusi yang melibatkan perempuan sebagai aktor utama menimbulkan stigma negatif yang memandang perempuan sebagai insan yang bersalah. Padahal adapula perempuan yang terlibat dalam praktik prostitusi diakibatkan keterpaksaaan. Kondisi ini menimbulkan bias terhadap kedudukan korban dalam praktik prostitusi. Tulisan ini untuk mengkaji keterlibatan perempuan dalam praktik prostitusi sekaligus mengetahui kedudukan perempuan yang terlibat dalam praktik prostitusi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Perempuan dalam jaringan prostitusi dapat teridentifikasi sebagai korban akibat tekanan internal maupun eksternalnya. Perempuan sebagai pelaku apabila terlibat tanpa tekanan dari pihak di luar dirinya. Perempuan sebagai korban apabila bertindak sebagai pemberi jasa, menderita, karena dan daya paksa dari orang lain, selain itu syarat relatif perempuan sebagai korban dalam prostitusi manakala terlibat dalam praktik prostitusi karena pernah menjadi korban kekerasan seksual dan prostitusi sebagai mata pencaharian. Diharapkan pembentuk undang-undang segera mungkin untuk merumuskan mengenai batasan korban dalam rangka pembaharuan hukum dan penegakan hukum yang berkeadilan.
Pelindungan Konsumen dalam Transaksi Dagang Melalui Sistem Elektronik (Consumer Protection in E-Commerce) Sulasi Rongiyati
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 10, No 1 (2019): JNH VOL 10 NO. 1 Juni 2019
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (484.67 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v10i1.1223

Abstract

E-commerce in Indonesia is continuing to grow. As a transactions with a special characteristic which involves parties across many jurisdictions without having to be physically present, a form of legal protection is highly required for the consumers. Through the normative juridical research method, this paper examines consumer protection in trade transaction through electronic system (E-Commerce) and its dispute resolution. The result of the research show that the consumer protection cannot be maximally implemented because regulating it is still distributed in several laws and requesting implementing regulations. In addition, Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection has not been able to extend consumer protection in the electronics’ trade transactions / e-commerce as a whole, especially in the common situation where parties have jurisdictional differences. Whereas in the case of consumer disputes, the parties can take the matter through litigation (on court) as well as non-litigation (off court), in accordance to the agreement agreed by the parties. Nevertheless, the alternative online dispute resolutions can be implemented in full. This research recommends that the Government shall immediately form a Government Regulation related on trade/commerce transactions through an electronic system and to regulate online dispute resolutions. AbstrakTransaksi dagang melalui sistem elektronik di Indonesia terus berkembang. Sebagai transaksi yang memiliki karakteristik khusus yang melibatkan para pihak lintas yuridiksi tanpa harus bertemu fisik, sangat diperlukan pelindungan hukum bagi konsumen. Melalui metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini mengkaji pelindungan konsumen dalam transaksi dagang melalui sistem elektronik dan penyelesaian sengketanya. Hasil penelitian menunjukan pelindungan terhadap konsumen pada transaksi dagang melalui sistem elektronik belum dapat dilakukan secara optimal karena pengaturannya masih tersebar dalam beberapa Undang-Undang (UU) yang memerlukan peraturan pelaksanaan. Di samping itu UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen belum mampu menjangkau pelindungan konsumen dalam transaksi dagang secara elektronik secara keseluruhan, khususnya dalam hal para pihak memiliki perbedaan yurisdiksi. Sedangkan dalam hal sengketa konsumen, para pihak dapat menempuh jalur pengadilan maupun di luar pengadilan sesuai kesepakatan para pihak, namun alternatif penyelesaian sengketa secara online dapat dilaksanakan secara penuh. Penelitian ini menyarankan kepada pemerintah untuk segera membentuk Peraturan Pemerintah tentang transaksi dagang melalui sistem elektronik dan mengatur mengenai penyelesaian sengketa secara online.
Appendix JNH Vol. 10 No. 1 Juni 2019 Harris Sibuea
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 10, No 1 (2019): JNH VOL 10 NO. 1 Juni 2019
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (332.306 KB)

Abstract

Constitutional Question: Alternatif Baru Pelindungan Hak Konstitusional Warga Negara Melalui Concrete Review di Indonesia (Constitutional Question: New Alternative to Protect Citizen’s Constitutional Right From Concrete Review in Indonesia) Xavier Nugraha; Ave Maria Frisa Katherina; Safira Noor Ramadhanty; Elma Putri Tanbun
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 10, No 1 (2019): JNH VOL 10 NO. 1 Juni 2019
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1749.058 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v10i1.1209

Abstract

The authority of the Constitutional Court in the current regulations in Indonesia still does not fully protect the constitutional rights of the citizens. This is reflected by seeing that the examination that were accommodated only covered the abstract review (there were no concrete cases in the court). This condition causes the absence of legal remedies to resolve the issue of constitutionality of legal norms in the court (concrete review), even though often the issue of constitutionality of laws is precisely found in court proceedings. This research is a dogmatic legal research. The primary legal material usedis the Law of the Constitutional Court, whilst the secondary legal material consists of books, journals, and other relevant sourcesrelated to the issues discussed in this research. Based on this research, it was found that it is necessary to raise a constitutional question so that the Acts that are being examined can be annuled by the Constitutional Court and articles that are considered in contrary to the constitution cannot be used as a basis by the judge to decide related cases that being examined concretely. AbstrakWewenang Mahkamah Konstitusi yang ada dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini masih belum melindungi hak-hak konstitusional warga negara secara penuh. Hal ini tercermin dari pengujian yang diakomodasi hanyalah melingkupi abstract review (belum adanya kasus konkrit di pengadilan). Kondisi ini menyebabkan tidak adanya upaya hukum menyelesaikan persoalan konstitusionalitas norma hukum di pengadilan (concrete review), padahal sering kali persoalan konstitusionalitas undang-undang justru ditemukan dari proses di pengadilan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum dogmatik. Bahan hukum primer yang digunakan yaitu Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, sedangkan bahan hukum sekunder terdiri dari buku, jurnal, dan sumber lain yang relevan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Berdasarkan penelitian ini, ditemukan bahwa perlu diterapkannya constitutional question supaya undang-undang yang diujikan dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan pasal yang dinilai bertentangan dengan konstitusi tersebut tidak dapat dijadikan dasar oleh hakim untuk memutus terkait kasus yang diujikan secara konkrit.
Menjaga Netralitas ASN dari Politisasi Birokrasi (Protecting The ASN Neutrality From Bureaucracy Politicization) Gema Perdana
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 10, No 1 (2019): JNH VOL 10 NO. 1 Juni 2019
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1513.554 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v10i1.1177

Abstract

The neutrality of ASN and the politicization of the bureaucracy are still issues that need to be addressed immediately. This paper discusses the history of ASN neutrality arrangements; the influence of the bureaucratic politicization toward the ASN neutrality; and the role of KASN in manifesting the ASN neutrality. This paper is a result of a normative legal research, using the historical approach and statute approach. This paper is intended to contribute on the formulation of the ASN management that is free from the political intervention and works solely for the benefit of the nation and the state. In its history, the ASN’s neutrality was highly influenced by the inclination of the legislators. The public officials, whether from a political background or independent, should not place the ASN as a tool to maintain their power. The new institution of the State Civil Apparatus Commission (KASN) is expected to be able to maintain the quality of the implementation of the merit system. Furthermore, the regulations are needed in order to restrict the access of public officials to conduct abuse of authority, also provide the access to strict supervision from the parties including the ASN’s internal in order to be able to report any form of intervention. AbstrakNetralitas ASN dan politisasi birokrasi masih menjadi permasalahan yang perlu segera diatasi. Tulisan ini membahas mengenai sejarah pengaturan netralitas ASN; pengaruh politisasi birokrasi terhadap netralitas ASN; dan peran KASN untuk mewujudkan netralitas ASN. Tulisan ini merupakan hasil penelitian hukum normatif (normative legal research), dengan menggunakan pendekatan sejarah (historical approach) dan peraturan perundang-undangan (statute approach). Tulisan ini bertujuan memberikan kontribusi dalam perumusan manajemen ASN yang bebas dari intervensi politik dan bekerja semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara. Dalam sejarahnya, netralitas ASN sangat dipengaruhi oleh keinginan dari pembentuk undang-undang. Pejabat publik, baik berasal dari politik ataupun independen, tidak seharusnya menempatkan ASN sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya. Lembaga baru Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) diharapkan mampu menjaga kualitas pelaksanaan sistem merit. Selanjutnya, diperlukan regulasi dalam rangka pengetatan akses pejabat publik untuk menyalahgunakan kewenangan, serta memberikan akses pengawasan yang ketat dari para pihak termasuk internal ASN untuk dapat melaporkan segala bentuk intervensi.
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dari Pembayaran Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi, Dapatkah Optimal? (Return of State Financial Losses from The Payment of Substitute Money Corruption Criminal Act, Can It Be Optimal?) Puteri Hikmawati
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 10, No 1 (2019): JNH VOL 10 NO. 1 Juni 2019
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1250.951 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v10i1.1217

Abstract

In addition to being subject to principle criminal penalties, the defendant in a corruption case may be subject to additional criminal penalty, in the form of payment of replacement money. The article which resulting of the normative juridical research with this qualitative approach, review regarding the return of the state financial losses shall be paid from the payment of substitute money in corruption criminal act can it be optimal? In the discussion, the penalty payment of substitute money has been stipulated in Law No. 31 of 1999 on the Eradication of Corruption Crime as amended by Law No. 20 of 2001. The amount of payment of substitute money shall be if possible equal with the assets obtained from the criminal act of corruption. If the substitute money is not paid, then the convicted person shall be liable to a prison sentence whose duration does not exceed the maximum sentence of the principal sentence. Therefore, the returning of financial losses cannot be optimal. The amount of compensation state finances needs to be increased, by confiscating and seizing the assets/properties of the perpetrator. The law concerning assets deprivation shall be established as the legal basis for assets seizure resulting from corruption. AbstrakSelain dapat dijatuhi pidana pokok, terdakwa dalam perkara korupsi dapat dijatuhi pidana tambahan, berupa pembayaran uang pengganti. Artikel yang merupakan hasil penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif ini, mengkaji pengembalian kerugian keuangan negara dari pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi dapatkah optimal?. Dalam pembahasan, pidana pembayaran uang pengganti telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Jumlah pembayaran uang pengganti sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Apabila uang pengganti tidak dibayar, maka terpidana dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya. Oleh karena itu, pengembalian kerugian keuangan negara tidak dapat optimal. Jumlah pengganti kerugian keuangan negara perlu ditingkatkan, dengan melakukan penyitaan dan perampasan terhadap aset/harta kekayaan pelaku. UU Perampasan Aset perlu dibentuk sebagai dasar hukum perampasan aset dari hasil korupsi.
Front Pages JNH Vol. 10 No. 1 Juni 2019 Harris Sibuea
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 10, No 1 (2019): JNH VOL 10 NO. 1 Juni 2019
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (45.463 KB)

Abstract

Page 1 of 2 | Total Record : 11