cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan
ISSN : 2087295X     EISSN : 26142813     DOI : -
Core Subject : Social,
Negara Hukum is a journal containing various documents, analyzes, studies, and research reports in the field of law. Jurnal Negara Hukum has been published since 2010 and frequently published twice a year.
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 2, No 2 (2011)" : 7 Documents clear
ARTI PENTING PENDAFTARAN TANAH UNTUK PERTAMA KALI Harris Yonatan Parmahan Sibuea
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 2, No 2 (2011)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v2i2.218

Abstract

This study analyzes the importance of the first time registration of the land for the owner of the land that have not been registered and the government (BPN) and also the problems that occur at this time related to the first time registration of the land for the land owners who have not been registered. The registration of the land for the first time is very important, because the parcels of the land that already registered will recieve a certificate and have the legal certainty. Today, Percentage of ownership certificates of registration of land parcels for the first time in Indonesia is still low. Whereas, people can use their land as a supporting certificate to obtain that money as collateral to obtain credit in the banking institutions as well as to reduce the space for middlemen, speculators and land manifulator. The problem in this study is what is the significance of the land registration for the first time and what issues is related to the land registration for the first time. This study is analytical descriptive with the normative juridical approach and using secondary data obtained from literature studies, studies dan references documents that have been published by the author. Secondary data systematically compiled and analyzed in a qualitative. The conclusion of this study is the systematic land registration is very expected to provide the legal certainty for the land owner that have not been registered, primarily for the middle income people.ABSTRAKPenelitian ini menganalisis pentingnya pendaftaran tanah untuk pertama kali bagi pemilik tanah yang belum terdaftar dan Pemerintah (BPN) serta permasalahan yang terjadi saat ini terkait pendaftaran tanah untuk pertama kali bagi pemilik tanah yang belum terdaftar. Pendaftaran tanah untuk pertama kali sangat penting, karena bidang tanah yang sudah terdaftar akan mendapat sertifikat serta memiliki kepastian hukum. Sekarang ini, prosentase kepemilikan sertifikat bidang tanah dari pendaftaran tanah untuk pertama kali di Indonesia masih rendah. Padahal masyarakat dapat menggunakan sertifikat tanahnya sebagai pendukung untuk memperoleh uang yakni sebagai jaminan memperoleh kredit di lembaga perbankan serta untuk mengurangi ruang gerak para tengkulak, spekulator dan manifulator tanah. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apa arti penting pendaftaran tanah untuk pertama kali serta permasalahan apa yang terjadi saat ini terkait pendaftaran tanah untuk pertama kali. Permasalahan Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif dan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan, studi dokumen serta referensi yang telah dipublikasikan oleh penulisnya. Data sekunder disusun secara sistematik dan dianalisis secara kualitatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pendaftaran tanah sistematik yang memberikan kepastian hukum sangat diharapkan bagi pemilik bidang tanah yang belum terdaftar terutama bagi masyarakat berpenghasilan menengah kebawah.
Hak Kekayaan Intelektual atas Pengetahuan Tradisional Sulasi Rongiyati
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 2, No 2 (2011)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v2i2.214

Abstract

Indonesia as a developing country that is rich in natural resources, arts, and culture have a variety of traditional knowledge. Its requires recognition and legal protection that is able to take care of ownership of traditional knowledge, as the creation of a nation that gained internationally recognition. Regulation in the intellectual property right, especially patent act aims to provide legal protection for an invention and provide economic benefits for inventor. However the Patent Act, the adoption intellectual property rights of developed countries, in their implementation has not been able to give recognition and protection to traditional knowledge optimally. This is caused by differences between the concept of Paten act is an exclusive and individual with the traditional knowledge that has the characteristics of traditional, communal, and open. Public knowledge of intellectual property rights is still lacking and inadequate mastery of technology and low budget is also an obstacle to patent traditional knowledge.ABSTRAKIndonesia sebagai negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam, seni, dan budaya memiliki berbagai pengetahuan tradisional yang memerlukan pengakuan dan pelindungan hukum yang mampu menjaga terpeliharanya kepemilikan pengetahuan tradisional tersebut sebagai karya bangsa yang diakui secara internasional. Regulasi di bidang HKI, khususnya UU Paten bertujuan memberikan perlindungan hukum atas suatu penemuan karya intelektual kepada penemunya dan memberikan keuntungan ekonomis atas hasil temuannya. Namun UU Paten yang mengadopsi HKI negara-negara maju dalam implementasinya belum mampu memberikan pengakuan dan perlindungan kepada pengetahuan tradisional secara optimal. Hal ini disebabkan oleh perbedaan konsep antara HKI yang eksklusif dan individual dengan pengetahuan tradisional yang memiliki karakteristik tradisional, komunal, dan terbuka. Minimnya pemahaman masyarakat terhadap HKI serta penguasaan teknologi yang belum memadai serta minimnya anggaran juga menjadi kendala untuk mematenkan pengetahuan tradisional.
PERLUASAN ASAS LEGALITAS DALAM RUU KUHP Lidya Suryani Widayati
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 2, No 2 (2011)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v2i2.219

Abstract

Basically, the principle of legality implies that: prohibited acts must be defined in legislation; regulation must exist before it is carried out prohibited acts, and laws are not retroactive. In Article 1 paragraph (3) the Criminal Code Bill 2010, the principle of legality is being expanded so that a person may be prosecuted and convicted on the basis of the law who live in the community, even though such actions are not otherwise prohibited by law. This expansion will create legal uncertainty because the bill of the Criminal Code does not provide a clear understanding of what is meant by the law who live in the community.ABSTRAKPada dasarnya asas legalitas mengandung makna bahwa: perbuatan yang dilarang harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan; peraturan tersebut harus ada sebelum perbuatan yang dilarang itu dilakukan; dan peraturan tersebut tidak berlaku surut. Dalam Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP draft tahun 2010, asas legalitas ini diperluas sehingga seseorang dapat dituntut dan dipidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat, meskipun perbuatan tersebut tidak dinyatakan dilarang dalam perundang-undangan. Perluasan ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena RUU KUHP tidak memberikan pengertian yang jelas apa yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
PELAKSANAAN UU NO. 4 TAHUN 1990 TENTANG SERAH SIMPAN KARYA CETAK DAN KARYA REKAM: ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DAN KOORDINASI ANTARA PERPUSTAKAAN DAERAH DENGAN PIHAK TERKAIT Luthvi Febryka Nola
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 2, No 2 (2011)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v2i2.216

Abstract

Obligation of handing over library material according to Law No.4/1990 involved many parties. Therefore, coordination between the parties became important. This writing would focus on coordination based on the authority Perpusda as local library. The purpose of this research were determining the form, inhibiting factors and effective coordination arrangements between Perpusda and stakeholders. It was a descriptive research that using literature study as a data collection. The data analysis used the qualitative approach. This research found that form of coordination were internal and external. Coordination between the parties to be hampered due to the violation of the terms of coordination and lack of legal awareness.ABSTRAKKewajiban serah simpa karya cetak dan karya rekam menurut UU No. 4/1990 melibatkan banyak pihak. Oleh sebab itu koordinasi antara para pihak menjadi penting. Penulisan ini akan difokuskan kepada koordinasi berdasarkan kewenangan Perpusda. Adapun tujuan dari penulisan adalah untuk mengetahui bentuk, faktor penghambat dan pengaturan koordinasi yang efektif antar Perpusda dengan para pihak. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif dengan menggunakan studi perpustakaan sebagai teknik pengumpulan data. Dari penelitian dapat diketahui bentuk koordinasi antar Perpusda dengan para pihak dalam rangka serah simpan karya cetak dan karya rekam adalah intern dan ekstern. Koordinasi antara para pihak ini terhambat akibat minimnya sosialisasi, kurang optimal upaya penegakan hukum dan lemahnya subtansi UU No. 4/1990 serta peraturan pelaksananya. Oleh sebab itu, revisi terhadap UU No. 4/1990 perlu dilakukan, terutama terkait kejelasan subjek hukum dan batasan kewenangan antara para pihak.
Kewenangan Notaris dalam Pembuatan Akta yang berhubungan dengan Tanah Denico Doly
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 2, No 2 (2011)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v2i2.217

Abstract

UUJN has set about the authority that can be run by a notary, but ini article 15 paragraph (2) letter f UUJN mentioned notary is authorized to make the deed land. Article 15 paragraph (2) letter f UUJN is not going well, even a lot of debate between notary with PPAT about authority to make deed land. The problems that arise is the existenci of two authorized officials in making land deed. This paper would like to see the legal basis of authority of notary deed in the land and what the authority of the notary deed in the land. If the look back provision that give authority to a notary, it can be seen, the presence of a notary powers are restricted. This restriction is given to other officials who can make authentic deed is mandate by law.ABSTRAKUJJN telah mengatur mengenai kewenangan yang dapat dijalankan oleh seorang Notaris, akan tetapi dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN disebutkan Notaris berwenang untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN ini tidak berjalan dengan baik, bahkan pada saat ini banyak perbedaan pendapat antara Notaris dengan PPAT mengenai kewenangan Notaris membuat akta di bidang pertanahan. Permasalahan yang timbul adalah adanya dua pejabat yang berwenang dalam pembuatan akta pertanahan. Tulisan ini ingin melihat dasar hukum kewenangan notaris dalam pembuatan akta pertanahan dan apa yang menjadi kewenangan notaris dalam pembuatan akta pertanahan. Apabila melihat kembali pasal-pasal yang memberikan kewenangan kepada seorang Notaris, maka dapat dilihat, adanya kewenangan-kewenangan seorang Notaris yang dibatasi. Pembatasan ini diberikan kepada pejabat-pejabat lain yang dapat membuat akta otentik yang diamanatkan oleh undang-undang.
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Monika Suhayati
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 2, No 2 (2011)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v2i2.213

Abstract

One of the new substance in Law Number 12 of 2011 regarding Regulation’s Formation is the placement of People’s Consultative Assembly decision in the regulations hierarchy, which is under the Indonesian constitution of 1945 and above the law. Such placement is appropriate considering that there are few valid and binding People’s Consultative Assembly decisions according to People’s Consultative Assembly Decision Number I/MPR/2003. The People’s Consultative Assembly decision is also a fundamental rule of a state or a basic rule of a state (staatsgrundgesetz) as well as the body of Indonesian constitution of 1945 considering that the People’s Consultative Assembly decision is the foundation of law’s formation (formell gezetz) and other lower regulations before the amendment of the Indonesian constitution of 1945.ABSTRAKSalah satu substansi baru dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah penempatan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Ketetapan MPR ditempatkan dibawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan diatas undang-undang. Penempatan Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah tepat mengingat masih terdapat Ketetapan MPR yang masih berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003. Ketetapan MPR juga merupakan aturan dasar negara atau aturan pokok negara (staatsgrundgesetz) sebagaimana halnya dengan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikarenakan Ketetapan MPR menjadi landasan pembentukan undang-undang (formell gezetz) dan peraturan lain yang lebih rendah sebelum perubahan UUD Tahun 1945.
ANALISIS TERHADAP SANKSI PIDANA BAGI PENGGUNA NARKOTIKA Puteri Hikmawati
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 2, No 2 (2011)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v2i2.220

Abstract

The Narcotic abuse still becomes a serious threat in Indonesia, and is considered as a dangerous crime, harming the character and phisic of young generations and the people. The crimes are also related to some other crimes, like stealing, robbing, and money laundering. Narcotic crimes have increased every year. Punishment to narcotic users is considered not effective, therefore it is needed other legal remedy. This article describes that an imprisonment sanction doesn’t have any deterrent effect, therefore the sanction should include medical treatment and social rehabilitation. Double track system means equality between criminal sanction and treatment sanction stipulated by the Indonesian Law on Narcotic, while the Judge has the right to decideABSTRAKPenyalahgunaan narkotika masih menjadi ancaman serius di Indonesia, dan dianggap sebagai kejahatan yang berbahaya, merusak karakter dan fisik generasi muda dan masyarakat. Kejahatan tersebut juga dikaitkan dengan sejumlah kejahatan lain, seperti pencurian, perampokan, dan pencucian uang. Kejahatan narkotika di Indonesia semakin berkembang dan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sanksi pidana terhadap pengguna narkotika dianggap tidak cukup efektif, dan karenanya perlu ada upaya hukum lain. Tulisan ini mendeskripsikan bahwa sanksi pidana penjara tidak membuat jera penyalahguna narkotika, dan karenanya harus disertai sanksi tindakan berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Double track system yang berarti kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan dianut dalam UU tentang Narkotika, dan hakim berhak memutuskan hal itu.

Page 1 of 1 | Total Record : 7