cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan
ISSN : 2087295X     EISSN : 26142813     DOI : -
Core Subject : Social,
Negara Hukum is a journal containing various documents, analyzes, studies, and research reports in the field of law. Jurnal Negara Hukum has been published since 2010 and frequently published twice a year.
Arjuna Subject : -
Articles 223 Documents
Dampak Putusan Arbitrase Laut China Selatan pada Pengembangan Bersama Minyak dan Gas Bumi
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 14, No 1 (2023): JNH VOL 14 NO 1 JUNI 2023
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v14i1.3763

Abstract

After the South China Sea arbitral award stating that China had no right to claim over sea zones beyond the jurisdiction provided by the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982), China and the Philippines restarted negotiations on Joint development of oil and gas. Philippine jurists have criticized this effort as a “neglect“ or “compromise“ to the Permanent Court of Arbitration award and the Philippines' claims to the South China Sea. This article aims to analyze the implications of the Permanent Court of Arbitration award in the case of the South China Sea concerning the joint oil and gas development between China and the Philippines. This article uses doctrinal research with legal, case, and conceptual approaches. This analysis results show that after the issuance of the arbitral award, the Philippines is not obliged to negotiate provisional arrangements for the joint development of oil and gas with China following Articles 74(3) and 83(3) of the 1982 UNCLOS in the disputed area in the South China Sea. Based on the arbitral award, the Philippines is not obliged to restrain itself in areas that are not China's rights. In addition, even if the Philippines enters into joint development with China, it will not result in China being able to claim the maritime area AbstrakSetelah putusan arbitrase Laut China Selatan yang menyatakan bahwa China tidak berhak untuk mengklaim zona laut di luar kewenangan yang diatur oleh the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982), China dan Filipina memulai kembali negosiasi tentang pengembangan bersama minyak dan gas bumi. Para ahli hukum Filipina telah mengkritik upaya ini sebagai “pengabaian” atau “kompromi” terhadap putusan pengadilan arbitrase permanen dan klaim Filipina atas Laut China Selatan. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis implikasi putusan Mahkamah Arbitrase Permanen atas kasus Laut China Selatan dikaitkan pada pengembangan bersama minyak dan gas bumi antara China dan Filipina. Artikel ini menggunakan jenis penelitian doktrinal dengan pendekatan hukum, kasus, dan konseptual. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa setelah dikeluarkannya putusan arbitrase, Filipina tidak berkewajiban untuk merundingkan pengaturan sementara untuk pengembangan bersama minyak dan gas dengan China sesuai dengan Pasal 74(3) dan 83(3) UNCLOS 1982 di wilayah yang disengketakan di Laut Cina Selatan. Berdasarkan putusan arbitrase tersebut, Filipina tidak berkewajiban menahan diri di wilayah yang bukan merupakan hak China. Selain itu, walaupun Filipina mengadakan pengembangan bersama dengan China, itu tidak akan mengakibatkan China dapat mengklaim wilayah maritim tersebut.
Syarat Pendirian dan Tanggung Jawab Pemegang Saham Perseroan Perorangan Sulasi Rongiyati
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 14, No 1 (2023): JNH VOL 14 NO 1 JUNI 2023
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v14i1.3823

Abstract

As a strategic component of the national economy, micro, small, and medium enterprises (MSMEs) have made significant contributions to employment and the gross domestic product. Paradoxically, MSMEs, particularly micro and small enterprises (MSEs), continue to encounter challenges in their business operations. With the enactment of the Law on Job Creation, subsequently replaced by the Government Regulation in Lieu of Law (Perppu) on Job Creation, the government introduced policies aimed at facilitating business activities for entrepreneurs, including MSEs. The establishment of individual companies represents a significant policy breakthrough for MSEs. This research employs a normative juridical approach with qualitative analysis. The research examines the regulatory requirements and mechanisms governing the establishment of individual companies as part of the ease-of-doing-business provisions outlined in the Perppu on Job Creation. Additionally, it explores the responsibilities of shareholders in relation to individual companies. The analysis reveals that the regulations pertaining to individual companies prescribe simplified requirements for the establishment, such as individual registration, electronic registration, exemption from notary deeds, flexibility in authorized capital arrangements, and the obligation to convert the status of individual companies if it fails to meet the minimum wage criteria. Shareholders’ responsibilities are limited to their invested capital, and they are not personally liable for the company’s engagements or losses exceeding their share ownership. This research recommends that the government enhance the regulation of individual companies, particularly regarding shareholder responsibilities. AbstrakUsaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai bagian strategis perekonomian Nasional telah memberikan kontribusi signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja dan Produk Domestic Bruto. Ironisnya UMKM, khususnya Usaha Mikro Kecil (UMK) masih menghadapi permasalahan dalam menjalankan usahanya. Melalui pembentukan UU tentang Cipta Kerja yang kemudian diganti dengan Perpu tentang Cipta Kerja, pemerintah membuat kebijakan kemudahan berusaha bagi pelaku usaha, termasuk UMK. Pendirian Persero Perorangan menjadi terobosan kebijakan khusus bagi UMK. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang dianalisis secara kualitatif. Tulisan ini mengkaji pengaturan persyaratan dan mekanisme pendirian Perseroan Perorangan sebagai bagian dari kemudahan berusaha yang diatur dalam Perpu Cipta Kerja; serta tanggung jawab pemegang saham terhadap Perseroan Perorangan. Hasil analisis menggambarkan regulasi terkait Perseroan Perorangan mengatur persyaratan yang lebih mudah dalam pendirian, antara lain pendirian dilakukan perorangan, pendaftaran secara elektronik, tidak memerlukan akta notaris, penyesuaian pengaturan modal dasar, dan kewajiban mengubah status Perseroan Perorangan apabila sudah tidak memenuhi kriteria UMK. Tanggung jawab pemegang saham terbatas pada modal dan tidak memiliki tanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat oleh perseroan serta tidak bertanggung jawab terhadap kerugian melebihi saham yang dimiliki. Tulisan ini merekomendasikan kepada pemerintah penyempurnaan regulasi Perseroan Perorangan, khususnya pengaturan tanggung jawab pemegang saham Perseroan Perorangan.
Konsekuensi Yuridis Penerapan Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional Terhadap Eksistensi Pengadilan Nasional dalam Mengadili Kejahatan Internasional Ibnu Mardiyanto
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 14, No 1 (2023): JNH VOL 14 NO 1 JUNI 2023
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v14i1.3774

Abstract

The application of the jurisdiction of the International Criminal Court has consequences for the role of national courts in adjudicating international crimes. The International Criminal Court possesses the authority to prosecute specific offenses, including genocide, crimes against humanity, war crimes, and crimes of aggression. However, the establishment of the International Criminal Court does not absolve national courts of their obligation to investigate and prosecute the perpetrators of these crimes. This study examines the legal implications as consequences of the jurisdictional application of the International Criminal Court on the role of national courts in adjudicating international criminals. The research methodology employed in this study is normative research. This research’s findings demonstrate that the application of the International Criminal Court’s jurisdiction is of utmost importance in addressing impunity for international crimes and is a pertinent global concern. The International Criminal Court functions as a supplementary body and only intervenes when national courts are unable to carry out their duties effectively. The legal ramifications of exercising the jurisdiction of the International Criminal Court alongside national courts necessitate collaboration and coordination between the two entities to ensure a fair and effective outcome for both the accused and the victims. Therefore, it is imperative to promote national courts' development and capacity building in processing and adjudicating international crimes. AbstrakPenerapan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional memiliki konsekuensi terhadap eksistensi pengadilan nasional dalam mengadili kejahatan internasional. Mahkamah Pidana Internasional memiliki otoritas untuk mengadili kejahatan tertentu seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Namun, terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional tidak menghilangkan kewajiban pengadilan nasional untuk memproses dan mengadili pelaku kejahatan tersebut. Tulisan ini mengkaji mengenai konsekuensi yuridis yang timbul dari penerapan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap eksistensi pengadilan nasional dalam mengadili pelaku kejahatan internasional. Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah penelitian normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional sangat penting untuk mengatasi impunitas dalam kejahatan internasional dan merupakan isu global yang relevan. Mahkamah Pidana Internasional bertindak sebagai pelengkap dan hanya intervensi ketika pengadilan nasional tidak efektif. Konsekuensi yuridis dari penerapan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap pengadilan nasional melibatkan kolaborasi dan koordinasi antara kedua pengadilan untuk mencapai hasil yang adil dan efektif bagi terdakwa dan korban. Untuk itu perlu mendorong pengembangan dan peningkatan kapasitas pengadilan nasional dalam memproses dan mengadili kejahatan internasional.