cover
Contact Name
Agni Susanti
Contact Email
agniesusanti2204@gmail.com
Phone
+6287722631615
Journal Mail Official
obstetrianestesi@gmail.com
Editorial Address
Department of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Sardjito General Hospital Yogyakarta Jl.Jl. Kesehatan No.1, Senolowo, Sinduadi, Yogyakarta
Location
Unknown,
Unknown
INDONESIA
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia
ISSN : -     EISSN : 2615370X     DOI : https://doi.org/10.47507/obstetri.v3i2
Core Subject : Health, Science,
We accept manuscripts in the form of Original Articles, Case Reports, Literature Reviews, both from clinical or biomolecular fields, as well as letters to editors in regards to Obstetric Anesthesia and Critical Care. Manuscripts that are considered for publication are complete manuscripts that have not been published in other national journals. Manuscripts that have been published in the proceedings of the scientific meeting can still be accepted provided they have written permission from the organizing committee. This journal is published every 6 months with 8-10 articles (March, September) by Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC).
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol 1 No 1 (2018): September" : 9 Documents clear
Perbandingan Ringer Laktat 40° C dengan Ringer Laktat pada Suhu Kamar dalam Mencegah Shivering pada Seksio Sesarea dengan Anestesi Spinal Adi Hidayat; Yusmein Uyun; Sri Rahardjo
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 1 No 1 (2018): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v1i1.17

Abstract

Latar Belakang: Shivering perioperatif selama anestesi spinal merupakan komplikasi yang sering terjadi seksio sesarea karena vasodilatasi perifer akibat blok simpatis dan irigasi cairan dingin. Meningkatnya tonus otot yang tampak sebagai shivering akan meningkatkan kebutuhan oksigen antara 200-800% dan produksi karbondioksida meningkat antara 300-500% diatas nilai dasarnya. Hal ini akan dapat berbahaya bagi pasien dengan kondisi fisik tidak optimal. Karena itu shivering harus segera dicegah atau diatasi.Tujuan: Mengetahui perbandingan kejadian shivering antara pemberian cairan ringer laktat 1000 cc suhu 40° C dengan Ringer laktat 1000 cc dengan suhu kamar pada operasi seksio sesarea yang dilakukan spinal anestesi.Metode:Subjek penelitian ini sebanyak 102 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan dilakukan secara double blind randomized control trial. Sebelum dilakukan spinal anestesi, kelompok A diberikan pemberian ringer laktat 1000 cc dengan menggunakan penghangat infus 3 lumen pada suhu 40° C, kelompok B diberikan pemberian ringer laktat 1000 cc pada suhu kamar. Dilakukan pengukuran suhu tubuh setelah dilakukan pemberian cairan dan dinilai adanya shivering atau tidak di ruang pemulihan. Hasil: Didapatkan kejadian shivering pada kelompok A yaitu sebanyak 2 pasien (3,9 %) dan kejadian shivering pada kelompok B yaitu sebanyak 8 pasien (15,7 %). Di dapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok (P <0,05). Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna kejadian shivering pada kelompok yang diberikan ringer laktat 1000 cc dengan suhu40° C dibandingkankelompok yang diberikan ringer laktat 1000 cc pada suhu kamar. The Comparison of Ringer’s Lactate 40 °C and Ringer's Laktat at Room Temperature To Prevent Shivering in Cesarean Section with Spinal Anesthesia Background: Perioperative shivering during spinal anesthesia is a common complication in cesarean surgery caused by peripheral vasodilatation due to sympathetic block and fluid cold irrigation. Increased muscle tone which seemed as shivering will increase 200-800% oxygen requirement and carbon dioxide production increased of 300-500% above the baseline. This will be dangerous for patients with not optimal physical condition. Therefore, shivering should be prevented immediately.Objective: To comparing shivering incident between 1000 cc ringer's lactate administration at 40 ° C and 1000 cc ringer's lactate administration at room temperature in cesarean surgery with spinal anesthesia. .Methods: The study subject was 102 patients who met the inclusion criteria and conducted a double-blind randomized control trial. Before spinal anesthesia, group A was given 1000 cc ringer's lactate at 40 ° C, group B was given 1000 cc ringer's lactate at room temperature. After fluid administration the body temperature was measured and shivering was assessed in the recovery room.Results: The shivering incidence in group A of 2 patients (3.9%) and the shivering incidence in group B of 8 patients (15.7%). There was a significant difference between the two groups (P <0.05).Conclusions: There are significant differences in the incidence of shivering in the 1000 cc ringer's lactate at 40°C administration group compared to the room temperature group.
Manajemen Anestesi pada Pasien Seksio Sesarea Primigravida 35 Minggu dengan Sindroma Nefrotik Roni Kartapraja; Bambang Suryono Suwondo
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 1 No 1 (2018): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v1i1.19

Abstract

Sindroma nefrotik adalah sekumpulan gejala berupa proteinuria, hipoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia, dan lipiduria yang ditandai peningkatan permeabilitas dinding kapiler terhadap protein serum. Sindroma nefrotik pada kehamilan jarang terjadi namun bila tidak dikelola dengan baik akan meningkatkan morbiditas. Sindroma anefrotik dapat muncul sebelum umur kehamilan 20 minggu dan sering disebabkan oleh glomerulonephritis, sedangkan yang muncul sesudah umur kehamilan 20 minggu patut diduga disebabkan atau disertai suatu preeklampsia. Dilaporkan pasien 35 minggu dengan diagnosis preeklamsia, sindroma nefrotik dan suspek edema pulmo. Pasien di diagnosis sindroma nefrotik sejak kehamilan 12 minggu dan mendapat terapi metilprednisolone 16 mg 1-0-0 hingga sekarang. Pada usia kehamilan 28 minggu pasien didiagnosis preeklamsia. Datang karena kontraksi yang semakin kencang. Pasien dilakukan seksio sesarea dengan tehnik regional anestesi epidural Levobupivacain 0.5% isobarik 11 ml, janin cukup viable dilahirkan. Pasca operasi pasien dirawat di high care unit dan pulang ke rumah setelah perawatan 8 hari dalam kondisi baik. Manajemen anestesia pada ibu hamil dengan sindroma nefrotik antara lain sering disertai tekanan darah tinggi atau preeklampsia, malnutrisi dan hilangnya zat-zat yang diperlukan tubuh bersamaan dengan hilangnya protein melalui urine. Pasien seharusnya ditangani melalui pendekatan multidisipliner dengan spesialis perinatologi, nefrologi, dan neonatologi, dengan pemahaman terhadap pentingnya menjaga keseimbangan agar sesuai dengan perubahan fisiologis wanita hamil normal akan memberikan prognosis yang baik dalam menurunkan tingkat morbiditas. Anesthesia Management of Caesarean Section in 35 Weeks Primigravida Patients with Nephrotic Syndrome Abstract Nephrotic syndrome is a set of symptoms in the form of proteinuria, hypoalbuminemia, edema, hypercholesterolemia, and lipiduria which are characterized by an increase in capillary wall permeability to serum proteins. Nephrotic syndrome in pregnancy is rare but if not managed properly, it will increase a morbidity. Nephrotic syndrome can occur before 20 weeks of gestation and is often caused by glomerulonephritis, whereas if appears after 20 weeks' gestation is thought to be due to or accompanied by preeclampsia. A 35-week patient was reported with preeclampsia, nephrotic syndrome and suspected pulmonary edema. Patients were diagnosed with nephrotic syndrome since 12 weeks' gestation and were treated with methylprednisolone 16 mg 1-0-0 until now. At 28 weeks' gestation the patient was diagnosed with preeclampsia. she came to hospital due to primature contraction. Patient underwent SC with a 11 ml Levobupivacaine 0.5% drug isobaric epidural anesthesia regional technique, the fetus was viable enough to be born. After surgery the patient was treated at HCU and returned home after 8 days of treatment in good condition. Management of anesthesia in pregnant women with nephrotic syndrome is often accompanied by high blood pressure or preeclampsia, malnutrition and loss of substances needed by the body along with loss of protein through urine. Patients should be treated through a multidisciplinary approach, along with specialists in perinatology, nephrology, and neonatology. With an understanding of the importance of maintaining balance in accordance with the physiological changes of normal pregnant women will provide a good prognosis in reducing morbidity.
Perbandingan antara Tramadol 100 mg dan Natrium Diklofenak 100 mg Suppositoria untuk Penanganan Nyeri Pasca Seksio Sesarea dengan Blok Subarakhnoid Arief Hariyadi Santoso; Yusmein Uyun; Sri Rahardjo
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 1 No 1 (2018): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v1i1.20

Abstract

Latar Belakang: Seksio sesarea menyebabkan nyeri pasca operasi yang signifikan. Tidak ada standar pengelolaan nyeri pasca seksio sesarea. Obat antiinflamasi nonsteroid, natrium diklofenak berkerja meng-inhibisi sintesis prostaglandin (PG) dengan menghambat enzim cyclooxygenase. Tramadol, aktivitas mu-agonis, tidak hanya bekerja pada reseptor opioid, tetapi juga menghambat serotonin (5-HT) dan reuptake noradrenalin.Tujuan: Mengetahui daya guna analgesi 24 jam pasca seksio sesarea antara penggunaan suppositoria rektal tramadol dengan natrium diklofenakMetode:Prospektif, uji klinis acak terkontrol pada 70 pasien status fisik ASA I-II, berusia 19-40 tahun, hamil aterm 37-42 minggu. Indeks Massa Tubuh < 35 kg/m2. Pasien dibagi acak 2 kelompok: kelompok suppositoria rektal natrium diklofenak (D) dan tramadol (T) dengan teknik single blind. Dilakukan penilaian VAS pada kedua kelompok, jumlah penambahan rescue jika VAS ≥3, dan efek samping pada masing-masing kelompok.Hasil: Selama 24 jam pasca operasi, rata-rata frekuensi pemberian tambahan fentanyl kelompok T sebanyak 3,13 kali dan kelompok D 1,7 kali, rata-rata dosis tambahan fentanyl kelompok T sebanyak 155,71 mcg dan kelompok D 67,65 mcg (p=0,000). Rata-rata VAS 24 jam pasca operasi pada kelompok T 2,14 dan pada kelompok D 1,74 (p<0,05). Efek samping, kelompok T terdapat 4 kejadian (11,4%) mual muntah, pada kelompok D tidak ada. Simpulan :Daya guna analgesi natrium diklofenak 100 mg suppositoria rektal lebih baik dibanding tramadol 100 mg suppositoria rektal, dengan efek samping yang lebih kecil pada 24 jam pasca operasi sesar. The Comparison between 100 mg Tramadol and 100 mg Diclofenac Sodium - Suppository for Handling Pain After Cesarean Section Using Subarachnoid Block Abstract Background: Cesarean section inflicts significant postoperative pain. There is no standard for pain management after cesarean section. Non-steroidal anti-inflammatory drugs, diclofenac sodium, work to inhibit the prostaglandin (PG) synthesis, by obstructing the cyclooxygenase enzyme. Tramadol alongside mu-agonist activity, does not only act on opioid receptors, but also inhibits serotonin (5-HT) and noradrenaline reuptake.Objective: To determine the efficacy of 24-hour postoperative cesarean section between of rectal suppositori tramadol and diclofenac sodium.Methods: Prospective, randomized controlled clinical trial to 70 patients with ASA I-II physical status, aged 19-40 years old, pregnancy aterm 37-42 weeks, Body Mass Index <35 kg / m2. The patients were randomly assigned into 2 groups: rectal diclofenac sodium suppository (D) and tramadol (T) groups using single blind technique. VAS assessment was performed in both groups. The amount of rescue was added if the VAS ≥3, and there were side effects in each group.Results: During the 24 hour postoperative period, the mean frequency of supplemental fentanyl to group T was 3.13 times, and group D was 1.7 times. The mean additional dose of fentanyl group T was 155.71 mcg, and group D was 67.65 mcg (p = 0.000 ). The average VAS was 24 hours postoperative in the T group of 2.14, and 1.74 in the D group (p <0.05). For the side effects, T group had 4 occurrences (11.4%) nausea vomiting, and zero in group D. Conclusion: The efficacy of 100 mg diclofenac sodium analgesia of rectal suppository is better than 100 mg tramadol rectal suppository, with smaller side effects within 24 hours after surgery.
Penatalaksanaan Anestesi untuk Seksio Sesarea pada Multigravida dengan Kardiomiopati Peripartum Purwoko Purwoko; Andi Rizki Caprianu
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 1 No 1 (2018): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v1i1.21

Abstract

Peripartum Cardiomyopathy (PPCM) merupakan salah satu jenis kardiomiopati dilatasi tanpa diketahui penyebabnya yang terjadi pada wanita hamil usia reproduktif yang jarang terjadi. Patofisiologi PPCM masih kontroversial, penyebab PPCM tidak bisa dijelaskan dengan etiologi tunggal, karena memiliki penyebab multifaktor. Pasien wanita, 43 tahun, ASA III dengan preeklamsi berat pada multigravida hamil preterm belum dalam persalinan dengan PPCM NYHA II riwayat seksio sesarea 10 tahun rencana dilakukan re-seksio sesarea elektif. Pada pasien ini didapatkan pada pemeriksaan kardiovaskuler dengan murmur pansistolik. Ekokardiografi ventrikel kiri dilatasi, kontraktilitas ventrikel kiri menurun ejection fraction 31%, fungsi diastolik restriktif, mitral regurgitasi ringan. Rencana dilakukan anestesi dengan teknik epidural namun dalam pelaksanaannya gagal epidural kemudian dikonversi menjadi anestesi umum intubasi oral. Secara umum, target hemodinamik pada berbagai teknik anestesi adalah sama, yaitu mengurangi kardiak preload dan afterload serta mencegah penurunan kontraktilitas kardiak yang sudah buruk sebelumnya. Teknik anestesi yang menghasilkan penurunan mendadak pada tahanan pembuluh darah sistemik sebaiknya dihindari. Manajemen anestesi pada pasien dengan PPCM, teknik regional anestesi maupun anestesi umum dapat diterapkan. Namun tetap mempertimbangkan beberapa faktor seperti kondisi pasien dan kemampuan dari dokter anestesi itu sendiri. Anesthetic Management for Caesarean Section in Multygravida with Peripartum Cardiomyopathy Abstract Peripartum Cardiomyopathy (PPCM) is one type of dilated cardiomyopathy without known cause in pregnant women in reproductive age are rare. Pathophysiology of PPCM is still controversial, the cause of PPCM can not be explained by a single etiology because it has multifactor. Female patient, 43 years, ASA III with severe preeclamsia pregnancy, preterm, multigravida and not yet in labor with PPCM NYHA II and history of caesarian section 10 years ago planned for elective re-caesarian section. In this patient was obatained pansistolic murmur on cardiovascular examination. Echocardiography was obtained dilated left ventricle, left ventricular contractility decrease with ejection fraction 31%, restrictive diastolic function, mild mitral regurgitation. Planned for anesthesia with epidural technique but in implementation the epidural was fail then converted into general anesthesia oral intubation. In general, hemodynamic targets in anesthesia techniques are the same, ie reducing cardiac preload and afterload and preventing a decline in bad cardiac contractility. Anesthesia techniques that produce a sudden decrease in systemic vascular resistance should be avoided. Anesthesia management in patient with PPCM both regional and general anesthesia technique can be applied. But still considering several factors such as patient’s condition and the ability of the anesthesiologist itself.
Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Sindroma Eisenmenger yang Menjalani Seksio Sesarea Dewi Puspitorini Husodo; Scarpia P; Rachma C; Isngadi Isngadi
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 1 No 1 (2018): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v1i1.22

Abstract

Pendahuluan sindroma Eisenmenger adalah penyakit jantung bawaan sianotik, termasuk di dalamnya hipertensi pulmonal dengan bidirectional maupun R-L shunt. Penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dalam kehamilan akan meningkatan derajat R-L shunt. Mortilitas maternal pada kehamilan dengan sindroma Eisenmenger dilaporkan sekitar 30–70%. Wanita 35 tahun, gravida 32–33 minggu dengan atrial septal defect (ASD )sekundum 1,5cm, regurgitasi tricuspid berat, regurgitasi pulmonal sedang, pulmonal hipertensi berat, ejection fraction (EF) 34%, gagal jantung stage C fungsional klas III, sindroma Eisenmenmenger, saturasi preinduksi 90% dengan non rebreathing mask (NRM) 10 lpm. Kasus kedua, wanita gravida 32 minggu dengan ASD sekundum, regurgitasi trikuspid berat, regurgitasi pulmonal sedang, EF 13%, gagal jantung stage C fungsional klas IV, sindroma Eisenmenger, saturasi preindukasi 66% dengan non rebreathing mask (NRM) 10 lpm. Keduanya menjalani seksio sesarea dengan anestesi umum. Pada kasus pertama, didapatkan atonia uteri yang menyebabkan perdarahan masif dan penurunan tiba-tiba pada alirah darah balik sistemik yang berujung pada kematian. Pada kasus kedua, pasien tidak dapat beradaptasi dengan aliran darah balik uterus setelah bayi lahir. Hal tersebut menyebabkan penurunan saturasi dan hipotensi yang menurunkan tekanan ventrikel kanan, yang berujung pada kematian. Sebagai simpulan, kehamilan dengan sindroma Eisenmenger memiliki insidensi kematian tinggi. Penanganan intensif multidisiplin diperlukan baik dalam operasi elektif dan gawat darurat. Baik anestesi umum maupun regional memiliki kelebihan dan kekurangan tergantung kondisi pasien saat datang. Anesthesia Management in Eisenmenger Syndrome Patient Underwent Caesarean Section Abstract Eisenmenger syndrome is a cyanotic congenital heart disease that includes pulmonary hypertension with reversed or bidirectional shunt. The decreased of systemic vascular resistance is associated with pregnancy increases the degree of right to left shunting. The maternal mortality rate of pregnancy in the presence of Eisenmenger syndrome is reported 30–70%. Female 35yo, gravida 32-33 weeks with secundum ASD 1,5cm, severe tricupid regurgitation, moderate pulmonal regurgiation, severe pulmonal hypertension, ejection fraction (EF) 34%, heart failure stage C functional class III, Eisenmenger syndrome, preinduction oxygen saturation 90% on non rebreathing mask 10 lpm. Second case, 32 weeks pregnant woman with secundum ASD, severe tricupid regurgitation, moderate pulmonal regurgiation, EF 13%, heart failure stage D functional class IV, Eisenmenger syndrome, saturation preinduction 66% on NRM 10 lpm. Both of them undergoing section caesaria with general anesthesia. In first case, uterine atony that leads to massive bleeding makes sudden decrease in systemic vascular resistence and may result in sudden death. In second case, the patient can not adapt the uterine back flow after delivery that makes the saturation decrease and sudden hypotention which make insufficient right ventricular pressure leading to mortality. As conclusion, pregnancy with Eisenmenger syndrome has high mortality incidence. Multidicipline high care treatment is needed for this case, both in elective and emergency setting. Both general and regional anesthesia have advantage and disadvantage, depends on the patient condition.
Atrial Septal Defect dengan Hipertensi Pulmonal Berat yang Dijadwalkan untuk Seksio Sesarea Muhammad Rodli; Isngadi Isngadi
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 1 No 1 (2018): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v1i1.24

Abstract

Kelainan jantung kongenital dan sistem kardiovaskular terjadi pada 7 sampai 10 per 1.000 kelahiran hidup (0,7%–1,0%). Penyakit jantung kongenital adalah bentuk penyakit bawaan yang paling umum dan sekitar 30% dari semua kejadian penyakit bawaan. Cacat jantung kongenital yang paling sering terabaikan pada masa kanak-kanak adalah Atrial Septal Defect (ASD) sekundum. Resiko operasi non-jantung akan meningkat jika ditemukan gagal jantung, hipertensi pulmonal dan sianosis. Dilaporkan kasus primigravida berumur 33 tahun, dengan usia kehamilan 32–34 minggu yang menjalani seksio sesarea. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nadi 100 x/menit (reguler), tekanan darah 115/74 mmHg, saturasi oksigen 90-94% dengan suplemen oksigen 10 L/menit, edema pada kedua tungkai, tekanan vena jugular (JVP) tidak meningkat. Hasil laboratorium dalam batas normal. Hasil echocardiografi menunjukkan adanya ASD sekundum (berdiameter 2–3 cm), bidirectional shunt dominan kanan ke kiri (sindroma Eisenmenger), regurgitasi trikuspid, hipertensi pulmonal berat dengan perkiraan tekanan sistolik ventrikel kanan 109 mmHg dan ejeksi sistolik ventrikel kiri 67%. Teknik anestesi yang digunakan adalah anestesi epidural. Dilakukan pemasangan kateter vena sentral untuk memantau tekanan vena sentral. Regimen epidural yang digunakan adalah bupivacaine plain 0,3% dan fentanyl 50 mcg total volume 15 ml dengan teknik titrasi. Selama seksio sesarea, tekanan darah stabil, detak jantung dan saturasi oksigen baik. Pasien dipantau di ruang pemulihan selama 1 jam dan kemudian dipindahkan ke ICU dan dipulangkan pada hari ke 10 pasca operasi. Kesimpulan, pasien dengan ASD dan hipertensi pulmonal yang menjalani seksio sesarea dapat dilakukan anestesi epidural dengan teknik titrasi. Atrial Septal Defect with Severe Pulmonary Hypertension was Scheduled for Cesarean Section Abstract Congenital abnormalities of the heart and cardiovascular system occur in 7 to 10 per 1,000 of live births (0.7 - 1.0%). Congenital heart disease is the most common form of congenital diseases and amounted to approximately 30% of all incidents of congenital diseases. Congenital heart defects are most often neglected in childhood is secundum atrial septal defect (ASD). The risk for non-cardiac surgery would increase if found heart failure, pulmonary hypertension and cyanosis. A 33-years old primigravida, in labor at 32-34 weeks of gestation who underwent caesarean section under epidural anesthesia. On physical examination pulse was 100 x/min, blood pressure was 115/74 mmHg, oxygen saturation was 90-94% with oxygen supplement 10 L/min, bilateral pitting pedal edema was present. All the laboratory results within normal limits. 2D Echo results osteum secundum ASD (2-3 cm in diameter), bidirectional shunt dominan right to left shunt (Eisenmenger’s syndrome), Tricuspid Regurgitation, Severe Pulmonary Hypertension with an estimated right ventricle systolic pressure of 109 mmHg and left ventricle systolic ejection fraction of 67%. The anesthetic technique was epidural anesthesia. We performed central venous catheter to monitoring central venous pressure. The epidural regimens used were bupivacaine plain 0,3% and fentanyl 50 mcg total volume 15 ml with titration techniques. During cesarean section, patient was stable blood pressure, heart rate and oxygen saturation. Patient was monitored in recovery room for 1 hour and then transferred to ICU and discharged on 10th postoperative day. Conclusion, patients with ASD and severe pulmonary hipertention, we can perform epidural anesthesia with titration techniques.
Emboli Air Ketuban Ratih kumala fajar apsari; Bambang Suryono Suwondo
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 1 No 1 (2018): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v1i1.25

Abstract

Emboli cairan amnion (EAK) adalah komplikasi kehamilan yang jarang namun membawa angka mortalitas yang tinggi. Patogenesis yang tepat dari kondisi ini masih belum diketahui. Emboli air ketuban (EAK) atau amniotic fluid embolism (AFE) atau anaphylactoid syndrome of pregnancy adalah salah satu komplikasi kehamilan yang paling membahayakan. Cairan ketuban, debris fetal diduga menyebabkan kolaps kardiovaskular dengan cara memicu reaksi imun/anafilaktoid maternal. Patofisiologi EAK hingga kini masih belum jelas tetapi diduga melibatkan kaskade immunologis. Kematian maternal bisa terjadi karena cardiac arrest mendadak, perdarahan karena koagulopati, dan kegagalan organ multipel dengan acute respiratory distess syndrome (ARDS). Gejala dan tanda EAK antara lain dispnea akut, batuk, hipotensi, sianosis, bradikardia fetal, ensefalopati, hipertensi pulmoner akut, koagulopati, dan sebagainya. Diagnosis EAK adalah bersifat klinis dan ditegakkan setelah menyingkirkan kemungkinan penyebab lain. Penatalaksanaan bersifat suportif dan memerlukan persalinan janin jika diperlukan, support respiratorik, dan support hemodinamik. Prognosis maternal setelah EAK masih sangat buruk meski tingkat survival janin sekitar 70%. Pasien dengan EAK paling baik dikelola di unit perawatan kritis oleh tim multidisiplin dan dengan manajemen supportif. Amniotic Fluid Embolism Abstract Amniotic fluid embolism (AFE) is a rare complication of pregnancy carrying a high mortality rate. The exact pathogenesis of the condition is still not known. Amniotic fluid embolism (AFE) or anaphylactoid syndrome of pregnancy is one of the most dangerous pregnancy complications. Amniotic fluid, fetal debris is thought to cause cardiovascular collapse by triggering a maternal immune / maternal anaphylactoid reaction. The pathophysiology of AFE remains unclear but is thought to involve an immunological cascade. Maternal deaths may occur due to sudden cardiac arrest, bleeding due to coagulopathy, and multiple organ failure with ARDS. AFE symptoms and signs include acute dyspnea, cough, hypotension, cyanosis, fetal bradycardia, encephalopathy, acute pulmonary hypertension, coagulopathy. Management is supportive, respiratory support, and haemodynamic support. The maternal prognosis is very poor even though the survival rate of the fetus is about 70%. Patients with AFE are best managed in a critical care unit by a multidisciplinary team and management is largely supportive
Eklampsia dan Sindroma HELLP pada Kehamilan Awal: Penegakan Diagnosis dan Manajemen Anestesia Fahmi Agnesha; Sri Rahardjo
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 1 No 1 (2018): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v1i1.26

Abstract

Preeklampsia merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu hingga saat ini. Penyakit ini memiliki beberapa bentuk manifestasi klinis yang merupakan gambaran dari perburukan dari preeklampsia diantaranya adalah eklampsia dan sindroma HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme dan low platelet). Kedua perburukan preeklampsia tersebut biasa terjadi pada usia kehamilan 27 hingga 37 minggu, namun semakin dini onset penyakit ini muncul prognosis bagi ibu akan semakin buruk. Seorang perempuan usia 34 tahun, gravida 3 paritas 1 abortus 1 hamil 24 minggu, janin intra uterine fetal death. Pasien datang dikarenakan kejang seluruh badan selama 5 menit sekitar 30 menit yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan hipertensi dengan tekanan darah 180/110 mmHg. Selain itu dari pemeriksaan penunjang didapatkan trombositopenia 94.000, SGOT 350 IU/L and SGPT 285 IU/L. Pasien didiagnosis dengan eklampsia dan sindroma HELLP, kemudian dilakukan terminasi kehamilan melalui seksio sesarea darurat dengan anestesia umum. Pembahasan: manajemen anestesia pada ibu hamil dengan eklampsia dan sindroma HELLP memiliki beberapa pertimbangan khusus antara lain adanya kesulitan intubasi, kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dan juga efek pemberian anti kejang terhadap kontraksi rahim. Melalui penegakan diagnosis dan pengenalan risiko yang mungkin dapat terjadi pada pasien dengan eklampsia dan sindroma HELLP dapat direncanakan tindakan dan manajemen anestesia yang lebih baik sehingga morbiditas dan mortalitas ibu dengan eklampsia dan sindroma HELLP dapat diturunkan. Eclampsia and HELLP Syndrome in Early Pregnancy: Diagnosis and Management of Anesthesia Abstract Preeclampsia is one of the leading cause maternal morbidity and mortality. It has various clinical manifestations that describe the severity of the disease include eclampsia and HELLP syndrome (hemolysis, elevated liver enzyme dan low platelet). Those worsening of preeclampsia usually happen during 27 to 37 weeks of gestation. Even though the earlier the onset showed the worse the prognosis is. A pregnant woman 34 years old, gravidy 3 parity 1 abortus 1, 24 weeks gestational age with intra uterine fetal death. Patient had chief complain for seizure before admission. From the physical examination found that patient has severe hypertension with blood pressure 180/110 mmHg. The laboratory result showed trombositopenia 94.000, SGOT 350 IU/L and SGPT 285 IU/L. Patient diagnosed with eclampsia and HELLP syndrome and then did emergency caesarean section with general anesthesia. Discussion: The anesthesia management in this case should be specifics due to the patient condition circumstances with eclampsia and HELLP syndrome. We should prepare for difficult airway, intracranial pressure increase and effect of anticonvulsant agent to the uterine tone. By diagnose and identify the risk of eclamptic and HELLP syndrome patient carefully we can plan the better procedure and anesthesia management that maternal morbidity and mortality can be reduced.
Demam pada Penggunaan Analgesia Persalinan Epidural Alfan Mahdi Nugroho; Yusmein Uyun; Annemarie Chrysantia Melati
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 1 No 1 (2018): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v1i1.27

Abstract

Analgesia epidural telah diperkenalkan secara rutin sebagai salah satu modalitas analgesia pada proses persalinan sejak lama. Hubungan antara analgesia epidural persalinan dengan demam intrapartum pada maternal sudah disebutkan pada beberapa literatur. Demam didefinisikan sebagai peningkatan suhu tubuh lebih dari 38 oC yang didapat dari dua kali pemeriksaan. Beberapa teori yang disebutkan antara lain perubahan termoregulasi, infeksi pada ibu-janin dan inflamasi non-infeksi yang dimediasi oleh sitokin proinflamasi. Namun demikian berbagai mekanisme analgesia epidural dapat menyebabkan demam masih terus diteliti. Identifikasi demam pada ibu saat persalinan merupakan hal yang penting untuk dilakukan karena memiliki konsekuensi klinis pada ibu dan neonatus. Pada ibu ditemukan suhu yang meningkat dikaitkan dengan peningkatan denyut jantung ibu, curah jantung, konsumsi oksigen, dan produksi katekolamin. Sedangkan pada janin demam intrapartum dapat menyebabkan sepsis, perubahan skor APGAR, peningkatan kebutuhan bantuan napas dan kejadian kejang. Efek demam pada ibu dan janin masih terus dipelajari, sehingga suatu saat didapatkan cara pencegahan yang paling baik yang pada akhirnya menghindarkan keraguan untuk melakukan analgesia persalinan. Fever during labour epidural analgesia Abstract Epidural analgesia has been routinely introduced as one of the analgesia modalities during labour. Literature has mentioned the relationship between epidural analgesia and intrapartum fever among mothers. Fever is defined as increased temperature above 38 oC in more than two measurements. Several theories have been proposed, inculing thermoregulation changes, mother-fetal infection, and non-infectious inflammation mediated by proinflammatory cytokines. However, these mechanisms have been continued to evolve. Fever identification in pregnant women is essential to recognize clinical consequences to both mothers and neonates. Increased temperature in mothers is associated with increased heart rate, cardiac output, oxygen consumption, and catecholamines production. Meanwhile, in neonates intrapartum fever is related to sepsis, APGAR score changes, the need of respiratory support and incidence of neonatal seizure. Therefore, these consequences are extensively studied in order to determine the appropriate prevention.

Page 1 of 1 | Total Record : 9