Claim Missing Document
Check
Articles

Found 20 Documents
Search

Anestesia Spinal untuk Seksio Sesarea pada Pasien Hipotiroid Rizqi Adhelia; Sri Rahardjo; Yusmein Uyun
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 2 (2019): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i2.11

Abstract

Disfungsi tiroid sering dijumpai pada populasi perempuan usia masa reproduksi. Efek disfungsi tiroid bermanifestasi pada berbagai organ dan mungkin menimbulkan komplikasi pembedahan dan kehamilan. Seorang perempuan 37 tahun dengan hipotiroid akan menjalani seksio sesarea. Kadar tiroid timulating hormone (TSH): dan tiroksin (T4) adalah 14,87 µUI/mL dan 71 nmol/L. Pasien mendapat terapi levotiroksin selama 6 minggu. Pada pemeriksaan fisik, pasien dalam keadaan umum baik. Anestesia spinal dilakukan dengan bupivakain 0,5% 7,5 mg dan fentanyl 25 µg. Bayi lahir dengan skor Apgar 8/9, hemodinamik stabil selama operasi. Pasien pulang dari rumah sakit setelah hari ke tiga operasi. Pasien hipotiroid dapat mengalami komplikasi koma miksedema, gangguan respirasi, maupun hipotensi selama pembedahan. Pembedahan elektif sebaiknya ditunda sampai kondisi eutiroid. Anestesia spinal dosis rendah, monitoring adekuat, pencegahan hipotermia, pengurangan opioid, dan terapi levotiroksin perioperatif dibutuhkan untuk mencegah komplikasi jika kondisi eutiroid belum tercapai. Sebagai kesimpulan anestesia spinal dapat dilakukan pada pasien hipotiroid yang menjalani seksio sesarea. Anesthesia for Cesarean Section in Hypothyroid Patient Abstract Thyroid disfunction is common in woman of child-bearing age population. Multiple organ are influenced with thyroid dysfunction and may contribute to complication during surgery and pregnancy. A 37-years-old female with hypothyroid was scheduled for cesarean section. Thyroid stimulating hormone (TSH) and thyroxine (T4) level was 14,87 µUI/mL and 71 nmol/L. The patient had levothyroxine therapy for 6 weeks. On physical examination, the general condition was good. She underwent spinal anesthesia with bupivacaine 0,5% 7,5 mg and fentanyl 25 µg. The baby was born with Apgar score 8/9 and the surgery was done without any complication. The patient was discharged from the hospital on the 3rd day after surgery. The hypothyroid patient may experience complication of myxedema comatous, respiratory disorder and hypotension during surgery. The elective surgery was best postponed until a euthyroid state was achieved. Low dose spinal anesthesia, adequate monitoring, hypothermia prevention, reducing opioid dose and continuing levothyroxine therapy was needed to prevent the complication if the euthyroid state was able not able to achieve. As conclusion : spinal anesthesia may be done for cesarean section in hypothyroid patient.
Manajemen Anestesi pada Wanita Hamil dengan Eklampsia dan Asma Akut Berat yang Menjalani Seksio Sesarea Erna Fitriana A; Ratih Kumala Fajar Apsari; Yusmein Uyun
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 2 (2019): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i2.12

Abstract

Eklampsia dengan asma merupakan kondisi medis yang paling sering terjadi dalam kehamilan. Eklampsia dengan asma akut berat dalam kehamilan merupakan problem yang sulit. Kejadian eklampsia sekitar 2–8% diseluruh dunia dan merupakan penyebab kematian tertinggi kedua setelah perdarahan. Prevalensi terjadinya 0,3%–0,7% pada negara berkembang. Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran nafas yang melibatkan banyak sel dan elemen seluler yang mengakibatkan terjadinya hiperresponsif jalan nafas yang dapat menimbulkan gejala episodik berulang berupa wheezing, sesak nafas, dada berat dan batuk. Di Indonesia prevalensi berkisar 5-6% dari populasi penduduk, dimana serangan asma biasanya timbul pada usia kehamilan 24–36 minggu. Seorang wanita 28 tahun G1P0A0 datang hamil 35 minggu dengan keluhan sesak, nyeri kepala, kejang tiga kali, kaki bengkak. Dilakukan seksio sesarea dengan anestesi umum. Ventilator mekanik selama seksio sesarea harus disesuaikan untuk menjaga PCO2 30–32 mmHg. Intubasi dilakukan dengan rapid sequence induction dan setelah pipa endotrakheal masuk dijaga tekanan darah supaya tidak meningkat. Setelah operasi selesai dilakukan ekstubasi dalam untuk mencegah gejolak hemodinamik dan mengurangi iritasi saluran nafas. Pasca operasi pasien masuk intensive care unit untuk pemantauan lebih lanjut. Penanganan anestesi yang efektif pada pasien ini akan meningkatkan survival serta memberikan prognosis yang lebih baik Management of Anesthesia in Caesarean Section for Patient with Eclampsia and SevereAcute Asthma Abstract Eclampsia with asthma is the most common medical condition in pregnancy. Eclampsia with severe acute asthma in pregnancy is a difficult problem. The incidence of eckampsia is around 2–8% worldwide and is the second highest cause of death after bleeding. The prevalence of occurrence is 0.3% –0.7% in developing countries. Asthma is a chronic inflammatory airway disease that involves many cells and cellular elements that cause airway hyperresponsiveness which can cause recurrent episodic symptoms such as wheezing, shortness of breath, heavy chest and coughing. In Indonesia the prevalence ranges from 5–6% of the population, where asthma attacks usually occur at 24–36 weeks' gestation. A 28-year-old woman G1P0A0 comes 35 weeks pregnant with complaints of tightness, headache, seizures three times, swollen feet. Caesarean section was performed under general anesthesia. Mechanical ventilator during cesarean section must be adjusted to maintain PCO2 30–32 mmHg. Intubation was done by rapid sequence induction and after the endotracheal tube has been entered, the intracranial pressure is maintained so it did not increase. After the operation was complete, extubation was done to prevent hemodynamic fluctuations and reduce airway irritation. Postoperatively the patient was admitted to the intensive care unit for further monitoring. Effective anesthetic treatment in these patients will increase survival and provide a better prognosis
Anestesia Spinal Dosis Rendah untuk Seksio Sesarea pada Pasien Mitral Stenosis Berat Nopian Hidayat; Yusmein Uyun; Dewi Yulianti Bisri
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 2 (2019): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i2.14

Abstract

Penyakit jantung pada kehamilan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. Mitral stenosis adalah lesi katup jantung yang paling sering didapatkan pada wanita hamil dan hampir selalu disebabkan oleh penyakit jantung rematik. Perubahan fisiologis yang terjadi selama kehamilan dan periode peripartum dapat memperburuk gejala dan derajat penyakit jantung. Akibatnya, banyak wanita pertama kali didiagnosis penyakit jantung selama kehamilan. Seorang wanita berusia 24 tahun gravida 32–33 minggu dengan kongesti gagal jantung fungsional kelas III, mitral stenosis berat, ejection fraction (EF) 59%, regurgitasi trikuspid sedang, dan dilatasi atrium kiri menjalani seksio sesarea dengan anestesi spinal dosis rendah menggunakan bupivakaine 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanyl 50 mcg secara intratekal. Blok sensoris dicapai setinggi torakal 6 dalam waktu 4 menit 20 detik. Hemodinamik pasien stabil selama operasi maupun pasca operasi. Tidak diperlukan pemberian vasopresor. Pasca operasi pasien dirawat di intensive care unit (ICU) selama 3 hari dengan hemodinamik yang stabil. Laporan ini menyoroti bahwa anestesi spinal dosis rendah dapat menjadi pilihan yang baik dalam manajemen anestesi untuk seksio sesarea yang disertai dengan mitral stenosis berat. Low Dose Spinal Anesthesia for Cesarean Section with Severe Mitral Stenosis Abstract Heart disease in pregnancy increases maternal and fetal morbidity and mortality. Mitral stenosis is the most common heart valve lesion in parturient and is almost always caused by rheumatic heart disease. Physiological changes that occur during pregnancy and the peripartum period can worsen symptoms and the degree of the heart disease. As a result, many women are first diagnosed with heart disease during pregnancy. Twenty four year old woman gravida 32–33 weeks with congestive heart failure class III, severe mitral stenosis, EF 59%, moderate tricuspid regurgitation, and left atrial dilatation undergoing cesarean section with low-dose spinal anesthesia using bupivacaine 0,5% hyperbaric 7.5 mg plus fentanyl 50 mcg intrathecally. Sensory blocks were reached as high as thoracic 6th in 4 minutes and 20 seconds. The patient's hemodynamics are stable during both surgery and post surgery. Vasopressors were not needed. After surgery the patient was transferred to ICU for 3 days with stable hemodynamics. This report highlights that low-dose spinal anesthesia can be a good choice in the management of anesthesia for cesarean section accompanied by severe mitral stenosis.
Low Dose Spinal Anesthesia Bupivakain 0,5% 5 mg dengan Adjuvan Fentanyl 50 mcg untuk Pasien dengan Uncorrected Tetralogy of Fallot yang Menjalani Seksio Sesarea Ruddi Hartono; Sri Rahardjo; Yusmein Uyun
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 2 (2019): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i2.15

Abstract

Pasien hamil dengan uncorrected tetralogy of fallot yang menjalani seksio sesarea merupakan tantangan tersendiri bagi dokter anestesi. Tetralogy of Fallot terdiri dari ventricular septal defect, hipertrofi ventrikel kanan, overriding aorta dan stenosis pulmonal. Prinsip anestesi pada pasien ini adalah mempertahankan systemic vascular resistence (SVR) dan menghindari peningkatan pulmonary vascular resistance (PVR). Pasien Ibu hamil, 19 tahun dengan berat badan 50 kg, tinggi badan 150 cm, G3P000Ab200 Gravida 36–37 minggu, tunggal hidup, fetal distress dan tali pusat menumbung dengan tetralogy of fallot, akan dilakukan seksio sesarea cito. Penatalaksanaan anestesi pasien ini dengan low dose spinal anesthesia bupivakain 0,5% 5 mg dan adjuvan fentanyl 50 mcg. Hemodinamik stabil setelah tindakan spinal. Tekanan darah sebelum dilakukan spinal 100/60 mmHg dengan laju nadi 67 kali per menit dan saturasi oksigen 80% menggunakan non rebreathing mask (NRBM) 10 liter per menit. Tekanan darah pada saat operasi dimulai adalah 96/57 mmHg dan laju nadi 77 kali per menit serta saturasi 78% menggunakan NRBM 10 liter per menit. Setelah bayi dilahirkan, hemodinamik stabil hingga akhir operasi, tidak ditemukan periode hipotensi yang berat dan tidak digunakan obat vasopressor selama operasi. Pasien dipindahkan ke ICU untuk observasi pasca operasi selama 2 hari. Selama perawatan di ICU, kondisi pasien tetap stabil dan kemudian dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Low dose spinal anesthesia mencegah risiko hipotensi karena intensitas blok simpatis yang lebih minimal sehingga penurunan SVR dapat dihindari. Teknik ini dapat digunakan sebagai alternatif pembiusan pada pasien dengan tetralogy of fallot tetapi tergantung kondisi pasien saat akan dilakukan pembiusan. Low Dose Spinal Anesthesia Bupivacaine 0,5% 5 mg with Adjuvant Fentanyl 50 mcg for Cesarean Section Patient with Uncorrected Tetralogy of Fallot AbstractCesarean delivery in parturient with uncorrected tetralogy of fallot poses significant challenge for anesthesiologist. Tetralogy of Fallot consists of ventricular septal defect, right ventricular hypertrophy, overriding aorta and stenosis pulmonum. Main principle of anesthesia for tetralogy of fallot is maintenance of systemic vascular resistance dan avoidance of increasing pulmonary vascular resistance. Parturient, 19 years old, body weigt 50 kg, height 150 cm, G3P000Ab200 36 – 37 weeks, fetal distress and umbilical cord prolapse with tetralogy of fallot will perform cesarean section. Patient anesthesized with low dose spinal anesthesia using bupivacaine 0,5% 5cmg with adjuvant fentanyl 50 mcg. Haemodynamic before spinal with blood pressure is 100/60 mmHg, heart rate 67 beat per minute (BPM), saturation is 80% using 10 liter of oxygen non rebreathing mask (NRBM) . Blood pressure during incision 96/57 mmHg heart rate 77 BPM with saturation 78% using 10 liter of NRBM. Haemodynamic is stable after baby is born until the operation is done, without any episode of severe hypotension and there is no using of vasopressor drugs. Patient is moved to ICU after the operation for further observation and for 2 days periode the haemodynamic is stable and then patient is moved to regular ward. Low dose spinal anesthesia avoid the incidence of hypotension by causing less intense blocked sympathetic system than traditional dose and thus providing a stable SVR. This technique could be an alternative for anesthesizing for parturient with tetralogy of fallot but its depend on patient condition before operation.
Perbandingan Ringer Laktat 40° C dengan Ringer Laktat pada Suhu Kamar dalam Mencegah Shivering pada Seksio Sesarea dengan Anestesi Spinal Adi Hidayat; Yusmein Uyun; Sri Rahardjo
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 1 No 1 (2018): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v1i1.17

Abstract

Latar Belakang: Shivering perioperatif selama anestesi spinal merupakan komplikasi yang sering terjadi seksio sesarea karena vasodilatasi perifer akibat blok simpatis dan irigasi cairan dingin. Meningkatnya tonus otot yang tampak sebagai shivering akan meningkatkan kebutuhan oksigen antara 200-800% dan produksi karbondioksida meningkat antara 300-500% diatas nilai dasarnya. Hal ini akan dapat berbahaya bagi pasien dengan kondisi fisik tidak optimal. Karena itu shivering harus segera dicegah atau diatasi.Tujuan: Mengetahui perbandingan kejadian shivering antara pemberian cairan ringer laktat 1000 cc suhu 40° C dengan Ringer laktat 1000 cc dengan suhu kamar pada operasi seksio sesarea yang dilakukan spinal anestesi.Metode:Subjek penelitian ini sebanyak 102 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan dilakukan secara double blind randomized control trial. Sebelum dilakukan spinal anestesi, kelompok A diberikan pemberian ringer laktat 1000 cc dengan menggunakan penghangat infus 3 lumen pada suhu 40° C, kelompok B diberikan pemberian ringer laktat 1000 cc pada suhu kamar. Dilakukan pengukuran suhu tubuh setelah dilakukan pemberian cairan dan dinilai adanya shivering atau tidak di ruang pemulihan. Hasil: Didapatkan kejadian shivering pada kelompok A yaitu sebanyak 2 pasien (3,9 %) dan kejadian shivering pada kelompok B yaitu sebanyak 8 pasien (15,7 %). Di dapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok (P <0,05). Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna kejadian shivering pada kelompok yang diberikan ringer laktat 1000 cc dengan suhu40° C dibandingkankelompok yang diberikan ringer laktat 1000 cc pada suhu kamar. The Comparison of Ringer’s Lactate 40 °C and Ringer's Laktat at Room Temperature To Prevent Shivering in Cesarean Section with Spinal Anesthesia Background: Perioperative shivering during spinal anesthesia is a common complication in cesarean surgery caused by peripheral vasodilatation due to sympathetic block and fluid cold irrigation. Increased muscle tone which seemed as shivering will increase 200-800% oxygen requirement and carbon dioxide production increased of 300-500% above the baseline. This will be dangerous for patients with not optimal physical condition. Therefore, shivering should be prevented immediately.Objective: To comparing shivering incident between 1000 cc ringer's lactate administration at 40 ° C and 1000 cc ringer's lactate administration at room temperature in cesarean surgery with spinal anesthesia. .Methods: The study subject was 102 patients who met the inclusion criteria and conducted a double-blind randomized control trial. Before spinal anesthesia, group A was given 1000 cc ringer's lactate at 40 ° C, group B was given 1000 cc ringer's lactate at room temperature. After fluid administration the body temperature was measured and shivering was assessed in the recovery room.Results: The shivering incidence in group A of 2 patients (3.9%) and the shivering incidence in group B of 8 patients (15.7%). There was a significant difference between the two groups (P <0.05).Conclusions: There are significant differences in the incidence of shivering in the 1000 cc ringer's lactate at 40°C administration group compared to the room temperature group.
Perbandingan antara Tramadol 100 mg dan Natrium Diklofenak 100 mg Suppositoria untuk Penanganan Nyeri Pasca Seksio Sesarea dengan Blok Subarakhnoid Arief Hariyadi Santoso; Yusmein Uyun; Sri Rahardjo
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 1 No 1 (2018): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v1i1.20

Abstract

Latar Belakang: Seksio sesarea menyebabkan nyeri pasca operasi yang signifikan. Tidak ada standar pengelolaan nyeri pasca seksio sesarea. Obat antiinflamasi nonsteroid, natrium diklofenak berkerja meng-inhibisi sintesis prostaglandin (PG) dengan menghambat enzim cyclooxygenase. Tramadol, aktivitas mu-agonis, tidak hanya bekerja pada reseptor opioid, tetapi juga menghambat serotonin (5-HT) dan reuptake noradrenalin.Tujuan: Mengetahui daya guna analgesi 24 jam pasca seksio sesarea antara penggunaan suppositoria rektal tramadol dengan natrium diklofenakMetode:Prospektif, uji klinis acak terkontrol pada 70 pasien status fisik ASA I-II, berusia 19-40 tahun, hamil aterm 37-42 minggu. Indeks Massa Tubuh < 35 kg/m2. Pasien dibagi acak 2 kelompok: kelompok suppositoria rektal natrium diklofenak (D) dan tramadol (T) dengan teknik single blind. Dilakukan penilaian VAS pada kedua kelompok, jumlah penambahan rescue jika VAS ≥3, dan efek samping pada masing-masing kelompok.Hasil: Selama 24 jam pasca operasi, rata-rata frekuensi pemberian tambahan fentanyl kelompok T sebanyak 3,13 kali dan kelompok D 1,7 kali, rata-rata dosis tambahan fentanyl kelompok T sebanyak 155,71 mcg dan kelompok D 67,65 mcg (p=0,000). Rata-rata VAS 24 jam pasca operasi pada kelompok T 2,14 dan pada kelompok D 1,74 (p<0,05). Efek samping, kelompok T terdapat 4 kejadian (11,4%) mual muntah, pada kelompok D tidak ada. Simpulan :Daya guna analgesi natrium diklofenak 100 mg suppositoria rektal lebih baik dibanding tramadol 100 mg suppositoria rektal, dengan efek samping yang lebih kecil pada 24 jam pasca operasi sesar. The Comparison between 100 mg Tramadol and 100 mg Diclofenac Sodium - Suppository for Handling Pain After Cesarean Section Using Subarachnoid Block Abstract Background: Cesarean section inflicts significant postoperative pain. There is no standard for pain management after cesarean section. Non-steroidal anti-inflammatory drugs, diclofenac sodium, work to inhibit the prostaglandin (PG) synthesis, by obstructing the cyclooxygenase enzyme. Tramadol alongside mu-agonist activity, does not only act on opioid receptors, but also inhibits serotonin (5-HT) and noradrenaline reuptake.Objective: To determine the efficacy of 24-hour postoperative cesarean section between of rectal suppositori tramadol and diclofenac sodium.Methods: Prospective, randomized controlled clinical trial to 70 patients with ASA I-II physical status, aged 19-40 years old, pregnancy aterm 37-42 weeks, Body Mass Index <35 kg / m2. The patients were randomly assigned into 2 groups: rectal diclofenac sodium suppository (D) and tramadol (T) groups using single blind technique. VAS assessment was performed in both groups. The amount of rescue was added if the VAS ≥3, and there were side effects in each group.Results: During the 24 hour postoperative period, the mean frequency of supplemental fentanyl to group T was 3.13 times, and group D was 1.7 times. The mean additional dose of fentanyl group T was 155.71 mcg, and group D was 67.65 mcg (p = 0.000 ). The average VAS was 24 hours postoperative in the T group of 2.14, and 1.74 in the D group (p <0.05). For the side effects, T group had 4 occurrences (11.4%) nausea vomiting, and zero in group D. Conclusion: The efficacy of 100 mg diclofenac sodium analgesia of rectal suppository is better than 100 mg tramadol rectal suppository, with smaller side effects within 24 hours after surgery.
Demam pada Penggunaan Analgesia Persalinan Epidural Alfan Mahdi Nugroho; Yusmein Uyun; Annemarie Chrysantia Melati
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 1 No 1 (2018): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v1i1.27

Abstract

Analgesia epidural telah diperkenalkan secara rutin sebagai salah satu modalitas analgesia pada proses persalinan sejak lama. Hubungan antara analgesia epidural persalinan dengan demam intrapartum pada maternal sudah disebutkan pada beberapa literatur. Demam didefinisikan sebagai peningkatan suhu tubuh lebih dari 38 oC yang didapat dari dua kali pemeriksaan. Beberapa teori yang disebutkan antara lain perubahan termoregulasi, infeksi pada ibu-janin dan inflamasi non-infeksi yang dimediasi oleh sitokin proinflamasi. Namun demikian berbagai mekanisme analgesia epidural dapat menyebabkan demam masih terus diteliti. Identifikasi demam pada ibu saat persalinan merupakan hal yang penting untuk dilakukan karena memiliki konsekuensi klinis pada ibu dan neonatus. Pada ibu ditemukan suhu yang meningkat dikaitkan dengan peningkatan denyut jantung ibu, curah jantung, konsumsi oksigen, dan produksi katekolamin. Sedangkan pada janin demam intrapartum dapat menyebabkan sepsis, perubahan skor APGAR, peningkatan kebutuhan bantuan napas dan kejadian kejang. Efek demam pada ibu dan janin masih terus dipelajari, sehingga suatu saat didapatkan cara pencegahan yang paling baik yang pada akhirnya menghindarkan keraguan untuk melakukan analgesia persalinan. Fever during labour epidural analgesia Abstract Epidural analgesia has been routinely introduced as one of the analgesia modalities during labour. Literature has mentioned the relationship between epidural analgesia and intrapartum fever among mothers. Fever is defined as increased temperature above 38 oC in more than two measurements. Several theories have been proposed, inculing thermoregulation changes, mother-fetal infection, and non-infectious inflammation mediated by proinflammatory cytokines. However, these mechanisms have been continued to evolve. Fever identification in pregnant women is essential to recognize clinical consequences to both mothers and neonates. Increased temperature in mothers is associated with increased heart rate, cardiac output, oxygen consumption, and catecholamines production. Meanwhile, in neonates intrapartum fever is related to sepsis, APGAR score changes, the need of respiratory support and incidence of neonatal seizure. Therefore, these consequences are extensively studied in order to determine the appropriate prevention.
Manajemen Anestesi pada Seksio Sesarea dengan Preeklamsia Berat dan Morbid Obese RTH Supraptomo; Yusmein Uyun
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 1 (2019): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i1.33

Abstract

Pendahuluan: Preeklampsia adalah terjadinya trias preeklampsia (hipertensi, hipoalbuminemia, dan edema) yang mendadak setelah 20 minggu kehamilan. Pasien obesitas memiliki banyak implikasi klinis dalam tatalaksana anestesi. Kasus: Wanita, 22 tahun G2P1A0 hamil 39 minggu dengan preeklampsia berat, KPD 12 jam, obesitas morbid akan dilakukan seksio sesarea emergency dengan status fisik ASA IIIE, dilakukan pembiusan dengan teknik regional anestesi subarachnoid block dengan puncture di L3–L4 median, menggunakan agen levobupivakain 15 mg dan fentanyl 25 mcg. Operasi berlangsung selama 1 jam 15 menit, dengan perdarahan 350 cc, hemodinamik stabil. Lahir bayi laki-laki, BB 3400 gr, APGAR Score 8–9–10. Diskusi: Preeklampsia adalah penyakit multiorgan yang spesifik terhadap kehamilan manusia, namun etiologi spesifik yang mendasari tetap belum diketahui. Tatalaksana bersifat suportif, melahirkan bayi dan plasenta tetap menjadi satu-satunya terapi definitif. Pasien obesitas memiliki banyak implikasi klinis untuk dipertimbangkan. Pemahaman mengenai patofisiologi akan membantu memberikan tatalaksana anestesi yang lebih baik. Simpulan: Pemilihan teknik neuraksial anestesi lebih direkomendasikan karena menghindari kemungkinan intubasi sulit pada kasus emergensi, perfusi uteroplasenta yang lebih baik, kualitas analgesi/anestesia yang baik, mengurangi obat yang masuk ke sirkulasi uteroplasenta, menurunkan stress operasi, dan psikologis ibu yang dapat melihat bayinya saat dilahirkan. Anesthesia Management in Caesarean Section with Severe Preeclampsia and Morbid Obese Abstract Introduction: Preeclampsia is a sudden triad of preeclampsia (hypertension, hypoalbuminemia and edema) after 20 weeks of pregnancy, Obese patients have many clinical implications to consider. Case: Female, 22 years old with G2P1A0, 39 weeks pregnant with severe preeclampsia, 12 hours PROM, pro morbid obesity SCTP-E with ASA IIIE physical status. Labor pain management was carried out using regional subarachnoid block anesthesia technique with puncture in median L3-L4, clear CSF (+), blood (-) using levobupivacaine 15 mg + fentanyl 25 mcg. The operation lasted for 1 hour 15 minutes, with 350 cc bleeding, hemodynamically stable. Born a baby boy, BW 3400 gr, APGAR Score 8-9-10. Discussion: Preeclampsia is a multiorgan disease that is specific to human pregnancy, and the underlying specific etiology remains unknown. Management is supportive, giving birth to the baby and placenta remains the only definitive therapy. Obese patients have many clinical implications to consider. Understanding of pathophysiology will help provide better anesthesia management. Conclusion: The neuraxial anesthesia technique is recommended to avoids the possibility of difficult intubation, better uteroplacental perfusion, good analgesia / anesthesia quality, reducing drugs that enter the uteroplacental circulation, decreasing surgical stress, and maternal psychological to be able to see the baby at birth.
Diagnosis dan Tatalaksana Emboli Air Ketuban Dwiana Sulistyanti; Yusmein Uyun
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 3 No 2 (2020): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v3i2.38

Abstract

Emboli air ketuban merupakan sindrom katastrofik yang terjadi selama kehamilan dan persalinan atau segera setelah melahirkan. Emboli air ketuban adalah peristiwa masuknya air ketuban yang mengandung sel-sel janin dan material debris lainnya ke dalam sirkulasi maternal yang menyebabkan kolaps kardiorespirasi. Patofisiologinya sampai saat ini belum jelas. Ada tiga faktor utama yang menyebabkan masuknya air ketuban kedalam sirkulasi ibu yaitu robekan amnion dan korion, terbukanya vena ibu baik melalui vena-vena endoserviks, sinus venosus subplasenta atau akibat laserasi segmen bawah rahim serta adanya tekanan yang mendesak masuknya air ketuban kedalam sirkulasi ibu. Gambaran klinisnya sesak yang tiba-tiba, gagal nafas dan hipotensi yang diikuti oleh kolaps kardiovaskuler, DIC dan kematian. Emboli air ketuban mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Pengenalan dini dan diagnosis emboli air ketuban sangat penting untuk meningkatkan angka harapan hidup maternal maupun janin. Penatalaksanaan emboli air ketuban bersifat non spesifik dan suportif, yaitu meningkatkan oksigenasi, memperbaiki sirkulasi, dan memperbaiki koagulopati diikuti dengan prinsip-prinsip basic life support dan advanced life support, dengan fokus utama yaitu stabilisasi kardiopulmonal maternal secara cepat. Tujuan utama yang paling penting adalah mencegah bertambah beratnya hipoksia dan gagal organ yang lebih lanjut. Resusitasi cepat sangat diperlukan tergantung pada keadaan klinis pasien. Pasien dengan emboli air ketuban mempunyai prognosis yang sangat jelek. Sampai saat ini, sindroma ini tidak dapat diprediksikan atau dicegah. Dengan diagnosis awal yang baik, resusitasi cepat dan pendekatan multidisiplin yang baik akan meningkatkan prognosis, memperbaiki mortalitas dan morbiditas maternal maupun fetal. Diagnostic and Management of Amniotic Fluid Embolism Abstract Amniotic fluid embolism (AFE) is a catastrophic syndrome that occurs during pregnancy and childbirth or immediately after delivery. Amniotic fluid embolism is an event when amniotic fluid containing fetal cells and other debris enter the maternal circulation, which causes cardiorespiratory collapse. The pathophysiology is not yet clear. There are three main factors that cause the entry of amniotic fluid into the mother's circulation, i.e. tearing of the amnion and chorion, an opening of the maternal veins either through the endocervical veins, subplacental venous sinuses or due to laceration of the lower uterine segment and the pressure that forces the entry of amniotic water into the mother's circulation. The clinical features are sudden onset of breathlessness, respiratory failure and hypotension followed by cardiovascular collapse, DIC and death. Amniotic fluid embolism has high morbidity and mortality rates. Early recognition and diagnosis of amniotic embolism are very important to increase the life expectancy of both the maternal and the fetus. Management of amniotic fluid embolism is non-specific and supportive, namely increasing oxygenation, improving circulation, and improving coagulopathy followed by the principles of basic life support and advanced life support, with the main focus of rapid maternal cardiopulmonary stabilization. The main and most important goal is to prevent further progression of hypoxia and organ failure. Rapid resuscitation is necessary, depending on the clinical condition of the patient. Patients with amniotic fluid embolism have a very poor prognosis. Until recently, this syndrome could not be predicted or prevented. With a good initial diagnosis, rapid resuscitation and a good multidisciplinary approach will improve prognosis, improve maternal and fetal mortality and morbidity.
Open Lung Recruitment untuk Pasien Udem Paru Akut Pasca Operasi Sesar Dwiana Sulistyanti; Yusmein Uyun
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 3 No 1 (2020): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v3i1.39

Abstract

Udem paru akut pada wanita hamil merupakan kejadian yang jarang tetapi merupakan kejadian yang dapat mengancam jiwa. Meskipun merupakan kejadian yang jarang terjadi tetapi berhubungan dengan meningkatnya resiko pada ibu juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas janin. Beberapa faktor resiko yang diidentifikasikan dapat menyebabkan udem paru: preeklamsi atau eklamsi, infeksi yang berat, penggunaan obat tokolitik, kelebihan cairan dan kehamilan ganda. Selain itu, perubahan fisiologi yang berhubungan dengan kehamilan mungkin bisa menjadi penyebab udem paru pada wanita hamil. Ventilasi mekanik efektif meningkatkan kandungan oksigen dan menurunkan trauma pada paru. Open lung recruitment dapat meningkatkan oksigenasi pada pasien dengan udem paru akut, dapat menurunkan indeks cairan ekstravaskuler paru, meningkatkan pengembangan paru dan menurunkan tekanan pada jalan nafas. Laporan kasus ini menjelaskan tentang penanganan udem paru akut pada wanita muda pasca operasi sesar atas indikasi preeklamsi, dimana dilakukan open lung recruitment saat pasien dirawat di ruang ICU, pasien dirawat selama hampir 2 minggu dan pulang dalam keadaan baik. Open Lung Recruitment for Patient Acute Pulmonary Edema Post Caesarean Section Abstract Acute pulmonary edema in pregnant women is a rare but life-threatening event. Although it is a rare event, but it is associated with an increased risk for the mother as well as increasinh fetal morbidity and mortality. Several indentified risk factors can cause pulmonary edema : preeclampsia or eclamsia, severe infections, use of tocolytic drugs, fluid overload, and multiple pregnancies. In adition, physiological changes related to pregnancy may be a cause of pulmonary edema in pregnant women. Mechanical ventilation effectively increases oxygen content and reduces trauma to the lungs. Open lung recruitment can increase oxygenation in patient with acute pulmonary edema, can reduce the pulmonary extravascular fluid index, increase lung development, and reduce pressure on the airway. This case report describes the management of acute pulmonary edema in young women post-operative cesarean section for indications of preeclampsia, where open lung recruitment is performed when the patient is treatedin the ICU, the patient is treated for almost two weeks and return home in good condition.