cover
Contact Name
Eman Sulaeman
Contact Email
misykah.bbc@gmail.com
Phone
+6281293975904
Journal Mail Official
misykah.bbc@gmail.com
Editorial Address
Jl. Widarasari III - Tuparev - Cirebon
Location
Kab. cirebon,
Jawa barat
INDONESIA
Misykah : Jurnal Pemikiran dan Studi Islam
ISSN : 25030973     EISSN : 27471640     DOI : -
Core Subject : Religion, Education,
Jurnal Misykah adalah jurnal yang diterbitkan oleh Lembaga Penerbitan dan Publikasi Ilmiah (LP2I) IAI bunga Bangsa Cirebon. Jurnal Ini membahas tentang pemirkiran dan studi Islam. Jurnal Misykah terbit dua kali dalam satu tahun yaitu bulan Februari dan Agustus.
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 5 No 1 (2020): Misykah : jurnal Pemikiran dan Studi Islam" : 7 Documents clear
Konsep Ibn Al-‘Arabĭ dan Ranggawarsita Tentang Manusia Muhammad Luthfi Ubaidillah
Misykah : Jurnal Pemikiran dan Studi Islam Vol 5 No 1 (2020): Misykah : jurnal Pemikiran dan Studi Islam
Publisher : Lembaga Penerbitan dan Publikasi Ilmiah IAI Bunga Bangsa Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Human nature is a study that is always interesting to discuss in various cultures and religions. This paper seeks to present human nature in the view of the great figure of Sufism, namely Ibn al-'Arabi and the great figure of Javanese literature and mysticism, namely Ranggawarsita. In terms of thinking, these two figures have become icons in their world of thought. Ibn al-'Arabî became a pioneer of wujudiah teachings in the world of Sufism. Meanwhile, Ranggawarsita has a mindset that cannot be compared with other poets in the world of Javanese poet thought. Abstrak Hakikat manusia menjadi suatu kajian yang selalu menarik untuk diperbincangkan di berbagai budaya dan agama. Tulisan ini berupaya menyajikan hakikat manusia dalam pandanga tokoh besar tasawuf yaitu Ibn al-‘Arabi dan tokoh besar kesusasteraan dan kebatinan Jawa yaitu Ranggawarsita. Dalam hal pemikiran kedua tokoh ini menjadi ikon dalam dunia kepemikiran mereka. Ibn al-‘Arabî menjadi pelopor ajaran wujudiah dalam dunia sufisme. Sedangkan Ranggawarsita memiliki kepemikiran yang tidak dapat dibandingkan dengan pujangga-pujangga lain dalam dunia pemikiran pujangga Jawa.
Wasathiyyah Sebagai Pilar Peradaban Muhammadun Muhammadun
Misykah : Jurnal Pemikiran dan Studi Islam Vol 5 No 1 (2020): Misykah : jurnal Pemikiran dan Studi Islam
Publisher : Lembaga Penerbitan dan Publikasi Ilmiah IAI Bunga Bangsa Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sharia has the aim of bringing convenience and eliminating distress. Through the concept of wasathiyyah (moderation) it is not permissible for muftis, judges or legal experts to choose severe decisions in cases where lighter alternatives can be sought. According to Wahbah az-Zuhaili, this concept can be realized by considering a balanced person's rights and obligations towards others, the material and spiritual world; a balance between forgiveness and resistance, sympathy and hatred for extremism in all its forms. The root of almost all social problems is a constant deviation from this path. It is Wasathiyyah who is most likely to bring stability and calm. Because he is a manifestation of the essence of moral honor and glory of Islam. Furthermore, Islam also promotes these values ​​not only among Muslims, but also in their relations with other religious communities and nations. So that wasathiyyah, is a pillar and preserver of civilization Abstrak Syariah memiliki tujuan untuk membawa kemudahan serta menghilangkan kesusahan. Melalui konsep wasathiyyah (moderasi) tidak boleh bagi mufti, hakim atau ahli hukum memilih putusan berat pada kasus-kasus yang dapat dicari alternatif lebih ringan. Menurut Wahbah az-Zuhaili> konsep tersebut dapat diwujudkan dengan mempertimbangkan secara seimbang hak dan kewajiban seseorang terhadap orang lain, dunia material dan spiritual ; keseimbangan antara memaafkan dan melakukan perlawanan, simpatik dan kebencian terhadap ekstrimisme dalam segala wujudnya. Akar pada hampir semua masalah sosial adalah selalu adanya penyimpangan dari jalan ini. Wasathiyyah lah yang paling mungkin membawa stabilitas dan ketenangan. Karena ia merupakan wujud dari esensi kehormatan moral dan kemuliaan Islam. Lebih lanjut, Islam juga menyerukan nilai-nilai tersebut tidak hanya di kalangan kaum muslimin, namun juga dalam hubungan mereka dengan komunitas agama dan bangsa lain. Sehingga wasathiyyah, merupakan pilar dan pemelihara peradaban
Transformasi Kebudayaan dalam Prespektif Al-Quran Hajjin Mabrur
Misykah : Jurnal Pemikiran dan Studi Islam Vol 5 No 1 (2020): Misykah : jurnal Pemikiran dan Studi Islam
Publisher : Lembaga Penerbitan dan Publikasi Ilmiah IAI Bunga Bangsa Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Al-Qur'an is the guidance of mankind throughout the ages in living their lives in order to get happiness, prosperity, and glory as well as safety in this world and the hereafter. Al-Qur'an. If it is seen from who is speaking, it is fitting for mankind not to look for other references in all their activities except for the al-Qur'an, in the sense that all their activities are based on or are in line with the values ​​of the Qur'an. It is very appropriate to do this because it is Allah who is the Creator, the One who knows the human self both physically and mentally. History has proven that anyone who sticks to the practice of the Qur'an istiqomah they get good luck and glory, especially if those who stick to the practice of the Qur'an are a group of humans then extraordinary positive changes will occur soon. The Qur'an in technical practice guides mankind by placing 'amal as central to the meaning of human existence. This view puts humans in a dynamic position, the dynamics lies in human existence in the form of culture. Culture as a form of human existence is constantly in process, namely the process of asserting existence, both individually and collectively. As a holy book that is more concerned with charity than ideas, we will not find the equivalent word in Arabic, al-hadhoroh, or al-tsaqofah, because the word refers to culture as a product. On the other hand, the word charity as a human activity which refers to culture as a process is actually one of the main teachings. 'Charity or work is a rational and effective human effort that is used by him to control his environment and nature. 'Charity or cultural activity is a life activity that is realized, understood and planned and is closely related to values. We can see that culture in the Koran is seen more as a human process to manifest the totality of himself in life, which is called 'amal. Viewing culture as a process is putting culture as the existence of human life. From the description above, it can be concluded that the Qur'an has a central position and is very significant in the process of cultural transformation in its community. Abstrak Al-Qur’an adalah pedoman umat manusia sepanjang zaman dalam menempuh kehidupannya agar mendapatkan kebahagiaan kesejahteraan, kemulyaan, dan kejayaan serta keselamatan di dunia dan akhirat. Al-Qur’an. jika dilihat dari siapa yang berbicaranya maka sudah sepatutnya umat manusia tidak mencari acuan lain dalam segala aktifitasnya kecuali kepada al-Qur’an, dalam artian segala aktifitasnya didasarkan atau sejalan dengan nilai-nilai al-Qur’an. Hal tersebut pantas sekali dilakukan karena yang berbicara adalah Allah Sang Maha Pencipta, Dzat yang paling mengetahui diri manusia baik lahirnya maupun batinnya. Sejarah telah membuktikan siapapun yang berpegang teguh dengan mengamalkan al-Qur’an secara istiqomah mereka mendapatkan keberuntungan dan kejayaan apalagi jika yang berpegang teguh mengamalkan al-Qur’annya adalah sekelompok manusia maka perubahan positif yang luar biasa akan segera terjadi. Al-Qur’an dalam praktek teknisnya membimbing umat manusia dengan meletakkan ‘amal sebagai sentral bagi makna keberadaan manusia. pandangan ini menempatkan manusia pada posisi yang dinamis, dinamikanya terletak pada eksistensi manusia yang berupa kebudayaan. Kebudayaan sebagai wujud eksistensi manusia terus menerus berada dalam proses, yaitu proses pernyataan keberadaan, baik yang bersifat individual, maupun kolektif. Sebagai kitab suci yang lebih mementingkan amal dari pada gagasan, maka kata padanan kebudayaan dalam bahasa arab yaitu al-hadhoroh, atau al-tsaqofah memang tidak akan kita temukan didalamnya, karena kata tersebut menunjuk kepada kebudayaan sebagai produk. Sebaliknya, kata amal sebagai kegiatan manusia yang menunjuk pada kebudayaan sebagai proses, justru merupakan salah satu ajaran pokok . ‘Amal atau karya adalah upaya manusia yang rasional dan efektif yang dipergunakan olehnya untuk menguasai lingkungan serta alamnya. ‘amal atau aktivitas budaya merupakan aktivitas hidup yang disadari, dimengerti dan direncanakan serta berkait erat dengan nilai-nilai. Kita dapat melihat bahwa kebudayaan dalam Al-Qur’an lebih dipandang sebagai proses manusia mewujudkan totalitas dirinya dalam kehidupan, yang disebut ‘amal. Memandang kebudayaan sebagai proses adalah meletakkan kebudayaan sebagai eksistensi hidup manusia. Dari gambaran di atas memberikan kesimpulan bahwa al-Qur’an memiliki posisi sentral dan sangat signifikan dalam proses transformasi budaya di lingkungan umatnya
Spektrum Pesantren di Tengah Hegemoni Modernisasi Eman Sulaeman
Misykah : Jurnal Pemikiran dan Studi Islam Vol 5 No 1 (2020): Misykah : jurnal Pemikiran dan Studi Islam
Publisher : Lembaga Penerbitan dan Publikasi Ilmiah IAI Bunga Bangsa Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Islamic boarding schools as educational and social institutions have a very large role in shaping the culture / culture of the community. On the other hand, the pressure for modernization, which sometimes carries negative values, also has a very large influence on the formation of community culture. The interpretation of modern values to community culture is sometimes more visible in the "ization "of pesantren values (which are identical to their religious culture) and modernization values (which are identical with their bad values). - The role of Islamic boarding schools as educational institutions in building community culture is at least seen in the educational model it implements, which emphasizes habituation or culturalization. With the charismatic nature of a kiyai as a role model for society and the culture of the pesantren and its distinctiveness, the pesantren institution has succeeded in stemming the negative values of modernization, especially those related to community morals. Abstrak Pesantren sebagai institusi pendidikan dan social memiliki peranan yang sangat besar terhadap pembentukan budaya / kultur masyarakat. Di sisi lain desakan modernisasi yang kadang membawa nilai-nilai negative, juga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan kultur masyarakat. Interperensi nilai modern terhadap kultur masyarakat terkadang lebih tampak pada "isasi" nilai pesantren (yang identik dengan budaya religiusnya) dan nilai modernisasi (yang identik dengan nilai buruknya) . - Peran pesantren -sebagai institusi pendidikan- dalam membangun kultur masyarkat setidaknya terlihat pada model pendidikan yang diterapkannya yaitu lebih mengedepankan pembiasaan atau kulturalisasi. Dengan karismatik seorang kiyai sebagai role of model masyarakat serta kultur pesantren dan kekahasannya, institusi pensantren telah berhasil membendung nilai-nilai negative modernisasi terutama terkait dengan moral masyarakat
Gender dalam Tinjauan Islam Yoyoh Badriyyah
Misykah : Jurnal Pemikiran dan Studi Islam Vol 5 No 1 (2020): Misykah : jurnal Pemikiran dan Studi Islam
Publisher : Lembaga Penerbitan dan Publikasi Ilmiah IAI Bunga Bangsa Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Islam is a religion of empowerment, that is, a religion that requires the formation of the readiness and ability of each individual human being to carry out his role, namely to do good. Why is there an order in Islam to support the weak (dlo'if), look after orphans, and educate children? All of this is directed to the formation of mental and physical readiness to carry out his life existence. Thus, efforts to weaken, oppress, hegominate and tyrannize a person are things that Islam does not expect. The presence of gender as a marker of the existence of human genital variants - in Islamic views - is not something that needs to be contradicted. Both are just distinctions that have the same role and function, namely realizing divine values ​​(religion) which are true in accordance with His instructions (al-khoir) and the truth as a result of a just interpretation of the verses (al-ma'ruf). Thus, forms of injustice as a limitation effect of gender interpretations or interpretations of God's verses, are actually issues that need to be resolved. From this, the authors conclude that the gender movement as a form of movement to build justice and empowerment of men and women is not something that is against Islamic teachings but something that is in line with one of the teachings of Islam. Abstrak Islam adalah agama pemberdayaan yaitu agama yang menghendaki terbentuknya kesiapan dan kesanggupan tiap individu manusia untuk menjalankan perannya yaitu melakukan kebaikan. Mengapa di dalam islam ada perintah menyantuni orang lemah (dlo'if), memelihara anak yatim, dan mendidik anak-anak?. Semua ini diarahkan untuk terbentuknya kesiapan mental dan fisik untuk menjalankan eksistensi hidupnya. Dengan demikian, upaya-upaya pelemahan, penindasan, hegomoni dan tirani terhadap seseorang, menjadi hal yang tidak diharapkan oleh islam. Kehadiran gender sebagai penanda adanya varitas kelamin manusia –dalam tinjauan islam-bukanlah sesuatu yang perlu dipertentangan. Keduanya sekedar distingsi yang memiliki peran dan fungsi sama yaitu mewujudkan nilai-nilai ketuhanan (agama) yang kebenarnya sesuai dengan petunjuk-Nya (al-khoir) serta kebenaran sebagai hasil interpretasi berkeadilan ayat-ayatnya (al-ma'ruf). Dengan demikian, bentuk-bentuk ketidakadilan sebagai efek keterbatasan dari interpretasi gender atau hasil interpretasi terhadap ayat-ayat Tuhan, sesungguhnya persoalan yang perlu diselesaikan. Dari sinilah, penulis berkesimpulan bahwa gerakan gender sebagai bentuk gerakan membangun keadilan dan pemberdayaan kaum laki-kali dan perempuan, bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan ajaran islam melainkan sesuatu yang selaras dengan salah satu ajaran islam.
Islamisasi Psikologi Ahmad Abdul Khozim
Misykah : Jurnal Pemikiran dan Studi Islam Vol 5 No 1 (2020): Misykah : jurnal Pemikiran dan Studi Islam
Publisher : Lembaga Penerbitan dan Publikasi Ilmiah IAI Bunga Bangsa Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The birth of a theory / science cannot be separated from what is called philosophy. Because in the realm of efistemology, philosophy is a person's frame of mind (read: scientists) in producing theories / science itself. Thus, the birth of a theory developed in a scientific discipline - its ontology, efistemology and axiology - is strongly influenced by the flow of philosophy itself. The philosophy of positivity which relies more on scientific aspects (logic, empiric and rational) and sees humans as only as a material being, of course it will give birth to a different view of humans compared to the theory developed on top of Islamic philosophy. The birth of this distinction is due to a different perspective on humans themselves as a formal object of psychological study. The development of Western psychology (which is built on scientific and secular-materialist foundations) has indeed given meaning to the development of the world of Islamic education, especially for analyzing educational problems related to human psychological aspects. However, the presence of Western psychology is not something that must be fully accepted without analyzing and filtering, but it needs to be reviewed, especially in its efistemology, so that the theories that are born from western psychology are truly relevant to the Islamic perspective. Abstrak Lahirnya sebuah teori/ keilmuan tidak bisa dipisahkan dari apa yang disebut dengan filsafat. Sebab dalam ranah efistemologi, filsafat merupakan kerangka berpikir seseorang (dibaca:ilmuan) dalam memproduksi teori-teori/ keilmuan itu sendiri. Dengan demikian, kelahiran sebuah teori yang dikembangkan dalam suatu disiplin ilmu – ontologinya, efistemologinya dan axiologinya-,sangat dipengaruhi oleh aliran Filsafat itu sendiri.Filsafat positifisme yang lebih menyandarkan pemikirannya pada aspek-aspek ilmiah (logika, empiric dan rasional) serta melihat manusia hanya sebagai makhluk material, tentu akan melahirkan pandangan yang berbeda terhadap manusia dibanding dengan teori dikembangkan di atas filsafat islam. Lahirnya distingsi ini karena cara pandang yang berbeda terhadap manusia itu sendiri sebagai objek formal kajian psikologi. Perkembangan psikologi Barat (yang dibangun di atas landasan ilmiah dan materialis-sekuler), memang telah memberikan arti terhadap perkembangan dunia pendidikan islam, terutama untuk menganalisis persoalan-persoalan pendidikan yang terkait dengan aspek psikologis manusia. Namun demikian, kehadiran psikologi Barat tersebut, bukanlah sesuatu yang mesti diterima sepenuhnya tanpa menganalisis dan memfilter.melainkan perlu di telaah kembali terutama dalam aspek efistemologinya, supaya toeri-teori yang dilahirkan dari psikologi barat betul-betul relevan dengan perspektif islam.
Muhammad Sebagai Pemimpin Agama dan Negara Ahmad Fadholi
Misykah : Jurnal Pemikiran dan Studi Islam Vol 5 No 1 (2020): Misykah : jurnal Pemikiran dan Studi Islam
Publisher : Lembaga Penerbitan dan Publikasi Ilmiah IAI Bunga Bangsa Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Muhammad is a great human figure, the messenger of God who was given the mandate to deliver the message, or teachings of God, which became known as the teachings of Islam. His noble character attracted the sympathy of the Arab community at that time, even though some people were uneasy about his existence. As a chosen human, he is equipped with knowledge and abilities. God also gave him a noble position among humans by giving him the title of prophecy. This noble position shows that he is truly the messenger of God. In addition, the expertise of the Prophet Muhammad and his belief in the eyes of the people in regulating, maintaining, developing the territory, building cities, giving attention, peace, welfare and progress of society, made him worthy of being called a "statesman". In implementing teachings, regulating the wheels of life and government, he applies the values ​​of Islamic teachings and also the principle of compassion for all nature. Abstrak Muhammad adalah sosok manusia agung utusan Tuhan yang diberikan amanah menyampaikan risalah, atau ajaran Tuhan, yang kemudian dikenal dengan ajaran Islam. Akhlaknya yang mulia menarik simpati masyarakat arab kala itu, meskipun sebagian kalangan resah dengan keberadaannya. Sebagai manusia pilihan, ia dibekali dengan ilmu dan kemampuan. Tuhan pun memberikan kedudukan mulia di antara manusia dengan memberikannya gelar kenabian. Kedudukan mulia ini menunjukkan bahwa ia adalah benar-benar sang utusan Tuhan. Selain itu, kepiawaian Nabi Muhammad dan kepercayaannya di mata masyarakat dalam hal mengatur, menjaga, mengembangkan wilayah kekuasaan, membangun kota-kota, memberikan perhatian, kedamaian, kesejahteraan serta kemajuan masyarakat, menjadikannya layak disebut sebagai “negarawan”. Dalam mengimplementasikan ajaran, mengatur roda kehidupan dan pemerintahan, ia menerapkan nilai-nilai ajaran Islam dan juga prinsip kasih sayang terhadap seluruh alam.

Page 1 of 1 | Total Record : 7