cover
Contact Name
Sekretariat Jurnal Rechtsvinding
Contact Email
jurnal_rechtsvinding@bphn.go.id
Phone
+6221-8091908
Journal Mail Official
jurnal_rechtsvinding@bphn.go.id
Editorial Address
Jl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta, Indonesia
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Rechts Vinding : Media Pembinaan Hukum Nasional
ISSN : 20899009     EISSN : 25802364     DOI : http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding
Core Subject : Social,
Rechtsvinding Journal is an academic journal addressing the organization, structure, management and infrastructure of the legal developments of the common law and civil law world.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol 5, No 2 (2016): August 2016" : 9 Documents clear
EVALUASI TERHADAP PENGATURAN PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN DANA KAPITASI PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA PEMERINTAH DAERAH Yuliyanto Yuliyanto
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 5, No 2 (2016): August 2016
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (548.297 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i2.142

Abstract

Untuk memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat, Pemerintah mengeluarkan regulasi mengenai pengelolaan dana kapitasi. Terkait hal ini, ada beberapa permasalahan yang menarik untuk diteliti, yaitu: bagaimana pengelolaan dana kapitasi dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2016; dan bagaimana pemanfaatan dana kapitasi pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama milik Pemerintah Daerah. Metodologi yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (desk research) dengan cara melakukan penelitian melalui sumber-sumber yang tersedia di publik seperti surat kabar, majalah, laporan riset dan jurnal. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2016 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah, dikeluarkan sebagai solusi atas kekurangan/kelemahan regulasi sebelumnya akibat perkembangan penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional. Oleh karena itu, dengan ditetapkan regulasi tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dalam hal penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional terutama pada fasilitas kesehatan tingkat pertama yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.To provide health services to the community, the Government issued a regulation on the capitation fund management. There are some interesting issues regarding this matter such as how the Minister of Health Regulation No.21 Year 2016 regulate capitation fund management; and how the capitation fund being used in the Local Government’s First Level Health Facilities.This research use desk research methodology, conducted by exploring and examining sources that are available publicly such as newspapers, magazines, research reports and journals. The research brought up conclusion that Minister of Health Regulation No. 21 Year 2016 on National Health Insurance Capitation Fund Usage for Health Care Services and Local Government’s First Level Health Facilities Operating Cost Support, was issued to resolve the shortcomings/weaknesses of the previous regulation caused national health security management development. Therefore, this Regulation is expected to accommodate the needs in the implementation of national health insurance especially in the local government’s first level health facility.
EKSEKUTIF REVIEW TERHADAP PERDA RETRIBUSI DI DAERAH OTONOMI KHUSUS Muhammad Siddiq Armia
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 5, No 2 (2016): August 2016
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (497.048 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i2.143

Abstract

Dalam upaya pelaksanaan otonomi khusus, berbagai provinsi di Indonesia bersaing dalam upaya peningkatan retribusi daerahnya masing-masing. Hal ini telah mendorong provinsi-provinsi untuk membuat peraturan daerah (perda) regulasi) yang dapat mendatangkan nilai tambah bagi provinsinya. Sayangnya, perda-perda tersebut kadangkala mengalami ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan dengan regulasi yang lebih lebih tinggi baik dari segi materi muatan maupun dari segi teknis pembuatannya. Hal ini mengakibatkan meningkatnya jumlah peraturan daerah yang dibatalkan atau yang perlu di revisi kembali melalui proses eksekutif review di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan black-letter law untuk menjawab bagaimana permasalahan utama dalam materi muatan suatu perda dan faktor apa sajakah penyebab terjadinya pelanggaran hierarki dari suatu perda. Penelitian menunjukan sejak pemerintahan Jokowi hingga Januari 2016, Kemendagri telah membatalkan 3.143 perda yang berasal dari seluruh kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia. Jumlah tersebut diasumsikan akan terus bertambah seiring dengan semakin meningkatnya proses legislasi di daerah. Penyebab utama dari pembatalan perda-perda tersebut diantaranya adalah; pertentangan materi muatan, penentuan sanksi, rendahnya partisipasi masyarakat, dan problematika naskah akademik.In implementing special autonomy, Indonesia provinces have competed each other to gradually increase the province revenue. The province legislate several regional regulations in their province to create legal based for revenue income. However, those regional regulations commonly contradict with the higher law at national level. The contradictions are indicated both in legal substance and legislation technic. In other words, those regional regulations are vulnerable to violate the regulation hierarchy in national level. Thus, the increasing of annulled regional regulation has regularly amplified in the Ministry of Home Affairs. This research using normative law research method with black-letter law approach to answer what is the main problems within regional regulation legal substance and what factors cause hierarchy violations by the regional regulations. Since the empowered of Jokowi until January 2016, the Ministry of Home Affairs have invalidated more than 3.143 regional regulations, delivered from all cities, districts, and provinces in Indonesia. The invalidated regional regulations number is assumed to grow, together with the increasing of legislation in local government level. The main reasons of invalidation regional regulations consist of contradicting contents, punishment, low public participation, and lack quality of academic research.
PENGUATAN AKSES INFORMASI PUBLIK MELALUI TEKNOLOGI INFORMASI SEBAGAI BENTUK TRANSPARANSI PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA Arfan Faiz Muhlizi
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 5, No 2 (2016): August 2016
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (522.592 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i2.137

Abstract

Dalam pengelolaan keuangan negara, masih banyak celah di mana hukum tidak bisa masuk atau tidak menjalankan fungsinya dengan baik sehingga mengundang tatanan non hukum untuk masuk. Hukum dikhawatirkan tidak lagi menjadi sarana pembaharuan masyarakat tetapi menjadi penghambat kegiatan bernegara. Jika hal ini dibiarkan tanpa pengawasan masyarakat, komitmen, serta itikad baik, maka kondisi tersebut akan menimbulkan skeptisme sosial, prasangka sosial, dan resistensi sosial. Dengan menggunakan pendekatan juridis normatif tulisan ini membahas mengenai bagaimana keterbukaan informasi publik dapat mendorong terwujudnya sistem pengelolaan keuangan negara yang lebih baik serta bagaimana upaya yang bisa dilakukan untuk menguatkan akses informasi publik melalui teknlogi informasi untuk mempermudah pengawasan pengelolaan keuangan negara. Dari penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa Keterbukaan informasi publik sangat penting karena masyarakat dapat mengontrol setiap langkah dan kebijakan pemerintah, termasuk dalam pengelolaan keuangan negara. Pemanfaatan teknologi informasi menjadi pilihan strategis untuk menguatkan pengawasan pengelolaan keuangan negara agar tidak terjadi penyimpangan dalam pengelolaan dan penggunaannya. Oleh karena itu maka dukungan kebijakan yang mewajibkan adanya penggunaan teknologi informasi dalam menjalankan fungsi pemerintahan, terutama pengelolaan keuangan negara menjadi faktor determinan keberhasilan pengawasan dan penilaian yang dilakukan oleh masyarakat. Meningkatnya pengetahuan masyarakat mengenai proses penyelenggaraan pemerintahan, dapat meningkatkan minat dan keinginan masyarakat untuk berperan serta dan berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan kapasitas masing-masing.In the state financial management, there are still many gaps where the law can not get in and doesn’t work properly so It implies interfere non legal order to the system. The law is more skeptical for no longer be a means of community reform but it becomes an obstacle to the activities of the state. If this is left without society controll, commitment and good faith, then the condition will cause social skepticism, social prejudice, and social resistance. By using normative juridical approach this paper describes how the public information disclosure may encourage the establishment of state financial management system better and how is the efforts to improve access to public information through information technology to facilitate the supervision of state financial management. From this research concluded that the public information disclosure is very important because people can control every step and government policies, including in the state financial management. Use of information technology can be a strategic option to strengthen the supervision state financial management in order to prevent irregularities in the financial management. Therefore, the support of a policy requiring usage information technology in carrying out the functions of government, especially public finance management be a determinant factor of success monitoring and assessment conducted by the community. The increasing of public knowledge about the governance process, increase the interest and desire of people to take part and participate in the governance process in accordance with their respective capacitie.
ANALISIS RENDAHNYA PENYERAPAN ANGGARAN KEMENTERIAN/LEMBAGA (K/L) DAN PEMERINTAH DAERAH Edward James Sinaga
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 5, No 2 (2016): August 2016
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (490.634 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i2.144

Abstract

Pelaksanaan kegiatan pemerintahan masih belum memenuhi harapan. Salah satu indikasinya adalah penyerapan anggaran belanja yang tidak maksimal dan terkonsentrasi pada akhir tahun anggaran. Hal ini menyebabkan pelayanan publik pemerintah kepada masyarakat menjadi terhambat. Dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis perencanaan dan kebijakan penyerapan anggaran berbasis kinerja, faktor yang mempengaruhi penyerapan anggaran, serta hambatan yuridis dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan anggaran pemerintahan. Penelitian ini menemukan bahwa perencanaan yang baik akan sangat membantu tingkat penyerapan anggaran. Selain itu diperlukan pengawasan sejak awal perencanaan agar dapat mendeteksi kemungkinan kegagalan penyerapan anggaran lebih dini. Pelaporan juga memiliki peranan penting untuk mengetahui perkembangan penyerapan anggaran. Untuk mempercepat penyerapan anggaran belanja negara maka diperlukan peraturan yang berorientasi pada pemberian kepercayaan pada eksekutif agar dapat lebih flesksibel dalam menggunakan anggaran dengan tetap mengedepankan prinsip efektivitas, efisiensi dan akuntabilitas.The implementation of Government’s programme has not meet the expectation. It is indicated by low budget absorption that usually concentrated in the end of a budget year. This condition causes the public service hampered. By using judicial normative approach, this research objective is to analyze the planning process and performance based budget absorption policy, factors that may affect budget absorption and legal obstacles that may be found within existing regulations related to state budget management. This research found that good budget planning will help to improve absorption level. On the other hand, proper control from the early stage of budget planning can help to detect budget absorption failure possibility earlier. Reporting also has important role to show budget absorption progress. To hasten budget absorption, regulations need to be constructed to give trust to the executive so it may be more flexible in managing the budget by still putting forward the efectivity, eficiency, and accountability principles.
KETERPENUHAN PRINSIP KEADILAN DALAM UU PENGAMPUNAN PAJAK Tyas Dian Anggraeni
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 5, No 2 (2016): August 2016
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (523.771 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i2.138

Abstract

Untuk mengatasi pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat, diperlukan sumber pembiayaan untuk melakukan investasi di sektor publik. Dari berbagai alternatif sumber pembiayaan pembangunan, dewasa ini peran penerimaan pajak semakin penting sehingga pengampunan pajak menjadi salah satu pilihan yang perlu diambil. Tulisan ini akan membahas mengenai bagaimana kemungkinan pengampunan pajak dalam kerangka optimalisasi fungsi pajak dapat memenuhi prinsip keadilan; serta bagaimana model-model pengampunan pajak yang telah ada di beberapa negara dapat diadopsi dalam konteks Indonesia, dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa fungsi pajak dalam pembangunan ekonomi dapat dibedakan atas dua macam, yakni fungsi anggaran (budgetory) dan fungsi pengaturan (regulatory) yang mengarah pada upaya mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial. Dalam konteks pemenuhan keadilan, UU Pengampunan Pajak telah menunjukkan sisi keadilan dengan memberikan persyaratan-persyaratan tertentu bagi seseorang untuk dapat memperoleh pengampunan Pajak seperti terlebih dahulu harus melunasi seluruh tunggakan pajak, dan membayar uang tebusan. Terdapat beberapa contoh program amnesty di beberapa negara seperti Afrika Selatan, India, Irlandia, Rusia, dan Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa program ini adalah langkah yang lazim dilakukan untuk menyelesaikan masalah perekonomian negara. Sistem perpajakan yang baik dapat menjadi pendukung utama perekonomian karena mampu memberi stimulus terhadap peningkatan produksi sektor-sektor riil dalam rangka menghasilkan peningkatan tingkat pendapatan per kapita masyarakat. Setelah UU Pengampunan Pajak disahkan, pemerintah Indonesia perlu menyusun reformasi pajak dan menguatkan penegakan hukum agar pengampunan pajak tak lagi terjadi di masa mendatang.To overcome the slowing national economic growth, the government need financial resources to invest in the public sector. Of the various alternative of financial resources available, the importance role of tax revenue is increasing that tax amnesty has become an option that needs to be taken. This paper will discuss the possibility of tax amnesty within the framework of optimizing the tax function to meet the principles of justice; and how the tax amnesty models that already exist in some countries can be adopted in the context of Indonesia, using normative juridical approach.From this research it can be concluded that the tax function in economic development can be divided into two kinds, namely the budget function (budgetory) and regulatory functions (regulatory) which aim to achieve justice and social welfare. In the context of justice fulfillment, the Tax Amnesty Act has shown it’s compliance to justice principle by making some requirements for someone to receive tax amnesty such as by paying off all the tax arrears first and the ransom.  Several examples of tax amnesty programs in some countries such as South Africa, India, Ireland, Russia, and the United States show that tax amnesty program is a common option taken to solve economic problems face by the state. A good tax system can be major support to the economy because it can stimulate real sector production which then leads to the enhancement of per capita income. After the Tax amnesty act come into force, the Indonesia Government needs to set tax reformation and strengthen law enforcement so tax amnesty won’t be needed in the future.
ANALISIS DAMPAK PASAL 34 UNCAC DAN KETERKAITANNYA DENGAN PROSES PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH Listiyanto, Apri
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 5, No 2 (2016): August 2016
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (588.898 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i2.145

Abstract

UNCAC memiliki arti penting dalam hal meningkatkan kerja sama internasional dalam penanganan tindak pidana korupsi. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi UNCAC dan mengesahkannya melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Indonesia merupakan negara pada putaran pertama yang telah dievaluasi implementasi ketentuan UNCAC oleh Inggris dan Uzbekistan pada Tahun 2010 dan 2011. Salah satu hasil gap analysis adalah belum diaturnya ketentuan Pasal 34 UNCAC ke dalam sistem hukum nasional dan hal ini erat kaitannya dengan proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Melalui metode penelitian yuridis normatif ini, dengan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach) berupaya menjawab implikasi penerapan Pasal 34 UNCAC dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah dan menjawab arah politik hukum kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah terkait dengan adanya Pasal 34 UNCAC. Dari hasil analisa di ketahui bahwa Indonesia telah berupaya memasukan ketentuan Pasal 34 UNCAC ke dalam sistem hukum nasionalnya, tetapi tentu perlu memperhatikan prinsip-prinsip hukum nasional yang ada, dan terhadap tindakan-tindakan yang diambil perlu memperhatikan klasifikasi dampak kerugian. Hal ini telah diupayakan melalui Perpres Nomor 4 Tahun 2015 yang merupakan perubahan keempat dari Perpres Nomor 54 Tahun 2010. Namun dalam ketentuan tersebut masih diperlukan pengaturan lebih lanjut karena masih dimungkinkan terjadinya persoalan hukum yang menyangkut pemutusan kontrak dimaksud.UNCAC has significance in terms of enhancing international cooperation in the handling of corruption. The Indonesian government has ratified the UNCAC and ratified through Law No. 7 of 2006. Indonesia is the country in the first round that have evaluated the implementation of the provisions of UNCAC by the United Kingdom and Uzbekistan in 2010 and 2011. One of the outcomes gap analysis is not the regulation of the provisions of Article 34 of UNCAC into the national legal system and it is closely related to the goods / services of the government. Through normative juridical research method, with approach of law (Statute Approach) and the approach of the case (Case Approach) sought to answer the implications of the application of Article 34 of UNCAC in the process of procurement of goods/services of the government and said the political direction of the law of contract procurement / government services related to their Article 34 of UNCAC. From the analysis to know that Indonesia has sought to incorporate the provisions of Article 34 of UNCAC into the domestic legal system, but it certainly needs to pay attention to the principles of national laws, and the actions taken need to pay attention to the classification of the impact of the loss. This has been attempted through Presidential Decree No. 4 of 2015 which is the fourth amendment of Presidential Decree No. 54 of 2010. But in that provision still further adjustment is necessary because it is still possible to reach a legal matter concerning the termination of the contract in question.
HAK BUDGET DPR DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA Mei Susanto
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 5, No 2 (2016): August 2016
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (532.228 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i2.139

Abstract

Hak budget DPR dalam pengelolaan keuangan negara memiliki kedudukan yang strategis. Hal ini terkadang dilupakan karena menganggap pengelolaan keuangan negara hanyalah domain eksekutif saja. Padahal legislatif juga memiliki peran yang cukup signifikan. Penelitian ini berupaya untuk melihat hak budget DPR sebagai pelaksanaan fungsi anggaran DPR dalam pembahasan RAPBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, penelitian ini menunjukkan hak budget DPR secara konstitusional berbentuk pembahasan bersama RUU APBN yang diajukan Presiden untuk kemudian diberikan persetujuan. Rumusan hak budget DPR dalam bentuk “pembahasan bersama” dan memberikan persetujuan, memperlihatkan kewenangan yang besar dan diterjemahkan dalam bentuk pembahasan yang mendetil sampai dengan satuan unit organisasi, fungsi dan program. Hal tersebut menunjukkan hak budget DPR sebagai budget making, yang berbanding terbalik dengan kewenangan DPD yang hanya memberikan pertimbangan sehingga hanya disebut budget influence. Mengingat hak budget DPR yang kuat tersebut, diperlukan reposisi dan penataan ulang, agar tidak dijadikan alat untuk melakukan korupsi anggaran dalam pembahasan RAPBN.House of Representatives (HoR)’s budget right in state finance management has strategic position. This is sometimes forgotten because the state finance management usually consider as the domain of the executive only. Though the legislative also has a significant role. This study attempt to see the HoR budget right as the implementation of the HoR budget function in discussing the state budget bill as a form of state financial management. By using normative juridical methods, this study shows the HoR constitutional budget rights take form as a collective discussion of the state budget budget bill proposed by the president and to give approval on it in the end. The formulation of the HoR budget rights in terms such as "collective discussion" and “gives approval”, shows a great authority of the HoR and can be translated as a very detailed discussion include discussion over the unit organization, functions and programs. It shows the HoR budget rights as budget making, which is totally different with the authority of the DPD which can only gives consideration and therefore is described as budget influence. Considering the HoR strong budget right, it needs repositioning and restructuring to prevent it being used as a corruption tool in State Budget Bill discussion.
IMPLIKASI REGULASI KEUANGAN NEGARA BAGI PENGELOLAAN KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN Yuli Indrawati
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 5, No 2 (2016): August 2016
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (469.983 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i2.140

Abstract

Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga independen yang merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berada di luar organisasi pemerintah. Adapun sistem pengelolaan keuangan yang berlaku bagi seluruh organisasi pemerintahan adalah sistem pengelolaan keuangan negara. Dengan demikian, bagaimanakah implikasi dari pengaturan sistem pengelolaan keuangan negara terhadap pengelolaan keuangan pada Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang independen? Untuk mengkaji hal tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif. Berdasarkan kajian terhadap regulasi keuangan negara, pengelolaan keuangan Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga pemerintahan harus mengikuti sistem pengelolaan keuangan negara; sedangkan berdasarkan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, pengelolaan keuangan Otoritas Jasa Keuangan dikecualikan dari sistem pengelolaan keuangan negara. Berdasarkan paham subyek hukum, pengecualian terhadap sistem pengelolaan keuangan negara hanya dapat dilakukan terhadap subyek hukum tersendiri. Otoritas Jasa Keuangan bukan subyek hukum karena merupakan lembaga pemerintahan. Dengan demikian, apabila Otoritas Jasa Keuangan akan tetap mempertahankan sistem pengelolaan keuangannya perlu dilakukan perubahan terhadap status hukum kelembagaan menjadi badan hukum sebagai subyek hukum tersendiri.The Otoritas Jasa Keuangan (OJK) is an independent agency as a part of the implementation of government affairs. The financial management system of all government organization is the state’s financial management system. Thus, what the implication of the state’s financial regulation settings on the OJK’s financial management as an independent institution? Based on the state financial regulation, the OJK’s financial management as a government agency must follow the state’s financial management system. Based on the Law regarding the OJK, the OJK’s financial management are excluded from the state’s financial management system. Based on the concept of legal subject, exceptions to the state’s financial management system can only be carried out on a legal subject. The OJK as a government agency, is not a legal subject. The OJK can used its financial management system, as long as its legal status of institution had been changed to be a legal entity.
PEMBAHARUAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK Dwi Agustine Kurniasih
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 5, No 2 (2016): August 2016
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i2.141

Abstract

Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dilaksanakan oleh kementerian/lembaga berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP masih dihadapkan pada beberapa tantangan, antara lain mengenai pembayaran dan penyetoran PNBP, dasar hukum pemungutan dan penetapan tarif PNBP, perencanaan PNBP dan penggunaan dana yang bersumber dari PNBP, serta pengawasan dan pemeriksaan PNBP. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana konsep earmarked revenue tidak lagi tepat digunakan dalam pengaturan PNBP di masa mendatang; serta bagaimana keterpenuhan asas-asas hukum nasional dalam penyusunan materi muatan pengaturan PNBP. Dengan menggunaan pendekatan normatif, dapat disimpulkan bahwa pendekatan earmarked dalam pengelolaan PNBP merupakan kebijakan untuk mendesain suatu pendapatan tertentu menjadi sumber pendanaan bagi kegiatan pelayanan umum tertentu, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP. Penggunaan konsep earmarked dalam pengelolaan PNBP menimbulkan permasalahan-permasalahan, oleh  karena itu perlu ada pembaharuan agar jenis kegiatan yang bisa digunakan dari penerimaan PNBP, tidak saja terbatas bagi unit yang menghasilkan PNBP namun bagaimana penerimaan tersebut dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan umum. Pada akhirnya, pemungutan PNBP yang membebani masyarakat harus didasarkan beberapa prinsip hukum nasional seperti keadilan, kepastian, dan kemanfaatan dalam rangka mendukung terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan PNBP perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan asas-asas yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Keuangan Negara.The management of non-tax state revenue (PNBP) by the ministry/institution based on Act Number 10 year 1997 about Non-Tax State Revenue still face some challenges such as the payment and deposit of PNBP, legal ground for collecting and promulgating PNBP rate, PNBP planning, utilization of funds from PNBP, and control and inspection of PNBP. The problem chosen as the focus of this research is about consideration not to use earmarked revenue concept anymore in future regulation; and about the fulfillment of national law principles in forming the substance of PNBP regulation. Using normative approach, it can be concluded that earmarked approach is a policy that design a certain revenue to fund certain public service as regulated in Article 8 Verse (1) Act Number 20 Year 1997 about Non-Tax State Revenue. Applying earmarked conceptual in PNBP management cause many problems so a renewal to this conception is need— so the type of activities that can be funded by PNBP won’t be limited to those which belongs to the unit producing it but also to other units within same Ministry. In the end, the collection of PNBP which lays burden on the people must be based on some national law principles such as justice, legal certainty, and expediency in order to create good governance in the state management. PNBP management should be organized professionally, open, and responsible according to the principles stipulated by the State Finance Act.

Page 1 of 1 | Total Record : 9