Claim Missing Document
Check
Articles

Found 35 Documents
Search

Eksistensi Hak Budget DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Susanto, Mei
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 1 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1328.408 KB)

Abstract

Eksistensi hak budget Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pada saat ini setidaknya menimbulkan dua persoalan. Pertama, mengenai keberadaan hak budget DPR, khususnya setelah dihapuskannya Penjelasan UUD Tahun 1945. Kedua, persoalan mengenai urgensi keterlibatan DPR dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang didalamnya muncul perdebatan mengenai sejauh mana keterlibatan DPR dalam pembahasan RAPBN tersebut. Pada praktiknya pun terjadi penyalahgunaan hak budget oleh oknum anggota DPR. Akibatnya muncul keinginan mengevaluasi hak budget DPR tersebut. Melalui Putusan No. 35/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi telah memangkas keterlibatan DPR dalam pembahasan RAPBN yang mendetil dari satuan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja menjadi hanya sampai unit organisasi, fungsi, dan program saja. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dianggap telah mereposisi hak budget DPR. Namun, dalam praktiknya masih terjadi korupsi anggaran yang dilakukan oknum anggota DPR.The Existence of the Right of Budget of the House of Representatives in the Constitutional System in IndonesiaAbstractThe existence of the rights of budget of the House of Representatives in the Constitutional System in Indonesia at this moment at least raises two issues. First, regarding the existence of the right of budget of the House of Representatives in particular after the removal of Explanation of the Constitution of 1945. Second, the question of the urgency of the House of Representatives involvement in the discussion of the Draft State Budget (draft budget) in which there is a debate about the extent of the involvement of House of Representatives in the discussion of the draft budget. In practice, there is misuse of right of budget by unscrupulous members of the House of Representatives. Through Decision No. 35/PUU-XI/2013, the Constitutional Court has slashed the involvement of Parliament in the discussion of the detailed draft budget of the unit of the organization, function, programs, activities, and types of expenditure being only to organizational units, functions, and programs only. The Constitutional Court’s decision is deemed to have rights to reposition the House budget. However, in practice budget corruption committed by individual members of Parliament still occurs. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3n1.a4
Urgensi Pembentukan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia dalam Upaya Penuntasan Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu Abdurrahman, Ali; Susanto, Mei
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 3 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (627.438 KB)

Abstract

AbstrakSampai saat ini, upaya penuntasan pelanggaran HAM berat di masa lalu masih menjadi hutang yang belum tertunaikan. Upaya rekonsiliasi yang hendak ditempuh pemerintah, sebagai salah satu alternatif penyelesaian seharusnya tidak boleh meninggalkan upaya mengungkap kebenaran. Pembentukan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) yang sejalan dengan UUD 1945 dan  instrumen HAM yang berlaku secara universal sebagaimana diamanatkan Putusan MK Nomor 6/PUU-IV/2006 menjadi kebutuhan yang penting dan mendasar. Tanpa adanya UU KKR tersebut, maka upaya rekonsiliasi yang dilakukan pemerintah akan mengalami problem hukum yang pada gilirannya akan semakin menunda penuntasan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Bahkan implikasi ketiadaan UU KKR, membuat KKR Aceh yang dibentuk melalui Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 seolah mati suri karena dalam menjalankan tugas dan kewenangannya akan berbenturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Karenanya, Pemerintah dan DPR seharusnya meningkatkan komitmen dan political will-nya untuk segera melakukan pembahasan RUU KKR, dan segera menghilangkan kebiasaan yang hanya memasukkan RUU KKR dalam daftar program legislasi nasional. Urgency of Establishing Law Commission on the Truth and Reconciliation in the Effort of Completion Human Rights Violations in the PastAbstractUp to now, the efforts to resolve human rights violations are still considered as a debt thas have not been fullfilled. The renconciliation steps that have been taken by the government, as one of the alternative dispute settlement should not put aside its aim to uncover the truth. The Establishment of Law on Truth and Reconciliation Commission [the Law] which is in line with the 1945 Constitution and international human rights instruements that apply universally as mandated by the Constitutional Court Decision Number 6/PUU-IV/2006 became fundamental needs. In the absence of the Law, the government’s reconciliation efforts will run into legal problems, which in turn will further delay the completion of serious human rights violations in the past. In fact, the implications of the absence of the Law, lead to the Truth and Reconciliation Commission in Aceh formed by Aceh Qonun Number 17 in 2013 as suspended because it collides with the higher legislation that cannot be reached by Aceh Qanun. Therefore, the government and House of Representatives should pay more commitment and its political wiil for immediate discussion of the Law Truth and Reconciliation Commission, and immediately eliminate the habit that only put the Law on Truth and Reconciliation Commission in the list of national legislation program.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3.n3.a4
Book Review: Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya) Susanto, Mei
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 3 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (488.705 KB)

Abstract

Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah merupakan undang-undang yang sering mengalami perubahan. Hal tersebut disebabkan karena: (i) struktur ketatanegaraan yang berubah melalui Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dari tahun 1999-2002; (ii) materi muatan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah cukup banyak; (iii) hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang sering mangalami ketegangan (spanning); dan (iv) banyak pihak yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, sehingga beberapa materi yang ada dalam Undang-Undang Pementerintahan Daerah pun banyak yang berubah. Secara keseluruhan telah terjadi 3 (tiga) kali perubahan pasca reformasi, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (UU Pemda 1999), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (UU Pemda 2004), dan terakhir melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v2n3.a11
Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Budgeter dalam Pengujian Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Susanto, Mei
Jurnal Konstitusi Vol 14, No 4 (2017)
Publisher : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (462.594 KB) | DOI: 10.31078/jk1442

Abstract

Doktrin Mahkamah Konstitusi (MK) yang dahulu dipercaya hanya sebagai negative legislature telah bergeser menjadi positive legislature. Menjadi pertanyaan, apakah doktrin MK sebagai negative legislature maupun positive legislature, dapat pula dimaknai sebagai negative budgeter dan positive budgeter dalam pengujian Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN). Berdasarkan hasil kajian konseptual dan pendalaman terhadap beberapa putusan MK dalam pengujian UU APBN, secara nyata dan dalam keadaan tertentu, doktrin MK sebagai negative legislature dapat dimaknai sebagai negative budgeter dalam bentuk pernyataan mata anggaran tertentu dalam UU APBN bertentangan dengan UUD 1945. Bahkan dapat pula dimaknai sebagai positive budgeter karena MK juga mengharuskan pemerintah dan DPR untuk menambahkan mata anggaran tertentu dalam UU APBN. Hal tersebut tidak lain sebagai bentuk diakuinya supremasi konstitusi, sehingga MK yang berperan sebagai the guardian constitution harus menjaganya. Apalagi dalam UUD 1945 terdapat pasal yang spesifik menyebut batas minimal anggaran pendidikan 20% dan pasal-pasal lain yang mengharuskan APBN harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.The doctrine of the Constitutional Court which was previously believed to be only as a negative legislature has shifted into positive legislature. The question, is the doctrine of the Constitutional Court as a negative legislature and a positive legislature can also be interpreted as a negative budgeter and a positive budgeter in the judicial review of the State Budget Law. Based on the result of conceptual study and deepening of several decisions of the Constitutional Court in the judicial review of the State Budget Law, in real and in certain circumtances, the doctrine of the Constitutional Court as a negative lagislature can be also interpreted as a negative budgetary in the form of specific budget items in the State Budget Law contradictory to the 1945 Constitution. Also as a positive budgeter because the Constitutional Court requires the executive and the legislative to add a specific budget in the State Budget Law. It is a form of recognition of constitutional supremacy, so that the Constitutional Court can role as the guardian constitution. Moreover in the 1945 Constitution there is a specific article that mentions the minimum limit of 20% education budget and other articles that require the state budget should be used for the greatest prosperity of the people.
Hak Angket DPR, KPK dan Pemberantasan Korupsi Susanto, Mei
Integritas : Jurnal Antikorupsi Vol. 4 No. 2 (2018): INTEGRITAS Volume 04 Nomor 2 Tahun 2018
Publisher : Komisi Pemberantasan Korupsi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (286.723 KB) | DOI: 10.32697/integritas.v4i2.294

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 menguji konstitusionalitas obyek hak angket DPR terhadap KPK menimbulkan permasalahan dan perdebatan hukum, khususnya dapat tidaknya penggunaan hak angket DPR terhadap KPK sebagai lembaga negara independen. Permasalahan dalam penelitian adalah apakah pertimbangan Hakim Konstitusi dalam Putusan a quo telah tepat menempatkan KPK sebagai obyek hak angket DPR? Bagaimana implikasi Putusan a quo berkaitan penggunaan hak angket DPR kepada KPK terhadap pemberantasan korupsi? Penelitian doctrinal ini menggunakan bahan hukum primer dan sekunder, berupa peraturan perundang-undangan, literatur dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan objek penelitian. Penelitian menyimpulkan, pertama, pertimbangan Hakim Konstitusi khususnya pertimbangan 5 Hakim Konstitusi yang menjadi dasar Putusan a quo tidak tepat menempatkan KPK sebagai obyek hak angket DPR dikarenakan pertimbangannya tidak memiliki konsistensi terhadap makna independen yang dimiliki KPK bahwa posisi KPK berada di ranah eksekutif, sehingga tidak berarti membuat KPK tidak independen dan terbebas dari pengaruh manapun. Pertimbangan yang tidak konsisten dibarengi tidak dibedahnya makna “hal penting, strategis, dan berdampak luas” sebagai kriteria dipergunakannya hak angket DPR. Kedua, implikasi putusan a quo terhadap penggunaan hak angket DPR terhadap KPK adalah dapat terganggunya status independensi KPK. Penggunaan hak angket DPR terhadap KPK secara eksesif dapat merintangi, mempolitisasi kasus pemberantasan korupsi yang ditangani KPK. Diperlukan penegasan pembatasan penggunaan hak angket DPR khususnya kepada tugas KPK dalam bidang yudisial, serta pengekangan diri panitia angket DPR untuk tidak memasuki batas-batas yang ditentukan hukum.
Wacana Menghidupkan Kembali GBHN dalam Sistem Presidensil Indonesia Mei Susanto
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 17, No 3 (2017): Edisi September
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (997.16 KB) | DOI: 10.30641/dejure.2017.V17.427-445

Abstract

Penelitian ini membahas wacana menghidupkan kembali GBHN sebagai pedoman perencanaan pembangunan nasional yang sering dibenturkan dengan sistem presidensil. Permasalahan yang diteliti, pertama bagaimana bentuk hukum GBHN yang tidak bertentangan dengan sistem presidensil? Kedua, bagaimana implikasi hukum pelanggaran GBHN oleh Presiden sesuai sistem presidensil? Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, penelitian ini memperoleh kesimpulan GBHN tidak selalu bertentangan dengan sistem presidensil dengan cara menempatkannya dalam konstitusi. Bentuk hukum GBHN dalam konstitusi membuat perencanaan pembangunan nasional tidak menjadi domain presiden saja tetapi hasil kesepakatan bersama sesuai dengan basis sosial masyarakat Indonesia yang majemuk. Pelanggaran GBHN tidak dapat berimplikasi pada pemberhentian Presiden, karena GBHN masih bersifat panduan yang mengikat secara moral. Pranata hukum untuk mengevaluasi pelanggaran GBHN, dapat melalui MPR dengan memerintahkan DPR untuk menggunakan hak budget parlemen secara efektif atau Mahkamah Konstitusi melalui judicial review ataupun constitutional complaint. Penghidupan GBHN ini dapat dilakukan dengan melakukan perubahan UUD NRI Tahun 1945 oleh MPR.
Kekuasaan DPR dalam Pengisian Pejabat Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Mei Susanto; Rahayu Prasetianingsih; Lailani Sungkar
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 18, No 1 (2018): Edisi Maret
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (645.614 KB) | DOI: 10.30641/dejure.2018.V18.23-41

Abstract

Kekuasaan DPR dalam pengisian pejabat negara menimbulkan permasalahan ketatanegaraan karena meluas mulai dari mengajukan, memberikan persetujuan, memilih, memberikan pertimbangan dan menjadi tempat konsultasi terhadap hampir semua pejabat negara. Permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan kekuasaan DPR RI dalam pengisian pejabat negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia? Dan bagaimana kedaulatan rakyat dan teori checks and balances dimaknai dalam kekuasaan DPR tersebut? Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan kekuasaan DPR dalam pengisian pejabat negara memiliki kedudukan penting dalam ketatanegaraan Indonesia sebagai wujud daulat rakyat dalam perspektif demokrasi serta sesuai dengan prinsip checks and balances. Walau demikian, meluasnya kekuasaan DPR tersebut membuat sistem pengisian pejabat negara bias, bahkan menimbulkan praktik kolutif dan koruptif. DPR sebagai lembaga politik-pun semakin memberikan dampak “politisasi” dalam pengisian pejabat negara. Untuk itu, perlu dikembangkan model pengisian pejabat negara yang melibatkan lembaga perwakilan yang partisipatif dan deliberatif yakni dengan melibatkan publik atau rakyat dalam proses pengisian pejabat negara sehingga akan dapat mewujudkan pemerintahan yang demokratis serta mengurangi dampak politis dari kekuasaan DPR dalam pengisian pejabat negara.
Mental and Physical Capability as the Requirement for Indonesian Presidential Candidate: Legal Ratio and the Development of Regulation Susi Dwi Harijanti; Mei Susanto; Firman Manan; Muhammad Yoppy Adhihermawan; Ilham Fajar Septian
Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol 16, No 1 (2022): March Edition
Publisher : Law and Human Rights Research and Development Agency

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30641/kebijakan.2022.V16.1-18

Abstract

The Third Amendment to the 1945 Constitution has regulated new requirements for presidential candidates. One of which is the requirement to be mentally and physically capable of carrying  out the duties and obligations of the presidential office. This research aims to find the reason for formulating norms or legal ratio of the formation of such a requirement. The nature of this research is qualitative research using a normative-empirical and comparative approach. The results reveal several legal ratios of the requirement. First, the requirement is considered important because the president has the highest position within the governmental structures. Second reason refers to the close relation between health and decision-making matters, and the third demonstrates reasonable and justifiable limitations from the perspective of human rights. Comparison with several countries exposes that the requirement is fundamental since the president has dual functions, namely a head of state and a chief of government. This research also exhibits that the legal basis of the requirement is not in accordance with the 1945 Constitution since the existing regulation takes the form of the Decree of the General Election Commission. Therefore, this research recommends the appropriate legal basis to further regulate mental and physical requirements by law which regulates some fundamental principles dealing with such requirements.
Wacana Mengembalikan Syarat Presiden Orang Indonesia Asli Ditinjau dari Perspektif Ketatanegaraan Mei Susanto
Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol 11, No 2 (2017): Edisi Juli
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30641/kebijakan.2017.V11.193-204

Abstract

Wacana mengembalikan syarat Presiden ialah orang Indonesia asli seperti dalam UUD 1945 Sebelum Perubahan muncul ke publik sebagai respon atas isu mayoritas dan minoritas dalam penyelenggaraan negara, telah menimbulkan problematika ketatanegaraan. Rumusan masalah yang hendak diteliti adalah bagaimana wacana mengembalikan syarat Presiden orang Indonesia asli dalam perspektif ketatatanegaraan Indonesia dan bagaimana solusi terhadap wacana tersebut. Studi ini menganalisis problematika wacana mengembalikan syarat Presiden orang Indonesia asli dalam perspektif ketatanegaraan Indonesia serta solusi terhadap problematika tersebut. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang menitiktekankan pada studi kepustakaan. Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa wacana mengembalikan Presiden ialah orang Indonesia asli tidaklah tepat karena mengandung nilai diskriminasi warga negara. Ketentuan Presiden warga negara sejak kelahiran dalam Perubahan UUD 1945 sudah tepat. Solusi untuk mengatasi persoalan tersebut khususnya isu mayoritas dan minoritas dalam penyelenggaraan negara, dapat menggunakan konvensi ketatanegaraan sebagai salah satu sumber hukum formil dalam hukum tata negara yang patut dihormati dan ditaati.
IDENTIFIKASI DAN ANALISIS FAKTOR RISIKO KEGAGALAN PENYEDIAAN PSU PERUMAHAN SUBSIDI DI INDONESIA Meiky Susanto
Jurnal Infrastruktur Vol 6 No 1 (2020): Jurnal Infrastruktur
Publisher : Jurnal Infrastruktur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35814/infrastruktur.v6i1.1274

Abstract

In 2017, 36.42% of subsidized housing was not yet occupied by debtors. For this amount 45.02% was caused by poor public infrastructure and facilities (PIF) conditions. This study is dedicated to analyzing the root of the problem and how much its influence of the failure factors in PIF provision that implicated to subsidized housing occupancy, so that each stakeholder gets information to plan the mitigation form to each factor. This research approach doing by qualitatively and quantitatively. The results show that the factors with the highest risk rating are: developer profitability not according to plan; contract late; the developer runs out of capital in project initial period; and housing area has a capacity <100 units. For the next, we need a study of the relationship and optimum value between price of houses, amount of PIF assistance that can be given, and the reasonable profit value as well as the solution and innovation of the PIF assistance policy that attracts developer groups with proportional small realization.