cover
Contact Name
Sekretariat Jurnal Rechtsvinding
Contact Email
jurnal_rechtsvinding@bphn.go.id
Phone
+6221-8091908
Journal Mail Official
jurnal_rechtsvinding@bphn.go.id
Editorial Address
Jl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta, Indonesia
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Rechts Vinding : Media Pembinaan Hukum Nasional
ISSN : 20899009     EISSN : 25802364     DOI : http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding
Core Subject : Social,
Rechtsvinding Journal is an academic journal addressing the organization, structure, management and infrastructure of the legal developments of the common law and civil law world.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol 5, No 3 (2016): December 2016" : 9 Documents clear
OTONOMI KHUSUS DI PAPUA DAN ACEH SEBAGAI PERWUJUDAN IMPLEMENTASI PERANAN HUKUM DALAM KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Suharyo Suharyo
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 5, No 3 (2016): December 2016
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (512.358 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i3.148

Abstract

Otonomi khusus di Papua sesuai Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, dan otonomi khusus Aceh sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, sebagai solusi politik, solusi hukum, dan solusi mewujudkan kesejahteraan untuk menyelesaikan pergolakan keamanan yang menginginkan pemisahan dari NKRI, di tengah eforia demokrasi di Indonesia. Peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum tersebut, di dalamnya terkandung aspek demokrasi lokal, kesejahteraan rakyat, perlindungan HAM dalam konteks NKRI. Dengan metode penelitian hukum normatif berupaya menjawab apakah undang-undang otonomi khusus merupakan perwujudan peranan hukum dalam kesejahteraan masyarakat, dan sampai kapan masa berlakunya serta bagaimana kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan undang-undang tersebut. Dari analisis yang dilakukan terlihat bahwa peraturan otonomi khusus yang dapat dikatakan sebagai produk hukum responsif dalam implementasinya masih cukup banyak kendala yang menyelimutinya. Penerapan dan kelangsungan undang-undang otonomi khusus masih harus dielaborasi lebih lanjut untuk konsistensinya, serta keselarasannya dengan pencapaian kesejahteraan masyarakat.Special autonomy for the Province of Papua in Law Number 21 Year 2001 and special autonomy for Aceh in Law number 18 Year 2001 juncto Law number 11 Year 2006, is a political solution, legal solution, as well as a prosperity solution to solve separation conflicts that threatened National Security, in the middle of democratic euphoria in Indonesia. Legislation as legal products, contain aspects of local democracy, social welfare, human rights protection in the context of the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI).In normative legal research method, this article attempts to answer whether the law on special autonomy is a manifestation of the role of law in the welfare of society, and the period of validity and issues in implementing the law. This article concludes that regulation on special autonomy, as a responsive legal product which is aligned with progressive law, is still dealing with quite numbers of issues. The implementation and continuity of those regulations must be elaborated furthermore in term of its consistency and harmonisation with the welfare of society.
IMPLIKASI PENAFSIRAN KEMBALI HAK MENGUASAI NEGARA TERHADAP PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL Ananda Prima Yurista
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 5, No 3 (2016): December 2016
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i3.149

Abstract

Indonesia merupakan negara kesejahteraan antara lain dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 mengandung perihal “hak menguasai negara” yang diejawantahkan dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960. Hak menguasai kewenangan tersebut dimaknai kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003. Melalui metode yuridis normatif, penelitian ini menjawab bagaimana pemaknaan kembali hak menguasai negara dalam putusan Mahkamah Konstitusi; bagaimana pemaknaan kembali tersebut berimplikasi sekaligus diejawantahkan dalam UU No. 1 Tahun 2014 sebagai respon dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010; dan melihat bagaimana pemaknaan kembali tersebut berpengaruh dalam menciptakan potensi (secara normatif) yang besar dalam terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat. Penjabaran Hak Menguasai Negara dalam Putusan Mahkamah Konstitusi adalah merumuskan kebijakan (beleid), merumuskan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad). Pemaknaan kembali Hak Menguasai Negara sangat berpengaruh pada pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang menyangkut kegiatan yang dapat menjamin terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat dalam tataran normatif.Indonesia is a welfare state, among others, stated in the Preamble of Constitution and Article 33 paragraph (3) Constitution. Article 33 paragraph (3) NRI Constitution of 1945 contains “the State’s Right of Control” that manifested in Article 2 paragraph (2) of the Act Number 5 of 1960. The State’s Right of Control was re-interpreted in the Constitutional Court Decision Number 001-021-022/PUU-I/2003. Through yuridis normative method, this study attempts to answer how Constitutional Court re-interpreted “the State’s Right of Control “; how the re-interpretation has implications and also manifested in Law Number 1 of 2014 as a response to the Constitutional Court Decision Number 3/PUU VIII/2010; and see how the re-interpretation has implications for creating a great potency (normatively) to realize improvement of people’s welfare. The argument of the States right of control in Constitutional Court Decision is to formulate policy (beleid), to regulate (regelendaad), to organize (bestuurdaad), to manage (beheersdaad) and to control (toezichthoudensdaad). The reinterprete of the State’s of control give influence in coastal areas and small islands management related to activities that can improve people’s welfare in normative basis.
PURIFIKASI KONSTITUSIONAL SUMBER DAYA AIR INDONESIA Ibnu Sina Chandranegara
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 5, No 3 (2016): December 2016
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (599.592 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i3.150

Abstract

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengabulkan permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh PP Muhammadiyah. Bila sebelumnya MK mengabulkan permohonan PP Muhammadiyah dalam pengujian UU Minyak dan Gas Bumi, dan UU Organisasi Kemasyarakatan, kali ini MK mengabulkan sekaligus membatalkan secara keseluruhan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA). Sebelumnya lebih dari 3.000 pemohon mengajukan pengujian UU SDA pada tahun 2004-2005 namun ditolak oleh MK, namun permohonan yang diajukan oleh PP Muhammadiyah pada 2014-2015 dikabulkan MK. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, penelitian ini berupaya menemukan korelasi dan koherensi permasalahan konstitusionalitas antara pengujian pertama melalui putusan MK No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan No. 008/PUU-III/2005 dengan pengujian kedua melalui No 85/PUU-XI/2013. Dibatalkannya UU SDA oleh MK membuka kembali lembaran baru perjuangan untuk melawan komodifikasi air yang terdapat dalam UU SDA yang dipengaruhi oleh kepentingan swastanisasi air yang dipromosikan oleh World Bank dan International Monetery Fund (IMF).Constitutional Court have granted a judicial review petition on Water Law which was filed by the PP Muhammadiyah. Whereas in the past, the Court has granted the petition of PP Muhammadiyah in testing the Oil and Gas Law and Community Organization Law, this time Constitutional Court grants as well as cancels Law number 7 Year 2004 regarding Water Resources (Water Resources Law). There were more than 3,000 applicants apply for judicial review on Water Law in 2004-2005 but rejected by the Constitutional Court, meanwhile petition which filed by the PP Muhammadiyah in 2014-2015 had been granted. By using the method of normative legal research, this study sought to find the correlation and coherence in constitutionality problems between the first test through Constitutional Court decision Number.058-059-060-063 / PUU-II / 2004 and Number. 008 / PUU-III / 2005 and the second test with Number. 85 / PUU-XI / 2013. Water Resources Law which is repealed by the Court had open a new chapter to fight against the commodification of water (regulated in Water Resources Law) which is influenced by the interests of privatization promoted by the World Bank and the International Monetary Fund.
PERLINDUNGAN HUKUM DAN PENGEMBANGAN POTENSI INDIKASI GEOGRAFIS MINYAK KAYU PUTIH PULAU BURU Karim, Asma; Dayanto, Dayanto
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 5, No 3 (2016): December 2016
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (627.804 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i3.151

Abstract

Tulisan ini membahas tentang strategi penguatan ekonomi lokal berbasis HKI Melalui perlindungan hukum dan pengembangan Potensi Indikasi Geografis Minyak Kayu Putih Pulau Buru serta faktor penghambatnya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis sosiologis untuk mengkaji strategi penguatan ekonomi lokal berbasis HKI melalui perlindungan hukum dan pengembangan potensi IG Minyak Kayu Putih Pulau Buru serta mengurai faktor-faktor penghambatnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi penguatan ekonomi lokal yang berbasis pada HKI melalui perlindungan hukum dan pengembangan Indikasi Geografis belum dapat dilaksanakan karena IG belum masuk dalam rencana pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Buru. Hal tersebut disebabkan oleh faktor lemahnya SDM pemerintah daerah yang belum memahami HKI khususnya IG secara baik sehingga perannya memberikan sosialisasi kepada masyarakat juga belum dapat dilaksanakan.This paper discusses the strategy of strengthening the local economy based on IPR through legal protection and the development of potential Geographical Indications, Eucalyptus Oil in Buru Island as well as it’s inhibiting factors.This research used socio-juridical method to find out the strategy of strengthening the local economy based on IPR through legal protection and the development of potential Geographical Indications Eucalyptus Oil in Buru Island as well as it’s inhibiting factors. The results showed that the strategy of strengthening the local economy based on intellectual property rights through legal protection and development of Geographical Indications still could not be implemented, because the IG has not been included in the plan of local economic evelopment in Buru. This was caused by lack of human resources quality in the local governments that do not understand IPR especially IG well enough. Therefore their role on delivering socialization to the community on this matter also still cannot be conducted.
DILEMA PENEGAKAN HUKUM PENAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA TANPA IZIN PADA PERTAMBANGAN SKALA KECIL Ahmad Redi
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 5, No 3 (2016): December 2016
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (721.524 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i3.152

Abstract

Pertambangan tanpa izin (PETI) merupakan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 158 dan Pasal 160 UU Minerba. Namun, penegakan hukum terhadap PETI menjadi dilema bagi aparat penegak hukum karena eksistensi PETI terkait dengan permasalahan sosial dan ekonomi masyarakat miskin yang berada disekitar wilayah pertambangan. Bahkan 77% (tujuh puluh tujuh persen) penambang PETI mengalami peningkatan kesejahteraan akibat kegiatan PETI. Tulisan ini akan menganalisis faktor penyebab terjadinya PETI, dampak yang ditimbulkan, dan solusi kebijakan penegakan hukum PETI. Metode penelitian yaitu metode sosio legal research. Adapun jawaban dari permasalahan di atas, yaitu, pertama, faktor penyebab PETI, antara lain, faktor masalah regulasi, faktor kapasitas birokrasi perizinan, faktor pembinaan dan pengawasan yang normatif, faktor kendala penegakan hukum, dan faktor sosial ekonomi. Dampak dari PETI, antara lain adalah dampak kerusakan lingkungan hidup, dampak penerimaan negara, dan dampak konflik sosial. Kebijakan penegakan hukumnya, yaitu penerapan kebijakan utilitarianisme dan kebijakan pemidanaan sebagai ultimum remedium. Di bagian akhir artikel terdapat saran agar aparat penegak hukum harus mempertimbangkan penegakan hukum non-penal terhadap PETI dan pemerintah harus melakukan pembinaan dan pengawasan agar PETI dapat menjadi usaha yang sah.Illegal mining (PETI) is a criminal offense under Article 158 and Article 160 of the Mining Law. However, law enforcement against illegal mining is a dilemma for law enforcement officers because the existence of illegal mining associated with impoverished communities’ social and economic problems around the mining area. Even the 77% (seventy seven percent) of illegal miners have increased prosperity as a result of illegal mining activities. This paper will conduct a study regarding the causes of PETI, the impact of PETI, and the solution of policy enforcement for PETI. The research method is the method of socio-legal research. As for the answer to the problems above, namely, first, the causes of illegal mining, among others, the regulatory issues factor; capacity of bureaucratic licensing factor; normative guidance and supervision factor; problem of law enforcement factor; and socio-economic factor. The impact of illegal mining, among others, the impact of environmental degradation; the impact of state revenues; the impact of social conflict. The law enforcement policy are implementation of utilitarianism principle and criminalization as ultimum remedium. At the end of the article there is recommendations that law enforcement officers should consider non-penal law enforcement against illegal mining and the government has to provide guidance and supervision so that illegal mining could be a legitimate business.
PENINGKATAN DAYA SAING BANGSA MELALUI REFORMASI PEMBANGUNAN HUKUM DALAM MEWUJUDKAN CITA NEGARA KESEJAHTERAAN Muh. Risnain
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 5, No 3 (2016): December 2016
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (508.965 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i3.146

Abstract

Lemahnya daya saing ekonomi Indonesia tentu berkorelasi dengan cita negara kesejahteraan. Konstitusi Indonesia menghendaki agar Indonesia menjadi negara kesejahteraan (welfare state), namun hal ini akan sulit dicapai jika kondisi daya saing Indonesia tidak diperbaiki. Melalui metode pendekatan normatif artikel ini hendak menemukan korelasi pembangunan hukum dengan kondisi daya saing bangsa dalam mewujudkan cita negara kesejahteraan dan konsep arah pembangunan hukum dalam peningkatan daya saing bangsa. Pembangunan hukum yang buruk akan mempengaruhi tingkat daya saing nasional menjadi rendah sebaliknya juga begitu kondisi daya saing pembangunan dan penegakkan hukum yang baik akan berkontribusi pada peningkatan daya saing negara. Rendahnya tingkat daya saing ekonomi Indonesia di level internasional salah satunya disebabkan karena penegakkan hukum khususnya pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi yang belum maksimal. Perlu melakukan rekonseptualisasi landasan teoretis pembangunan hukum sesuai dengan dinamika dan perkembangan pembangunan hukum nasional dan implementasi arah pembangunan hukum dalam RPJP dituangkan dan dilaksanakan dalam RPJMN dan RKP pemerintah. Hendaknya pemerintah dalam hal ini (Bappenas) dan DPR mereview kembali landasan konseptual pembangunan hukum nasional yang sesuai dengan perkembangan dan dinamika pembangunan hukum nasional. Untuk meningkatkan daya saing negara maka perlu reformasi pembangunan hukum dengan menekankan pada reformasi penegakkan hukum dan reformasi birokrasi. Oleh karena itu pemerintah perlu memperbaiki arah penegakkan hukum dan reformasi birokrasi.Indonesia’s weak economy competitiveness must be related to welfare state idea. Indonesian constitution embody the idea of welfare state, but it’s hard to be accomplished if Indonesia don’t change its competitiveness condition. Through normative method approach, this article intends to find correlation between law development related to the condition of competitiveness in order to actualize the welfare state idea and concept of improving nation’s competitiveness. The poor condition of legal development will weakens nation’s competitiveness while good condition of legal development and law enforcement will strengthen nation’s competitiveness. In the international level Indonesia’s economics competitiveness is in poor condition, it is caused by poor quality of law enforcement especially in corruption eradication and bureaucracy reformation. There should be a shift in paradigm in theoritical basis of legal development that it could be in line with the dynamics and the evolution of national law development. The implementation of the law development orientation in RPJP also should be embodied within RPJMN and the government RKP. The government (in this case Bappenas) and the legislative body need to review the conceptual base of national law development which is in line with the dynamics of national law development. To enhance national competitiveness there is need to reform the law development by stressing on law enforcement reform and bureaucracy reform. Therefore the government need to fix the orientation of law enforcement and bureaucracy reform.
PERANAN HUKUM NASIONAL DALAM PENYELENGGARAAN KOMPETISI SEPAK BOLA PROFESIONAL DI INDONESIA Eko Noer Kristiyanto
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 5, No 3 (2016): December 2016
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (502.289 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i3.154

Abstract

Penyelenggaraan kompetisi sepak bola profesional memiliki kontribusi positif terhadap tujuan negara khususnya upaya untuk memajukan kesejahteraan umum. Penyelenggaraan kompetisi sepak bola profesional terkait dengan sistem hukum transnasional FIFA dan sistem hukum nasional Indonesia, kedua sistem hukum ini memiliki titik singgung yang berpotensi konflik. Dengan menggunakan metode yuridis normatif khususnya terkait teori-teori tentang pluralisme hukum dan eksistensi sistem hukum transnasional tulisan ini mencoba menjelaskan bagaimana sesungguhnya kedudukan dan peranan sistem hukum nasional dalam penyelenggaraan kompetisi sepak bola profesional agar dapat mendukung terwujudnya kesejahteraan umum. Dengan membandingkan fungsi dan peranan kedua sistem hukum dalam penyelenggaraan kompetisi sepak bola. Ternyata Sistem hukum nasional dan sistem hukum FIFA memiliki peranan masing-masing, keduanya saling melengkapi, jika keduanya harmonis dan sinergis maka akan berkontribusi positif terhadap upaya memajukan kesejahteraan umum.Organization of professional football competition has a positive contribution to the goal of the state particularly efforts to promote general welfare. Organization of professional football competition associated with the legal system of transnational FIFA and the national legal system of Indonesia, this two legal systems have points of tangency that potentialy conflicts. Using juridical normative methods specifically relating to theories regarding pluralism of law and transnational legal system existing. This paper tries to explain how exactly the position and role of national legal systems in the professional football competition in order to support the realization of common prosperity. By comparing the function and role of the legal system in the organization of football competition. It turned out that the national legal system and FIFA legal system have their respective roles, this two are complementary, if both are in harmony and synergy will contribute positively to the promotion of the general welfare.
RESTORATIF JUSTICE DALAM PEMIDANAAN KORPORASI PELAKU KORUPSI DEMI OPTIMALISASI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA Budi Suhariyanto
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 5, No 3 (2016): December 2016
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i3.153

Abstract

Pengembalian kerugian keuangan negara merupakan salah satu tujuan dasar dari pemberantasan tindak pidana korupsi, termasuk pemidanaan terhadap korporasi Pelaku korupsi. Sistem pemidanaan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bersifat primum remedium dan menggunakan pendekatan retributif justice, dalam praktiknya tidak berhasil secara optimal mengembalikan kerugian keuangan negara. Tulisan ini bermaksud untuk meneliti masalah eksistensi sistem pemidanaan terhadap korporasi Pelaku korupsi dan kendala dalam praktik pemidanaan korporasi Pelaku korupsi. Lebih jauh lagi, tulisan ini hendak menggali landasan pertimbangan penerapan restoratif justice dalam pemidanaan korporasi Pelaku korupsi sebagai upaya optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, diperoleh kesimpulan berdasarkan efektivitas dan efisiensi pengembalian kerugian keuangan negara serta menghindarkan dampak pemidanaan korporasi bagi buruh, stabilitas perekonomian dan perlindungan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka pembaruan kebijakan pemidanaan dengan mengembalikan sifat ultimum remedium dan menggunakan pendekatan restoratif justice adalah pilihan yang tepat. Berdasarkan artikel 26 UNCAC dan Pasal 52 RUU KUHP maka secara normatif penerapan restoratif justice pemidanaan korporasi memiliki landasan yang kuat dalam konteks efektivitas dan efisiensi pemberantasan korupsi.Return of financial loss to the state and criminal prosecution ot corporate that do corruption is one of the basic objectives of corruption eradication. Indonesia Criminal system in the Corruption Eradication Act which is set as primum remedium and use retributive justice approach has not optimally restore the country’s financial loss in practice. This paper intends to examine the existence of the criminal system towards corporate that do corruption and constraints faced in implementing penalty towards it. Moreover, this paper will examine the consideration to apply restorative justice on corporate corruption case as an effort to optimize the return of the country’s financial loss. By using normative legal research method, the conclusion shows that based on the effectiveness and efficiency of the return financial loss to the state and to avoid negative impact for the corporate workers, the stability, protection and development of public welfare, the reform of penal policy by returning it’s ultimum remedium character and the use restorative justice approach is the best choice. Based on article 26 of UNCAC and Article 52 of the Criminal Code Draft, the implementation of restorative justice in sentencing corporation has a strong ground in the context of the effectiveness and efficiency of corruption eradication effort.
KEBIJAKAN HUKUM PEMBANGUNAN KAWASAN PERBATASAN MELALUI INFRASTRUKTUR BERBASIS TEKNOLOGI Imas Sholihah
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 5, No 3 (2016): December 2016
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i3.147

Abstract

Pengembangan infrastruktur di kawasan perbatasan sangat diperlukan karena merupakan salah satu kendala utama yang dihadapi dalam membangun kawasan perbatasan. Infrastruktur berbasis teknologi masih dalam tahap pengembangan oleh pemerintah dengan melibatkan para peneliti dan pihak swasta. Perlu kajian lebih lanjut mengenai peran infrastruktur berbasis teknologi di kawasan perbatasan ditinjau dari perspektif hukum dan kebijakan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat kawasan perbatasan. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, dipilih 12 peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan, Undang-undang yang dipandang spesifik mengatur pengelolaan kawasan perbatasan adalah Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, sedangkan pengaturan terkait infrastruktur lebih banyak diakomodir dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang beserta peraturan pelaksananya. Dari aspek pembenahan regulasi, UU Wilayah Negara perlu dikaji ulang, jika diperlukan dilakukan revisi. Belum ada kebijakan yang mengatur secara spesifik mengenai infrastruktur berbasis teknologi sehingga diharapkan kawasan perbatasan dapat terus dikembangkan melalui penyesuaian regulasi sehingga memberikan dampak positif bagi percepatan pengembangan infrastruktur di kawasan perbatasan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat kawasan perbatasan.Infrastructure development in border areas urgently needed because it is one of main obstacles facing by in order to develop border areas. Infrastructure-based technologies are still developing by government that involving researchers and private sector. The role of infrastructure based technology in border area require futher research in terms of legal and policy perspective as an effort to improve border areas society welfare. Through normative juridical method, twelve existing regulations are chosen related to borderline and border areas management. Regulation that specifically regulate border areas management is Law Number 43 Year 2008 on State Territory while regulation regarding infrastructure has accommodated in Law Number 26 Year 2007 on Spatial Planning and its implementing regulations. From regulatory reform aspect, Law regarding State Territory need to be reviewed, if necessary to be revised. There is no regulation or policy that regulate specifically technology-based infrastructure so that borders area can be developed through regulation adjustment that can bring positive impact for acceleration of borders area infrastructure development in order to borders area society welfare improvement.

Page 1 of 1 | Total Record : 9