cover
Contact Name
Syahreza Fachran
Contact Email
padjadjaranlawreview@gmail.com
Phone
+6282113093118
Journal Mail Official
padjadjaranlawreview@gmail.com
Editorial Address
Jl. Dipati Ukur No.35, Lebakgede, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat 40132
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Padjadjaran Law Research and Debate Society
ISSN : 24076546     EISSN : 26852357     DOI : doi.org/10.56895/plr
Core Subject : Social,
Padjadjaran Law Review (PLR) merupakan Jurnal Hukum sejak tahun 2013 dan secara konsisten dikelola oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. PLR Bernaung dibawah Padjadjaran Law Research and Debate Society (PLEADS). PLR memiliki dua tujuan utama yakni untuk mengumpulkan karya-karya pemikir hukum terbaik sekaligus memberikan wadah penulis kritis untuk mempublikasikan karya mereka. PLR menerbitkan karya ilmiah orisinil yang membahas isu-isu hukum yang berkembang dari hasil penelitian dan kajian analitis dari para mahasiswa, dosen, profesor, hingga para praktisi hukum.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 112 Documents
KEDUDUKAN AMDAL DALAM PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP BERKELANJUTAN: TINJAUAN DARI SUDUT PANDANG NICHOMACHEAN ETHICS Maudy Andreana Lestari Lestari
Padjadjaran Law Review Vol. 8 No. 2 (2020): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Indonesia nampaknya sudah tidak asing lagi dengan sebutan AMDAL atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang merupakan langkah awal dari suatu perencanaan pembangunan yang berkaitan juga dengan perlindungan lingkungan hidup berkelanjutan. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa kehadiran AMDAL dalam implementasinya kerap kali tak selaras seperti yang seharusnya. Dampak negatif yang masih saja muncul dari sebuah proyek-proyek pembangunan jelas menimbulkan tanya terkait bagaimana AMDAL yang dibuat dari proyek tersebut. Padahal, apabila ditinjau dari pandangan Aristoteles mengenai Nichomachean Ethics sejatinya kita dapat menemukan bahwa kebahagiaan dimungkinkan timbul dari perilaku bajik seorang manusia dan kemampuan dari orang yang bajik untuk mengambil langkah terbaik yang perlu diambil. Adanya keselarasan antara perilaku bajik manusia dengan lingkungan hidup menyebabkan terciptanya kebahagiaan tersendiri di masyarakat. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis akan menganalisis mengenai keterkaitan pandangan Nichomachean Ethics dengan eksistensi AMDAL yang acapkali diragukan fungsinya. Penulis menggunakan metode yuridis normatif dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan secara daring dalam situasi pandemi. Dalam tulisan ini, penulis berharap agar dapat memberikan edukasi baru terkait bagaimana sebenarnya kedudukan AMDAL apabila ditinjau dari sudut pandang Nichomachean Ethics yang berkaitan erat dengan perilaku bajik seorang manusia dan kebahagiaan. Dengan terciptanya pemahaman bahwa kebahagiaan di masyarakat akan dengan sendirinya terkaruniai apabila manusia mulai membuka pandangan akan pentingnya kedudukan AMDAL bagi lingkungan. Maka, eksistensi AMDAL senantiasa dapat berjalan sesuai peran dan fungsinya untuk dijadikan fondasi atau dasar utama sebelum suatu proyek/kegiatan berjalan. Kata Kunci: AMDAL, Lingkungan Hidup Berkelanjutan, Nichomachean Ethics Abstract Indonesia seems to be familiar with the AMDAL or Environmental Impact Analysis which is the first step of a development plan related to sustainable environmental protection. However, there is no denying that the presence of AMDAL in its implementation is often not aligned as it should be. The negative impact that still arises from a development project clearly raises questions about how the AMDAL was created from the project. In fact, when reviewed from Aristotle's view of Nichomachean Ethics, we can find that happiness can arise from a man's virtuous behavior and the ability of a virtuous person to recognize the best steps that need to be taken. The harmony between human virtuous behavior and the environment leads to the creation of happiness in society. Therefore, in this research the authors will analyze the relationship of Nichomachean Ethics's view with the existence of AMDAL which is often doubtful of its function. The authors used normative juridical methods with data collection techniques performed online in pandemic situations. In this paper, the author hopes to provide a new education on how amdal actually positions when viewed from the point of view of Nichomachean Ethics which is closely related to a man's virtuous behavior and happiness. With the creation of an understanding that happiness in society will by itself be blessed when people begin to open a view of the importance of amdal position related to the environment. Therefore, the existence of AMDAL can always run according to its role and function to be the foundation or main basis before a project/activity runs. Keywords: AMDAL, Nichomachean Ethics, Sustainable Environment
Dampak Keputusan Pemberian Izin Lingkungan oleh Pejabat Pemberi Izin terhadap Pembangunan Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan Irvan Zaldya Zaldya; Fadhila Shaffa
Padjadjaran Law Review Vol. 8 No. 2 (2020): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Izin lingkungan pada pembangunan lingkungan hidup yang berkelanjutan tentunya berkaitan erat dengan upaya pelestarian fungsi lingkungan, yaitu upaya optimal dalam memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Aspek ekologi, ekonomi, dan sosial dalam pembangunan berkelanjutan tentunya harus dijalankan secara seimbang. Pada kenyataannya, pembangunan berkelanjutan lebih condong pada aspek ekonomi dan kurang memperhatikan aspek lainnya. Hal ini dapat terlihat dengan tetap diberikannya izin pada beberapa jenis kegiatan pembangunan perekonomian yang berpotensi merusak lingkungan. Oleh karenanya, perlu dibahas mengenai keterkaitan izin lingkungan terhadap pembangunan berkelanjutan serta pengaruh kinerja pemerintah dalam mengambil keputusan mengenai izin lingkungan. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu menguraikan permasalahan yang ada serta dibahas berdasarkan teori-teori hukum yang berkaitan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa pejabat pemberi izin sebagai ujung tombak perlindungan lingkungan hidup memiliki primary jurisdiction, yaitu kewenangan untuk memutuskan apa yang dirasa paling menguntungkan sehingga memberikan dasar hukum yang kuat baginya untuk menetapkan pilihan yang terbaik dan bersifat final. Namun pada praktiknya, masih ditemukan ketidaktepatan keputusan pejabat pemberi izin dalam menggunakan primary jurisdiction sebagai ujung tombak perlindungan lingkungan hidup. Terdapat ketidaksinkronan antara das sollen dan das sein terkait pemberian izin lingkungan yang diantaranya disebabkan oleh: pejabat pemberi izin yang cenderung mempermudah pemberian izin, munculnya kesempatan dalam kesempitan, praktik politik ijon antara pebisnis dengan politisi dalam penyelenggaraan pemilu, dan penerapan konsep good environmental governance yang kurang optimal yang terindikasi dalam beberapa kasus seperti reklamasi pantai di DKI Jakarta dan pembangunan KBU. Kata Kunci: Good Environmental Governance, Izin Lingkungan, Pejabat Pemberi Izin, Pembangunan Berkelanjutan, Perlindungan Lingkungan Hidup. Abstract Environmental license in sustainable development certainly linked to efforts to preserve environmental functions, i.e the efforts to conserve environmental functions, optimal efforts in maintaining the sustainability of the carrying capacity environment. Ecology, economic, and social aspects in sustainable development surely should be execute in balanced. In fact, sustainable development is more inclined to economic aspects and less concerned with other aspects. This can be seen by granting of permits for several sectors of economic development activities that have potential to damage the environment. Therefore, it is necessary to discuss the relationship between environment license and sustainable development and the influence of authorities in making decisions regarding environment license. By using a normative juridical method, which describes the existing problems and discussed based on legal theories with applicable laws. The result of this research concludes that the licensing official as the spearhead of environmental protection, has primary jurisdiction, i.e the authority to decide what they feel the most beneficial, with the result that, provide a strong legal basis for them to make the best and final decision. However, in practice, there are still some inaccuracies in the decision of the authorities in using their primary jurisdiction as the spearhead of environmental protection. There is an inconsistency between das sollen and das sein in relation to the granting of environmental permits which caused by, inter alia: licensing officials who tend to make it easier to grant permits, opportunity in any occasion, the practice of bondage political between business people and politicians in holding election, and the suboptimal implementation of good environmental governance that indicated by several cases as coastal reclamation in DKI Jakarta and KBU construction. Keywords: Good Environmental Governance, Environmental Permit, Environment , Protection, Licensing Officials, Sustainable Development.
Sistem Pendanaan Pemulihan Lingkungan Hidup: Teori, Peraturan, dan Praktik Kania Jennifer Wiryadi Wiryadi; Bayu Novendra
Padjadjaran Law Review Vol. 8 No. 2 (2020): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Ketersediaan dana lingkungan dimaksudkan untuk menjamin adanya ganti rugi yang bersifat langsung bayar dan sesuai dengan kerugian aktual. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup membagi sistem pendanaan menjadi dana jaminan pemulihan lingkungan hidup, dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup serta dana amanah/bantuan untuk konservasi. Dalam kenyataannya banyak Perusahaan yang tidak mampu membayar putusan ganti rugi yang diperintahkan oleh pengadilan. Artikel ini akan membahas bagaimana konsep Jaminan Keuangan dalam Pertanggungjawaban Lingkungan Hidup? Serta bagaimana permasalahan Terkait dengan Dana Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup? Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Pertama, ditemukan bahwa hukum lingkungan Indonesia belum mengatur mengenai jaminan keuangan dalam hal environmental liability. Oleh sebab itu, terdapat kemungkinan insolven dalam klaim pertanggungjawaban perdata terhadap pencemar. Kedua, permasalahan utama terkait dengan dana penanggulangan ialah sumber utamanya yang berasal dari APBN dan APBD. Hal ini merupakan pelanggaran dari prinsip pencemar membayar yang mana seharusnya pihak yang memiliki risiko yang bertanggung jawab. Kata kunci: Dana Jaminan, Dana Penanggulangan, Instrumen Ekonomi, Prinsip Pencemar Membayar, Pajak Lingkungan Abstract The availability of environmental funds is intended to guarantee compensation that is prompt and adequate. Law Number 32 of 2009 Concerning Environment Protection and Management divides the environmental funding system into guarantee funds for environmental recovery, funds for mitigating pollution and/or environmental damage and restoration as well as a trust or aid funds for conservation. In reality, many companies are unable to pay the compensation verdicts ordered by the court. This article will discuss how the state of the concept of Financial Guarantee in Environmental Responsibility? And what are the problems related to the Pollution and Environmental Damage Management Fund? In conducting this research, the authors used normative juridical legal research methods. First, it is found that Indonesia's environmental law has not regulated financial guarantees in terms of environmental liability. Therefore, there is a possibility of insolvency in claims of civil liability against polluters. Second, the main problem related to prevention funds is that the main source comes from the state budget. This is a violation of the polluter pays principle in which the party at risk is responsible to pay. Keywords: Guarantee Funds, Financial Guarantees, Economic Instrument, Polluter-Pays Principle, Environmental Tax
Problematika dalam Mewujudkan Pancasila Sebagai Ideologi yang Bernilai Substantif Aditya Nurahmani
Padjadjaran Law Review Vol. 6 (2018): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Pancasila merupakan mahakarya terbesar bangsa Indonesia yang berasal dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat sejak berabad-abad lampau yang di wariskan dan dipertahankan eksistensinya dari generasi ke generasi. Founding Fathers telah berkomitmen untuk menjadikan Pancasila sebagai pijakan bangsa dan negara. Terlebih Indonesia sebagai negara hukum, tentunya mengharapkan Pancasila dapat hadir dan menjiwai sistem hukum nasional serta hadir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sayangnya, harapan tersebut tampaknya tidak sesuai dengan praktek yang berjalan hingga saat ini, dimana Pancasila kerap kali dijadikan ideologi yang bersifat ceremonial symbolic semata, sehingga diperlukan suatu gagasan terbarukan untuk menjadikan Pancasila menjadi ideologi yang bernilai substantif. Melalui tulisan ini, penulis akan mengkaji permasalahan apa saja yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia dalam mewujudkan Pancasila sebagai ideologi yang bernilai substantif, dan menyandingkan dua gagasan yang dipandang tepat menurut para ahli dalam menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang bernilai substantif. Kata Kunci: Pancasila, Ideologi substantif, Tata Hukum Nasional, dan Kehidupan berbangsa bernegara Abstract Pancasila is the greatest masterpiece of the Indonesian that comes from the values that lived and developed in the society since centuries ago. The founding fathers have been committed for making Pancasila as the foundation of the state. Moreover, Indonesia as a rechtsstaat country, would expect Pancasila can exist in the national legal system and in the life of the nation. Unfortunately, those expectations do not seem to be in line with current practices, where Pancasila often used as a ceremonial symbolic ideology, so that a renewable idea is needed to make Pancasila as a substantive ideology. Through this paper, the writer will review any problems faced by Indonesia as a nation and as a country in an effort to realizing Pancasila as a substantive ideology and compare two ideas that were deemed appropriate according to experts in making Pancasila a substantive ideology. Keywords: Pancasila, Substantive ideology, National Legal System and The Life of The Nation and State.
Urgensi pemeriksaan Sah Tidaknya Penetapan Tersangka Sebagai Perluasan Objek Pra Peradilan Dalam Upaya Perlindungan Hak Asasi Manusia Tajudin I
Padjadjaran Law Review Vol. 3 (2015): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Secara yuridis, praperadilan merupakan kewenangan dari pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus mengenai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Selain itu, kewenangan praperadilan juga untuk memeriksa dan memutus permohonan ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Dalam perkembangannya, kewenangan praperadilan mengalami perluasan. Perluasan kewenangan praperadilan terjadi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memutuskan bahwa pemeriksaan sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk dalam kewenangan praperadilan. Adapun yang menjadi topikipermasalahan yaitu apakah urgensi perluasan objek praperadilan didasarkan kepada perlindungan Hak Asasi Manusia? selain itu, bagaimanakah implikasi putusan Mahkamah Konstitusi No : 21/PUU-XII/2014 terhadap proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan suatu tindak pidana dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Dalam artikel ini dapat diketahui bahwa Pemeriksaan mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka dipandang sebagai sesuatu yang urgent untuk ditambahkan dalam objek praperadilan, hal ini didasarkan kepada perlindungan HAM.Pengujian keabsahan penetapan tersangka dilakukan melalui lembaga praperadilan karena lembaga praperadilan merupakan satu-satunya lembaga yang diamanatkan sebagai lembaga pengawasan terhadap tindakan-tindakan penegak hukum yang merugikan hak asasi tersangka. Implikasi dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 telah mempengaruhi gerak sistemik dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Dengan adanya perluasan objek praperadilan, akan menyebabkan bertambahnya beban kerja aparat penegak hukum dan terjadinya peningkatan permohonan praperadilan yang diajukan oleh tersangka kepada Pengadilan Negeri. Kata Kunci : Praperadilan, Penetapan Tersangka, HAM
Perkembangan Judicial Review Terhadap Tindakan Pemerintah di Indonesia : (Perbandingan Kelembagaan antara Tradisi Hukum Civil Law dan Common Law) M Adnan Yazar Zulfikar
Padjadjaran Law Review Vol. 3 (2015): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak “(the courts) becoming themselves the „third giant‟ to control the mastodon legislator and the leviathan administrator” (Mauro Capplletti) Pranata judicial review berkembang di banyak negara sebagai bentuk pengawasan dari kekuasaan yudikatif terhadap cabang kekuasaan lainnya, termasuk kekuasaan Pemerintahan. Judicial review juga menjadi perlindungan hukum yang efektif bagi warga Negara yang terlanggar haknya oleh tindakan penguasa. Pengujian ini berkembang dengan cara dan kelembagaan yang berbeda di Negara yang tradisi common law dengan civil law. Di Indonesia judicial review terhadap tindakan Pemerintah dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta oleh Mahkamah Konstitusi tergantung kepada jenis tindakan Pemerintah yang diuji. Pranata judicial review di Indonesia berkembang baik dengan pembaharuan peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan. Abstract Judicial review institution has developed in many countries as judicial instrument to monitor other branches, including executive branches. Judicial review has become effective legal protection for citizens whose rights have been violated by authorites act. This form of review have been developing by different ways and model in countries with common law and civil law traditions. In Indonesia, judicial review of government action carried out by the Supreme Court and judicial bodies underneath, and by the Constitutional Court depends on the nature of government action reviewd. Judicial review institutions in Indonesia have been developing by constitution and statutory development, and court‟s jurisprudence.
Pendidikan Dasar Gratis “Setiap” Warga Negara Indonesia Dalam Konstitusi Kornelius Bill Hiemer Sianturi
Padjadjaran Law Review Vol. 3 (2015): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

A. Pendahuluan Secara jelas telah dinyatakan bahwa Hak atas pendidikan merupakan salah satu Hak Asasi Manusia, dan hal tersebut telah tercantum di Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 sebagai jaminan yang diberikan oleh Negara kepada warga Negara. Tentu dalam pelaksanaan hal tersebut yakni dalam memenuhi Hak Asasi manusia harus dijauhi dari praktek perbedaan atau kekhususan yang cenderung diskriminasi. Khusus terkait pendidikan, Hal ini juga perlu dibedakan dengan tindakan Negara yang memberikan penanganan khusus terhadap orang berkebutuhan tertentu antara lain disabilitas, tuna rungu, tuna netra atau lainnya yang terkait. Tindakan Negara untuk membedakan bukanlah atas dasar diskriminasi akan tetapi pemenuhan hak yang sama dengan cara berbeda. Perbedaan yang terlihat ialah seringkali dinyatakan bahwa pendidikan murah atau gratis ini hanyalah hak sebagian orang saja, dalam arti orang yang kekurangan, miskin atau tidak mampu saja . Apakah dapat dikatakan hal tersebut merupakan diskriminasi terhadap orang yang tidak mendapat pendidikan murah atau pendidikan gratis. Selain itu dipungutnya uang pembangunan atau DSP ( Dana Sumbangan Pembangunan ) yang menjadi tren lembaga pendidikan di Indonesia, tentu sedikit kontraproduktif dengan jiwa pasal 31 ayat 2 yakni Pemerintah wajib membiayainya. Penjelasan diatas menjadi landasan penulisan tulisan ini yakni terkait pendidikan gratis bagi setiap warga Negara bukan saja untuk orang yang tidak mampu akan tetapi untuk semua kalangan di Indonesia termasuk orang kaya dan perihal praktek pemungutan Uang pembangunan
Kritik Terhadap Poligami: Sebuah Komentar Atas 40 Tahun Keberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bingah Amarwata Sujana
Padjadjaran Law Review Vol. 3 (2015): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Pada Agustus 2015 Indonesia akan merayakan ulang tahun kemerdekaannya yang ke-70, dan pada Oktober 2015 akan genap 40 tahun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi sarana pengatur perkawinan di Indonesia. Melihat dari jangka waktu keberlakuan undang-undang ini, tentu dapat kita sesuaikan persepsi bahawa 40 tahun bukanlah waktu singkat. Timbul pertanyaan, bagaimana kesesuaian undang-undang ini di tengah masyarakat yang terus berubah dan berkembang selama 40 tahun. Salah satu isu kontroversial yang kerap kali disuarakan dan dimintakan pertimbangan untuk dihapuskan dari undang-undang ini adalah perihal poligami. Poligami disinyalir merupakan penyumbang kekerasan dan perlakuan diskriminatif terhadap wanita yang terikat dalam pekawinan. Kata Kunci: poligami, kekerasan, diskriminasi, wanita, perkawinan Abstract On August 2015 Indonesia will celebrate its 70th independence, and on October 2015 Marriage Act Number 1/1974 will fullfill its duty to serve and regulate marriage in Indonesia. If we look on this act periodic time of validity, one conclusion comes to mind, 40 years was not a short time. We may ask, how does this act adjust to 40 years of development and innovation in society. One of the controversial issue that always be expressed and often requested to be eliminate is polygamy. Polygamy turned out to contribute as agent of discrminatory treatment and violence toward woman whom engage in marriage. Key words: polygamy, violence, discrimination, woman, marriage
Mewujudkan Keadilan Atas Akses Sumber Daya Hutan Bagi Masyarakat Hukum Adat Nusantara Dalam Perspektif Hukum Progresif Muhammad Nur Ramadhan; Al Ghaniari Perkoso; Azizah Nur Hanifah
Padjadjaran Law Review Vol. 3 (2015): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Kedudukan masyarakat hukum adat dalam hal pengelolaan hutan atas sumber daya hutan telah tercantum dalam peraturan perundangan-undangan serta diperkuat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 mengenai hutan adat. Karya tulis ini membahas mengenai ketidakmampuan pengelolaan hutan dengan mengunakan pendekatan teknologi, ekonomi dan politik dalam menjaga hutan tetap lestari, dan juga membahas mengenai perwujudan keadilan bagi masyarakat hukum adat dalam memperoleh akses terhadap sumber daya hutan yang notabene hutan sebagai sumber penghidupan mereka. penerapan pendekatan kearifan lokal masyarakat hukum adat dinilai ampuh sebagai upaya untuk merevitalisasi kedudukan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan adat sebagai implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Pendekatan melalui kearifan lokal masyarakat hukum adat merupakan salah satu prinsip dalam mekanisme community based forestry management yang menempatkan peran yang lebih substansial dalam masyarakat hukum adat terhadap pengelolaan hutan. Prinsip ini menempatkan kedudukan antara masyarakat hukum adat dan pemerintah (negara) seimbang sebagai pemangku hak dan kewajiban dalam pengelolaan hutan terutama hutan yang menjadi kawasan tempat tinggal dan tempat mata pencaharian masyarakat hukum adat. Dengan luasan hutan di Indonesia yang mencapai puluhan juta hektar serta eksistensi masyarakat hukum adat yang masih bertahan sampai sekarang, secara faktual belum menerapkan prinsip ini dalam mekanisme pengelolaan hutan, khususnya hutan adat. Artinya kenyataan saat ini kemudian mengakibatkan masyarakat hukum adat kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam untuk kehidupannya, sehingga tidak jarang menyebabkan terjadinya konflik yang melibatkan masyarakat hukum adat dan pemegang hak.Dalam hal tersebut, aparat penegak hukum yang notabene memiliki tugas untuk menegakkan hukum harus berani untuk menerobos kekakuan teks peraturan dengan menjunjung tinggi keadilan terhadap kedudukan masyarakat hukum adat guna memecahkan masalah-masalah yang ada. Pada perkembangannya tersebut, dapat menjadi acuan pada tingkat ASEAN dalam penggunaan sistem community based forestry management yang menggunakan pendekatan kearifan lokal masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan di masingmasing negara sebagai wujud terciptanya integrasi global serta menggunakan semangat hukum progresif dalam pemecahan masalah yang ada. Kata Kunci: masyarakat hukum adat, community based forestry management, integrasi global, hukum progresif Abstract The status of indigenous people upon administering the forest resources has been regulated in the National Laws and recently strengthened by the Constitutional Court Ruling No. 35/PUU-X/2012 concerning adat forest. This article deals with the inability of forest administration using technological, economical, and political approach, in order to maintain the sustainable forest. Also, to argue about the manifestation of justice for indigenous people in obtaining access upon forest resources which ipso facto is their primary source of living. The implementation of local wisdom by indigenous people assessed as effective in dealing with revitalization of their status upon administering the adat forest as an implementation of Constitutional Court Ruling No. 35/PUU-X/2012. The local wisdom approach by the indigenous people considered as one of the principle in the community-based forestry management mechanism, which sets more substantial role of indigenous people upon forest administration. This principle sets the balanced position between indigenous people and the government (State) as the bearers of rights and obligation in forest administration which particularly has been used as their shelters and livelihood. Within million-hectares wide of Indonesian forest, presently, the existence of indigenous people had not yet factually implementing the local wisdom principle, particularly adat forest. Presently, the empirical condition has then resolved in the loss of right of indigenous people upon forest as their primary source of living, causing frequent conflicts within the stakeholders of adat forest. In this situation, law-enforcer which ipso facto obligated to enforce the law, has to disrupt the rigidity of the text upon regulations with prioritizing justice for indigenous people in order to resolve present problems. Within the development of this issue, it can be referred in the ASEAN level upon the implementation of community-based forestry management system which used local wisdom approach by indigenous people in administering forests in each countries as a step towards global integration and also to use the spirit of progressive law development to resolve present problems. Keywords: indigenous people, community-based forestry management, global integration, progressive law
Privatisasi dalam Perspektif Pasal 33 UUD 1945 Adityo Bagus Rihandono
Padjadjaran Law Review Vol. 2 (2014): PADJADJARAN LAW REVIEW
Publisher : PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Negara sebagai organisasi, mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai. Namun dalam prakteknya sangat banyak hal-hal yang menghambat proses yang dilakukan oleh negara untuk mencapai tujuannya, salah satunya adalah faktor keuangan. Kurangnya dana mengakibatkan terhambatnya pemenuhan kebutuhan masyarakat, pembangunan infrastruktur, yang pada akhirnya akan berdampak kepada pelayanan publik (public serve) yang tidak akan berjalan secara maksimal. Untuk mengatasi permasalah tersebut, di negara-negara eropa, muncul privatisasi. Pada hakekatnya privatisasi merupakan alih fungsi aset yang dilakukan oleh pemerintah ke sektor swasta. Apabila privatisasi ingin diterapkan di Indonesia, privatisasi masih menjadi pro dan kontra apakah sesuai dengan sistem perekonomian Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 merupakan dasar dari penyelenggaraan sistem perekonomian di Indonesia. Dalam pasal 33 tersebut dijelaskan bahwa sistem perekonomian Indonesia dijalankan berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi, dan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Apakah tepat apabila cabang produksi yang penting dan menguasai hidup orang banyak di privatisasikan?. Privatisasi sesuai dengan sistem perekonomian nasional Indonesia yang tertuang dalam pasal 33 UUD 1945. Privatisasi sama sekali tidak mengurangi penguasaan negara terhadap cabang-cabang tersebut. Karena dalam privatisasi negara masih menguasai, dan hanya pelaksanaannya saja yang beralih ke pihak swasta. Privatisasi juga mendatangkan keuntungan bagi negara. Keuntungan tersebut adalah dengan privatisasi secara tidak langsung masyarakat akan menjadi lebih sejahtera. Selain itu privatisasi juga akan merubah paradigm pemerintah menjadi good governance, karena privatisasi akan merubah mindset pemerintah dari good government ke good governance.

Page 3 of 12 | Total Record : 112