cover
Contact Name
Fritz Humphrey Silalahi
Contact Email
fritz.humphrey11@gmail.com
Phone
+628111897169
Journal Mail Official
ksmpmisentris@gmail.com
Editorial Address
Jl. Ciumbuleuit No.94, Hegarmanah, Kec. Cidadap, Kota Bandung, Jawa Barat 40141
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Sentris
Core Subject : Economy, Education,
International Politics and Security International Politics and Economy International Organizations and Regime Politics, Media, and Transnational Society
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol. 2 No. 2 (2017): Foreign Policy" : 6 Documents clear
Foreign Cultural Policy: The Lack and Importance of Public Diplomacy in Israel’s Public Image Restoration Nadyara Nafisa
Jurnal Sentris Vol. 2 No. 2 (2017): Foreign Policy
Publisher : Kelompok Studi Mahasiswa Pengkaji Masalah Internasional Unpar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26593/sentris.v2i2.4134.1-13

Abstract

Eksistensi Israel sebagai sebuah entitas negara kerap mengalami berbagai pergolakan sejak kemerdekaanya pada 14 Maret 1947 silam. Berbagai polemik yang mengancam kedaulatan- - secara spesifik keutuhan wilayah geografisnya serta konflik panjang yang dihadapinya dengan Palestina telah menjadi bagian dari prioritas kepentingan nasional yang melahirkan sintesa kebijakan luar negeri yang berorientasi sektor pertahanan dan militer memberikan implikasi pada pemusatan aplikasi konsepsi hard power. Simpati masyarakat internasional terhadap Palestina, korban jiwa yang berjatuhan, dan pemberitaan media internasional terhadap Israel telah memberikan beban baru bagi tubuh Israel sendiri: citra negara yang buruk dengan diskursi yang berkembang dalam masyarakat internasional berupa “penolakan” Israel atas perdamaian dunia melalui kebijakan militer bersakala besar yang memakan banyaknya korban jiwa. Pada saat yang sama, dunia internasional tengah dihadapkan pada era globalisasi, dimana hal ini turut mempengaruhi bentuk diplomasi sebagai instrumen kebijakan negara dengan mengedepankan konsepsi citizen and cultural oriented yang kemudian dikenal sebagai diplomasi publik selain instrumen hard power dalam memperjuangkan kepentingannya. Dalam paper ini, penulis akan membahas pentingnya diplomasi publik sebagai instrumen kebijakan luar negeri Israel yang berbasis budaya dalam membangun kembali citra negaranya dan upaya yang telah dilakukan pemerintah Israel terkait dengan diplomasi publik. Untuk melengkapi pemahaman dalam topik pembahasan paper ini, penulis turut menyertakan perspektif foreign cultural policy dan diplomasi publik. Sebagai konsensus dari pembahasan, penulis berargumen bahwa diperlukan adanya atensi lebih terhadap pentingnya diplomasi publik sebagai instrumen penting dalam upaya membangun citra baru Israel.
The Smiling Buddha: How India refused the Nuclear NonProfileration Treaty / The Smilling Buddha: Penolakan India Terhadap perjanjian non-proliferasi nuklir Naifa Rinzani
Jurnal Sentris Vol. 2 No. 2 (2017): Foreign Policy
Publisher : Kelompok Studi Mahasiswa Pengkaji Masalah Internasional Unpar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26593/sentris.v2i2.4135.14-24

Abstract

Proses India dalam mengkonsepsikan senjata nuklir sebagai alat politik telah melalui berbagai macam dinamika, baik dari faktor internal maupun faktor eksternal. Desakan faktor eksternal, yaitu kondisi keamanan yang terancam, diikuti dengan perdebatan antara pemerintah dan golongan terkemuka di India memunculkan pemahaman yang berbeda mengenai kebijakan nuklir. Kebijakan India dalam pengembangan senjata nuklir dilakukan dengan pendekatan yang berbeda dari pemahaman dunia internasional pada senjata nuklir pada umumnya memunculkan banyak kontroversi, dimana salah satunya adalah tidak menandatangani perjanjian non-proliferasi nuklir. Melalui tulisan ini, akan dibahas bagaimana India membuat kebijakan nuklir berdasarkan pemahaman mereka terkait penggunaan senjata nuklir dan mengapa India menolak menandatangani perjanjian nonproliferasi nuklir.
China’s Departure from Its Long-Standing Non-Interference Foreign Policy in the Middle East Jovita Putri
Jurnal Sentris Vol. 2 No. 2 (2017): Foreign Policy
Publisher : Kelompok Studi Mahasiswa Pengkaji Masalah Internasional Unpar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26593/sentris.v2i2.4136.25-38

Abstract

Sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua setelah Amerika Serikat, Tiongkok telah menunjukkan kehebatannya serta peran aktifnya dalam lingkup global. Pandangan elit Beijing yang selama ini didominasi oleh kebijakan luar negeri yang bersifat non-intervensi, kini telah mengambil jalur yang berbeda. Sebagai negara industri maju, Tiongkok menaruh perhatian lebih pada sektor industri. Maka dari itu, energi merupakan salah satu kepentingan vital yang harus dicapai dan dijaga Tiongkok. Salah satu negara mitra pengekspor minyak ke Tiongkok adalah negara-negara di kawasan Timur Tengah. Berbagai kisruh politik dan konflik internal maupun internasional yang terjadi di kawasan tersebut seakan menjadi peringatan bagi Tiongkok untuk turut andil demi menjaga kepentingan nasionalnya. Relevansi prinsip kebijakan luar negeri non-intervensi Tiongkok ditantang oleh berbagai tuntutan dan tekanan internasional. Oleh karena itu, paper ini bertujuan untuk meninjau relevansi prinsip kebijakan luar negeri non-intervensi Tiongkok terhadap kawasan di Timur Tengah.
Japanese Pacifism Orientation: The Sleeping Asian Tiger or International Peace Keeper? Togu Alexander Nadrian
Jurnal Sentris Vol. 2 No. 2 (2017): Foreign Policy
Publisher : Kelompok Studi Mahasiswa Pengkaji Masalah Internasional Unpar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26593/sentris.v2i2.4137.39-46

Abstract

Perang Dunia 2 diakhiri dengan kekalahan Jepang. Artikel 9 yang ditandatangani Jepang pada 3 Mei 1947 menekan Jepang untuk tidak membangun kekuatan militer sebagai bentuk pengukuhan dirinya atas komitmen yang telah Jepang ciptakan guna mempertahankan perdamaian internasional. Untuk tetap mempertahankan keamanan negara Jepang menandatangani Treaty of Mutual Cooperation and Security between the United States and Japan, sehingga Amerika Serikat menjadi pelindung Jepang. Jepang pun mendapat kembali kepercayaan dari dunia internasional dan Jepang menjalin kerja sama internasional di bidang ekonomi dengan berbagai aktor transnasional, sehingga saat ini Jepang dikategorikan sebagain negara dengan salah satu kekuatan ekonomi terbesar di Asia. Namun, seiring berjalannya waktu dunia internasional dewasa ini mengalami krisis keamanan dari berbagai aktor transnasional seperti terorisme internasional, pengembangan teknologi nuklir Korea Utara, dan ancaman lainnya. Dengan berbagai ancaman yang muncul, juga partner terbaik Jepang, Amerika Serikat kini berada dibawah kepemimpinan Donald Trump yang kebijakannya berorientasi America First, perlukah Jepang kembali menajamkan tajinya, atau tetap pada orientasi pasifismenya?
Kebijakan Luar Negeri Sebagai Manifestasi Eksistensi Negara Wibi Hambalie
Jurnal Sentris Vol. 2 No. 2 (2017): Foreign Policy
Publisher : Kelompok Studi Mahasiswa Pengkaji Masalah Internasional Unpar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26593/sentris.v2i2.4138.47-56

Abstract

International relation can not be separated from state as the main actor. It is common for state to gain interest as much as it needs. Foreign policy becomes a way to communicate with another state. The state can use their foreign policy not only to communicate but also to show their manifestation and existance in the international system. Before producing a foreign policy, a state might want to prepare themselves in order to create a suitable policy for their people. Several factors like geographical position and demography or military strengh might influence the foreign policy. A decent foreign policy should reflect the will of the people. Foreign policy in the other way as a proof of existence could use a tool to deal with others
One Belt One Road and Global Maritime Fulcrum: Between Contradictions and Harmony Catharina Dheani
Jurnal Sentris Vol. 2 No. 2 (2017): Foreign Policy
Publisher : Kelompok Studi Mahasiswa Pengkaji Masalah Internasional Unpar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26593/sentris.v2i2.4139.57-65

Abstract

A story of connectivity, part of the international diplomatic arena with routes, hubs, and corridors has been set as the mantra of the Belt and the Road of China. In 2013, when China’s paramount leader, Mr. Xi took a visit in mostly Central Asia and Southeast Asia, he initiatively proposed to build the Silk Road Economic Belt and the 21st Century Maritime Silk Road. It is then being abbreviated as OBOR (One Belt One Road) which represents China’s audacious vision to transform political region in Europe, Africa, and Asia for decades to come. The initiative absolutely calls for a greater integration of those regions into a cohesive economic area through building infrastructure, increasing cultural exchanges, and broadening trade. This centerpiece of Mr. Xi’s foreign policy has been categorized as the most important feature of the country to show its charm in offering a deeper connection and a bundle of developmental pledges towards all neighboring countries. Indonesia, the south neighboring country of China, is also included in the orbit of convergence with Jokowi’s vision and foreign politics strategies ‘to be a global maritime fulcrum.’ Both are in attempt to reinvigorate what each apprehends as their previous maritime glory. However, there are several limits of cooperation between the two sides, in particular the territorial issue in the South China Sea. Confrontations in fishing and coast guard ships, including a domineering manner of China’s foreign conduct are the current impediments to advance cooperation. Yet, it is evident that Indonesia will need Chinese investments in order to realize the Global Maritime Fulcrum. All in all, this research aims to analyze the concept of connectivity between two sides as well as to explore on how Indonesia and China could maintain their partnership to achieve each specific national goals without stepping on each other’s toes

Page 1 of 1 | Total Record : 6