cover
Article Per Year (5 Year)
All
Home Page
OAI Link
Editorial Team
Contact
Reviewer
Google Scholar
Contact Name
Bobby Kurnia Putrawan
Contact Email
bkputrawan@yahoo.co.id
Phone
+6285290808911
Journal Mail Official
teologireformedindonesia@gmail.com
Editorial Address
Jl. Kemang Utara IX No.10 RT.1/RW.1, Duren Tiga (masuk lewat jl. Kemang Utara X), RT.1/RW.1, Duren Tiga, Pancoran, South Jakarta City, Jakarta 12760
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Teologi Reformed Indonesia
Published by Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia
ISSN : 20885970     EISSN : 2442692X     DOI : https://doi.org/10.47135/jtri
Core Subject : Religion, Humanities, Education, Social,
Religion Humanities Education Languange, Linguistic, Communication & Media Social Sciences
The Jurnal Teologi Reformed Indonesia is the P-ISSN number: 2088-5970, E-ISSN: 2442-692x Published by the Reformed Indonesia College of Indonesia Jakarta. The purpose of publishing this journal is to publish the results of scientific studies and research in the field of Christian theology, especially those characterized by Evangelical Reformed, in the fields of Biblical, Systematics Theology, Christian Education, Church Music, Pastoral, and Mission. The Jurnal Teologi Reformed Indonesia receives articles and reviewers from various sub-disciplines of Theology and Christian education, especially those who are characterized by Evangelical Reformed. The article sent must never or not in the process of being loaded in other journals. Incoming articles must be in accordance with the instructions for the authorized writing or format. The editor will reject an article that does not meet the requirements without further processing. Articles that have met the requirements will be assessed by the appreciation by reviewer through the blind-review process.
Arjuna Subject : Seni dan Humaniora - Studi Agama
Articles 20 Documents
 1   2 
Between Arianism and Pneumatomachi : Solving the Filioque Dilemma in the Nicæno-Constantinopolitan Creed Oswan , Devina Benlin
JURNAL TEOLOGI REFORMED INDONESIA Vol. 11 No. 1 (2021): Vol. 11 No. 1 (2021): Jurnal Teologi Reformed Indonesia (March 2021)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (474.713 KB) | DOI: 10.47135/jtri.v11i1.11

Abstract

Kredo Nicaeno-Constantinopolitan dikenal oleh karena kontroversi penambahan frasa filioque yang dipercaya sebagai penyebab utama Skisma Besar. Gereja Barat percaya bahwa penambahan frasa filioque bersifat wajib, sementara Gereja Timur tetap memgang bahwa Roh Kudus hanya keluar dari Bapa (monopatrism). Di dalam esai ini, penulis hendak mengajukan penjelasan yang bersifat analitik serta model yang dinamakan ‘Equivalential Monotheism’ yang mungkin dapat menfasilitasi klaim dari kedua kubu. Model ini juga sesuai dengan pandangan kontemporer Trinitarianisme Sosial yang sedang berkembang. Berbeda dengan model alternatif yang ada, ‘Equivalential Monotheism’ mengusulkan bahwa relasi di dalam Trinitas bukanlah relasi yang bersifat kausal, temporal, maupun eksplanatoris tetapi referensial. Penulis berargumen bahwa di dalam relasi referensial, baik filioque maupun monopatrism bersifat ekuivalen secara logis dan penambahan maupun pengurangan frasa filioque tidak menimbulkan perubahan yang substan-sial. Nicæno-Constantinopolitan Creed (NCC) is mostly known for the filioque controversy, as it is believed to be the main culprit behind the Great Schism. While the Western Church argues that the phrase filioque is necessary, the Eastern Church holds that the Spirit proceeds only from the Father (monopatrism). In this study I propose an analytic account and a model called ‘Equivalential Monotheism’ that could facilitate the claim of both sides. It is also compatible with the growing contemporary view of Social Trinitarianism. Against its rival models, Equivalential Monotheism proposes that the relation within the Godhead is neither causal, temporal, nor explanatory but referential. I argue that in a referential relation, both filioque and monopatrism are logically equivalent and neither the insertion nor the omission of the phrase filioque involves substantial change.
Stages of Faith Fowler dalam Perspektif Notitia, Assensus-Experientia, dan Fiducia Utami, Asriningrum
JURNAL TEOLOGI REFORMED INDONESIA Vol. 11 No. 1 (2021): Vol. 11 No. 1 (2021): Jurnal Teologi Reformed Indonesia (March 2021)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1129.036 KB) | DOI: 10.47135/jtri.v11i1.12

Abstract

Interaksi antara struktur jiwa dengan notitia, assensus, experientia dan fiducia memberikan gam-baran adanya berbagai macam bentuk kehidupan beriman orang percaya yang kompleks. Kera-gaman ini memberikan indikasi adanya tahapan dalam iman yang perlu dipahami agar orang percaya tidak melihat kehidupan beriman secara sederhana tetapi lebih utuh. Konsep tahapan iman dari James Fowler, yang memberikan pemahaman tentang cara seseorang beriman sesuai struktur jiwanya, dapat dimanfaatkan untuk memahami kompleksitas tersebut namun perlu di-bahasakan dalam perspektif notitia, assensus, experientia, dan fiducia. Sesuai dengan 6 tahapan iman Fowler, ada enam tahapan notitia, dari tidak ada notitia sampai pengetahuan yang bersifat ontologis. Tahapan assensus dan experientia juga terdiri dari 6 tahap, dari yang paling rendah (belum ada assensus) hingga experientia yang tertinggi berupa pengalaman kesatuan dengan Allah. Sedangkan pada aspek fiducia, tahap yang terendah adalah fiducia yang bersifat narsisistik hingga yang tertinggi (kenotis). Interaction between life structure and notitia, assensus, experientia and fiducia portrays various kinds of believers’ life of faith. This variety suggests the existence of the stages of faith which one should know in order to have a fuller picture of the life of faith. James Fowler’s idea of the stages of faith saw that one believes according to one’s life structure. This idea is helpful to understand the complexity of the life of faith, but it needs to incorporate the perspectives of notitia, assensus, experientia, and fiducia. Projected to suit Fowler’s six stages of faith, there are six stages of notitia (from the absence of notitia to the ontological knowledge), six stages of assensus-experientia (from the absence of assesnsus to the union with God), and six stages of fiducia (from the narcissistic kind to the kenotic level).
Another Look At Isaiah 2:1-5 and Micah 4:1-5 : An Integrative Exegetical Approach Lim, Budianto
JURNAL TEOLOGI REFORMED INDONESIA Vol. 11 No. 1 (2021): Vol. 11 No. 1 (2021): Jurnal Teologi Reformed Indonesia (March 2021)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (818.638 KB) | DOI: 10.47135/jtri.v11i1.13

Abstract

Nubuat yang disampaikan oleh nabi Yesaya dan Mikha telah mengejutkan banyak pembelajar Alkitab di seluruh dunia. Sebagian sarjana menganalisa kedua bagian nubuatan tersebut dan mengalami kebingungan. Yang lain berhenti berpikir analitis tanpa terpukau dengan natur Allah di balik perkataan nubuat itu. YHWH bisa jadi memberi perkataan nubuatan tersebut dua kali kepada dua nabi yang berbeda. Dengan begitu, makalah ini berupaya menunjukan bahwa Yesa-ya/Mikha belum tentu saling meminjam pernyataan nubuatan yang ada, meski keduanya bisa ja-di saling mengetahui. Melalui pernyataan ini, para sarjana biblika bisa menganggap kesimpulan tersebut tidak ilmiah atau bahkan terlalu polos. Yang patut disoroti adalah YHWH sudah mem-berikan nubuat tsb untuk mendemonstrasikan kepada umat-Nya akan kebesaran kasih dan anu-gerah-Nya. Hal ini ditampilkan melalui siklus nubuatan penghakiman (gugatan) dan pengharap-an, yang sebenarnya bukan saja diulangi oleh kedua nabi tetapi juga para nabi lainnya. YHWH tidak akan pernah melupakan janji-Nya yang dipaparkan dalam kovenan. The prophecy given by Isaiah and Micah has startled many bible students around the world. Some may have analyzed this passage extensively and get overwhelmed. Some may have stopped in those analytical thinking without being startled by the true God who is behind these prophe-cies. Yahweh may give this prophecy twice to each prophet. Thus, this paper shows that Isa-iah/Micah may not necessarily borrow from each other, though they may be aware of each o-ther’s prophecy. Off course some scholars may think this statement is unscientific or even too naïve. The point is Yahweh has given this prophecy to demonstrate to his people how great his love and grace is. It is shown by the cycle of oracle of judgment and hope, which is repeated not only in both prophets, but also in other prophets. Yahweh will never forget his promise laid down in the covenant.
Gestures in Worship Siah, Lidya
JURNAL TEOLOGI REFORMED INDONESIA Vol. 11 No. 1 (2021): Vol. 11 No. 1 (2021): Jurnal Teologi Reformed Indonesia (March 2021)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (483.416 KB) | DOI: 10.47135/jtri.v11i1.14

Abstract

Setiap tradisi menggunakan ekspresi-ekspresi tertentu dalam ibadah, termasuk gestur. Pemakaian gestur adalah sarana pengutaraan diri, termasuk tradisi ekspresi iman pribadi. Gestur di dalam ibadah secara substantif mewakili supremasi kemanusiaan yang tertebus, dan yang mempersem-bahkan diri dengan syukur sebagai persembahan tubuh yang hidup kepada Allah. Lebih dari itu, sebagai bahasa simbolis iman, gestur membentuk kepercayaan seseorang dan karenanya gestur memengaruhi formasi rohaninya. Penggunaan gestur memengarui formasi individual dan komu-nal. Sebagai sarana formasi iman, penggunaan gestur menuntut kesadaran diri dan tekad, sekaligus kewaspadaan atas tatanan komunal ibadah. Ekspresi ibadah yang menubuh melibatkan aksi yang sadar, saksama, dan bertujuan. Mengasihi Allah mencakup mengasihi sesama melalui gestur tertentu. Akhirnya, penggunaan gestur bukanlah akhir, melainkan sarana ibadah yang sejati. Sebagai hasil dari perjumpaan dengan Allah, ibadah yang sejati berarti perubahan hidup. Each tradition employs certain expressions in worship, including gestures. Gesturing is a way of communicating oneself, including one’s own tradition of faith expressions. Gestures in worship, substantively, represents the supremacy of humanity, who is redeemed, and gratefully offers oneself as an embodied, living sacrifice to God. Moreover, as symbolic language of faith, gestures shapes one’s belief, and therefore affects one’s spiritual formation. Gesturing indeed, affects faith formation, both as individual and communal. As a means of faith formation, gesturing in worship calls for self-awareness and intentionality, while being mindful of communal settings of worship. Embodied expression of worship involves both voluntary and thoughtful, purposeful actions. Loving God requires loving neighbors through chosen gestures. Finally, gesturing is not an end, but a means of true worship. True worship, as a result of meeting with God, implies life changes.
The Interrelationship of Calvin’s John Commentary and the 1559 Institutes on the Lord’s Supper Budhi, Yohanes
JURNAL TEOLOGI REFORMED INDONESIA Vol. 11 No. 1 (2021): Vol. 11 No. 1 (2021): Jurnal Teologi Reformed Indonesia (March 2021)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (917.34 KB) | DOI: 10.47135/jtri.v11i1.15

Abstract

Esai ini memeriksa perkembangan tafsir Calvin atas Perjamuan Kudus dari John Commentary (1553) hingga Institutes edisi 1559, serta menunjukkan keterkaitan antara kedua karya tersebut Esai ini berargumen bahwa John Commentary Calvin memberikan pengaruh yang berarti bagi Ins-titutes edisi 1559. Kuatnya keterkaitan ini secara khusus terlihat dari antara tafsiran Calvin atas Yohanes 6 dalam John Commentary dan Institutes edisi 1559 bagian IV.xvii. Dalam kedua karya ini, Calvin memberi penekanan atas Perjamuan Kudus dengan menggunakan Yohanes 6. Dari sini tampak jelas bagaimana John Commentary memengaruhi formasi doktrin Calvin mengenai Perjamuan Kudus di dalam Institutes edisi 1559. This paper examines how Calvin’s interpretation of the Lord’s Supper was developed from his John Commentary (1553) to the 1559 Institutes, and shows the interrelationship between the Insti-tutes and his John Commentary. This paper argues that his John Commentary had a significant influ-ence in the 1559 Institutes. There is a strong interrelationship between Calvin’s John Commentary (especially on John 6) and his 1559 Institutes (especially in IV.xvii). In both works, Calvin used John 6 in the strong emphasis on the Lord’s Supper. Clearly, his John Commentary influenced the formation of the doctrine of the Lord’s Supper in the 1559 Institutes.
The Relevance of the Three Forms of Unity for Indonesian Churches Salim, Emil
JURNAL TEOLOGI REFORMED INDONESIA Vol. 11 No. 2 (2021): Vol. 11 No. 2 (2021): Jurnal Teologi Reformed Indonesia (September 2021)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (548.026 KB) | DOI: 10.47135/jtri.v11i2.16

Abstract

Saya berargumen bahwa ketiga pasal keesaan masih relevan untuk gereja-gereja Indonesia, khu-susnya yang memiliki akar-akar Reformed Belanda. Alasannya adalah karena menyatakan perse-tujuan terhadap ketiga pasal keesaan akan membuat solid identitas teologi mereka, mengklaim kembali sejarah gereja mereka, dan mempromosikan ekumenisme. Saya juga berargumen bahwa begitu sebuah gereja menyatakan setuju terhadap ketiga pasal keesaan, gereja tersebut tidak perlu menyatakan kesetujuan (secara resmi) kepada standar-standar Reformed lainnya. Akhirnya, saya mengusulkan sebuah Formulir Persetujuan yang dapat digunakan oleh gereja-gereja sekiranya mereka memutuskan untuk menyatakan kesetujuan kepada ketiga pasal keesaan. I argue that the three forms of unity are still relevant for Indonesian churches, especially those that have Dutch Reformed roots. The reason is that the subscription to the three forms of unity would solidify their theological identity, reclaim their ecclesiastical history, and promotes ecu-menism. I also argue that once a church subscribes to the three forms of unity, it doesn’t need to subscribe to other Reformed standards. Lastly, I propose a Form of Subscription that can be used by churches should they decide to subscribe to the three forms of unity.
Reformed Tradition and the Idea of A Global Ethic Suwanto , Wilson
JURNAL TEOLOGI REFORMED INDONESIA Vol. 11 No. 2 (2021): Vol. 11 No. 2 (2021): Jurnal Teologi Reformed Indonesia (September 2021)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (465.19 KB) | DOI: 10.47135/jtri.v11i2.17

Abstract

Fenomena globalisasi mengubah konteks dan cakupan intelektual dalam pemikiran teo-logis dan etis. Paradigma dahulu yang merumuskan etika hanya dalam level komunitas lokal tidak lagi memadai dalam zaman global yang serba terkoneksi seperti sekarang. Permasalahan global membutuhkan pendekatan etika yang bersifat global juga. Teologi Reformed memiliki konsep-konsep teologis yang bisa memberikan jawaban terhadap permasalahan etika kontemporer. Sekalipun globalisasi zaman kini bersifat unik karena kecepatan informasi dan koneksi yang semakin luas, globalisasi itu sendiri bukanlah fenomena baru. Secara historis, komunitas Reformed menghadapi situasi yang serupa, dan ini memberikan pedoman bagaimana komunitas tersebut menghadapi masalah eti-ka yang bersifat global seperti sekarang. Tesis utama artikel ini adalah bahwa teologi Re-formed dapat memberikan sumbangsih melalui konsep-konsep teologisnya dalam disku-si menuju sebuah etika global. Globalization alters the intellectual landscape and the scope for doing theology and ethics. The old paradigm for conceiving ethics at the parochial or communal level only is rendered insufficient by the new and emerging context of a globalized world. Global problems require a global ethic to address it. Reformed theology is equipped with the resources embedded in its history and development to address the ethical issues on a global scale. While unique in its speed and the breadth of its scope in the present time, globalization is by no means a purely contemporary phenomenon. The way the Reformed communities dealt with parallel circumstances in the past will provide guidance in its role in the present circumstances. This essay argues that Reformed theology has much to offer to the present conversation in search of a global ethic.
Plastic Surgery : The Myths Behind Beauty Enhancement Lim, Jessica
JURNAL TEOLOGI REFORMED INDONESIA Vol. 11 No. 2 (2021): Vol. 11 No. 2 (2021): Jurnal Teologi Reformed Indonesia (September 2021)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (453.497 KB) | DOI: 10.47135/jtri.v11i2.18

Abstract

Isu-isu seputar operasi plastik bukan sekadar isu personal. Studi ini bertujuan untuk meneliti konteks sosio-kultural yang lebih luas dari operasi plastik. Fokus studi ini adalah penggunaan operasi plastik sebagai kosmetik untuk “meningkatkan” tampilan seseorang yang tidak berkaitan dengan operasi rekonstruksi setelah kecelakaan traumatis atau penyakit atau karena cacat. Asumsi-asumsi yang mendasari operasi plastik dan faktor-faktor eksternal yang memengaruhi penggunaan operasi plastik terutama dalam budaya patriarkal adalah fokus utama studi ini. Isu-isu otonomi dan kontrol dibahas dengan kerangka pemikiran feminis, menyingkap mitos-mitos di balik apa yang dapat ditawarkan operasi plastik, serta kekuatan tersembunyi yang bekerja untuk menindas kaum wanita. Studi ini terutama mengkritik gagasan “idealisme kecantikan feminin” yang memperdaya yang telah tertanam dalam budaya modern kini. Isu-isu lain seperti reduksi identitas dan ketidaksetaraan sosial dalam penggunaan operasi plastik juga dibahas. Akhirnya, penelitian ini menjabarkan kerangka etis dan posisi untuk dipertimbangkan sebelum seseorang memutuskan untuk melakukan operasi plastik. Issues surrounding plastic surgery are not simply personal. The current study aims to examine the wider socio-cultural context where plastic surgery lies. This study focuses on plastic surgery as cosmetics, where the use of it is simply to “enhance” one’s look and is not attributed to reconstructive surgery after a traumatic accident or illness or because of defect. Assumptions underlying plastic surgery and external factors influencing how it is viewed or used especially in a male-dominant society are the main focus of this study. Issues of autonomy and control are discussed with a feminist framework in mind, unmasking the myths behind what plastic surgery offers, and the insidious power at work which serves to oppress women. This study primarily criticizes the elusive notion of “feminine beauty idealism” which has been embedded deeply in our modern culture. Other issues such as reduction of identity and social inequalities surrounding plastic surgery are also brought to light. After a great length of discussion, this study lays out its ethical framework and stance to consider before one decides to undergo a plastic surgery.
Pembacaan Sabat di Kejadian 1 dalam Konteks Israel Abad ke-6 SM Huang, Yasuo
JURNAL TEOLOGI REFORMED INDONESIA Vol. 11 No. 2 (2021): Vol. 11 No. 2 (2021): Jurnal Teologi Reformed Indonesia (September 2021)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (526.125 KB) | DOI: 10.47135/jtri.v11i2.19

Abstract

Artikel ini mengusulkan pembacaan Sabat di Kejadian 1 berdasarkan konteks Israel abad ke-6 SM yang berkaitan erat dengan pembuangan. Saya mengupas topik ini dengan membaca Kejadian 1 sesuai bentuk akhir dan mempertimbangkan konteks historis, sosial, dan religius Israel di abad ke-6 SM. Akhirnya, pembacaan berikut menguak signifikansi Sabat di Kejadian 1 bagi Israel purba. This article argues for a reading of the Sabbath in Genesis 1 based on Israel's context in the 6th century BC, which is closely related with the exile. I analyze this topic by reading Genesis 1 in the final form and consider the historical, social, and religious contexts of Israel in the 6th century BC. Finally, this reading discovers the significance of Sabbath in Genesis 1 for ancient Israel.
“Shared Purpose” and “Surprising/Annoying Unpredictability” in Calvin’s Reading on the New Testament’s Uses of the Old Testament Martoyo, Ihan
JURNAL TEOLOGI REFORMED INDONESIA Vol. 11 No. 2 (2021): Vol. 11 No. 2 (2021): Jurnal Teologi Reformed Indonesia (September 2021)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (333.068 KB) | DOI: 10.47135/jtri.v11i2.20

Abstract

Ada pertanyaan berulang tentang bagaimana menyikapi relasi antara Perjanjian Baru dan Kitab Ibrani (Perjanjian Lama) dan bagaimana PB menggunakan teks dari PL. Di sini saya menunjukkan bahwa walaupun Calvin bekerja dengan suatu kerangka “tujuan/arti bersama” (kontinuitas) dalam interpretasi PL-PB, tetapi Calvin juga memperhatikan “ketakterdugaan yang mengejutkan/mengganggu” dalam relasi PL-PB. Saya juga akan menunjukkan, dengan menggunakan Teori Informasi, bahwa kombinasi antara “pengertian bersama” dan “ketakterdugaan” adalah bagian dari semua komunikasi yang berarti. Akibatnya, usaha interpretasi yang baik bukan hanya harus menyadari suatu kerangka pola pengertian bersama antara PL-PB, melainkan juga memperhatikan ketakterdugaan yang mengejutkan—bahkan mengganggu di dalamnya, yang dalam kasus Calvin justru menuntun pada kunci untuk mengerti teks PB. There is a perennial question on how to perceive the relation of the New Testament and the Hebrew Bible (Old Testament) and how the NT writers use OT texts. Here, I argue that although John Calvin operates with a framework of “shared purpose” (continuity) in the OT-NT interpretation, Calvin also notices “surprising/annoying unpredictability” (discontinuity) in the OT-NT relation. I will further argue, with the aid of Information Theory, that this combination of “shared purpose” and “unpredictability” are the basic ingredients of any meaningful communication. Thus, proper interpretation efforts should not only be aware of a shared pattern/purpose of OT-NT relation, but also paying attention to the surprising—and sometimes annoying—unpredictability therein, which in Calvin case, led him to the key to unpack the meaning of NT texts.

Page 2 of 2 | Total Record : 20

 1   2 

Filter by Year

2020 2021


Reset
Filter By Issues
All Issue Vol. 11 No. 2 (2021): Vol. 11 No. 2 (2021): Jurnal Teologi Reformed Indonesia (September 2021) Vol. 11 No. 1 (2021): Vol. 11 No. 1 (2021): Jurnal Teologi Reformed Indonesia (March 2021) Vol. 10 No. 2 (2020): Vol.10 No.2 Jurnal Teologi Reformed Indonesia (September 2020) Vol. 10 No. 1 (2020): Vol.10 No.1 Jurnal Teologi Reformed Indonesia (March 2020)