Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

Tough, Paul. How Children Succeed: Grit, Curiosity, and the Hidden Power of Character Martoyo, Ihan
JURNAL TEOLOGI REFORMED INDONESIA Vol. 10 No. 1 (2020): Vol.10 No.1 Jurnal Teologi Reformed Indonesia (March 2020)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (323.536 KB) | DOI: 10.47135/jtri.v10i1.3

Abstract

Kasus Galileo sering secara populer digunakan untuk menunjukkan ketegangan atau bahkan kontradiksi antara sains dan iman. Saya akan menunjukkan di sini bahwa yang tampak seperti kontradiksi itu sebenarnya muncul dari berbagai ketidakpastian dalam sains, dalam interpretasi Alkitab, ketidakpastian sejarah/politik, dan ketidakpastian sastra. Akibatnya, kasus Galileo bukanlah menunjukkan kontradiksi inheren dalam sains vs. iman, melainkan perkembangan pengertian dalam sains dan interpretasi Alkitab, yang diselingi oleh konteks sejarah dan sastra yang rumit. Pelajaran dari kasus Galileo mendorong kita untuk mengembangkan keterbukaan dan kerendahan hati yang sangat dibutuhkan untuk hidup secara integratif sebagai ilmuwan atau akademisi Kristen. The Galileo Affair has been popularly used to show the tension or even contradictions between science and faith. I will argue here that the seemingly contradictions stem from uncertainties in science, in the interpretation of Scripture, historical/political, and literary uncertainties. Thus the Galileo affair demonstrates not the inherent contradictions in science vs. faith, but the ever evolving understanding in science and biblical interpretation, interspersed by complex historical and literary context. The lesson from the Galileo affair prompts us to cultivate the openness and humility critically needed to live an integrated life as Christian scientists or academicians.
“Shared Purpose” and “Surprising/Annoying Unpredictability” in Calvin’s Reading on the New Testament’s Uses of the Old Testament Martoyo, Ihan
JURNAL TEOLOGI REFORMED INDONESIA Vol. 11 No. 2 (2021): Vol. 11 No. 2 (2021): Jurnal Teologi Reformed Indonesia (September 2021)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (333.068 KB) | DOI: 10.47135/jtri.v11i2.20

Abstract

Ada pertanyaan berulang tentang bagaimana menyikapi relasi antara Perjanjian Baru dan Kitab Ibrani (Perjanjian Lama) dan bagaimana PB menggunakan teks dari PL. Di sini saya menunjukkan bahwa walaupun Calvin bekerja dengan suatu kerangka “tujuan/arti bersama” (kontinuitas) dalam interpretasi PL-PB, tetapi Calvin juga memperhatikan “ketakterdugaan yang mengejutkan/mengganggu” dalam relasi PL-PB. Saya juga akan menunjukkan, dengan menggunakan Teori Informasi, bahwa kombinasi antara “pengertian bersama” dan “ketakterdugaan” adalah bagian dari semua komunikasi yang berarti. Akibatnya, usaha interpretasi yang baik bukan hanya harus menyadari suatu kerangka pola pengertian bersama antara PL-PB, melainkan juga memperhatikan ketakterdugaan yang mengejutkan—bahkan mengganggu di dalamnya, yang dalam kasus Calvin justru menuntun pada kunci untuk mengerti teks PB. There is a perennial question on how to perceive the relation of the New Testament and the Hebrew Bible (Old Testament) and how the NT writers use OT texts. Here, I argue that although John Calvin operates with a framework of “shared purpose” (continuity) in the OT-NT interpretation, Calvin also notices “surprising/annoying unpredictability” (discontinuity) in the OT-NT relation. I will further argue, with the aid of Information Theory, that this combination of “shared purpose” and “unpredictability” are the basic ingredients of any meaningful communication. Thus, proper interpretation efforts should not only be aware of a shared pattern/purpose of OT-NT relation, but also paying attention to the surprising—and sometimes annoying—unpredictability therein, which in Calvin case, led him to the key to unpack the meaning of NT texts.
INTELEKTUALITAS, GAIRAH & KERENDAHAN HATI: SIKAP TERHADAP SAINS DAN TEKNOLOGI [INTELLECTUALITY, PASSION & HUMILITY: ATTITUDES TOWARDS SCIENCE AND TECHNOLOGY] Ihan Martoyo; Eric Jobiliong; Wiryanto Dewobroto; Ukur Sembiring; Setiawan Sutanto; Rudy Hartono
Polyglot Vol 15, No 2 (2019): July
Publisher : Universitas Pelita Harapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19166/pji.v15i2.1085

Abstract

Some would claim that science and technology contradict the life of faith, or that the one is more important or higher than the other. Such dualism/dichotomy may result from the pressure of atheism or the friction between various convictions in which scientists work. This writing suggests a healthier attitude towards science and technology for people of faith, where science, technology, and faith are approached without the crippling sacred/secular dichotomy. The concept of cultural mandate (Kuyper) provides a model for cultivating intellectuality, passion and humility as a divine mandate in faithful stewardship towards nature. A well-rounded scientist or engineer must be also aware of the ethical challenges in his or her field.BAHASA INDONESIA ABSTRAK: Ada yang mengklaim bahwa sains dan teknologi berkontradiksi dengan kehidupan iman, atau bahwa yang satu lebih penting atau lebih tinggi dari yang lain. Dualisme/dikotomi demikian dapat muncul dari tekanan paham ateisme atau gesekan dari berbagai keyakinan tempat ilmuwan beraktivitas. Tulisan ini mengusulkan suatu sikap yang lebih sehat terhadap sains dan teknologi untuk orang percaya, di mana sains, teknologi dan iman didekati tanpa dikotomi sakral/sekuler yang melumpuhkan. Konsep mandat budaya (Kuyper) menyediakan model untuk mengusahakan intelektualitas, gairah & kerendahan hati sebagai mandat ilahi dalam penatalayanan yang setia kepada alam. Seorang ilmuwan atau insinyur yang lengkap juga harus peka pada berbagai tantangan etika dalam bidangnya.
LOKAKARYA FUN LEARNING DENGAN FLOW, GRIT & GROWTH MINDSET [FUN LEARNING WORKSHOP WITH FLOW, GRIT & GROWTH MINDSET] Ihan Martoyo; Marincan Pardede; Julinda Pangaribuan; Mario Gracio A. Rhizma; Henri Putra Uranus; Junita Junita; Herman Kanalebe; Rocky T. Putra; Heri Yulian; Rianto Mangunsong; Rosmaya Nainggolan
Jurnal Sinergitas PKM & CSR Vol 3, No 1 (2018): October
Publisher : Universitas Pelita Harapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Three theories in educational psychology: (1) Flow (Mihaly Csikszentmihalyi), (2) Grit (Angela Duckworth), dan (3) Growth mindset (Carol Dweck) open the possibility for fun learning. Flow according to Csikszentmihalyi happens when the challenge in an activity is balanced with the necessary skill, so that one can experience flow during the activity. This feeling of flow is actually what makes learning fun. The concept of grit consists of two components: (1) perseverance and (2) passion for long term goals. Duckworth discovered that grit can predict success better than mere intellect (IQ). Growth mindset is a psychological state where one is not afraid to look stupid and therefore is more open to challenges because he/she focuses more on the learning process rather than momentary results. In the workshop in one private school in Tangerang, the three concepts were explained with concrete examples from movies and other illustrations. Furthermore, we did a demonstration in optical physics with simple equipments to simulate natural phenomena: A rainbow, the red evening sky, and laser deflection due to refractive index difference. Pre-test and post-test results after the fun learning workshop show that the concept of flow and grit is easier to comprehend by the teachers than growth mindset. After the workshop, there is an increase in the opinion that math and physic lessons can also be fun.
Perbandingan Teori 4 Dimensi Keagamaan (4BDRS) dan Teori Tahapan Iman Fowler untuk Riset Psikologi Agama di Indonesia: Perbedaan, Perkembangan Terkini dan Implikasi Lindawati Lindawati; Ihan Martoyo
Indonesian Journal for The Psychology of Religion Vol 1 No 2 (2021)
Publisher : Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (315.149 KB) | DOI: 10.24854/ijpr585

Abstract

A lot of studies in psychology of religion have been conducted in Indonesia, however not many used tested theoretical frameworks. In this short review, two theories that are growing in international research and received considerable attention in psychology of religion studies in Indonesia, will be surveyed and compared. The 4 Basic Dimensions of Religiousness Scale (Saroglou) provides a multidimensional approach to religiousness that involves the aspects of: (1) Cognitive (Believing), (2) Affective (Bonding), (3) Behavior, and (4) Community (Belonging). On the other side, Fowler’s Stages of Faith offers a framework to discuss the psychological structure that becomes the vessel for religious manifestation at a certain faith stage apart from the content of a specific faith. This survey and comparison will help provide options for more systematic research on psychology of religion with a more tested theoretical framework in Indonesia.
Lokakarya Fun Learning Bersama Sma Favorit Di Jakarta: Teori Grit Dan Growth Mindset Lebih Sulit Dari Flow Ihan Martoyo; Mario Gracio A. Rhizma; Rocky T. Putra; Rianto Mangunsong; Heri Yulian; Marincan Pardede; Junita Junita; Julinda Pangaribuan; Henri P. Uranus; Herman Kanalebe
Prosiding Konferensi Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat dan Corporate Social Responsibility (PKM-CSR) Vol 2 (2019): Peran Perguruan Tinggi dan Dunia Usaha dalam Mempersiapkan Masyarakat Menghadapi Era I
Publisher : Asosiasi Sinergi Pengabdi dan Pemberdaya Indonesia (ASPPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (241.691 KB) | DOI: 10.37695/pkmcsr.v2i0.494

Abstract

Program Studi Teknik Elektro Universitas Pelita Harapan secara berkala melakukan lokakarya bersama berbagai sekolah untuk membagikan konsep fun learning, yang bertumpu pada 3 teori psikologi: teori flow, teori grit dan teori growth mindset. Walaupun proses pembelajaran modern sudah melibatkan banyak teknologi digital, kualitas pembelajaran itu sendiri diyakini lebih ditentukan oleh teori psikologi yang diterapkan daripada teknologi yang dipakai. Lokakarya kali ini dilakukan bersama guru-guru dari sebuah SMA favorit di Jakarta. Konsep fun learning yang dipresentasikan dilanjutkan dengan diskusi tentang kesulitan menerapkan konsep-konsep tersebut dalam aktivitas belajar yang sesungguhnya. Selain itu, dalam lokakarya juga dilakukan demonstrasi konsep-konsep fisika optik dengan laser dan kotak cahaya sederhana. Demonstrasi dengan peralatan sederhana ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran yang menyenangkan. Diskusi dengan para guru menunjukkan bahwa konsep grit dan growth mindset lebih sulit dipraktikkan dibandingkan konsep flow. Hasil pre-test dan post-test juga menunjukkan bahwa konsep flow lebih mudah ditangkap daripada teori grit dan growth mindset.
Kuliah dan Diskusi Online untuk Komunitas dengan Youtube Analytics Ihan Martoyo
Prosiding Konferensi Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat dan Corporate Social Responsibility (PKM-CSR) Vol 3 (2020): Peran Perguruan Tinggi dan Dunia Usaha Dalam Pemberdayaan Masyarakat Untuk Menyongsong
Publisher : Asosiasi Sinergi Pengabdi dan Pemberdaya Indonesia (ASPPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (291.786 KB) | DOI: 10.37695/pkmcsr.v3i0.1089

Abstract

Pandemi Covid-19 memaksa seluruh perkuliahan di Indonesia untuk beralih kepada modus online. Di satu sisi, materi informasi akademis yang muncul di kanal terbuka seperti Youtube menjadi berlipatganda. Di lain pihak, perlu dilakukan analisis tentang minat komunitas terhadap materi ajar lewat kanal online seperti Youtube dan dampaknya. Untuk meneliti hal tersebut, sekaligus menyediakan materi ajar dan akademis online kepada masyarakat, sejak Maret 2020 sebuah kanal Youtube dipakai untuk memuat berbagai kandungan materi akademis demi layanan komunitas. Materi tersebut mencakup bidang teknik elektro, diskusi filsafat, diskusi teologi dan topik khusus lainnya, seperti online learning. Format materi bervariasi dari format sekitar 5 – 10 menit, format diskusi sekitar 20-30 menit, dan format kuliah panjang sekitar 1 jam. Dengan analisis lewat data di Youtube Analytics dapat disimpulkan bahwa materi dengan durasi pendek di bawah 10 menit dan format diskusi 20-30 menit lebih diminati daripada kuliah panjang. Topik yang lebih menyentuh minat yang luas seperti filsafat atau teologi mendapatkan jumlah pemirsa yang lebih banyak dibandingkan topik sempit seperti teknik, ekonomi dan media. Pada bulan September 2020, kanal Youtube telah mempunyai 124 cuplikan video dan mendapatkan sekitar 100 views/hari. Dari bulan Maret-September 2020, telah terjadi penambahan 196 subscriber, yaitu 70% dari total 280 subscriber yang ada.
Diferensiasi Diri: Berkontribusi Lebih Besar Terhadap Kesehatan Mental dalam Pandemi Dibandingkan Religiositas? Yonathan Aditya; Ihan Martoyo; Yulmaida Amir
Jurnal Studi Pemuda Vol 11, No 1 (2022): Kaum Muda dan Kerentanan di Era Pandemi
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/studipemudaugm.74817

Abstract

Beberapa riset menunjukkan kontribusi religiositas terhadap kesehatan mental selama pandemi tidak selalu seperti yang diharapkan. Penelitian ini berusaha melihat kaitan konsep diferensiasi diri dari teori keluarga Bowen dalam kontribusi religiositas terhadap kesehatan mental. Responden penelitian ini berjumlah 1574 mahasiswa dari 16 universitas di Jabodetabek. Hasil hierarchical multiple regression menemukan dimensi behaving dari 4-BDRS justru memberikan kontribusi negatif pada kesehatan mental sedangkan dimensi maintaining identity dari diferensiasi diri berkontribusi positif pada kesehatan mental.  Implikasi dari hasil ini akan dijelaskan.  Some research shows that the contribution of religiosity to mental health during a pandemic is not always as expected. This study seeks to examine the relationship between the concept of self-differentiation from Bowen's family theory in the contribution of religiosity to mental health. The respondents of this research were 1574 students from 16 universities in Jabodetabek. The results of hierarchical multiple regression found that the behaving dimension of 4-BDRS actually gave a negative contribution to mental health, while the dimension of maintaining identity from self-differentiation contributed positively to mental health. The implications of these results will be explained.
Diferensiasi Diri: Berkontribusi Lebih Besar Terhadap Kesehatan Mental dalam Pandemi Dibandingkan Religiositas? Yonathan Aditya; Ihan Martoyo; Yulmaida Amir
Jurnal Studi Pemuda Vol 11, No 1 (2022): Kaum Muda dan Kerentanan di Era Pandemi
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/studipemudaugm.74817

Abstract

Beberapa riset menunjukkan kontribusi religiositas terhadap kesehatan mental selama pandemi tidak selalu seperti yang diharapkan. Penelitian ini berusaha melihat kaitan konsep diferensiasi diri dari teori keluarga Bowen dalam kontribusi religiositas terhadap kesehatan mental. Responden penelitian ini berjumlah 1574 mahasiswa dari 16 universitas di Jabodetabek. Hasil hierarchical multiple regression menemukan dimensi behaving dari 4-BDRS justru memberikan kontribusi negatif pada kesehatan mental sedangkan dimensi maintaining identity dari diferensiasi diri berkontribusi positif pada kesehatan mental.  Implikasi dari hasil ini akan dijelaskan.  Some research shows that the contribution of religiosity to mental health during a pandemic is not always as expected. This study seeks to examine the relationship between the concept of self-differentiation from Bowen's family theory in the contribution of religiosity to mental health. The respondents of this research were 1574 students from 16 universities in Jabodetabek. The results of hierarchical multiple regression found that the behaving dimension of 4-BDRS actually gave a negative contribution to mental health, while the dimension of maintaining identity from self-differentiation contributed positively to mental health. The implications of these results will be explained.