cover
Contact Name
Saifuddin Zuhri Qudsy
Contact Email
esensia.fusapuin@gmail.com
Phone
+6281804192371
Journal Mail Official
esensia.fusapuin@gmail.com
Editorial Address
Faculty of Ushuluddin dan Islamic Thought, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 698W+C49, Jalan Laksda Adi Sucipto, Papringan, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 55281.
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin
ISSN : 14113775     EISSN : 25484729     DOI : https://doi.org/10.14421/esensia
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin is a multidisciplinary journal that publishes articles of the highest quality and significance in all areas of Islamic theology (uṣūl al-dīn). The journal covers research on the immense significance of Islam in the context of religious life to which it has delivered unique perspectives, approaches, and ranges of contributions that are of abiding interest. ESENSIA encourages the exchange of ideas between experts, scholars, researchers, practitioners, clerics, and students who are active in all areas of Islamic theology and the multidisciplinary field. Research areas covered in the journal: 1. Comparative religions and socio-religious dynamics 2. Digital culture among Muslim cyber-communities 3. Islamic philosophy and mysticism 4. Islamic-theological literature and literary criticism 5. Islamism, communal discernment, and indigenous spiritual practices 6. Muslim minorities and religious citizenship ESENSIA offers authors and readers high visibility, broader readership, clear copyediting, rigorous peer-review, and independence from competing interests. In addition to research articles, ESENSIA also covers research in the form of fieldwork investigations or ongoing reports. In this way, the journal aims to be the voice of the worldwide Islamic-theological community.
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol. 18 No. 2 (2017)" : 8 Documents clear
Sufism of Archipelago: History, Thought, and Movement Syaifan Nur; Dudung Abdurahman
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol. 18 No. 2 (2017)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/esensia.v18i2.1476

Abstract

The development of Islam tend to shows the diversity according to the age and socio-cultural region of its adherents. This is the case with the development of Islam in the archipelago, which shows a diversity in the pattern of development of the teachings and religious aspects, along with the diversity of its society which includes various ethnicities and cultures. One such pattern of Islam is Sufism, the Islamic aspect which emphasizes the inner or esoteric aspects, based on the Sufi doctrine and comprehension. This paper focuses on the development of Sufism in the archipelago, viewed in terms of history, thought, and tarekat movements. The archipelago Sufism is studied in historical and socio-anthropological perspectives. Broadly speaking, it can be stated that Firstly, in the process of Islamization of the archipelago, Sufism acts as a media of Islamic society carried out by the Sufi in their preaching about the XIII century until the XVI century; Second, the development of Sufism in the archipelago in the XVII century until the XIX century experienced a shift in the pattern of development, role and movement. Their role is mainly to establish the spiritual aspect of religious life and development, but through the power and social communities of the tarekat they can also carry out social movements, especially in mobilizing the people’s struggles against Dutch colonialism in the nineteenth century. Finally, the Sufism of Nusantara (Archipelago) that is netted in tarekat movements continues to show its wider role in the twentieth century. Some tarekat communities not only maintain religious traditions that are spiritual, but also work in education, economics, and politics. Thus, the contribution of sufism is very beneficial to society in general, both in order to fulfill their spiritual needs and worldly life.[Perkembangan Islam selalu menunjukkan keragaman sesuai zaman dan wilayah sosial-budaya masyarakat pemeluknya. Sebagaimana Islam di Nusantara menunjukkan keragaman pola pengembangan ajaran dan aspek keagamaan itu adalah seiring masyarakatnya yang meliputi beragam etnis dan budaya. Salah satu pola keislaman tersebut adalah sufisme, yakni aspek keislaman yang lebih menekankan segi batiniah atau esoterik berdasarkan faham dan ajaran para Sufi. Tulisan ini memfokuskan pembahasannya tentang perkembangan sufisme di Nusantara, baik dilihat dari segi sejarah, pemikiran, maupun gerakan-gerakan tarekat. Sufisme Nusantara tersebut dipelajari dalam perspektif sejarah dan sosio-antropologis. Secara garis besar dapat dinyatakan, bahwa Pertama, dalam proses islamisasi Nusantara, sufisme berperan sebagai media pengislaman masyarakat yang dilakukan oleh para sufi dalam dakwahnya pada sekitar abad XIII hingga abad XVI; Kedua, Perkembangan sufisme di Nusantara pada abad XVII hingga abad XIX mengalami pergeseran pola pengembangan, peranan maupun gerakannya. Peranan mereka yang terutama memantapkan aspek spiritual bagi kehidupan dan perkembangan keagamaan, tetapi melalui kekutaan serta komunitas sosial tarekat juga mereka dapat melakukan gerakan sosial, khususnya gerakan-gerakan sosial yang dimobilisasi seiring perlawanan-perlawanan rakyat Nusantara terhadap kolonialisme Belanda pada abad XIX. Ketiga, Sufisme Nusantara yang terjaring dalam gerakan-gerakan tarekat terus menunjukkan peranannya yang lebih luas pada abad XX. Beberapa komunaitas tarekat bukan hanya mempertahankan tradisi keagamaan yang bersifat spiritual, melainkan juga bergerak di bidang pendidikan, ekonomi, dan politik. Dengan demikian, kontribusi sufisme akan sangat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan ruhaniah mereka.]
The Face of Mountainous Islam: The Dynamic of Islam in the Dieng Mountains Wonosobo, Central Java, Indonesia Ahmad Salehudin; Moch. Nur Ichwan; Dicky Sofjan
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol. 18 No. 2 (2017)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/esensia.v18i2.1477

Abstract

This article elaborates Mountainous Islam in the Dieng Mountains. Today Dieng is a Muslim society. However the historical accounts about the way Islam entered Dieng are still debatable. It becomes more difficult since there is no any support data that is quite reliable. Based on oral history and Islamic phenomenon, there are three important finding showed. First, the history of Islam in the Dieng Mountains is provided clear information that Islam entered to the Dieng not merely by the acculturation process as commonly understood, but also colonialization.  Second, the Islamic tradition in the Dieng Mountains is the result of the negotiation of Islamic traditions and Hindu-Buddhist that first grew in Dieng, and present traditions that come to the Dieng Mountains. Islam Dieng creatively adopts and adapts new traditions in line with the improvement of society’s economic condition. Third, Islamic expression displayed by the Dieng community is a portrait of a mountainous Islam that is adaptive, dynamic, and open to change. Their religious expression will continue to change along with the development of creativity that is influenced by economic development, educational attainment, their encounters with outsiders, and the natural vulnerabilities they face as people living in active and often life-threatening mountains.[Artikel ini menguraikan Islam Pegunungan di Dieng. Hari ini Dieng adalah sebuah masyarakat Muslim. Namun catatan sejarah tentang cara masuknya Islam Dieng masih diperdebatkan. Ini menjadi lebih sulit karena tidak ada data pendukung yang cukup andal. Berdasarkan sejarah lisan dan fenomena Islam, ada tiga temuan penting yang ditunjukkan. Pertama, sejarah Islam di Pegunungan Dieng memberikan informasi yang jelas bahwa Islam masuk ke Dieng tidak hanya dengan proses akulturasi seperti yang biasa dipahami, tapi juga kolonialisasi. Kedua, tradisi Islam di Pegunungan Dieng adalah hasil negosiasi tradisi Islam dan Hindu-Budha yang datang pertama kali ke Dieng. Islam Dieng secara kreatif mengadopsi dan menyesuaikan dengan dan menciptakan tradisi baru seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi masyarakat. Ketiga, ekspresi Islam yang ditampilkan oleh masyarakat Dieng merupakan potret sebuah agama Islam pegunungan yang adaptif, dinamis, dan terbuka untuk berubah. Ekspresi religius mereka akan terus berubah seiring dengan perkembangan kreativitas yang dipengaruhi oleh pembangunan ekonomi, pencapaian pendidikan, perjumpaan mereka dengan orang luar, dan kerentanan alami yang mereka hadapi sebagai orang yang tinggal di pegunungan yang aktif dan sering mengancam jiwa.]
The Doctrine of Logos Within Ibn ‘Arabi Mystical Philosophy Muzairi Muzairi; Novian Widiadharma
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol. 18 No. 2 (2017)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/esensia.v18i2.1478

Abstract

There are no less than twenty-two terms which Ibn ‘Arabi uses to designate what one might call a Mohammedan Logos. References to these terms, with explanations, will be given later. The reason, why we find Ibn‘Arabi using such a large collection of terms for one thing, is twofold. In the first place, it is due to the fact that he derived his material from so many divergent sources, preserving, so far as possible, the terminology of each source. Here, e.g., he is using terms borrowed from Sufis, scholastic theologians, Neo-platonists, the Qur’an and so on. Secondly, his pantheism enables him to use the name of anything for the One Reality which is the ultimate ground of all things. The terms to below refer to different aspects of the One Reality which is now regarded as the Logos.[Tidak kurang dari sekitar 22 istilah yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi untuk merujuk apa yang disebut sebagai “logos Muhammad”. Beberapa referensi bagi istilah tersebut dengan penjelasannya akan dijelaskan berikutnya.  Terdapat dua alasan utama yang menjadikan Ibn ‘Araby menggunakan puluhan istilah untuk menyebut hal yang sama. Pertama, dikarenakan adanya fakta bahwa ia mengambil seluruh material dari berbagai macam sumber dan sebisa mungkin mempertahankan istilah dari masing-masing sumber. Dalam hal ini, ia meminjam istilah dari kelompok sufi, teolog skolastik, neo-platonis, al-Qur ’an dan yang lainnya. Kedua, panteisme-nya memungkinkan untuk memakai beragam nama sesuatu bagi satu realitas yang menjadi pusat dari segala sesuatu. Istilah-istilah yang begitu banyak merupakan aspek-aspek yang berbeda dari Realitas Yang Satu yang kini dipandang sebagai Logos.]
Tanawwu' Ma'ani al-Libas fi al-Qur'an (Dirasat al-Tafsir al-Maudu'iy) Syofrianisda Syofrianisda
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol. 18 No. 2 (2017)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/esensia.v18i2.1479

Abstract

Penelitian ini ditekankan dan didasarkan pada realita dan pemahaman masyarakat yang penulis temukan bahwa mereka memahami “libas” hanyalah sebatas penutup badan saja, atau dalam artikata “pakaian”. Sementara didalam al-Qur’an, pengungkapan kata libas itu bermacam-macam, ada yang diungkapkan dengan ungkapan “libasul khauf”, ada juga dengan istilah "libasul jû’”. Penelitian ini ditekankan pada kajian penafsiran ayat-ayat “libas” dalam al-Qur’an, di mana lafaz al-Qur’an yang berasal dari pecahan kata yang sama (dalam hal ini ayat-ayat “libas”) sehingga terjadi kekeliruan dan salah tanggap dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Dalam kajian ulum al-Qur’an hal ini dinamakan dengan wujuh, yaitu lafaz musytarak yang muncul berulang kali dengan makna yang beragam.
Models of Land Ownership in Islam: Analysis on Hadis Ihyā’ al-Mawāt Ahmad Suhendra
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol. 18 No. 2 (2017)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/esensia.v18i2.1480

Abstract

This article discusses land ownership from the perspective of tradition, especially the tradition of the revival of the dead earth (Iḥya ‘al-Mawāt). This relates to the land conflicts that often occur, so it requires a religious perspective in land ownership. Therefore, the issue raised is how the ownership of land in the Hadith? How Hadith provide a solution to the land dispute? To answer it used historical approach, hermeneutic, and sociology. Turns ownership in Islam there are three, namely individual ownership, common ownership and state ownership. Islam recognizes individual ownership is perfect (al-milk al-tāmm) and imperfect (al-milk al-nāqis). Criteria of land ownership in the Hadith oriented aspects of justice and benefits (maslaḥlah). Hadith Iḥya ‘al-Mawāt give you an idea that the Prophet prevent conflicts caused by land disputes by explaining the status and ownership of land with cultural framework. Efforts were made persuasively by a cultural approach, in addition to the structural approach.[Artikel ini membahas tentang kepemilikan tanah dari perspektif tradisi, terutama tradisi kebangkitan kembali bumi yang mati (Iḥya ‘al-Mawāt). Hal ini berkaitan dengan konflik tanah yang kerap terjadi, sehingga membutuhkan perspektif agama dalam kepemilikan tanah. Karena itu, masalah yang diangkat adalah bagaimana kepemilikan tanah dalam Hadis? Bagaimana Hadis memberikan solusi terhadap sengketa tanah? Untuk menjawabnya digunakan pendekatan historis, hermeneutik, dan sosiologi. Ternyata kepemilikan dalam Islam ada tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan bersama dan kepemilikan negara. Islam mengakui kepemilikan individu sempurna (al-milk al- tāmm) dan tidak sempurna (al-milk al-nāqis). Kriteria kepemilikan tanah dalam hadis berorientasi aspek keadilan dan tunjangan (maslaḥlah). Hadis Iḥya ‘al-Mawāt memberi Anda gagasan bahwa Nabi  mencegah  konflik yang  disebabkan  oleh  sengketa  tanah  dengan  menjelaskan  status  dan kepemilikan tanah dengan kerangka budaya. Upaya dilakukan secara persuasif dengan pendekatan budaya, disamping pendekatan struktural.]
Religion, Radicalism and National Character: In Perspective of South Sulawesi Local Wisdom Mahmuddin Mahmuddin
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol. 18 No. 2 (2017)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/esensia.v18i2.1481

Abstract

It is widely believed that Indonesia is encountering an issue of disharmony due to a number of horizontal conflicts which are based on ethnics, religions, and races. In addition, there are many social issues also happen in recent years that stimulate the conflicts. For example, the rampant of drugs users across the country and the increase of significant number of terrorists in many regions in Indonesia. The writer believes that one of the main reasons of these conflicts is lacking of understanding nation charachter as well as local wisdoms that owned by certain community. In the mean time, Indonesia as country is rich of characters that can unite community under the flag of nation and diminish conflicts among them. In the context of South Sulawesi region, there are, at least, three different characters that can decrease the emergence of radicalism. Firstly, respect to the difference. Secondly, they are open-minded. Thirdly, maintaining tradition of ashame (siri) as a local genius. These characters are social capitals of South Sulawesi communities in tackling radicalism understanding. The writer come to conclude that if every single ethnics in Indonesia make their local genius as their philosophy in daily life, the radicalism movement might be tackled across the country.[Dipercaya secara luas bahwa Indonesia menghadapi masalah ketidakharmonisan karena sejumlah konflik horizontal yang didasarkan pada etnis, agama, dan ras. Selain itu, ada banyak masalah sosial juga terjadi dalam beberapa tahun terakhir yang merangsang konflik. Misalnya, merajalela pengguna narkoba di seluruh negeri dan meningkatnya jumlah teroris yang signifikan di banyak wilayah di Indonesia. Penulis percaya bahwa salah satu alasan utama dari konflik ini adalah kurangnya pemahaman tentang karakter bangsa dan juga kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat tertentu. Sementara itu, Indonesia sebagai negara kaya akan karakter yang bisa menyatukan masyarakat di bawah bendera negara dan mengurangi konflik di antara mereka. Dalam konteks wilayah Sulawesi Selatan, setidaknya ada tiga karakter berbeda yang dapat menurunkan kemunculan radikalisme. Pertama, hargai perbedaannya. Kedua, mereka berpikiran terbuka. Ketiga, menjaga tradisi ashame (siri) sebagai jenius lokal. Karakter ini adalah ibu kota sosial masyarakat Sulawesi Selatan dalam mengatasi pemahaman radikalisme.  Penulis kemudian menyimpulkan bahwa jika setiap etnis di Indonesia membuat jenius lokal mereka sebagai filosofi mereka dalam kehidupan sehari-hari, gerakan radikalisme dapat ditangani di seluruh negeri.]
Exclusive Islam From The Perspective of Ibn Taymiyah Siti Mahmudah Noorhayati; Ahmad Khoirul Fata
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol. 18 No. 2 (2017)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/esensia.v18i2.1482

Abstract

To build the idea of Islamic inclusiveness, Nurcholish Madjid made Ibn Taymiyah a reference. The definition of “Islam” as al-inqiyad, al-istislam, and al-ikhlash by Ibn Taymiyah became the foundation for Madjid to propagate the ideology of religious unity of the prophets, in the form of monotheism or submission only to Allah. But on the other hand there are many scholars who viewed the contrary, that Ibn Taymiyah was not an inclusive thinker. Instead he was the source of inspiration for the contemporary Islamic radicalism. This paper attempts to probe the religious ideas of Ibn Taymiyah. The focus of this paper is on the thought of Ibn Taymiyah on Islam and other religions, especially Judaism and Christianity. Research on some of his works showed that it is not quite right to conclude that Ibn Taymiyah was an inclusive thinker. There are, in fact, some of his ideas that seem to be inclusive as Madjid referred to. However, in-depth study on his thought showed that he had exclusive views on Islam. In addition to interpreting Islam linguistically, Ibn Taymiyah also considered that Islam brought by Prophet Muhammad is the true way of salvation. Meanwhile Judaism and Christianity have experienced deviations and therefore cannot guarantee the salvation of their adherents.[Dalam upaya mengkonstruk pemikiran Islam inklusifnya, Nurcholish Madjib merujuk pemikiran Ibnu Taymiyah sebaga landasan definisi sikap keislaman. Bagi Ibnu Taymiyah, definisi Islam ialah sikap tunduk/patuh (al inqiyad), memberikan keselamatan (al Istislam), dan keluhuran budi (al ikhlas). Corak pendefinisian ini juga dijadikan Nurcholis Madjid untukmempropaganda kesatuan ideology kenabian dalam bentuk kesatuan ketuhanan dan kepatuhan hanya pada Allah. Pada sisi yang lain, pandangan Nurcholish Madji ini jauh berbeda dengan para cendikiawan muslim yang lain. Posisi Ibnu Taymiyah terkait sikap keislaman dikategorikan sebagai pemikir ekslufisme dan fundamentalisme. Bahkan, tidak jarang dari mereka, mengatakan jika ajaran Ibnu Taymiyah menjadi sumber pemikiran radikal di era sekarang. Oleh karena itu, artikel ini akan mencoba untuk mengeksplorasi ide Ibnu Taymiyah secara holistik, khususnya sikap inklusif-eksklusif terhadap agama lain. Pada kesimpulannya, berdasarkan karya pribadinya, membuat konklusi Ibnu Taymiyah sebagai pemikir Islam-Inklusif tidaklah, sepenuhnya benar. Ada banyak fakta sikap Ibnu Taymiyah yang berbeda dari pemikiran inklusif. Sebab, kalau diteliti secara mendalam, pemaknaan linguistic terhadap kata Islam sendiri bagi Ibnu Taymiyah adalah kepasrahan dan penyelematan yang datang dari Nabi Muhammad SAW. Dia masih menganggap bahwa agama lain merupakan wujud deviasi dari ajaran Islam. Serta, ketundukan mereka tidak akan membawanya pada keselamatan nantinya.]
The Role of Traditional Islamic Boarding School-Based Islamic Studies as Radicalism and Intolerance Flow’s Blocking Agent Suryadi Suryadi; M. Mansur
ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol. 18 No. 2 (2017)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/esensia.v18i2.1483

Abstract

In Indonesia, the attitude of radicalism and intolerance within Islam has flourished over the last few decades. There are several factors that encourage the emergence of it. One of them is the waning of Islamic Studies in various educational institutions today. As a result, Islam is only understood to be a matter of aqeedah and worship. Basically, many studies have been conducted to tackle radical and intolerant behavior with various approaches: social, political, economic, etc. In this paper, one offer of solutions through Islamic Studies in traditional Islamic Boarding School education institutions will be discussed. The findings in the field stated that the curriculum applied in Islamic Boarding School became one of the significant factors in the efforts of deradicalization. It can not be separated from the open-minded learning method and various teaching materials of Islamic Boarding School that made students to be familiar with diversity.[Di Indonesia, sikap radikalisme dan intoleranisme dalam Islam tumbuh subur selama beberapa dekade terakhir. Ada beberapa macam faktor yang mendorong munculnya hal tersebut. Salah satu di antaranya adalah memudarnya kajian Islamic Studies dalam berbagai lembaga pendidikan dewasa ini. Akibatnya, Islam hanya dipahami sebatas persoalan akidah dan ibadah saja. Pada dasarnya telah banyak studi dilakukan guna menanggulangi perilaku radikal dan intoleran dengan berbagai pendekatan: sosial, politik, ekonomi, dll. Dalam tulisan ini akan dibahas salah satu tawaran solusi melalui Studi Islam dalam lembaga pendidikan pesantren tradisional. Temuan di lapangan menyatakan bahwa kurikulum yang diterapkan di pesantren menjadi salah satu faktor signifikan dalam upaya deradikalisasi. Hal ini tak lepas dari metode pembelajaran pesantren yang terbuka serta bahan ajar yang beragam sehingga menyebabkan santri terbiasa dengan perbedaan.]

Page 1 of 1 | Total Record : 8