cover
Contact Name
Heribertus Dwi Kristanto
Contact Email
dwikris@driyarkara.ac.id
Phone
+6221-4247129
Journal Mail Official
admin.diskursus@driyarkara.ac.id
Editorial Address
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jl. Cempaka Putih Indah 100A Jembatan Serong, Rawasari, Jakarta 10520
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
DISKURSUS Jurnal Filsafat dan Teologi
ISSN : 14123878     EISSN : 25801686     DOI : https://doi.org/10.36383/diskursus.v18i2
Founded in 2002 DISKURSUS is an academic journal that publishes original and peer-reviewed works in the areas of philosophy and theology. It also welcomes works resulting from interdisciplinary research at the intersections between philosophy/theology and other disciplines, notably exegesis, linguistics, history, sociology, anthropology, politics, economics, and natural sciences. Publised semestrally (in April and October), DISKURSUS aims to become a medium of publication for scholars to disseminate their novel philosophical and theological ideas to scholars in the same fields, as well as to the wider public.
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara" : 7 Documents clear
Alasdair MacIntyre and Martha Nussbaum on Virtue Ethics Joas Adiprasetya
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (502.79 KB) | DOI: 10.26551/diskursus.v15i1.16

Abstract

Abstract: Alasdair MacIntyre and Martha C. Nussbaum are two prominent contemporary moral philosophers who attempt to rehabilitate Aristotles conception of virtues. Although both agree that virtue ethics can be considered as a strong alternative to our search for commonalities in a pluralistic society such as Indonesia, each chooses a very different path. While MacIntyre interprets Aristotle from his traditionalist and communitarian perspective, Nussbaum construes the philosopher in a non-relative and essentialist point of view using the perspective of capability. Consequently, MacIntyre construes a more particularistic view of virtue ethics, whereas Nussbaum presents a more universalistic view of virtue ethics. Applying virtue ethics to the Indonesian context, this article argues that each approach will be insufficient to address the highly pluralistic societies such as Indonesia. Therefore, we need to construct a virtue ethics proper to the Indonesian context that takes both approaches into consideration. Keywords: Virtue, virtue ethics, community, capability, incommensurability. Abstrak: Alasdair MacIntyre dan Martha C. Nussbaum merupakan dua orang filsuf moral terkemuka pada masa kini, yang berusaha merehabilitasi konsep Aristoteles mengenai keutamaan. Sekalipun keduanya sepakat bahwa etika keutamaan dapat dipertimbangkan sebuah sebuah alternatif yang memadai bagi usaha kita dalam mencari kesamaan di tengah sebuah masyarakat majemuk seperti Indonesia, masing-masing memilih jalan yang sangat berbeda. Sementara MacIntyre menafsirkan Aristoteles dari perspektif tradisionalis dan komunitarian, Nussbaum memahami sang filsuf dari sebuah sudut pandang esensialis dan nonrelatif dengan memakai pendekatan kapabilitas. Akibatnya, MacIntyre mengkonstruksi sebuah pandangan yang lebih partikular atas etika keutamaan, sementara Nussbaum lebih menghadirkan sebuah pandangan yang lebih universal atas etika keutamaan. Mengaplikasikan etika keutamaan pada konteks Indonesia, artikel ini berpendapat bahwa masing-masing pendekatan tidak akan memadai untuk menjadi masyarakat yang sangat pluralistis seperti Indonesia. Untuk itu, kita perlu mengkonstruksi sebuah etika keutamaan yang kontekstual di Indonesia yang mempertimbangkan dan memanfaatkan kedua pendekatan tersebut. Kata-Kata Kunci: Keutamaan, etika keutamaan, komunitas, kapabilitas, inkomensurabilitas.
Berteologi bagi Agama di Zaman Post-Sekular Adrianus Sunarko
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (270.97 KB)

Abstract

Abstrak: Prediksi tentang hilangnya agama seiring dengan proses modernisasi ternyata tidak benar. Agama-agama tetap hadir dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam kehidupan bermasyarakat. Kenyataan ini memberikan tantangan tersendiri bagi teologi, setidak-tidaknya karena tiga hal. Pertama, kehadiran agama seringkali disertai dengan kecenderungan kuat untuk melihat relevansi agama hanya pada lingkup kehidupan privat seseorang dan mengabaikan implikasi sosial politis hidup beriman. Kedua, kehadiran agama terkait pula dengan sejumlah tindak kekerasan yang mengancam ketenteraman hidup bersama. Ketiga, agama-agama khususnya di Indonesia dituntut menyesuaikan diri berhadapan dengan kenyataan plural dan corak demokratis masyarakat. Teologi ditantang untuk menyumbangkan refleksi yang berguna bagi terbentuknya agama yang tidak lupa akan implikasi sosial-politiknya, yang bebas dari kekerasan dan mampu menempatkan diri dengan tepat di tengah masyarakat demokratis dan plural. Kata-Kata Kunci: Post-sekular, privatisasi agama, kekerasan, multikultural, posisi epistemis, demokrasi, teologi politik. Abstract: The prediction that religion would vanish during and because of the modernization is not really true. Religions are still present and play a significant role in social life. This fact gives a special and interesting challenge to theology, at least for three reasons. First, the presence of religion is often accompanied by the strong tendency among its adherents to find the relevance of religion only to the ones private life, denying the social and political implication of religion. Second, the presence of religion is connected with the acts of violence, which threaten the peace of the social life. Third, the religions especially in Indonesia have to adapt themselves to the pluralistic reality and the democratic system of the society. Theology is challenged to offer meaningful reflection on the formation of religion, which does not forfeit its social and political implications, free from violence and mindful of how to place itself properly in the democratic and pluralistic society. Keywords: Post-secular, privatization of religion, violence, multi-cultural, epistemic position, democracy, political theology.
Doktrin Trinitas dalam Diskursus Teologi Ekonomik Yahya Wijaya
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (190.798 KB)

Abstract

Abstrak: Artikel ini menguraikan penggunaan konsep teologis Trinitas sosial oleh empat teolog yang secara khusus menyoroti isu-isu ekonomi. Secara umum para teolog itu menyatakan bahwa teologi ekonomik yang berdasarkan Trinitas sosial menolak model ekonomi individualistik yang memertaruhkan komunitas. Mereka memberi gambaran yang berbeda-beda tentang model ekonomi yang layak ditolak itu. Meeks dan Boff melihat praktik ekonomi pasar yang berlaku saat ini maupun praktik ekonomi sosialis yang pernah dijalankan di negara-negara komunis sebagai wujud-wujud dari model ekonomi semacam itu. Novak menolak praktik sosialisme dan memandang kapitalisme yang bersifat demokratik sebagai model ekonomi yang trinitaris. Higginson menilai model ekonomi yang individualistik itu tersirat dalam etos Protestannya Max Weber dan seringkali tercermin dalam cara pengelolaan perusahaan. Saya melanjutkan teologi ekonomik yang berdasarkan Trinitas Sosial itu dengan menjadikan secara spesifik keluarga sebagai wujud konkret komunitas. Saya berpendapat bahwa Trinitas keluarga dapat menjadi dasar bagi pengembangan teologi ekonomik yang responsif terhadap konteks ekonomi Indonesia dan Asia pada umumnya, di mana keluarga menjadi bukan hanya model hubungan sosial tetapi juga acuan etis. Kata-kata Kunci: Trinitas sosial, teologi ekonomik, ekonomi kekeluargaan. Abstract: This article explores the use of the theological concept of social Trinity by four theologians focusing on economic issues. In general, those theologians suggest that the concept of social Trinity implies an economic theology resisting the individualistic economy model, which puts the community at stake. They disagree on which economic system exactly they consider worth rejecting. For Meeks and Boff, that economic model includes both the existing market economy and socialism as had been practiced in the communist countries. Novak rejects the economic system of socialist countries whilst insisting that democratic capitalism is consistently Trinitarian. Higginson argues that the individualistic economy is implied in Webers Protestant ethic and often reflected in the management of corporations. Subscribing to the economic theology based on social Trinity, and, at the same time, responding specifically to the characteristics of the Indonesian context, I suggest the family as a concrete form of community. I argue that familial Trinity would serve as a foundation for developing an economic theology in response to the situation of Indonesian economy and Asian economy in general, where the family is not only a model of social relations, but also an ethical reference. Keywords: Social Trinity, economic theology, familial economy.
Status Tuhan dalam Filsafat Teoretis Immanuel Kant Martinus Ariya Seta
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (219.929 KB)

Abstract

Abstrak: Di dalam filsafat teoretis Kant, status Tuhan bukan lagi transenden tetapi transendental. Perubahan status Tuhan menjadi transendental memiliki dampak ganda. Di satu sisi, Kant memberikan pendasaran rasionalitas konsep Tuhan. Akan tetapi di sisi lain, Kant menghindari penegasan terhadap eksistensi Tuhan. Menurut Kant, konsep Tuhan adalah sebuah ide regulatif. Ide regulatif tidak memiliki referensi di luar pikiran manusia. Kant hanya menegaskan urgensi logis konsep Tuhan bagi kesatuan pengetahuan. Akan tetapi, urgensi logis tidak cukup memadai sebagai argumen pembuktian eksistensi Tuhan. Kant memisahkan antara keternalaran dan ada. Pemisahan ini terlihat jelas di dalam kritik Kant terhadap pembuktian ontologis. Menurut penulis, profil filsafat transendental menjadi transparan di dalam kritik Kant terhadap pembuktian ontologis. Pengadopsian secara parsial paham dasar rasionalisme dan empirisme melatarbelakangi filsafat transendental dan memicu pemisahan antara keternalaran dan ada yang tampak jelas di dalam kritik Kant terhadap pembuktian ontologis. Kata-kata Kunci: Konsep, transendental, keternalaran, ada, ide regulatif, pembuktian ontologis. Abstract: In Kants theoretical philosophy, the status of God is not transcendent anymore, but transcendental. The transcendental status of God has a double impact. On the one hand, the concept of God is conceivable. But on the other hand, Kant avoids the affirmation of the existence of God. The conceivability of God is not an argument for Gods existence because the concept of God is a regulative idea. A regulative idea has no reference outside the mind. Kant only affirms the logical necessity of the concept of God. However, the logical necessity is not an adequate argument for the existence of God. Kant separates between conceivability and being. The separation is obvious in his critique toward the ontological argument. In my opinion, the profile of the transcendental philosophy is transparent in Kants critique toward the ontological argument. The partial adoption of empirical and rational principles works behind the transcendental philosophy and leads to the separation between conceivability and being, which is visible in the Kants critique toward the ontological argument. Keywords: Concept, transcendental, conceivability, being, regulative idea, ontological argument.
R.S. Sugirtharajah, The Bible in Asia: From the Pre-Christian Era to the Postcolonial Age, Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2013, 303 hlm. Martin Harun
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (113.49 KB)

Abstract

Sugirtharajah, seorang pakar biblika kelahiran Sri Lanka, yang mengajar di Universitas Birmingham, U.K., dan dikenal sebagai godfather penelitian pascakolonial dalam bidang Alkitab, menambahkan suatu karya inovatif lagi pada daftar tulisan-tulisannya yang sudah sangat mengesankan. Perhatiannya untuk suara penafsiran pinggiran sudah diketahui dari karyanya yang paling terkenal, Voices from the Margin (1991). Meskipun Alkitab berasal dari Asia, namun kebanyakan peneliti-an tentang Alkitab dan juga tentang pengaruhnya sepanjang sejarah, terfokus pada Eropa dan Amerika, dengan meminggirkan Asia. Itu mendorong S untuk mengadakan penelitian tentang Alkitab di Asia, khusus-nya sejarah penerimaannya. Ia menyadari bahwa dampak Alkitab terhadap kebudayaan Asia minim bila dibandingkan dengan pengaruhnya atas kehidupan dan kebudayaan di Eropa. Itu menjadi sangat tampak dalam uraiannya tentang peran Alkitab dalam sastra Asia (bab 7) di mana kutipan, tokoh, dan cerita Alkitab jarang muncul, dan bila ada, lebih banyak dipakai sebagai kritik terhadap kolonialisme Barat atau institusi kekristenan. ... S mengakhiri tulisannya dengan menegaskan bahwa prinsip sola scriptura, Alkitab saja, tak punya pasar di Asia yang cenderung membaca Alkitab bersama dengan yang lain, Bhagavad Gita, Dhammapada, Analecta (mengapa di sini Alquran tak disebut S?). Hermeneutika Asia yang diselidiki oleh S, menolak kecenderungan kolonial yang ada baik dalam Alkitab sendiri dan lebih lagi dalam interpretasi kekristenan Barat: Kebudayaan dan masyarakat Asia tidak bergantung pada nilai-nilai kristiani untuk pemerintahan dan pengembangan yang baik. ... Di Asia Alkitab adalah salah satu di antara banyak teks yang berwenang (hlm. 259). Tugas kita, menurut S, adalah membebaskan Asia dari klaim monopolistis kitab suci tertentu. Tugas ini mendesak di saat para fundamentalis dari semua agama memakai kitab sucinya untuk membenarkan kekerasannya terhadap yang lain. S bahkan mempertanyakan monoteisme yang dapat menekan perbedaan dan mengabaikan kemungkinan pusat-pusat yang banyak (p. 260). Ia tidak menganjurkan untuk kembali kepada penyembahan banyak dewa-dewi tetapi men-dorong kajian terhadap spirit politeistis yang mendorong toleransi, kemurahan hati, dan koeksistensi. Pembaca tentu bertanya: di mana sesungguhnya posisi S di medan diskusi pluralisme dan inklusivisme, berkaitan dengan cara dialog antaraagama, dan ditantang untuk memikirkan posisinya sendiri. S mengakui bahwa banyak hal mengenai Alkitab di Asia masih perlu diselidiki. Lima belas abad pra-kolonial dibicarakan dalam dua halaman saja. Alkitab yang oleh gereja Nestorian tanpa kekuatan apa pun disebarkan ke India, Sumatra, dan China cuma dihormati tetapi tinggal tidak diterjemahkan selama belasan abad; kabarnya hanya diketahui melalui liturgi. Ada pula kesan bahwa Asia dalam karya S terutama Asia Selatan dan Asia Timur. Asia Tengah (bekas bagian-bagian USSR) memang dari awal tidak dimasukkan dalam penelitiannya, tetapi juga Asia Barat Daya dan Asia Tenggara yang multi-agama hampir tidak disentuh. S mungkin tidak mengetahui beberapa penelitian tentang penerimaan Alkitab di Indonesia yang sudah dipublikasikan oleh Lembaga Alkitab Indonesia. Namun demikian, apa yang disajikan sungguh menarik dan penting, serta membuka mata dan jalan bagi penelitian yang lebih luas. (Martin Harun, Guru Besar Ilmu Teologi Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015, 343 hlm. Franz Magnis-Susesno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (161.609 KB)

Abstract

Hermeneutika adalah ilmu tentang pemahaman. Mengapa pemahaman perlu ada ilmunya? Karena, sebagaimana kita tahu dari pengalaman sehari-hari, kita sering salah paham. Kita mendengar persis apa yang dikatakan orang lain, tetapi kita salah tangkap juga dan terjadi masalah. Hal yang sama berlaku bagi ekspresi-ekspresi manusia lain. Misalnya, ada monumen. Ambil batu-batuan di Stonehenge di Inggris yang diperkirakan sudah berumur ribuan tahun. Tentang maksud tiang-tiang batu itu para ahli tetap masih menerka-nerka. Tetapi seorang penduduk Jakarta, begitu melihat fotonya, langsung merasa tahu apa yang dimaksud oleh orang-orang Inggris kuno itu: Tentu Stonehenge adalah percobaan pertama umat manusia untuk membangun kereta monorail, dan, sama dengan di Jakarta, mereka pun gagal. Mana yang benar? Masalahnya sederhana, tetapi pemecahannya tidak. Yang sederhana: kita semua sudah mempunyai pengertian-pengertian tertentu, misalnya, bahwa tiang batu ke atas merupakan calon tiang kereta mono-rail. Tetapi mereka yang membangunnya di Stonehenge barangkali punya pikiran sama sekali lain. Yang tidak sederhana: bagaimana kita yang sekarang dapat mengerti apa yang dimaksud manusia dengan sebuah monumen, padahal manusia itu sudah lama mati dan tidak dapat ditanyai lagi. Persoalan ini tentu tidak hanya mengenai monumen, melainkan menyangkut bagaimana ungkapan orang lain dapat dipahami sesuai dengan apa yang dia maksud terutama muncul apabila kita membaca sebuah teks. Kita mengira bahwa teks itu sudah jelas maksudnya, tetapi andaikata kita masih bisa bertanya pada penulis apa yang sebenarnya dia maksud dengan menulis teks itu, bisa juga maksudnya berbeda dari pra-anggapan kita. ... Buku ini berakhir dengan suatu bab Penutup sepanjang 24 halaman yang merupakan semacam rangkuman. Fokus penutup amat aktual, yaitu masalah literalisme, paham bahwa sebuah teks suci harus dipahami secara harafiah tak boleh ditafsir-tafsir, serta hubungan-nya dengan fundamentalisme, radikalisme, ekstremisme agama, serta mengapa literalisme justru tidak setia terhadap teks yang dikatakan mau diikuti secara harafiah. Buku ini memberikan pengertian yang cukup lengkap, dalam bahasa yang mudah diikuti, kepada filosof pemula, tetapi juga bagi filosof kawakan, buku Budi Hardiman itu bisa sangat membantu. Buku ini terutama sangat penting bagi para teolog, ulama dan ahli Kitab Suci segala agama. (Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Ilmu Filsafat Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
Leonhard Swidler, Jesus was a Feminist What the Gospels Reveal about His Revolusionary Perspective, Lanham etc.: Sheed & Ward, 2007, 276 hlm. Franz Magnis-Susesno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (183.146 KB)

Abstract

Leonhard Swidler, guru besar teologi Katolik di Universitas Temple di Philadephia dan pendiri Institute for Interreligious and Intercultural Dialogue, termasuk teolog Katolik Amerika Serikat sangat terkenal. Delapan tahun lalu ia menerbitkan buku yang pantas diperhatikan. Judulnya saja mengagetkan: Jesus was a Feminist. Namun kita tidak perlu berprasangka. Buku ini bukan salah satu dari pelbagai tulisan ideologis. Yang dimaksud Swidler dengan feminis Yesus seorang feminis sangat radikal (h. 33) adalah bahwa Yesus vigorously promoted the dignity and equality of women in the midst of a very male-dominated society (ibid.). Swilder juga menyebut Yesus androgynous karena dalam kepribadiannya terdapat fusion and balance of so-called masculine and feminine psychological traits (h. 34). Seni Swidler adalah bahwa ia mengajak kita bersama membaca keempat injil dan, itulah kehebatannya, kita dibuat Swidler melihat sesuatu yang sebetulnya selalu kita baca, tetapi sekurang-kurangnya oleh penulis ini tidak diperhatikan (Swidler kadang-kadang sedikit menjemukan, karena ia membahas semua teks satu-satu dalam empat injil di mana perempuan muncul sehingga pengulangan tidak dapat dihindari). Swidler menunjukkan betapa tegas Yesus berdiri di pihak para perempuan, dan bahwa itu merupakan kontras keras terhadap sikap dalam lingkungan bangsa Yahudi, lingkungan Yesus sendiri, yang patriarkal. Feminisme Yesus menjadi mencolok karena sikap-sikap Yesus terhadap kaum perempuan berlawanan total dengan kebiasaan dan pandangan budaya Yahudi zaman itu, dan khususnya juga dengan sikap resmi pustaka Rabinistik. Suatu contoh ada di Lukas 36 50 (wanita pendosa yang mencuci kaki Yesus dengan tetes tangisannya): Ada Yesus yang begitu peka terhadap curahan hati perempuan itu dan ada sikap tak mengerti, bahkan tersinggung tamu-tamu lain. Dalam agama Yahudi jelas dan eksplisit perempuan diberi peran sekunder terhadap laki-laki, perempuan harus taat pada suami, ia tidak dapat menjadi saksi, dalam sinagoga ia harus diam. Atas latar belakang itu sikap Yesus terhadap perempuan, dan sikap keempat penginjil terhadap semua perempuan yang muncul, amat kontras. ... Tulisan Swidler betul-betul sebuah pembuka mata. Artinya, sesuatu yang selama ini sudah selalu dibaca dalam injil, tetapi tidak diperhatikan, mendadak menjadi mencolok dan ternyata penting. Orang akan membaca Injil dengan mata baru. Ia menyadari suatu dimensi yang dalam seluruh ajaran dan spiritualitas Gereja tidak pernah diberi perhatian. Kesadaran akan patriarkat serta tuntutan agar harkat kemanusiaan perempuan diakui, sesuatu yang sejak pertengahan abad lalu diperjuangkan oleh feminisme, lahir dari luar Gereja. Justru karena itu keyakinan Swidler bahwa pengembalian martabat perempuan merupakan unsur amat penting dalam kabar gembira Yesus adalah begitu penting. Orang tidak perlu sependapat dengan Swidler dalam semua hal, tetapi penegasan bahwa bagi Yesus pengakuan terhadap martabat perempuan yang tak kalah dengan martabat laki-laki merupakan tantangan yang wajib diperhatikan oleh setiap teolog. Sudah waktunya bahwa hampir 2000 tahun kebutaan Gereja terhadap dimensi feminis dalam pewartaan Yesus diakhiri. Sebagai catatan akhir: Swidler tidak memasuki pertanyaan ten-tang apakah Gereja berhak menahbiskan perempuan menjadi imam dan uskup. Tetapi ia menyinggungnya. Menurutnya implikasi dari sikap Yesus terhadap perempuan maupun cerminan sikap itu dalam tulisan empat penginjil adalah bahwa penolakan terhadap penahbisan perem-puan tidak dapat mendasarkan diri pada suatu ajaran Yesus. Alasan mengapa masalah imamat perempuan tidak muncul lebih jelas dalam Perjanjian Baru adalah bahwa tatanan hirarkis pimpinan Gereja menurut slagorde uskup, imam dan diakon baru menjadi baku sejak akhir abad ke-2 dan pada waktu itu nada feminis maklumat Yesus sudah tenggelam dalam prasangka budaya patriarkal umat Kristiani. (Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Ilmu Filsafat Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).

Page 1 of 1 | Total Record : 7


Filter by Year

2016 2016


Filter By Issues
All Issue Vol. 19 No. 2 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 2 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 2 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 2 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 2 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 1 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 2 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 9 No. 2 (2010): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara More Issue