cover
Contact Name
JUNAIDI
Contact Email
junnaidie@gmail.com
Phone
+62711-418873
Journal Mail Official
jurnallexstricta@stihpada.ac.id
Editorial Address
Jl. Animan Achyat (d/h Jln. Sukabangun 2) No. 1610 Kota Palembang Prov. Sumatera Selatan Telp/Fax : 0711 - 418873
Location
Kota palembang,
Sumatera selatan
INDONESIA
Lex Stricta : Jurnal Ilmu Hukum
ISSN : -     EISSN : 29636639     DOI : -
Diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda (STIHPADA) Palembang berisikan tulisan ilmiah, hasil pembahasan penelitian, pembahasan buku dan pendapat yang mendukung. Artikel Hukum yang dipublikasikan pada jurnal ini merupakan Hasil Karya Ilmiah Mahasiswa dan Dosen yang telah memenuhi Pedoman Penulisan bagi Penulis (Author Guidelines) yang telah ditentukan oleh Lex Stricta : Jurnal Ilmu Hukum. Semua artikel yang dikirimkan oleh penulis dan dipublikasikan dalam jurnal ini ditelaah melalui peer review process. Jadwal penerbitan setahun 3 (tiga) kali pada bulan April, Agustus, Desember. Tulisan yang dikirim harus berpedoman pada Metode Penulisan Ilmiah dan petunjuk penulisan sebagai terlampir. Isi konten tulisan tanggung jawab sepenuhnya penulis. Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isi konten tulisan.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 5 Documents
Search results for , issue "Vol. 2 No. 1 (2023): Agustus" : 5 Documents clear
UPAYA PEMERINTAH DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PEREDARAN KOSMETIKA PALSU Meni Apriani; Yuseva Yuseva; Dedison Dedison; Heli Kusmiran; M. Agung Firdaus
Lexstricta : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 2 No. 1 (2023): Agustus
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lexstricta.v2i1.21

Abstract

AbstrakPemalsuan kosmetika tidak hanya sekedar pemalsuan merek, tetapi juga merupakan tindakan yang membahayakan jiwa manusia apabila isi dari Kosmetika tersebut tidak sesuai atau tidak jelas. Bagaimana tanggung jawab pemerintah terhadap peredaran dan dipakainya kosmetik illegal. Apa upaya hukum yang dapat dilakukan masyarakat terhadap beredarnya produk kosmetik illegal. Metode penelitian menggunakan metode yuridis empiris, karena penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara lengkap aspek-aspek hukum dan suatu keadaan yang terjadi dilapangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa Tanggung Jawab Pemerintah dalam hal peredaran dan pemakaian kosmetik ilegal di Kota Palembang ini adalah dengan cara melakukan pengawasan serta pembinaan kepada seluruh pelaku usaha. Upaya yang dilakukan masyarakat terhadap beredarnya kosmetik ilegal ini adalah bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha dapat melakukan beberapa upaya dalam menyelesaikan sengketanya melalui pengadilan dan dapat melalui lembaga Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Simpulan, Tanggung Jawab Pemerintah dalam hal peredaran dan pemakaian kosmetik ilegal dengan pengawasan dan upaya hukum melalui pengadilan. Rekomendasi Diharapkan agar pelaku usaha juga seharusnya dapat memberikan informasi kepada konsumen mengenai produk kosmetik yang dijual secara jelas dan terbuka, konsumen juga harus lebih berhati-hati sebelum membeli suatu produk dan tidak langsung percaya dengan kosmetik yang dijual dengan harga murah. Kata Kunci : Kosmetik Palsu, Pemerintah, Tindak Pidana. AbstractCounterfeiting cosmetics is not just brand counterfeiting but is also an act that endangers human life if the contents of the cosmetics are inappropriate or unclear. What is the government's responsibility towards the circulation and use of illegal cosmetics? What legal remedies can the community take against the distribution of illegal cosmetic products? The research method uses an empirical juridical method because this research aims to describe in full the legal aspects and a situation that occurs in the field. The results of the study show that the Government's responsibility in terms of the circulation and use of illegal cosmetics in Palembang City is to supervise and guide all business actors. Efforts made by the community against the distribution of illegal cosmetics are for consumers who feel disadvantaged by business actors, they can make several efforts to resolve their disputes through the courts and through the Consumer Dispute Settlement Agency (BPSK). In conclusion, it is the responsibility of the government in terms of the distribution and use of illegal cosmetics with supervision and legal remedies through the courts. Recommendations It is hoped that business actors should also be able to provide information to consumers regarding cosmetic products that are sold in a clear and open manner, consumers should also be more careful before buying a product and not immediately trust cosmetics that are sold at low prices. Keywords: Fake Cosmetics, Government, Crime
PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN Risky Caniago; Nurul Mutia Baba; Habibul Ghufron; Saharudin Saharudin; Fitrisia Madina
Lexstricta : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 2 No. 1 (2023): Agustus
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lexstricta.v2i1.22

Abstract

AbstrakHutan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan memberikan kontribusi bagi negara berupa pajak dan kesejahteraan rakyat dari nilai log kayu yang ada. Bagaimana Proses Peradilan Terhadap Pelanggaran Hukum Kehutanan. Apakah hambatan penegakan hukum terhadap kejahatan di bidang kehutanan. Metodologi adalah penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Hasil penelitian menunjukan bahwa proses penyidikan terhadap kejahatan di bidang kehutanan diatur secara khusus, yakni dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian/Dinas Kehutanan baik di tingkat Pusat maupun daerah. Di samping penyidik khusus ada pejabat penegak hukum lain yang juga mempunyai kewenangan melakukan penyidikan kejahatan di bidang kehutanan, yaitu penyidik dari Polri, Kejaksaan dan dari TNI Angkata Laut, dan Penegakan hukum terhadap kejahatan di bidang kehutanan mengalami beberapa hambatan baik bersifat yuridis yang berasal dari peraturan perundangundangan yang mengatur kehutanan, yaitu rumusan delik kehutanan tidak dapat menjangkau pelaku intelektual kejahatan di bidang kehutanan. Kesimpulan, proses penyidikan terhadap kejahatan di bidang kehutanan diatur secara khusus, yakni dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian/Dinas Kehutanan baik di tingkat Pusat maupun daerah. Penegakan hukum terhadap kejahatan di bidang kehutanan mengalami beberapa hambatan baik bersifat yuridis yaitu rumusan delik kehutanan tidak dapat menjangkau pelaku intelektual kejahatan di bidang kehutanan. Kata Kunci : Peneggakan Hukum, Kehutanan, Kejhatan AbstractForests are natural resources that are renewable and contribute to the state in the form of taxes and people's welfare from the value of existing logs. What is the judicial process for violations of forest law. What are the obstacles to law enforcement against crimes in the forestry sector. The methodology is normative legal research which is legal research conducted by examining literature.The results of the research show that the process of investigating crimes in the forestry sector is regulated specifically, namely that it is carried out by Investigating Officers of Civil Servants within the Ministry/Forestry Service both at the central and regional levels. In addition to special investigators, there are other law enforcement officials who also have the authority to investigate crimes in the forestry sector, namely investigators from the National Police, the Attorney General's Office and the Navy, and law enforcement against crimes in the forestry sector experiences several obstacles, both juridical in nature, originating from regulations the laws governing forestry, namely the formulation of forestry offenses cannot reach the intellectual perpetrators of crimes in the forestry sector. In conclusion, the process of investigating crimes in the forestry sector is regulated specifically, namely to be carried out by Investigating Officers of Civil Servants within the Ministry/Forestry Service both at the central and regional levels. Law enforcement against crimes in the forestry sector experiences several obstacles, both of a juridical nature, namely the formulation of forestry offenses cannot reach the intellectual perpetrators of crimes in the forestry sector. Keywords: Law Enforcement, Forestry, Crime
KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE) Taufik Iskandar; Mauluddin Mauluddin; Rudi Rudi; Marsudi Utoyo
Lexstricta : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 2 No. 1 (2023): Agustus
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lexstricta.v2i1.23

Abstract

AbstrakE-commerce adalah suatu transaksi perdagangan yang memungkinkan adanya jual beli tanpa harus mempertemukan secara langsung antara penjual dan beli. Sistem perdagangan ini memerlukan rasa kepercayaan yang kuat antara satu dengan yang lainnya, antara pihak penjual dengan pembeli. Pengakuan terhadap bukti elektronik sebagai alat bukti yang dapat diajukan ke pengadilan dan diakui sah sebagai alat bukti, sudah dilakukan sejak tahun 1977 melalui Undang-undang Dokumen Perusahaan yang menentukan bahwa mikrofilm yang berisi rekaman dokumen suatu perusahaan dapat diajukan sebagai alat bukti di Pengadilan bila kelak timbul gugatan. Menurut Undang-undang Dokumen Perusahaan alat bukti dokumen elektronik merupakan bagian dari alat bukti surat, sedangkan dalam Undang-undang Tipikor secara tegas menjelaskan bahwa informasi elektronik dan dokumen eletronik merupakan perluasan dari alat bukti pertunjuk. Karena surat elektronik berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik telah diakui sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam tindak pidana khusus di luar KUHP sejajar dengan alat bukti yang sah dalam Pasal 184 KUHAP merupakan jenis alat bukti yang baru, maka diharapkan penyidik, penuntut humum, penasehat hukum dan hakim mempunyai pemahaman tentang alat bukti elektronik ini. Dalam pemeriksaan perkara pidana, diharapkan hakim dalam menjatuhkan pidana berdasarkan dua alat bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah telah melakukan tindak pidana, maka hakim harus menjatuhkan pidana maksimum sesuai tuntutan jaksa, agar terdakwa menjadi jera dan rasa keadilan masyarakat terpenuhi. Kata Kunci : Alat Bukti, Bukti Elektronik, Dokumen AbstractE-commerce is a trade transaction that allows buying and selling without having to meet directly between the seller and the buyer. This trading system requires a strong sense of trust between one another, between sellers and buyers. Recognition of electronic evidence as evidence that can be submitted to court and recognized as valid evidence has been carried out since 1977 through the Company Documents Act which stipulates that microfilm containing recordings of company documents can be submitted as evidence in court if it arises in the future. lawsuit. According to the Company Documents Law, electronic document evidence is part of documentary evidence, while the Corruption Law explicitly explains that electronic information and electronic documents are an extension of demonstrative evidence. Because electronic letters in the form of electronic information or electronic documents have been recognized as one of the legal means of evidence in special crimes outside the Criminal Code, parallel to the legal evidence in Article 184 of the Criminal Procedure Code, which is a new type of evidence, it is hoped that investigators, public prosecutors, advisers law and judges have an understanding of this electronic evidence. In examining criminal cases, it is hoped that the judge will impose a sentence based on two valid pieces of evidence and the judge will gain confidence that it is the defendant who is guilty of committing a crime, so the judge must impose the maximum sentence according to the prosecutor's demands, so that the defendant becomes deterrent and the community's sense of justice is fulfilled. Keywords: Evidence, Electronic Evidence, Documents
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN PINJAM PAKAI BARANG BUKTI PERKARA TINDAK PIDANA Yeni Suswita; Hery Fadlullah; Nurjannah Nurjannah; Pasten Hard; Marsudi Utoyo
Lexstricta : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 2 No. 1 (2023): Agustus
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lexstricta.v2i1.24

Abstract

AbstrakPengadilan mengadakan proses pemeriksaan yang dikenal dengan nama pembuktian. Untuk kepentingan pembuktian, kehadiran benda-benda yang tersangkut dalam suatu tindak pidana juga sangat diperlukan. Benda-benda dimaksud sering dikenal dengan istilah “barang bukti”. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana Tanggung Jawab Penyidik Terhadap Barang Bukti. Bagaimana Proses Pinjam Pakai Barang Bukti dalam Perkara Pidana. Metodologi penelitian bersifat deskriftif, yaitu penelitian yuridis normatif. Hasil penyelidikan menunjukan Tanggungjawab penydidik atas barang bukti sejak saat benda itu disita oleh penyidik, maka sejak itu apabila barang bukti rusak atau hilang, maka tanggungjawab ini adalah tanggungjawab penyidik pada tingkat penyidikan. Proses Pinjam Pakai Barang Bukti dalam Perkara Pidana dapat dilakukan oleh pemilik barang bukti berdasarkan Peraturan KAPOLRI Nomor 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti Di Lingkungan POLRI, dalam Bab VI Prosedur Pinjam Pakai Barang Bukti Oleh Pemilik. Kesimpulan, Tanggungjawab penyidik atas barang bukti sejak saat benda itu disita oleh penyidik, maka sejak itu apabila barang bukti rusak atau hilang dan Proses Pinjam Pakai Barang Bukti dalam Perkara Pidana dapat dilakukan oleh pemilik barang bukti berdasarkan Peraturan KAPOLRI Nomor 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti Di Lingkungan POLRI. Agar setiap permohonan peminjaman barang bukti, penyidik dapat meminjamkkan barang bukti tersebut kepada pihak yang menjadi korban dengan tidak meminta biaya-biaya yang terlalu tinggi. Kepada para korban atau pemilik yang ingin meminjam barang butki untk melakukan prosedur yang benar sesuai dengan peraturan KAPOLRI Nomor 10 Tahun 2010 kepada atasan penyidik. Kata Kunci : Barang Bukti, Penyidikan, Pinjam Pakai. AbstractThe court conducts an examination process known as proof. For the purposes of proof, the presence of objects involved in a crime is also very necessary. These objects are often known as "evidence". The problem in this study is how investigators are responsible for evidence. What is the Process of Borrowing and Using Evidence in Criminal Cases. The research methodology is descriptive, namely normative juridical research. The results of the investigation show that the investigator's responsibility for evidence starts from the moment the item is confiscated by the investigator, so since then if the evidence is damaged or lost, then this responsibility is the responsibility of the investigator at the investigation level. The process of borrowing and using evidence in criminal cases can be carried out by the owner of the evidence based on KAPOLRI Regulation Number 10 of 2010 concerning Procedures for Managing Evidence within the POLRI, in Chapter VI Procedures for Borrowing and Using Evidence by Owners. In conclusion, the investigator's responsibility for evidence starts from the moment the item is confiscated by the investigator, so since then if the evidence is damaged or lost and the Borrowing and Use of Evidence Process in a Criminal Case can be carried out by the owner of the evidence based on KAPOLRI Regulation Number 10 of 2010 concerning Management Procedures Evidence in the Police Environment. So that every application for borrowing evidence, the investigator can lend the evidence to the victimized party without asking for exorbitant fees. To victims or owners who want to borrow evidence to carry out the correct procedures in accordance with KAPOLRI Regulation Number 10 of 2010 to investigator superiors. Keywords: Evidence, Investigation, Borrowing
ANALISIS HUKUM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA TENTANG PERWALIAN ANAK KANDUNG YANG MASIH DI BAWAH UMUR Rexy Merchiano; Mohd. Syafariansyah; Erwan Effendi; Irman Ichandri; Sadli Sadli
Lexstricta : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 2 No. 1 (2023): Agustus
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lexstricta.v2i1.25

Abstract

AbstrakPerkara Permohonan Perwalian Nomor 227/Pdt.P/2022/PA.Plg yang diajukan ke Pengadilan Agama Palembang, dalam amarnya mengabulkan permohonan pemohon yaitu dengan menetapkan Pemohon sebagai wali bagi anak kandungnya. Sementara, Pasal 47 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan menjelaskan bahwa 1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. 2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Sehingga, sebenarnya untuk menjadi wali bagi anak kandungnya dalam melakukan perbuatan hukum, orang tua tidak membutuhkan penetapan perwalian dari Pengadilan Agama. Metode penelitian dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif. Majelis Hakim mempertimbangkan tujuan dari permohonan-pemohonya itu untuk kepentingan anaknya, dengan pertimbangan, dalam hal pengurusan surat-surat berharga. Meskipun, Dan dasar hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara ini diantaranya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 jo. Pasal 107 Komplikasi Hukum Islam serta pasal 389 KUH Perdata. Dari penelitian ini prosedur dan penetapan perwaliannya sesuai dengan hukum perdata berdasarkan ketentuan Pasal 345 KUHPerdata. Alasan Pemohon dalam mengajukan permohonan penetapan perwalian ke Pengadilan untuk memenuhi syarat kepentingan mengurus hak anak-anak atas bagian harta dari peninggalan ayah kandung nya. Kata Kunci : Putusan Hakim, Permohonan Penetapan, Perwalian. AbstractThe case for Petition for Guardianship Number 227/Pdt.P/2022/PA.Plg which was submitted to the Palembang Religious Court, in its ruling granted the petitioner's request by designating the Petitioner as the guardian of his biological child. Meanwhile, Article 47 of Law Number 16 of 2019 Concerning Marriage explains that 1) Children who have not reached the age of 18 (eighteen) years or have never been married are under the authority of their parents as long as they are not deprived of their authority. 2) Parents represent the child regarding all legal actions inside and outside the Court. So, actually to become guardians for their biological children in carrying out legal actions, parents do not need a guardianship stipulation from the Religious Courts. The research method in this research is normative legal research. The Panel of Judges considered that the purpose of the petitions was for the benefit of their children, taking into consideration the management of securities. Although, and the legal basis used by the Panel of Judges in deciding this case includes Law Number 16 of 2019 jo. Article 107 Complications of Islamic Law and Article 389 of the Civil Code. From this study, the procedure and determination of guardianship are in accordance with civil law based on the provisions of Article 345 of the Civil Code. The reason for the Petitioners in submitting the application for the determination of guardianship to the Court is to fulfill the requirements for the interests of taking care of the children's rights to the share of the assets inherited from their biological father. Keywords: Judge's Decision, Application for Determination, Guardianship.

Page 1 of 1 | Total Record : 5