cover
Contact Name
Muhammad Yanis
Contact Email
yaniszf96@gmail.com
Phone
+6282274634480
Journal Mail Official
alnadhair@mahadalymudi.ac.id
Editorial Address
Desa Mesjid Raya, Mideun Jok, Samalanga, Bireuen Regency, Aceh
Location
Kab. bireuen,
Aceh
INDONESIA
Al-Nadhair : Jurnal Kajian Fikih dan Ushul Fikih
ISSN : 29648742     EISSN : 28302583     DOI : -
Core Subject : Religion, Education,
Jurnal Al-Nadhair diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Mahasantri Ma’had Aly MUDI, Samalanga, Indonesia. Jurnal ini berisi artikel penelitian fiqh dan ushul fiqh dengan distingsi ilhaq al-masail bi nadhairiha. Yaitu artikel yang menjawab problematika sosial-kultur aktual dengan merujuk teori fikih dan ushul fikih islami yang terpercaya dalam lingkup mazhab. Pemuatan artikel di jurnal ini dialamatkan pada website www.jurnal.mahadalymudi.ac.id Informasi lengkap untuk pemuatan artikel dan petunjuk penulisan artikel tersedia di dalam setiap terbitan. Artikel yang masuk akan melalui proses seleksi editor dan mitra bestari (reviewer). Al-Nadhair adalah jurnal ilmiah dan referensi yang menyediakan sumber informasi resmi bagi masyarakat umum, para sarjana, akademisi, dan profesional di bidang hukum Islam. Jurnal ini diterbitkan dalam bentuk cetak dan online yang dapat di unduh secara gratis. Diterbitkan secara berkala sebanyak dua kali dalam setahun.
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol 1 No 01: Al-Nadhair" : 6 Documents clear
TUJUAN, FUNGSI HUKUM DAN MAQASID TASYRI’ Sufriadi
Jurnal Al-Nadhair Vol 1 No 01: Al-Nadhair
Publisher : Ma'had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61433/alnadhair.v1i01.3

Abstract

Dalam kajian hukum Islam, sumber-sumber yang dapat dijadikan pegangan dalam menetapkan hukum suatu masalah pada dasarnya terdiri dari dua macam, yaitu nash dan ra`yu (rasio). Termasuk dalam kategori nash adalah Al-Qur’an dan hadis, sedangkan yang tergolong dalam kategori ra`yu adalah selain dari keduanya.  Adapun jika ditinjau dari kekuatannya, sumber tersebut dapat digolongkan atas sumber hukum yang disepakati dan sumber hukum yang tidak disepakati oleh ulama. Salah satu sumber hukum yang termasuk dalam kategori ra`yu dan tidak disepakati oleh ulama adalah maslahah mursalah. Maslahah mursalah ialah penetapan hukum berdasarkan kepentingan umum terhadap suatu persoalan yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam syara’, baik secara umum maupun secara khusus. Maksud dari pengambilan maslahah tersebut adalah untuk mewujudkan manfaat, menolak kemudharatan dan menghilangkan kesusahan manusia.  Di sisi lain, segala larangan Allah Swt. mengandung kemasalahatan di baliknya, manusia dilarang melakukan larangan-Nya agar dapat terhindar dari kerusakan atau kebinasaan. Salah satu contoh adalah larangan meminum minuman keras (khamar) yang bertujuan untuk menghindarkan seseorang dari hal-hal yang merusak tubuh, jiwa dan akal sehat. Maqashid al-syar’iyyah terbentuk sebagai peta dalam peumusan tujuan dan fungsi hukum yang berkenaan dengan mukallaf. Maqashid al-syar’iyyah bagi mujtahid menuntun proses ijtihad untuk melahirkan fiqh yang dinamis, tentunya juga mengharuskan sikap profesional dalam memberikan porsi peran maqashid al-syar’iyyah itu sendiri. Maqashid al-syar’iyyah yang sebagian ulama mereduksinya sebagai inti dari menarik mashlahah dan mafsadah mengambarkan bahwa setiap hukum yang terlahir harus bernilai rahmatan lil ‘alamin.
RESPON FIKIH TERHADAP PANDEMI WABAH PENYAKIT: Analisis Penerapan Konsep Rukhshah Pada Tata-cara Pelaksanaan Sebagian Ibadat Dalam Masa Pandemi COVID-19 Helmi Imran, MA
Jurnal Al-Nadhair Vol 1 No 01: Al-Nadhair
Publisher : Ma'had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61433/alnadhair.v1i01.4

Abstract

Pada tanggal 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan COVID-19 sebagai pandemi global. Keputusan itu dikeluarkan oleh WHO ketika virus corona telah menyebar di 118 negara dan menginfeksi lebih dari 121000 orang di Asia, Eropa, Timur Tengah dan Amerika. Seiring dengan keputusan tersebut, WHO juga mengeluarkan panduan mengenai pencegahan COVID-19 yaitu dengan cara memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan. Di samping itu juga ditetapkan cara penanganan terhadap orang yang telah terinfeksi virus tersebut, mulai dari pengobatan sampai isolasi. Sejak saat itu, masyarakat di berbagai Negara diharuskan untuk beradaptasi dengan kebiasaan baru dalam melakukan aktifitas sehari-hari, mulai dari memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan. Situasi ini langsung berimbas kepada perubahan tatanan hidup masyarakat di berbagai Negara. Bukan hanya dalam aktifitas biasa, tetapi perubahan tersebut juga menyentuh perkara-perkara yang berhubungan dengan kegiatan spiritual. Di Negara-negara yang penduduknya muslim, imbas dari situasi baru tersebut adalah terjadinya perubahan pada beberapa kegiatan spiritual seperti mentiadakan shalat jumat dan shalat jamaah, menjarangkan shaf shalat berjamaah, memakai masker dalam shalat, berkurangnya kegiatan silaturrahmi, bahkan sampai pada tata-cara men-tajhiz-kan jenazah yang terinfeksi COVID-19. Di Indonesia sendiri, Perubahan ini telah menimbukan sedikit pro-kontra di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat nampak antusias mengikuti panduan yang disebut protokol kesehatan, sementara sebagian lainnya nampak enggan mengikutinya terutama pada kegiatan ibadat. Keengganan tersebut bisa saja dipicu oleh sikap cuek terhadap suasana yang sedang terjadi, bisa juga didasari oleh semangat yang tinggi dalam beragama yang seakan-akan agama tidak akan pernah mengakomodir situasi yang dialami oleh manusia, sehingga bagaimanapun keadaan yang sedang dihadapi manusia, tata-cara beribadat tetap tidak mengalami perubahan dari bentuk aslinya. Hal ini dibuktikan dengan timbulnya sebagian reaksi negatif ketika para ulama, baik secara kelembagaan atau personal mengeluarkan fatwa yang seakan-akan melegitimasi terhadap protokol kesehatan yang disampaikan oleh Pemerintah. Padahal bila dikaji lebih jauh dan secara objektif, Islam melalui perangkat ilmu fikihnya telah menyiapkan sedemikan rupa konsep yang mengakomodir situasi sulit yang dihadapi oleh manusia. Salah satu prinsip hukum fikih adalah memberikan kemudahan pengamalan hukum ketika manusia berada di dalam kondisi sulit dengan merubah tata-cara pengamalannya dari bentuk yang biasanya kepada bentuk yang lebih mudah. Prinsip ini dikenal dengan rukhshah. Di saat sebuah daerah sedang terkena wabah penyakit, apalagi wabah itu sudah menyebar secara global hingga disebut sebagai pandemi, fikih tentu saja tidak tinggal diam untuk merespon situasi tersebut. Berdasarkan hal di atas, tulisan ini berusaha untuk meneliti dan melihat lebih jauh apakah situasi saat ini terkait COVID-19 sudah termasuk ke dalam kategori yang layak mendapatkan keringanan hukum atau tidak.  Penelitian ini dilakukan dengan cara mengukur situasi yang sedang terjadi dengan konsep rukhshah yang telah digagas oleh para ulama.
IDENTIFIKASI ISTILAH MAZHAB DALAM KITAB MINHĀJ AL-THĀLIBĪN Zulkiram S.Ag
Jurnal Al-Nadhair Vol 1 No 01: Al-Nadhair
Publisher : Ma'had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61433/alnadhair.v1i01.5

Abstract

Dalam kitab Minhāj al-Thālibīn Imam al-Nawawi menyebut terhadap pendapat-pendapat Imam Syāfi’i dan ashab-nya dengan memakai istilah-istilah yang berbeda, salah satu istilahnya ialah mazhab, istilah mazhab ini belum ada penjelasan terperinci dalam kitab Minhāj al-Thālibīn, khususnya cara untuk memahami di mana letaknya pendapat rajih dari istilah tersebut yang memungkinkan terdapat pada thariq qatha’, thariq khilaf yang sesuai dengan thariq qatha’ atau yang berbeda dengan thariq qatha’. Berdasarkan konsep tersebut, maka penulis perlu menjelaskan tentang identifikasi istilah mazhab dalam Minhāj al-Thālibīn. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Teknik analisa data dilakukan dengan pendekatan content analisis. Adapun kesimpulan dalam penelitian ini ada dua yaitu: 1. definisi mazhab adalah satu istilah untuk pendapat kuat atau rajih serta mengisyaratkan adanya perbedaan pendapat di kalangan ashab dalam meriwayatkan pendapat mazhab, perbedaan pendapat ini terjadi dalam menyikapi pendapat Imam Syāfi’i (qaul) atau pendapat ashab (wajh) yang terdahulu terhadap satu masalah melalui dua jalur riwayat atau lebih. 2. Cara mengidentifikasi istilah mazhab adalah dengan cara meninjau lafaz-lafaz syarah Minhāj al-Thālibīn. Istilah mazhab ini tidak terlepas dari salah satu tiga thariq, yaitu thariq qatha’, thariq khilaf yang muwaffiq bagi thariq qatha’ dan thariq khilaf yang mukhalif bagi thariq qatha’.
KONSEPTUAL FITNAH PEREMPUAN Zahrul Mubarrak HB; Mazani Hanafiah
Jurnal Al-Nadhair Vol 1 No 01: Al-Nadhair
Publisher : Ma'had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61433/alnadhair.v1i01.6

Abstract

Fitnah sering sekali dijadikan ‘illah atau alasan dari penetapan hukum bagi perempuan. Namun, dalam teks agama terkadang berbeda dalam pemaknaan fitnah ini, pemaknaan fitnah sangat dipengaruhi oleh idhafah atau sandaran kata fitnah. Penelitian ini dengan mengunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan (library research). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi fitnah perempuan agar tidak ambigu dalam pemaknaannya. Penelitian ini menghasilkan jawaban dan dapat disimpulkan bahwa fitnah perempuan dapat ditinjau daru dua segi, pertama melihat dari segi pengertian secara bahasa, ini ada dua pengertian: Makna leksikal fitnah perempuan adalah perempuan menjadi cobaan atau ujian bagi laki-laki, makna gramatikal ialah perempuan bisa mengantarkan laki-laki kepada berani berbuat dosa karena perempuan. Kedua dengan melihat makna fitnah perempuan yang dipengaruhi oleh sosial kehidupan masyarakat atau fitnah perempuan menurut definisi sosial yaitu tingkatan dosa yang berani dilakukan oleh laki-laki demi perempuan. Dalam definisi sosial ini, fitnah perempuan bisa diklasifikasikan kepada dua, pertama, secara umum ialah perempuan sebagai subjek ujian bagi laki-laki. Kedua secara lebih spesifik perempuan bisa merangsang laki-laki dimulai dari hanya sebatas menikmati dengan pandangan atau melihatnya dengan syahwat, atau bisa menjerumuskan laki-laki kepada perbuatan zina.
FLEKSIBILITAS HUKUM FIQH DALAM MERESPONS PERUBAHAN ZAMAN Muhammad Taufiq; Tgk. Syarkawi, M. Pem. I
Jurnal Al-Nadhair Vol 1 No 01: Al-Nadhair
Publisher : Ma'had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61433/alnadhair.v1i01.7

Abstract

Kajian ini penting dilakukan untuk menjelaskan tentang fleksibilitas hukum fiqh dalam merespons perubahan zaman. Dinamika ini dapat dipahami berdasarkan fenomena terjadi kebebasan dalam berekspresi pemikiran perkembangan fiqh dalam masyarakat saat ini. Fokus kajian ini yaitu batasan fleksibilitas hukum fiqh dalam merespons perubahan zaman dan penggunaan kaidah lā yunkaru taghayyur al-Ahkām bi taghayyur al- Azmān terhadap batasan fleksibilitas hukum fiqh dalam merespons perubahan itu. Fleksibilitas yang dimaksudkan dalam kajian ini yaitu kemampuan hukum fiqh dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya batasan dan ketegasan pada fleksibilitas fikih untuk menjaga kebebasan dan loyalitas dalam melakukan perubahan hukum setiap zaman. Penelitian ini merupakan kajian pustaka dengan menggunakan metode kualitatif. Adapun data yang diperlukan berupa literatur-literatur yang berkaitan dengan perkembangan pemikiran fiqh. Sedangkan teknik analisis data yaitu content analisis terhadap sejumlah literatur yang diperlukan dalam kajian ini. Hasil penelitian ini adalah perubahan hukum mestilah memiliki lima batasan atau persyaratan, yaitu: Pertama, tidak bertentangan dengan nash syariat. Kedua, perubahan tersebut bersifat stabil atau sering, Ketiga, perubahan yang bersifat esensial. Keempat, memiliki keyakinan atau dugaan yang kuat. Kelima, selaras dengan maqashid al-syariah. sedangkan penggunaan kaidah lā yunkaru taghayyur al-ahkām bi taghayyur al- azmān hanyalah pada hukum-hukum yang memang terbangun melalui pondasi adat istiadat/urf dan hukum ijtihadi yang berdiri berlandaskan analogi dan maslahah. Jadi bukan semua hukum syariat dapat dianulir akibat pergeseran waktu maupun peredaran masa.
HIV AIDS Sebagai Faktor Fasakh Nikah Dalam Perspektif Fiqh Syāfi’iyah Ilham Abdul Hamid
Jurnal Al-Nadhair Vol 1 No 01: Al-Nadhair
Publisher : Ma'had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61433/alnadhair.v1i01.20

Abstract

HIV AIDS merupakan penyakit yang sangat berbahaya, menjijikkan dan menular, namun apakah kekurangan ini dapat digolongkan sebagai salah satu aib yang membolehkan Fasakh nikah atau pun tidak, kiranya hal ini perlu diperjelas kepastian hukumnya untuk menjadi petunjuk bagi para penderita penyakit virus HIV AIDS. Adapun fokus kajian dalam penelitian ini ada dua poin yaitu bagaimanakah Ketentuan Aib Penyakit Yang Membolehkan Fasakh Nikah Dalam Perspektif Fiqh Syāfi’iyyah? dan bagaimanakah Hukum HIV AIDS Sebagai Faktor Fasakh Nikah Dalam Perspektif Fiqh Syāfi’iyyah?. Sebagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam Fiqh Syāfi’iyyah aib penyakit yang membolehkan Fasakh nikah adalah yang berdampak menjijikkan dan dapat menular kepada pasangan, anak maupun orang lain yang berada di dekatnya, sehingga menghalangi kepuasan dalam hubungan suami istri, berdasarkan dampak negatif ini lah HIV AIDS dapat juga dijadikan alasan dalam pembatalan atau Fasakh nikah, dikarenakan dampak negatif bahayanya tidak berbeda dari aib penyakit-penyakit yang telah ditetapkan sebagai sebab Fasakh nikah dalam fiqh klasik Syāfi’iyyah. Namun baru dapat dijadikan sebagai aib yang membolehkan Fasakh nikah harus sudah dinyatakan positif, bukan hanya baru gejala saja dan sudah sampai HIV stadium lanjut AIDS.

Page 1 of 1 | Total Record : 6