cover
Contact Name
Muhammad Yanis
Contact Email
yaniszf96@gmail.com
Phone
+6282274634480
Journal Mail Official
alnadhair@mahadalymudi.ac.id
Editorial Address
Desa Mesjid Raya, Mideun Jok, Samalanga, Bireuen Regency, Aceh
Location
Kab. bireuen,
Aceh
INDONESIA
Al-Nadhair : Jurnal Kajian Fikih dan Ushul Fikih
ISSN : 29648742     EISSN : 28302583     DOI : -
Core Subject : Religion, Education,
Jurnal Al-Nadhair diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Mahasantri Ma’had Aly MUDI, Samalanga, Indonesia. Jurnal ini berisi artikel penelitian fiqh dan ushul fiqh dengan distingsi ilhaq al-masail bi nadhairiha. Yaitu artikel yang menjawab problematika sosial-kultur aktual dengan merujuk teori fikih dan ushul fikih islami yang terpercaya dalam lingkup mazhab. Pemuatan artikel di jurnal ini dialamatkan pada website www.jurnal.mahadalymudi.ac.id Informasi lengkap untuk pemuatan artikel dan petunjuk penulisan artikel tersedia di dalam setiap terbitan. Artikel yang masuk akan melalui proses seleksi editor dan mitra bestari (reviewer). Al-Nadhair adalah jurnal ilmiah dan referensi yang menyediakan sumber informasi resmi bagi masyarakat umum, para sarjana, akademisi, dan profesional di bidang hukum Islam. Jurnal ini diterbitkan dalam bentuk cetak dan online yang dapat di unduh secara gratis. Diterbitkan secara berkala sebanyak dua kali dalam setahun.
Articles 22 Documents
TUJUAN, FUNGSI HUKUM DAN MAQASID TASYRI’ Sufriadi
Jurnal Al-Nadhair Vol 1 No 01: Al-Nadhair
Publisher : Ma'had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61433/alnadhair.v1i01.3

Abstract

Dalam kajian hukum Islam, sumber-sumber yang dapat dijadikan pegangan dalam menetapkan hukum suatu masalah pada dasarnya terdiri dari dua macam, yaitu nash dan ra`yu (rasio). Termasuk dalam kategori nash adalah Al-Qur’an dan hadis, sedangkan yang tergolong dalam kategori ra`yu adalah selain dari keduanya.  Adapun jika ditinjau dari kekuatannya, sumber tersebut dapat digolongkan atas sumber hukum yang disepakati dan sumber hukum yang tidak disepakati oleh ulama. Salah satu sumber hukum yang termasuk dalam kategori ra`yu dan tidak disepakati oleh ulama adalah maslahah mursalah. Maslahah mursalah ialah penetapan hukum berdasarkan kepentingan umum terhadap suatu persoalan yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam syara’, baik secara umum maupun secara khusus. Maksud dari pengambilan maslahah tersebut adalah untuk mewujudkan manfaat, menolak kemudharatan dan menghilangkan kesusahan manusia.  Di sisi lain, segala larangan Allah Swt. mengandung kemasalahatan di baliknya, manusia dilarang melakukan larangan-Nya agar dapat terhindar dari kerusakan atau kebinasaan. Salah satu contoh adalah larangan meminum minuman keras (khamar) yang bertujuan untuk menghindarkan seseorang dari hal-hal yang merusak tubuh, jiwa dan akal sehat. Maqashid al-syar’iyyah terbentuk sebagai peta dalam peumusan tujuan dan fungsi hukum yang berkenaan dengan mukallaf. Maqashid al-syar’iyyah bagi mujtahid menuntun proses ijtihad untuk melahirkan fiqh yang dinamis, tentunya juga mengharuskan sikap profesional dalam memberikan porsi peran maqashid al-syar’iyyah itu sendiri. Maqashid al-syar’iyyah yang sebagian ulama mereduksinya sebagai inti dari menarik mashlahah dan mafsadah mengambarkan bahwa setiap hukum yang terlahir harus bernilai rahmatan lil ‘alamin.
RESPON FIKIH TERHADAP PANDEMI WABAH PENYAKIT: Analisis Penerapan Konsep Rukhshah Pada Tata-cara Pelaksanaan Sebagian Ibadat Dalam Masa Pandemi COVID-19 Helmi Imran, MA
Jurnal Al-Nadhair Vol 1 No 01: Al-Nadhair
Publisher : Ma'had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61433/alnadhair.v1i01.4

Abstract

Pada tanggal 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan COVID-19 sebagai pandemi global. Keputusan itu dikeluarkan oleh WHO ketika virus corona telah menyebar di 118 negara dan menginfeksi lebih dari 121000 orang di Asia, Eropa, Timur Tengah dan Amerika. Seiring dengan keputusan tersebut, WHO juga mengeluarkan panduan mengenai pencegahan COVID-19 yaitu dengan cara memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan. Di samping itu juga ditetapkan cara penanganan terhadap orang yang telah terinfeksi virus tersebut, mulai dari pengobatan sampai isolasi. Sejak saat itu, masyarakat di berbagai Negara diharuskan untuk beradaptasi dengan kebiasaan baru dalam melakukan aktifitas sehari-hari, mulai dari memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan. Situasi ini langsung berimbas kepada perubahan tatanan hidup masyarakat di berbagai Negara. Bukan hanya dalam aktifitas biasa, tetapi perubahan tersebut juga menyentuh perkara-perkara yang berhubungan dengan kegiatan spiritual. Di Negara-negara yang penduduknya muslim, imbas dari situasi baru tersebut adalah terjadinya perubahan pada beberapa kegiatan spiritual seperti mentiadakan shalat jumat dan shalat jamaah, menjarangkan shaf shalat berjamaah, memakai masker dalam shalat, berkurangnya kegiatan silaturrahmi, bahkan sampai pada tata-cara men-tajhiz-kan jenazah yang terinfeksi COVID-19. Di Indonesia sendiri, Perubahan ini telah menimbukan sedikit pro-kontra di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat nampak antusias mengikuti panduan yang disebut protokol kesehatan, sementara sebagian lainnya nampak enggan mengikutinya terutama pada kegiatan ibadat. Keengganan tersebut bisa saja dipicu oleh sikap cuek terhadap suasana yang sedang terjadi, bisa juga didasari oleh semangat yang tinggi dalam beragama yang seakan-akan agama tidak akan pernah mengakomodir situasi yang dialami oleh manusia, sehingga bagaimanapun keadaan yang sedang dihadapi manusia, tata-cara beribadat tetap tidak mengalami perubahan dari bentuk aslinya. Hal ini dibuktikan dengan timbulnya sebagian reaksi negatif ketika para ulama, baik secara kelembagaan atau personal mengeluarkan fatwa yang seakan-akan melegitimasi terhadap protokol kesehatan yang disampaikan oleh Pemerintah. Padahal bila dikaji lebih jauh dan secara objektif, Islam melalui perangkat ilmu fikihnya telah menyiapkan sedemikan rupa konsep yang mengakomodir situasi sulit yang dihadapi oleh manusia. Salah satu prinsip hukum fikih adalah memberikan kemudahan pengamalan hukum ketika manusia berada di dalam kondisi sulit dengan merubah tata-cara pengamalannya dari bentuk yang biasanya kepada bentuk yang lebih mudah. Prinsip ini dikenal dengan rukhshah. Di saat sebuah daerah sedang terkena wabah penyakit, apalagi wabah itu sudah menyebar secara global hingga disebut sebagai pandemi, fikih tentu saja tidak tinggal diam untuk merespon situasi tersebut. Berdasarkan hal di atas, tulisan ini berusaha untuk meneliti dan melihat lebih jauh apakah situasi saat ini terkait COVID-19 sudah termasuk ke dalam kategori yang layak mendapatkan keringanan hukum atau tidak.  Penelitian ini dilakukan dengan cara mengukur situasi yang sedang terjadi dengan konsep rukhshah yang telah digagas oleh para ulama.
IDENTIFIKASI ISTILAH MAZHAB DALAM KITAB MINHĀJ AL-THĀLIBĪN Zulkiram S.Ag
Jurnal Al-Nadhair Vol 1 No 01: Al-Nadhair
Publisher : Ma'had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61433/alnadhair.v1i01.5

Abstract

Dalam kitab Minhāj al-Thālibīn Imam al-Nawawi menyebut terhadap pendapat-pendapat Imam Syāfi’i dan ashab-nya dengan memakai istilah-istilah yang berbeda, salah satu istilahnya ialah mazhab, istilah mazhab ini belum ada penjelasan terperinci dalam kitab Minhāj al-Thālibīn, khususnya cara untuk memahami di mana letaknya pendapat rajih dari istilah tersebut yang memungkinkan terdapat pada thariq qatha’, thariq khilaf yang sesuai dengan thariq qatha’ atau yang berbeda dengan thariq qatha’. Berdasarkan konsep tersebut, maka penulis perlu menjelaskan tentang identifikasi istilah mazhab dalam Minhāj al-Thālibīn. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Teknik analisa data dilakukan dengan pendekatan content analisis. Adapun kesimpulan dalam penelitian ini ada dua yaitu: 1. definisi mazhab adalah satu istilah untuk pendapat kuat atau rajih serta mengisyaratkan adanya perbedaan pendapat di kalangan ashab dalam meriwayatkan pendapat mazhab, perbedaan pendapat ini terjadi dalam menyikapi pendapat Imam Syāfi’i (qaul) atau pendapat ashab (wajh) yang terdahulu terhadap satu masalah melalui dua jalur riwayat atau lebih. 2. Cara mengidentifikasi istilah mazhab adalah dengan cara meninjau lafaz-lafaz syarah Minhāj al-Thālibīn. Istilah mazhab ini tidak terlepas dari salah satu tiga thariq, yaitu thariq qatha’, thariq khilaf yang muwaffiq bagi thariq qatha’ dan thariq khilaf yang mukhalif bagi thariq qatha’.
KONSEPTUAL FITNAH PEREMPUAN Zahrul Mubarrak HB; Mazani Hanafiah
Jurnal Al-Nadhair Vol 1 No 01: Al-Nadhair
Publisher : Ma'had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61433/alnadhair.v1i01.6

Abstract

Fitnah sering sekali dijadikan ‘illah atau alasan dari penetapan hukum bagi perempuan. Namun, dalam teks agama terkadang berbeda dalam pemaknaan fitnah ini, pemaknaan fitnah sangat dipengaruhi oleh idhafah atau sandaran kata fitnah. Penelitian ini dengan mengunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan (library research). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi fitnah perempuan agar tidak ambigu dalam pemaknaannya. Penelitian ini menghasilkan jawaban dan dapat disimpulkan bahwa fitnah perempuan dapat ditinjau daru dua segi, pertama melihat dari segi pengertian secara bahasa, ini ada dua pengertian: Makna leksikal fitnah perempuan adalah perempuan menjadi cobaan atau ujian bagi laki-laki, makna gramatikal ialah perempuan bisa mengantarkan laki-laki kepada berani berbuat dosa karena perempuan. Kedua dengan melihat makna fitnah perempuan yang dipengaruhi oleh sosial kehidupan masyarakat atau fitnah perempuan menurut definisi sosial yaitu tingkatan dosa yang berani dilakukan oleh laki-laki demi perempuan. Dalam definisi sosial ini, fitnah perempuan bisa diklasifikasikan kepada dua, pertama, secara umum ialah perempuan sebagai subjek ujian bagi laki-laki. Kedua secara lebih spesifik perempuan bisa merangsang laki-laki dimulai dari hanya sebatas menikmati dengan pandangan atau melihatnya dengan syahwat, atau bisa menjerumuskan laki-laki kepada perbuatan zina.
FLEKSIBILITAS HUKUM FIQH DALAM MERESPONS PERUBAHAN ZAMAN Muhammad Taufiq; Tgk. Syarkawi, M. Pem. I
Jurnal Al-Nadhair Vol 1 No 01: Al-Nadhair
Publisher : Ma'had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61433/alnadhair.v1i01.7

Abstract

Kajian ini penting dilakukan untuk menjelaskan tentang fleksibilitas hukum fiqh dalam merespons perubahan zaman. Dinamika ini dapat dipahami berdasarkan fenomena terjadi kebebasan dalam berekspresi pemikiran perkembangan fiqh dalam masyarakat saat ini. Fokus kajian ini yaitu batasan fleksibilitas hukum fiqh dalam merespons perubahan zaman dan penggunaan kaidah lā yunkaru taghayyur al-Ahkām bi taghayyur al- Azmān terhadap batasan fleksibilitas hukum fiqh dalam merespons perubahan itu. Fleksibilitas yang dimaksudkan dalam kajian ini yaitu kemampuan hukum fiqh dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya batasan dan ketegasan pada fleksibilitas fikih untuk menjaga kebebasan dan loyalitas dalam melakukan perubahan hukum setiap zaman. Penelitian ini merupakan kajian pustaka dengan menggunakan metode kualitatif. Adapun data yang diperlukan berupa literatur-literatur yang berkaitan dengan perkembangan pemikiran fiqh. Sedangkan teknik analisis data yaitu content analisis terhadap sejumlah literatur yang diperlukan dalam kajian ini. Hasil penelitian ini adalah perubahan hukum mestilah memiliki lima batasan atau persyaratan, yaitu: Pertama, tidak bertentangan dengan nash syariat. Kedua, perubahan tersebut bersifat stabil atau sering, Ketiga, perubahan yang bersifat esensial. Keempat, memiliki keyakinan atau dugaan yang kuat. Kelima, selaras dengan maqashid al-syariah. sedangkan penggunaan kaidah lā yunkaru taghayyur al-ahkām bi taghayyur al- azmān hanyalah pada hukum-hukum yang memang terbangun melalui pondasi adat istiadat/urf dan hukum ijtihadi yang berdiri berlandaskan analogi dan maslahah. Jadi bukan semua hukum syariat dapat dianulir akibat pergeseran waktu maupun peredaran masa.
Kedudukan ‘Urf sebagai Sumber Hukum dalam Mazhab Syāfi’ī Muhammad Furqan; Syahrial Syahrial
Jurnal Al-Nadhair Vol 1 No 2 (2022): Al-Nadhair
Publisher : Ma'had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61433/alnadhair.v1i2.9

Abstract

Banyak masyarakat membenarkan kebiasaan atau adat istiadat dengan berdalih kepada ‘urf. Akan tetapi, kebanyakan diantara mereka tidak mengerti atau paham terhadap pengertian ‘urf itu sendiri, relevankah ‘urf dengan ijtihad, kedudukan ‘urf dalam lintas mazhab fikih, khususnya kedudukan ‘urf dalam mazhab syafi’i. Beranjak dari problematika ini, penulis merasa perlu untuk melakukan kajian lebih lanjut terkait kedudukan ‘urf sebagai sumber hukum dalam mazhab Syāfi’ī. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan yang bersifat deskrpitif analisis yang memfokuskan pada kajian kedudukan ‘urf sebagai sumber hukum dalam mazhab Syāfi’ī. Adapun kesimpulan dalam penelitian ini: 1) 'Urf secara terminologi ialah sebuah perkara yang tersusun dari 4 unsur sebagai berikut: Pertama, adanya perkataan atau perbuatan yang diketahui oleh manusia. Kedua, Adanya pengulangan kejadian yang terjadi dari perkataan atau perbuatan tersebut. Ketiga, terjadinya perkataan atau perbuatan tersebut didasari oleh pemikiran dari akal yang sehat, Keempat, dapat diterima oleh tabiat yang normal. 2) Para ulama mazhab menyepakati bahwa ‘urf dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum. Tidak ada salah satu di antara merka yang menolak ‘urf. Hanyasanya penerapannya saja yang berbeda-beda. Hal ini berdasarkan praktek yang mereka lakukan ketika mereka beistimbat menggali hukum Islam. 3) Sumber hukum pokok imam Syafi’i ialah Al-Qur’an, hadis, ijma, dan qiyas. Akan tetapi tidak berarti imam syafii menolak selain dari 4 sumber tersebut. Salah satu sumber hukum selain dari 4 tersebut yang Imam Syāfi’ī gunakan ialah ‘urf. Akan tetapi ‘urf bukanlah dalil yang istiqlal yang berdiri sendiri, melainkan ‘urf tersebut menjadi pengait, mukhassis atau syarat bagi nash-nash yang umum.
HUKUM ASURANSI (TA’MĪN) DALAM PERSPEKTIF MADZHAB SYᾹFI’Ī Tgk. Abdullah, MA; Maizar Afyan
Jurnal Al-Nadhair Vol 1 No 2 (2022): Al-Nadhair
Publisher : Ma'had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61433/alnadhair.v1i2.11

Abstract

Di kalangan ulama kontemporer, ada ulama yang menerima praktik asuransi dengan catatan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam. Menurut pandangan ini, asuransi diterima dan dijalankan setelah proses islamisasi. Sebagiian ulama lain tidak merestui praktik asuransi. Alasan pandangan ini adalah ketidakjelasan terhadap perlindungan hukum yang diberikan kepada peserta asuransi. Untuk memudahkan, masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini perlu dirumuskan dalam beberapa rumusan masalah, sebagai berikut: Bagaimana mekanisme asuransi yang ada di Indokesimpulan dari penelitian ini bahwa mekanisme asuransi secara garis besar terbagi dua, yaitu asuransi tanpa investasi dan asuransi yang mengandung investasi. Asuransi tanpa investasi terbagi dua, yaitu asuransi konvensional dan asuransi syariah. Sedangkan hukum asuransi dalam pandangan fiqh Syafi’iyyah terbagi kepada beberapa bentuk sesuai dengan mekanisme cara menjalankannya, yaitu: (a) Asuransi Konvensional tanpa investasi hukumnya haram, karena tidak dapat digolongkan kepada satu akad apapun yang dapat di-sah-kan. (b) Asuransi Syariah tanpa investasi (ta’min ta’awwuni) hukumnya boleh karena praktiknya menganduk kepada akad tabarru’ melalui perwakilan penyaluran harta. (c) Asuransi yang mengandung investasi (ta’min tijari) hukumnya haram, karena mengandung unsur riba, perjudian dan kerugiannesia dan bagaimana hukum asuransi (ta’mīn) dalam perspektif madzhab Syāfi’ī.
Status Teungku Imum Gampong Dalam Memperoleh Hak Amil Zakat Khairuddin Ulim; Alauddin
Jurnal Al-Nadhair Vol 1 No 2 (2022): Al-Nadhair
Publisher : Ma'had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61433/alnadhair.v1i2.14

Abstract

Dalam tradisi masyarakat Aceh, zakat biasanya dikelola oleh Teungku Imum gampong dan beberapa orang pembantunya. Hanya saja, Imum Gampong dispekulasikan tidak dilantik oleh imam dalam hal pengelolaan zakat sehingga perlu dilakukan kajian terkait validalitasnya sebagai amil zakat serta sebagai penerima zakat. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dalam kajian hukum fiqh. Adapun jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi normatif. Adapun kesimpulan yang ditemukan melalui kajian ini adalah: pertama, amil zakat dalam perspektif fiqh Syafi'iyah harus memiliki kriteria sebagai berikut yaitu Muslim, Mukallaf, bersifat adil, merdeka, bisa melihat dan mendengar, laki-laki, faqih dalam urusan zakat, bukan dari keluarga ahlul bait serta bukan maula mu’tiq dari keluarga ahlul bait. Kedua, dalam UU dan Qanun Aceh nomor 10 tahun 2018 tersebut lebih tepatnya pada Bab II bagian keempat Paragraf 1 pasal 13 ayat (4) bahwa Imum Gampong, baik itu imum mesjid/meunasah termasuk orang yang memiliki wewenang untuk mengelola zakat, walaupun tidak dilantik secara khusus oleh geuchik maupun camat. Tetapi jabatan pengelola zakat tersebut diperoleh oleh Imum Gampong secara ex officio, artinya dengan semata-mata ia dilantik sebagai Imum Gampong maka dengan sendirinya menjadi pengelola zakat. ketiga, Berdasarkan qanun di atas dapat disimpulkan bahwa Imum Gampong berhak menjadi amil zakat yang bertugas mengelola harta zakat. Namun yang perlu digarisbawahi adalah Sekalipun Imum Gampong berkedudukan sebagai ketua BMG sekaligus amil zakat, akan tetapi ia tetap tidak bisa mengambil hak amil, karena tugasnya bersifat umum. Jika Imum Gampong tidak mengelola zakat dengan sukarela, maka gajinya diambil pada 1/5 dari 1/5 harta kemaslahatan kaum muslimin (baitul mal).
Hilah Syar’iyyah terhadap Hukum Gala dalam Masyarakat Aceh menurut Fikih Syāfi’iyyah Khairul Ikhwan; Tgk. Syarkawi, M. Pem. I
Jurnal Al-Nadhair Vol 1 No 2 (2022): Al-Nadhair
Publisher : Ma'had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61433/alnadhair.v1i2.15

Abstract

Hukum adat transaksi gala di masyarakat Aceh adalah pemegang gala memanfaatkan harta galaan yang dijadikan jaminan selama pemilik belum menebus hutangnya. Hal ini menjadi polemik di tengah masyarakat. Adapun rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut: Pertama, bagaimana hukum gala di masyarakat Aceh menurut fikih Syafi’iyyah. Kedua, bagaimana konsekuensi hukum akad gala yang perlu diterapkan di masyarakat Aceh. Ketiga, bagaimana solusi hukum/hilah syar’iyyah terkait persoalan gala di masyarakat Aceh menurut fikih Syaf’iyyah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang memfokuskan pada kajian terhadap solusi hukum gala dalam masyarakat Aceh menurut fikih Syāfi’īyyah. Teknik analisa data dilakukan dengan pendekatan content analysis. Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah: Pertama, hukum gala di Aceh berdasarkan adat yang berlaku tentang pembolehan pemanfaatan barang gala bagi penerima gala, jika berpijak pada qaedah fiqhiyyah, maka secara dhahir hukumnya boleh. Sedangkan secara bathin, hukunya tergantung dari kerelaan hati masing-masing peng-gala. Konsekuensi hukum akad gala yang perlu diterapkan di masyarakat Aceh adalah sebagaimana konsekuensi hukum akad rahn menurut mazhab Syafi’i. Ketiga, Jika penerima gala mensyaratkan pemanfaatan barang gala di dalam akad, maka praktek gala menjadi riba. Namun agar gala terhindar dari praktek riba, maka dalam mazhab Syāfi’ī ada beberapa alternative solusi/hilah syar’iyyah. Di antaranya: Dengan Menyewakan, meminjamkan, bernazar, dan dengan jalan jual beli dengan janji bahwa barang akan dibeli kembali oleh orang yang menjual (pihak pengutang).
Akibat Hukum Tafwidh Mahar dalam Perspektif Fiqh Syafi’iyah Jazuli Abubakar
Jurnal Al-Nadhair Vol 1 No 2 (2022): Al-Nadhair
Publisher : Ma'had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61433/alnadhair.v1i2.16

Abstract

Nikah tafwidh, yaitu jika akad pernikahan sahih, akan tetapi tanpa menyebutkan mahar. Penjabaran nikah tafwidh mahar dan kedudukan mahar umumnya masih simpang siur dalam lingkungan masyarakat, serta dampak yang timbul dari permasalahan tersebut. Sehingga memerlukan titik temu atau benang merah yang mampu memberi pemahaman yang akurat berdasarkan hukum Islam bermazhab Syafi’i. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian library reserch dan dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode dokumentasi, yaitu mencari data dari catatan-catatan, transkrip, kitab-kitab turats dan buku-buku. Adapun teknik analisis data dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik content analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, hukum tafwidh mahar adalah boleh namun makruh, Karena sunat hukumnya menyebutkan mahar dalam akad nikah. Meskipun ada beberapa kasus yang mewajibkan penyebutan mahar. Adapun tafwidh mahjur alaih (yang terlarang menggunakan harta) dan terhadap saghirah (perempuan yang masih kecil) tidak sah dan apabila telah berlaku tafwidh secara sahih (sah), maka akibat hukum yang timbul yaitu menurut pendapat yang kuat dengan semata-mata akad tidak mewajiblkan apapun kepada mempelai suami untuk diberikan kepada mempelai isteri. Namun apabila berlaku tafwidh yang fasid (rusak, tidak sah), maka wajib membayar mahar mitsil dengan terlaksananya akad nikah. Maka dapat dipahami dari konteks pembahasan di atas hanya dengan akad saja tidak dapat mewajibkan apapun terhadap suami bagi isteri, akan tetapi kewajiban suami untuk memberikan hartanya adalah dengan sebab suami menentukan kadar mahar atau bersenggama ataupun dengan sebab kematian. Tiga unsur itu yang menyebabkan mahar wajib diberikan kepada isteri, meskipun ketiganya itu berpunca pada akad.

Page 1 of 3 | Total Record : 22