cover
Contact Name
Mukhammad Nur Hadi
Contact Email
mukhammad.nur.hadi@uinsa.ac.id
Phone
+6285280179576
Journal Mail Official
al_hukama@uinsa.ac.id
Editorial Address
Jl. A. Yani 117, Surabaya
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Al-Hukama: The Indonesian Journal of Islamic Family Law
ISSN : 20897480     EISSN : 25488147     DOI : 10.15642/alhukama
Al-Hukama serves academic discussions of any Indonesian Islamic family law issues from various perspectives, such as gender, history, sociology, anthropology, ethnography, psychology, philosophy, human rights, disability and minorities, digital discourse, and others. It intends to contribute to the debate in classical studies and the ongoing development debate in Islamic family law studies in Indonesia, both theoretical and empirical discussion. Al-Hukama always places the study of Islamic family law in the Indonesian context as the focus of academic inquiry.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol. 4 No. 2 (2014): Desember 2014" : 10 Documents clear
UPACARA SIKLUS KELAHIRAN ANAK MENURUT MASYARAKAT NAHDHATUL ULAMA WARU SIDOARJO JAWA TIMUR
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 4 No. 2 (2014): Desember 2014
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2014.4.2.256-301

Abstract

Abstract: There are a series of rituals commencing the birth of a baby in the Traditional Muslim Community of Waru Sidoarjo which is affiliated with Nahdlatul Ulama (NU) organization. The rituals are tingkeban in the seventh month of pregnancy, babaran and brokohan after the child labor, pasaran in the fifth day of the child, aqiqah for cutting the hair of the child and khitanan when the child is circumcised. In interpreting the meaning of these ritual cycles, the community is divided into three variants: the first is those who believe that the ritual is part of bid'ah or innovation forbidden in Islam. This group is termed a reformed NU. They would attend the ritual when they were invited. The second are those who consider the ritual part of religious practice, founded on the interpretation of the Qur'an. Hadith and Athar, and opinions of Muslim jurists. They acknowledge the rituals as innovation, which is a good one and, therefore, applicable. The group is called a traditionalists-normative NU. The third are those who state that the rituals are ancestors' traditions, which do not have to be religiously interpreted or founded. the group is dubbed a traditional-syncretic NU. Abstrak: Di antara upacara siklus kelahiran yang dilaksanakan oleh masyarakat NU di Waru adalah tingkeban, upacara yang diadakan pada bulan ketujuh dari masa kehamilan, babaran atau brokoan, yaitu upacara pada saat kelahiran bayi, pasaran, upacara pada hari kelima sesudah kelahiran, aqiqah, upacara penyembelihan kambing dan pemotongan rambut si bayi dan khitan. Dalam memaknai upacara siklus siklus kelahiran anak, masyarakat NU di Waru terbagi menjadi tiga varian: Pertama, NU-reformis, mereka yang memaknai upacara siklus kelahiran anak karena termasuk dalam kategori bid'ah, sementara semua bid'ah itu dilarang oleh agama dan tidak ada kategorisasi bidah hasanah dan sayyiah. Meskipun menolak, mereka tetap hadir dan mengikuti prosesi upacara siklus kelahiran anak jika mendapat undangan dari tetangga. Kedua, NU-tradisionalis normatif, mereka yang memaknai upacara siklus kelahiran anak sebagai praktik keagamaan yang memiliki landasan normatif dari al-Quran, hadis, athar, dan pendapat ulama. Jika dikategorikan sebagai bagian dari bid'ah karena Nabi tidak pernah melakukannya, maka upacara ini sebagai bagian dari bentuk bid‘ah yang positif (bid'ah hasanah). Ketiga, NU-tradisionalis sinkretis, mereka yang memaknai upacara siklus kelahiran anak sebagai tradisi nenek moyang, sehingga dalam melaksanakan upacara ini, mereka tidak merujuk pada landasan normatif yang dianut oleh ulama NU.
PENGASUHAN ANAK JALANAN DI SANGGAR ALANG-ALANG SURABAYA
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 4 No. 2 (2014): Desember 2014
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2014.4.2.302-324

Abstract

Abstract: This article discusses the practice of deserted children by Sanggar Alang-Alang Surabaya, a civil society institution which focuses on the welfare of abandoned children in Surabaya. This institution opens formal education such as preschool, literacy program of Paket A (Equivalent to elementary school), Paket B (equivalent to Junior High School) as well as non-formal education. In addition it also provides religious instruction, social and health welfare, life skill as well art training. . In Islamic perspective, this institution has conducted a very noble function in accordance to the Quranic injunction, especially Chapter 17:31 which guarantee the rights of children to live and develop and become. Likewise, Quran Chapter 8:27 also ordains the protection of children. From the perspective of state, theLaw No 23/2002 on Children Protectionhas sanctioned that the state is responsible for the welfare of all deserted children. Thus, this this Sanggar Alang-Alang has performed one of the state’s function and therefore, it should be supported. Abstrak: Artikel ini membahas tentang Penerapan Pengasuhan Anak Jalanan di Sanggar Alang-Alang Surabaya. Dalam penerapan pengasuhan anak jalanan di sanggar alang-alang Surabaya, sanggar melaksanakan pendidikan formal seperti PAUD, program kerja paket A (setara SD) dan program kejar paket B (setara SMP) dan pendidikan non formalnya berupa semua pembinaan yang dilakukan di sana. hal ini di tunjang dengan beberapa program unggulan, yakni: pembinaan agama, pembinaan sosial, pembinaan kesehatan, pembinaan keterampilan, dan pembinaan kesenian. Hal ini sesuai dengan surat al-isra’ ayat 31 yang menjelaskan anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 juga menghendaki adanya perlindungan anak, hal ini sesuai dengan ketentuan surat al-anfal ayat 27. Penerapan pengasuhan anak di sanggar alang-alang sudah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh hukum Islam, hal ini dapat dilihat dari beberapa program yang dicanangkan. adapun pembinaan yang dilakukan oleh sanggar alang-alang sebenarnya sudah sesuai dengan hukum Islam, namun tidak sesuai dengan undang-undang no. 23 tahun 2002 yang berlaku yang seharusnya anak jalanan dipelihara oleh negara. Untuk itu diharapkan pemerintah dapat memberikan sumbangsihnya dalam pelaksanaan undang-undnag no. 23 tahun 2002 oleh lembaga non pemerintah
PENOLAKAN DISPENSASI NIKAH BAGI PASANGAN NIKAH SIRRI DI BAWAH UMUR
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 4 No. 2 (2014): Desember 2014
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2014.4.2.325-353

Abstract

Abstract: This article argues the court case refusal of marriage dispensation for those who are still under age of marriage (19 year for men and 16 for women). The case took place in religious Court of Kraksaan, Situbondo. The solicitation for marriage dispensation is submitted by the parent of the girl because she has been already religiously married but not yet registered and already pregnant. This solicitation was not granted by the court. Instead of granting this under age marriage solicitation, the court ordered the parent to apply for marriage admission procedure. This procedure is conducted for the marriage which had took place but still lack of legality. The judges used the artcle 7 numbe (3) point (e) of Kompilasi Hukum Islam to justify their decision.  This decision. However, is contradictory to Law No.1/1974 on Marriage which states that under age marriage should only be legalized by marriage dispensation.Abstrak: Artikel ini membahas tentang penolakan dispensasi nikah bagi pasangan nikah sirri di bawah umur dalam Penetapan Pengadilan Agama Kraksaan. Permohonan dispensasi nikah diajukan oleh pemohon untuk anak pemohon. Anak pemohon sudah menikah secara sirri dengan calon menantu pemohon. Ketika istri anak pemohon hamil lima bulan, pemohon selaku orang tua dari anak pemohon mengajukan permohonan kehendak nikah antara anak pemohon dengan calon menantu pemohon ke Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Pegawai Pencatat Nikah menolak permohonan kehendak nikah yang diajukan oleh pemohon karena usia anak pemohon belum mencapai 19 tahun dan menyarankan kepada pemohon agar mengajukan permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama. Majelis hakim menggunakan dasar hukum pasal 7 angka (3) huruf (e) Kompilasi Hukum Islam dan menetapkan tidak menerima permohonan dispensasi nikah yang diajukan pemohon serta menganjurkan kepada anak pemohon agar mengajukan permohonan isbat nikah. Perspektif Undang-undang, anjuran isbat nikah kepada anak pemohon yang dilakukan hakim kurang tepat, karena anak pemohon masih di bawah umur. Dalam undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa bagi calon mempelai yang belum cukup umur (19 bagi laki-laki dan 16 bagi perempuan) harus mendapatkan dispensasi nikah dari Pengadilan. Tidak semata-mata hanya bisa diselesaikan dengan isbat nikah. 
FAKTOR TERJADINYA KEHAMILAN SEBELUM MENIKAH DI WILAYAH KANTOR URUSAN AGAMA TEGALSARI SURABAYA
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 4 No. 2 (2014): Desember 2014
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2014.4.2.354-382

Abstract

Abstract: This article discusses factors of pregnancy outside of wedlock in Tegalsari, Surabaya. The factors are adultery and rape. For Muslims in Indonesia, the commitment to religion remains strong, including in observing the prohibition of pre-marital sexual intercourse which is considered major sin in Islam. However, in big cities like Surabaya such commitment is diminishing, especially among Muslim youths. In Tegalsari district, the main factor for the occurrence of pregnancy outside wedlock is this lack of religious commitment. In addition, the urban environment such as loose parental supervision and technological advancement also contributes to the frequent occurrence of pregnancy outside of wedlock. In responding to this deteriorating situation, KUA (the office of religious affairs) which is in charge of marriage registration for Muslims, urges parents to supervise their children in their social lives and to make sure good education, especially religious education. In relation to legal aspect of marriage of pregnant women, the KUA officers referred to the four Islamic jurisprudence schools, namely Hanafi, Maliki, Syafi’I, and Hanbali who state that the marriage is valid and they become husband and wife. Abstrak: Artikel ini membahas tentang faktor terjadinya kehamilan sebelum menikah di wilayah KUA Tegalsari Surabaya. Faktor-faktor terjadinya kehamilan di luar nikah di wilayah KUA Kecamatan Tegalsari Surabaya antara lain: seks pra nikah (zina) dan perkosaan (karena paksaan). Adapun faktor yang mempengaruhi penyebab terjadinya kehamilan di luar nikah adalah:  Faktor individual yaitu Lemahnya mental spiritual sebesar 40% dan  faktor lingkungan sebesar 60% antara lain: orang tua dan perkembangan IPTEK yang berdampak negatif. Prosentase yang menunjukkan faktor utama dalam mempengaruhi penyebab terjadinya kehamilan sebelum menikah di Wilayah KUA Tegalsari Surabaya adalah faktor lingkungan. Pengaruh lingkungan adalah faktor utama yang menyebabkan timbulnya penyimpangan seksual, sehingga mengakibatkan kehamilan sebelum menikah. Adapun, usaha dari pejabat KUA untuk menanggulangi atau mewaspadai terjadinya kehamilan sebelum menikah adalah memberi pengetahuan orangtua untuk mengawasi anak-anaknya dalam bergaul, dan juga memberikan pendidikan agama sejak dini sehingga anak-anak bisa membawa diri ke pergaulan yang lebih baik dan tidak dipengaruhi oleh orang lain. Mengenai praktek di KUA Kecamatan Tegalsari Surabaya tentang kawin hamil, mengacu pada keempat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) yang mana mereka berpendapat, bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami isteri dengan ketentuan, bila si pria itu yang menghamilinya dan kemudian baru ia mengawininya.
PERGAULAN CALON SUAMI ISTRI PADA MASA PRA PEMINANGAN DI SAWUNGGALING WONOKROMO SURABAYA
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 4 No. 2 (2014): Desember 2014
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2014.4.2.383-408

Abstract

Abstract: This article discusses the social interaction between the bride and groom prior their marriage in Sawunggaling Wonokromo, Surabaya. In Islam, as long as the couple has not legally tied knot of marriage, they are not allowed to meet, let alone to make sexual intercourse. Any sexual intercourse outside wedlock is considered adultery and a major sin in Islam. Even if a man and a woman have been engaged to each other, this does not legalize sexual intercourse as long they have not tied knot. However, in Sawunggaling Wonokromo, Surabaya, after a man and a woman engaged for marriage, they are allowed to meet, to chat and even to have sexual intercourse. This interaction is a token of love and the man will be responsible to whatever happening to his fiancée. Certainly, this practice is contradictory to Islamic teaching. A man and a woman engaged to each other will only allowed to meet with the attendance of a member of family to avoid unlawful relationship. Abstrak: Artikel ini membahas tentang pergaulan calon suami istri pada masa pra peminangan di Sawunggaling Wonokromo Surabaya. Pergaulan calon suami-istri dalam masa pra peminangan yang berlaku di Kelurahan Sawunggaling adalah kedua calon diperkenankan bergaul bebas layaknya suami-istri seperti jalan-jalan berdua ke mana saja mereka suka, bincang-bincang berdua dan bahkan tidur sekamar juga ditolelir oleh masyarakat di sana. Pergaulan tersebut merupakan manifestasi kecintaan tehadap calonnya, dan si laki-laki akan bertanggung jawab dengan apapun yang akan terjadi terhadap tunangannya. Ada dua  faktor yang mempengaruhi pergaulan tersebut yaitu: Pertama, faktor lingkungan setempat yang memiliki kebiasaan memperkenankan calon suami-istri bergaul bebas. Kedua, faktor pendidikan masyarakat setempat, yang belum begitu paham terhadap hukum perkawinan Islam khususnya tentang peminangan (khitbah). Bentuk pergaulan calon suami istri pada masa pra peminangan yang terjadi di Sawunggaling Wonokromo Surabaya, dilarang dan diharamkan dalam syariat Islam. Islam hanya memperbolehkan kedua calon bertemu dan pertemuan tersebut harus didampingi mahram supaya tidak terjadi kemungkaran (fāhishah). 
STUDI HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA PERSPEKTIF GENDER
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 4 No. 2 (2014): Desember 2014
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2014.4.2.409-430

Abstract

Abstract: This article discusses Islamic family law from the perspective gender studies. The study of Islamic family law is a compulsory study for all students in the Faculty of Islamic Law and Legal Studies. The study, though, only referred to classical Islamic jurisprudence as reflected in Islamic law school (Maddhab). In addition, it uses the positive law of marriage in Indonesia, namely Law No. 1/1974 on Marriage and Presidential Degree No. 1/1990 on Kompilasi Hukum Islam. With the development of renewal in Islamic family law in contemporary state, Islamic family law should be studied through various approaches, including gender analysis. This is important because many modern muslim scholars formulate the renewal of Islamic family law to achieving gender equality in marriage. They do so by reinterpreting Quranic texts and prophet traditions. If the study of Islamic family law is conducted from, among other things, gender analysis, students will be able to think critically and flexible in discussing contemporary issues of Islamic family law. Abstrak: Tulisan ini mengkaji studi hukum perkawinan Islam dengan pendekatan gender. Hukum perkawinan Islam sebagai mata kuliah wajib yang diajarkan di Fakultas Syariah, masih cenderung merujuk kepada pendapat mazdhab klasik, UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam. Dengan perkembangan zaman dan adanya pembaruan pemikiran hukum Islam, perlu dikaji lebih mendalam materi Hukum Perkawinan Islam dengan berbagai pendekatan, salah satunya dengan pendekatan gender. Hal tersebut penting dilakukan, karena telah banyak pemikir modern muslim yang merumuskan adanya pembaruan dalam Hukum Perkawinan Islam demi tercapainya kesetaraan gender dalam perkawinan yang sesuai dengan perkembangan zaman, diantaranya dengan reinterpretasi teks al-Qur’an dan Hadis Hukum Perkawinan. Diharapkan dengan pembelajaran Hukum Perkawinan Islam dengan pendekatan gender, mahasiswa dapat berfikir kritis dan tidak kaku dalam berijtihad tentang masalah Kontemporer  Hukum Perkawinan Islam.Kata Kunci:Abstract: This article discusses Islamic family law from the perspective gender studies. The study of Islamic family law is a compulsory study for all students in the Faculty of Islamic Law and Legal Studies. The study, though, only referred to classical Islamic jurisprudence as reflected in Islamic law school (Maddhab). In addition, it uses the positive law of marriage in Indonesia, namely Law No. 1/1974 on Marriage and Presidential Degree No. 1/1990 on Kompilasi Hukum Islam. With the development of renewal in Islamic family law in contemporary state, Islamic family law should be studied through various approaches, including gender analysis. This is important because many modern muslim scholars formulate the renewal of Islamic family law to achieving gender equality in marriage. They do so by reinterpreting Quranic texts and prophet traditions. If the study of Islamic family law is conducted from, among other things, gender analysis, students will be able to think critically and flexible in discussing contemporary issues of Islamic family law. Abstrak: Tulisan ini mengkaji studi hukum perkawinan Islam dengan pendekatan gender. Hukum perkawinan Islam sebagai mata kuliah wajib yang diajarkan di Fakultas Syariah, masih cenderung merujuk kepada pendapat mazdhab klasik, UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam. Dengan perkembangan zaman dan adanya pembaruan pemikiran hukum Islam, perlu dikaji lebih mendalam materi Hukum Perkawinan Islam dengan berbagai pendekatan, salah satunya dengan pendekatan gender. Hal tersebut penting dilakukan, karena telah banyak pemikir modern muslim yang merumuskan adanya pembaruan dalam Hukum Perkawinan Islam demi tercapainya kesetaraan gender dalam perkawinan yang sesuai dengan perkembangan zaman, diantaranya dengan reinterpretasi teks al-Qur’an dan Hadis Hukum Perkawinan. Diharapkan dengan pembelajaran Hukum Perkawinan Islam dengan pendekatan gender, mahasiswa dapat berfikir kritis dan tidak kaku dalam berijtihad tentang masalah Kontemporer  Hukum Perkawinan Islam.
KETENTUAN AHLI WARIS MENURUT AGAMA ISLAM DAN HINDU
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 4 No. 2 (2014): Desember 2014
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2014.4.2.431-455

Abstract

Abstract: This article discusses the regulation surrounding inheritors according to Islam and Hinduism. The similarity lies in the familial relationship as the main motive for inheritance and that homicide prevent the right of inheritance. As to differences, Islam recognizes the wala’ (relationship between ex-slave and his/her master), whereas Hinduism recognizes adopted children and sentana rajeg as inheritors. In additiom, the classification of inheritors is different between Islam and Hinduism because of different concept of inheritors and the principle of inheritance. In Hinduism,  the main inheritors are male with certain criteria within patrilineal system. In contrast, Islam uses the principle of bilateral; in which male and female inheritors share the property of deceased. In islam, certain inheritors have fixed share of inheritance (ashab al- furūd), whereas Hinduism only recognizes male offspring, although female heirs also get their share. In Hinduism, a son gets 1 share and a half if he is the first son whereas a daughter get only a quarter.Abstrak: Artikel ini membahas tentang ketentuan ahli waris menurut agama Islam dan Hindu. Persamaan ketentuan waris antara agama Islam dan Hindu adalah hubungan kekerabatan sama-sama menjadi sebab mewarisi dan menghilangkan nyawa seseorang kedua agama penyebab hilangnya hak waris. Perbedaannya ada 3 hal yaitu terkait masalah sebab mewarisi. Dalam Islam ada hubungan perkawinan dan wala’ sedangkan dalam Hindu ada pengangkatan anak laki-laki dan anak sentana rajeg, tidak memiliki sifat jantan menjadi sebab penghalang dalam hukum Hindu, serta penggolongan ahli waris berikut pembagiannya sangat berbeda dengan Hindu. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan konsep tentang ahli waris dan asas kewarisan. Dalam agama Hindu, ahli waris yang diutamakan adalah laki-laki dan memiliki kriteria tertentu dan sistem kewarisannya adalah asas patrilinael (peralihan harta waris melalui satu arah hanya dari garis laki-laki saja), sedangkan dalam Islam adalah asas bilateral (peralihan harta melalui dua arah dari garis laki-laki dan perempuan). Dalam agama Islam, ada orang tertentu yang menjadi ahli waris dengan bagian tertentu dengan sebutan ashab al- furūd, sedangkan Hindu hanya anak keturunan terutama laki-laki meski perempuan juga mendapatkan harta waris namun tidak seleluasa anak laki-laki yang mendapatkan 1 bagian ditambah ½ apabila dia anak sulung sedangkan anak perempuan hanya mendapatkan ¼ nya  saja. 
HUKUM WARIS DI INDONESIA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 4 No. 2 (2014): Desember 2014
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2014.4.2.456-474

Abstract

Abstract: this article explains the interrelation between Islamic inheritance law and Indonesian customary inheritance law. Islamic inheritance law is a set of rules that regulates the transfer of property from a deceased to the rightful heirs. It means that the law determines who the heirs are and who are not. It also determine the potion or percentage of each heir of the property. Similarly, customary inheritance law regulates the transfer of property and other property-related rights. The comparison between the two laws results in several similar features despite their differences. In customary inheritance law, some property may not be distributed among heirs or their distribution may be deferred to a later time, while in Islamic inheritance law, each inheritor is entitled to request his or her share of inheritance at any time. In customary law, adopted children may become inheritor if the deceased decided to do so, while Islamic inheritance law adopted children does  not have this regulation. in addition, the share of each inheritor is not predetermined in customary law, while Islamic inheritance law determines the share of each inheritor which cannot be negotiated. Abstrak: Hukum waris Islam adalah aturan yang mengatur pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hal ini berarti menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, porsi bagian masing-masing ahli waris, menentukan bagian harta peninggalan dan harta warisan yang diberikan kepada ahli waris. Hukum waris adat adalah serangkaian peraturan yang mengatur penerusan dan pengoperan harta peninggalan atau harta warisan dari suatu generasi ke generasi lain, baik yang berkaitan dengan harta benda maupun yang berkaitan dengan hak-hak kebendaan. Perbandingan antara hukum waris islam dan hukum waris adat, diantaranya: a. Dalam hukum waris adat, harta peninggalan dapat bersifat tidak dapat dibagi-bagi atau pelaksanaan pembagiannya ditunda. Sedangkan dalan hukum waris Islam, tiap ahli waris dapat menuntut pembagian harta peninggalan tersebut sewaktu-waktu. b. Hukum waris adat memberi kepada anak angkat, hak nafkah dari harta peninggalan orang tua angkatnya. Sedangkan dalam hukum waris Islam, tida ada ketentuan ini. c. Dalam hukum waris adat, pembagiannya merupakan tindakan bersama, berjalan secara rukun dengan memperhatikan keadaan khusus tiap waris. Adapun dalam hukum waris Islam, bagian-bagian para ahli waris telah ditentukan.
IJTIHAD UMAR BIN KHATTAB TENTANG HUKUM PERKAWINAN PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 4 No. 2 (2014): Desember 2014
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2014.4.2.474-499

Abstract

Abstract: Umar ibn al-Khattab is a bold, strict, intelligent and influential companion of the Prophet Muhammad. He brought the combination these character when he converted  to Islam. He accepted the texts of the Qur’an, but cautiously derived legal decision from prophetic tradition. He used to correlate the narrative of prophetic tradition with the Qur’an before arriving at a decision.  He made a lot of jurisprudential decisions during his tenure as the second caliphs. On the other hand, Kompilasi Hukum Islam is a legal product of Indonesian Muslim. It serves as a legal basis for judges in religious court. It compiled Islamic jurisprudence from classic Islamic schools of law in the area of Islamic family law. There are similarities between the opinions of Umar ibn al-Khattab with the pronouncements in the Kompilasi. Among the similarities are the prohibition to propose a woman who are engaged to other man, the approval of a woman for her marriage, the prohibition of marriage without guardian, the prohibition of setting steep dowry, the prohibition of temporary marriage (mut’a), and the introduction of pre-marital agreement. Abstrak: Umar bin Khattab adalah sosok manusia yang keras, kasar, cerdas, dari kekasaran dan kecerdasannya inilah yang mengantarkan dia masuk Islam. Dalam memahami nash-nash al-Qur’an, Umar dapat langsung menerima, namun terhadap menentukan suatu hukum dari hadis, maka ia akan sangat hati-hati, ia selalu menghubungkan nash as-Sunnah dengan al-Qur’an, tujuannya agar keduanya dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat Islam. Kompilasi Hukum Islam (KHI) jika dilihat dari sejarah penyusunannya adalah himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang ditulis dan disusun secara teratur dan sistematis, diambil dari berbagai kitab (pendapat para fuqaha/doktrin) yang dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama. Terdapat kesesuaian antara ijtihad Umar bin Khattab dengan Kompilasi Hukum Islam, di antaranya adalah: Larangan seorang laki-laki meminang perempuan di atas pinangan orang lain sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam yang tercantum dalam pasal 12 ayat 3 dan 4. Persetujuan calon istri. Hal tersebut tercantum dalam pasal 16 dan 17. Larangan pernikahan tanpa wali sesuai KHI sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 14, 19, 20. Larangan memberi mahar terlalu tinggi sesuai KHI pasal 31. Diperbolehkan mengadakan perjanjian perkawinan sesuai dengan KHI Pasal 45. Larangan nikah mut’ah sesuai dengan ketentuan KHI dalam pasal 2 ayat 3. Dan Larangan menikah beda agama sesuai dengan KHI pasal 40 dan 44.
PENANGANAN TERHADAP PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 4 No. 2 (2014): Desember 2014
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2014.4.2.500-515

Abstract

Abstract: Violence against women in Indonesia has been recognized as a serious problem. Violence against women can be found everywhere such as in family, workplace, community and state, in the form of physic, psychology, sexual and economy. Perpetrators of violence against women can occur in various ways, ranging from individual, groups in society, and in a state institution with the main target toward women; children, adults, and including women with disabilities. It can be due to lack of knowledge and understanding of women to Undang-Undang No. 23 tahun 2004. Consequently, those who become the victim of violence are still trying to survive because of their fear to husband’s retaliation, the lack of shelter, their fear to the people’s negative assumption, their low self-confidence, and the reason of the children’s interest. In these difficult conditions, most wives still love their husband and defend their marriage. The awareness enhancement of law for women which is continually made might reduce the violence against women as mandated by Undang-Undang No. 23 tahun 2004.Abstrak: Kekerasan terhadap perempuan di Indonesia telah diakui sebagai permasalahan yang serius. Kekerasan terhadap perempuan ini dapat ditemukan di mana-mana, baik di lingkungan keluarga, tempat kerja, masyarakat dan negara, dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Pelaku  kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi secara beragam, mulai dari perorangan, kelompok-kelompok yang ada di masyarakat, maupun institusi-institusi negara dengan sasaran perempuan, baik anak, dewasa maupun usia lanjut, termasuk kaum perempuan penyandang cacat. Hal ini dapat disebabkan karena rendahnya pengetahuan dan pemahaman perempuan terhadap UU No. 23 tahun 2004, sehingga mengakibatkan perempuan menjadi korban kekerasan tetap berusaha mencoba bertahan. Hal ini karena adanya rasa takut pembalasan suami, tidak adanya tempat berlindung, takut dicerca masyarakat, rasa percaya diri yang rendah, alasan kepentingan anak, dan sebagian isteri tetap mencintai suami mereka serta mempertahankan perkawinan. Peningkatan kesadaran hukum bagi perempuan yang terus menerus dilakukan diharapkan angka kekerasan terhadap perempuan dapat ditekan sesuai dengan amanah Undang-Undang No. 23 tahun 2004.

Page 1 of 1 | Total Record : 10