cover
Contact Name
Mukhammad Nur Hadi
Contact Email
mukhammad.nur.hadi@uinsa.ac.id
Phone
+6285280179576
Journal Mail Official
al_hukama@uinsa.ac.id
Editorial Address
Jl. A. Yani 117, Surabaya
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Al-Hukama: The Indonesian Journal of Islamic Family Law
ISSN : 20897480     EISSN : 25488147     DOI : 10.15642/alhukama
Al-Hukama serves academic discussions of any Indonesian Islamic family law issues from various perspectives, such as gender, history, sociology, anthropology, ethnography, psychology, philosophy, human rights, disability and minorities, digital discourse, and others. It intends to contribute to the debate in classical studies and the ongoing development debate in Islamic family law studies in Indonesia, both theoretical and empirical discussion. Al-Hukama always places the study of Islamic family law in the Indonesian context as the focus of academic inquiry.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 216 Documents
BATAS HAK SUAMI DALAM ‎MEMPERLAKUKAN ISTRI SAAT NUSYUZ ‎DAN SANKSI PIDANANYA ‎
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 6 No. 2 (2016): Desember 2016
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2016.6.2.251-274

Abstract

Abstract: This study wants to answer two problems: first, the limit where the husband’s rights treat his nuzuz wife; and second, the provision of criminal sanction for the husband who goes beyond the limit of such rights. This research uses the normative research approach. Hopefully, through this approach it can be seen the limit of the husband’s rights in threatening his nuzuz wife and the criminal sanction for the husband who goes beyond the limit of such rights. The result of the research concludes that Islam gives the boundary to the husband’s rights toward his nuzuz wife: first, the persuasive right and physical sanction through the media of mentoring. The next step is through ‘bed separation’ and then physical sanction in the way of beating that does not hurt and injure; second, the right not to give the maintenance; and third is a divorce right. The husband’s action in implementing his rights that exceeds the limit of physical sanctions such as physical violence to hurt, injure, and harm, or psychological violence such as intimidation that causes severe trauma, according to KUHP and Undang-Undang no. 24 tahun 2004, can be subject to criminal sanction. Abstrak: Studi ini ingin menjawab dua permasalahan. Pertama, Sampai di mana batasan hak-hak suami dalam memperlakukan istri yang nusyuz. Kedua, bagaimana ketentuan sanksi pidana bagi suami yang melampaui batas-batas haknya tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan (teori) normatif research. Diharapkan melalui pendekatan ini dapat diketahui batasan hak-hak suami dalam memperlakukan istri yang nusyuz dan sanksi pidana bagi suami yang melampaui batas-batas haknya. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Islam memberi batasan hak suami pada istri yang sedang nusyuz; pertama, hak persuasif dan sanksi fisik melalui tahapan pemberian nasehat, lalu tahap berikutnya melalui pisah ranjang, lalu kemudian sanksi fisik melalui cara memukul yang tidak sampai menyakiti bahkan mencederai atau melukai,  yang bersifat mendidik dan memberi pelajaran. Kedua, hak tidak memberi nafkah, dan ketiga hak talak. Tindakan suami dalam menggunakan hak sanksi fisik yang melebihi batas seperti adanya kekerasan fisik yang menyakiti, melukai atau mencederai, atau kekerasan psikis seperti intimidasi yang menimbulkan trauma berat, menurut KUHP dan UU No. 23 Tahun 2004, tindakan suami tersebut dapat dikenai sanksi pidana.  Kata Kunci: Hak suami, nusyuz, dan sanksi pidana
‎‘IDDAH DAN IHDAD BAGI WANITA KARIR
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 6 No. 2 (2016): Desember 2016
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2016.6.2.275-297

Abstract

Abstract: The concept of ‘iddah and ihdad in Islamic jurisprudence that has been running so far requires women to shy away from the social interaction and the avoidance of activities that may attract the attention of men, such as preening, ornate, and so on. They are regarded to mediate the appearance of the prohibited wedding on the waiting period (‘iddah). It is very collide with the present fact about the career women which demand them to work hard, always look attractive, and keep the interaction with the opposite sex. These factors encourage them to have an outdoor activity to support their financial result and career. The clash between the concept of fiqh and the current condition of the career women becomes the object of the discussion. Consideration that can change the legal status of ‘iddah and ihdad when collides with the issue of career women is a consideration hajah and darurah. In addition, the legal settlement of the career women can be said to be more applicable, effective, and humane. This paper will examine about ‘iddah and ihdad for the career women through the lens of maqasid al-shari’ah so the concept of Islamic jurisprudence can still be applied in contemporary era without negating the rights of the individual and social. Abstrak: Konsep ‘iddah dan ihdad dalam fiqh yang telah dijalankan selama ini, mengharuskan wanita untuk menghindar dari interaksi sosial serta menghindar dari aktifitas yang dapat menarik perhatian laki-laki, semisal bersolek, berhias, dan sebagainya karena dianggap dapat menjadi perantara munculnya pernikahan pada masa ‘iddah yang hukumnya dilarang. Hal ini sangat berbenturan dengan fakta kekinian tentang wanita karir yang menuntut wanita bekerja ekstra untuk memenuhi kebutuhan hidup yang mengharuskan wanita ini untuk selalu berpenampilan menarik serta menjaga interaksi dengan siapapun termasuk lawan jenis sehingga tertuntut untuk selalu beraktifitas keluar rumah, hal ini ditujukan untuk menunjang hasil finansial dan karirnya. Dua fakta mengenai benturan konsep fiqh dengan kondisi kekinian yang dalam hal ini adalah wanita karir, menjadi objek pembahasan yang menarik untuk kemudian dicarikan solusinya. Pertimbangan yang dapat merubah hukum ‘iddah dan ihdad ketika berbenturan dengan masalah wanita karir adalah pertimbangan hajat dan d}arurat mengingat efektifitas hajat dan d}arurat sehingga penyelesaian hukum ‘iddah dan ihdad bagi wanita karir dapat dikatakan lebih aplikatif, efektif  dan humanis untuk era kekinian dengan pertimbangan hajat dan darurat.  Tulisan ini akan mengkaji tentang ‘Iddah dan Ihdad  Bagi Wanita Karir melalui kacamata maqasid ash-Shari’ah sehingga konsep fiqh masih dapat diaplikasikan di era kekinian tanpa meniadakan hak-hak individu dan sosial.Kata Kunci: ‘Iddah, Ihdad, Wanita Karir 
PEMBAGIAN WARIS HARTA PUSAKA ‎RENDAH TIDAK BERGERAK DALAM ‎MASYARAKAT MINANGKABAU ‎KANAGARIAN KURAI
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 6 No. 2 (2016): Desember 2016
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2016.6.2.298-318

Abstract

Abstract: This study examines the practice of lower division of inheritance for the immovable goods within the inheritance system of Minangkabau, Kanagarian. It is then analyzed with the inheritance system in Islam. Data are obtained by interview and documentation. Interview is conducted to public figures, customs, and religion in Kanagarian Kurai. The collected data are then analyzed with descriptive-deductive mindset. The research finds that the practice of lower division of inheritance for the immovable goods within the inheritance system of Minangkabau- Kanagarian is still strongly influenced by the old custom that only prioritizes the female line. This influence can be seen from the implementation of the inheritance of immovable property such as land or house that are only given to girl. The boy does not take his part because of his embarrassment to the people around who consider that he has not right to take the estate and for the reason to avoid family dispute. In addition, the inheritance system in Kanagarian Kurai, the division of the estate that often delay leads to the mixing of the estate with the other property divisions of inheritance. The practice of lower division of inheritance for the immovable goods within the inheritance system of Minangkabau-Kanagarian is not in accordance with the provision of the Islamic inheritance system which clearly specifies each heir.Abstrak:Penelitian ini mengkaji praktik pembagian harta pusaka rendah tidak bergerak dalam kewarisan Minangkabau di Kanagarian Kurai. Pelaksanaan pembagian harta pusaka rendah tidak bergerak di kanagarian Kurai ini kemudian dianalisis kesesuaiannya dengan ketentuan waris dalam Islam. Data diperoleh dengan metode wawancara dan studi dokumen. Wawancara dilakukan kepada tokoh masyarakat, adat dan agama di kanagarian Kurai. Setelah terkumpul, data tersebut dianalisis dengan metode deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif. Penelitian ini menemukan bahwa, pelaksanaan pembagian harta pusaka rendah tidak bergerak di Kanagarian Kurai masih sangat dipengaruhi adat lama yang mewariskan harta hanya pada jalur perempuan saja. Pengaruh ini dapat dilihat dari pelaksanaan warisan harta tidak bergerak seperti tanah atau rumah yang hanya diberikan kepada anak perempuan. Anak laki-laki tidak mengambil bagian mereka karena malu kepada masyarakat sekitar yang menganggap tidak patut mengambil harta warisan dan karena untuk menghindari perselisihan keluarga. Selain itu, dalam kewarisan di Kanagarian Kurai, pembagian harta waris yang ditunda-tunda sering menyebabkan tercampurnya harta warisan dengan harta lainnya. Pelaksanaan pembagian harta pusaka rendah tidak bergerak di Kanagarian Kurai ini tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam kewarisan Islam yang secara jelas menentukan bagian masing-masing ahli waris secara pasti dan bersifat ijbāri.Kata Kunci: waris, harta pusaka rendah tidak bergerak, masyarakat Minangkabau
MAKNA KEDEWASAAN DALAM ‎PERKAWINAN
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 6 No. 2 (2016): Desember 2016
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2016.6.2.319-336

Abstract

Abstract: In a marriage, the bridegroom’s maturity is one of the considerations of many parties especially for the state official. Maturity should be owned by each spouse since it is deemed necessary to determine the happiness of the family. However, in term of law itself provides many different provisions concerning with the minimum age of consent, it has no mutual understanding about the agreed boundary between one law and another. Because of that, this paper further examines the meaning of maturity according to law and custom. The study is carried out to find the meaning of maturity in a marriage that is expected to contribute to the policy makers of law. Because of that, the author uses a juridical, philosophical, and sociological perspective in viewing the meaning of maturity in a marriage. Legally, a person can perform the marriage if his/her age has already reached the limit prescribed by law. In sociological sense, the bridegroom is supposed to understand the social responsibility. It can surely lead the family to the goodness and responsibility to community at large in maintaining peace through household. While the philosophical aspect of maturity hopes that the bridegroom is quite ready to face the challenge. In addition, it is expected that the emerging wisdom of the maturity can help to illuminate and make everything in their life as a lesson for the next action. Abstrak: Dalam suatu perkawinan, kedewasaan para mempelai menjadi salah satu pertimbangan banyak pihak, terutama penyelenggara negara. Kedewasaan pasangan dipandang perlu dimiliki setiap pasangan yang hendak menikah karena nantinya akan menentukan kebahagiaan rumah tangga. Namun, dari sisi undang-undang sendiri, banyak memberikan ketentuan yang berbeda-beda tentang batas usia dewasa, tidak ada kesepakatan batasan antara undang-undang yang satu dengan yang lain. Untuk itu, tulisan ini mengkaji lebih jauh makna kedewasaan itu dengan melihat makna kedewasaan menurut undang-undang dan  adat masyarakat. Telaah ini dilakukan untuk menemukan makna kedewasaan dalam perkawinan sehingga diharapkan dapat memberi sumbangan kepada pembuat kebijakan perundang-undangan. Karena itu, penulis menggunakan perspektif yuridis, filosofis, dan sosiologis dalam melihat makna kedewasaan dalam perkawinan. Secara yuridis, Seseorang dapat melaksanakan perkawinan apabila usianya telah mencapai batas-batas yang telah ditentukan oleh undang-undang perkawinan. Kedewasaan dalam arti sosiologis menghendaki agar mempelai paham seutuhnya tanggung jawab sosial. Tentunya dapat membimbing keluarga pada kebaikan dan bertanggung jawab terhadap masyarakat secara luas dalam memelihara ketentraman melalui rumah tangga. Sedangkan kedewasaan dalam aspek filosofis mengharapkan agar para mempelai menjadi pribadi yang utuh dalam menghadapi tantangan hidup dalam rumah tangga, baik yang bersifat semu maupun nyata. Selain itu, diharapkan pula kebijaksanaan yang muncul dari kedewasaan tersebut dapat membantu menerangi dan menjadikan segala hal dalam hidup sebagai pelajaran bagi setiap tindakan yang akan dilakukan selanjutnya.Kata kunci: kedewasaan, yuridis, filosofis, dan sosiologis
METODE PENETAPAN KAFA’AH DALAM ‎JUKLAK NOMOR 1/II/1986 PERSPEKTIF ‎HUKUM ISLAM ‎
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 6 No. 2 (2016): Desember 2016
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2016.6.2.337-372

Abstract

Abstract: This study discusses the background of kafa’ah determination method in the Guideline No. 1/II/1986 and how the Islamic legal analysis against the method of kafa’ah determination in the guideline. Method of collecting data is done by the engineering study of documents and interviews. The data are collected through the descriptive method and deductive mindset. At first glance, the kafa’ah determination in this guideline is not in line with Islamic law, but most of the Muslim scholars allow it since the work is also considered in kafa’ah criteria. The determination of kafa’ah in this guideline is on the reason of maslahah, namely being more selective in choosing a partner, maintaining the honor and dignity of a good husband in the family and neighborhood unity of the military, avoiding strife in the household as well as making the vision and mission in the line of duty. In Islamic kafa’ah concept, the assignment of job as a kafa’ah criteria, according to majority the Muslim scholars, is allowed. It is because in addition to religion, the work also needs to be considered as a kafa’ah criteria for the purpose of benefit, namely the creation of sakinah, mawaddah and rahmah family. Based on the above conclusion, it is expected that Army members really need to be selective in choosing a husband/wife by harmonizing with the vision and mission in order to maintain harmony.Abstrak: Penelitian ini membahas tentang apa yang melatarbelakangi adanya metode penetapan kafa’ah dalam Juklak Nomor 1/II/1986 dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap metode penetapan kafa’ah dalam juklak nomor 1/II/1986 tersebut. Metode pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi dokumen dan wawancara. Data yang telah dihimpun dianalisis menggunakan metode deskriptif  analisis dengan pola pikir deduktif. Jika dilihat sekilas, metode penetapan kafa’ah dalam juklak tersebut terkesan tidak sesuai dengan hukum Islam, tetapi menurut jumhur ulama diperbolehkan, karena pekerjaan juga dipertimbangkan dalam kriteria kafa’ah. Penetapan kafa’ah dalam juklak tersebut dimaksudkan untuk kemaslahatan, yakni agar kowad lebih selektif dalam memilih pasangan, menjaga kehormatan dan harga diri suami baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan kesatuan TNI, menghindari percekcokan dalam rumah tangga serta untuk menyamakan visi dan misi dalam menjalankan tugas. Dalam konsep kafa’ah dalam perkawinan Islam, penetapan pekerjaan sebagai kriteria kafa’ah, menurut jumhur diperbolehkan, karena selain agama, pekerjaan juga perlu dipertimbangkan sebagai kriteria kafa’ah dengan tujuan untuk kemaslahatan, yaitu terciptanya keluarga yang sakinah mawadah dan rahmah. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka diharapkan bagi anggota TNI benar-benar harus selektif dalam memilih calon suami/istri  dengan menselaraskan visi dan misi demi menjaga keharmonisan dalam rumah tangga.Kata Kunci: kafa’ah dan Juklak Nomor 1/II/1986
PENDAPAT HAKIM PA BANGKALAN DAN ‎PA SIDOARJO MENGENAI STATUS ANAK ‎LUAR KAWIN
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 6 No. 2 (2016): Desember 2016
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2016.6.2.373-397

Abstract

Abstract: This paper is the result of a field research on the opinion of the judges of PA (Religious Church) Bangkalan and Sidoarjo against the MK’s decision No. 46/PUU-VIII/2010. The MK’s decision is important from the point of view of judge as the law enforcement because it invites a lot of debate in the community. In this research, the author collects data using interview and documentation technique. The collected data is then analyzed by using descriptive-verification technique to describe the opinion of the judges of the MK’s decision No. 46/PUU-VIII/2010. The finding of the study is that the judges of PA interpret the child outside of marital contract includes: a child born by a woman who is not tied to marriage with a man who impregnates her, a child resulted from a sirri marriage, a child born from the infidelity of either within the marital period or not, a child resulted from a living together (samen liven), a child as a result of being raped by a man or more, a child who legally denied by his father, a child as a result of a wrong sexual intercourse, a child born out of a fasid marriage, and a child born from a surrogate mother. The judges of PA also have different opinion about the MK’s decision No. 46/PUU-VIII/2010 on the legal status of a child born outside of a marital contract. There are four kinds of view: the MK’s decision is legally flawed, the MK’s decision needs a new setting, the MK’s decision has a limited effect on a materially child’s civil right, the MK’s decision has the absolute force as the first and the last constitutional court decision. Therefore, it has a legal implication for the child to his mother and father based on science and technology and/or other evidence justified by law as to have a blood relationship between a child and his biological father.Abstrak:  Tulisan ini merupakan hasil penelitian lapangan yang melihat pendapat hakim PA Bangkalan dan Sidoarjo terhadap putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010. Putusan MK tersebut, penting dilihat dari sudut pandang hakim sebagai pelaksana hukum karena mengundang banyak polemik di kalangan masyarakat. Untuk itu, penulis mengumpulkan data menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik deskriptif-verifikatif untuk menggambarkan pendapat hakim tentang putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010. Dengan metode tersebut, penelitian ini menemukan, bahwa para hakim PA menginterpretasikan anak luar perkawinan  meliputi: anak lahir dari perempuan yang tidak terikat perkawinan dengan laki-laki yang menghamili, anak hasil perkawinan sirri, anak lahir dari perselingkuhan baik perempuan terikat perkawinan atau tidak, anak hasil hidup bersama (samen liven), anak lahir akibat diperkosa oleh seorang laki-laki  atau lebih, anak lahir yang diingkari (dili’an) ayahnya, anak lahir akibat hubungan seks salah orang/ salah sangka, anak lahir akibat perkawinan yang fa>sid/ batal, dan dimungkinkan anak lahir dari ibu pengganti (surrogate mother). Para hakim PA juga memiliki pendapat yang berbeda mengenai putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 yang mengatur status hukum anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Ada empat macam pandangan: putusan MK cacat yuridis, putusan MK perlu pengaturan baru, putusan MK berlaku terbatas pada hak perdata anak yang bersifat materiil, putusan MK mutlak berlaku karena merupakan putusan perkara konstitusi tingkat pertama  dan terakhir, karenanya berimplikasi pada hubungan perdata anak selain dengan ibunya juga dengan ayahnya berdasarkan ilmu pengetahuan dan tehnologi  dan/atau bukti lain yang dibenarkan oleh hukum memiliki hubungan darah antara anak dengan ayah biologisnya. Kata Kunci: Pendapat hakim, putusan MK, dan anak luar kawin
PENETAPAN AHLI WARIS PENERIMA SANTUNAN JASA RAHARJA DALAM PP NO. 18 TAHUN 1965
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 6 No. 2 (2016): Desember 2016
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2016.6.2.398-421

Abstract

Abstract: This bibliographical research aims to answer the questions of how the determination of the heirs as receivers of Jasa Raharja compensation stated in PP (Peraturan Pemerintah/Government Regulation) No. 18 Year 1965 and how the Islamic law perspective against the determination of the heirs as receivers of Jasa Raharja compensation. The data that obtained by documentation technique are further analyzed by descriptive method and deductive mindset. The research concludes that according to PP No. 18 Year 1965, the heirs are children, widow/widower, and/or the parents of the victim died of road traffic accident with the rule of the receipt and payment of compensation starting from the legitimate widow/widower, legal children, and legal parents. Thus, it can be said that the determination of the heirs within such regulation does not fully implement the provision of the Islamic inheritance system since it only provides Jasa Raharja compensation as a part of estate to the heirs who cannot be stunted (mahjub hirman), such as widow/widower, children, and parents.  However, if it is viewed from the origin compensation of Jasa Raharja that is not coming from the victim but gathered from the owners of the transport equipment, it can be quite fair when the compensation is only given to the nearest heirs.Abstrak: Tulisan ini merupakan hasil penelitian pustaka (library research) yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana penetapan ahli waris penerima santunan Jasa Raharja dalam PP No. 18 Tahun 1965 dan bagaimana analisis Hukum Islam terhadap penetapan ahli waris penerima santunan Jasa Raharja tersebut. Data penelitian dihimpun dengan menggunakan teknik dokumentasi yang selanjutnya dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa menurut PP No. 18 Tahun 1965, ahli waris hanyalah anak-anak, janda/ duda, dan/ atau orang tua dari korban mati kecelakaan lalu lintas jalan dengan aturan penerimaan pembayaran santunan dimulai dari jandanya/ dudanya yang sah, kemudian anak-anaknya yang sah dan diakhiri orang tuanya yang sah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penetapan ahli waris dalam peraturan tersebut tidak sepenuhnya menerapkan ketentuan hukum kewarisan Islam karena hanya memberikan santunan Jasa Raharja yang merupakan bagian harta waris kepada golongan ahli waris yang tidak bisa ter-hijab hirman, yaitu janda/ duda, anak-anak serta orang tua. Meskipun begitu, jika dilihat dari asal santunan Jasa Raharja yang bukan dari korban, namun terhimpun dari para pemilik/ pengusaha alat angkutan lalu lintas jalan, maka dapat dikatakan cukup adil jika santunan tersebut hanya diberikan kepada ahli waris sedarah yang terdekat saja.Kata Kunci: ahli waris, santunan Jasa Raharja, PP No. 18 Tahun 1965
PENOLAKAN ITHBAT NIKAH SIRI BAGI ‎SUAMI YANG SUDAH BERISTRI ‎
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 6 No. 2 (2016): Desember 2016
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2016.6.2.422-447

Abstract

Abstract: This study reviews the judge’s legal consideration basis in rejecting the confirmation of unregistered marriage (isbat nikah) for a husband who had married in the Religion Court’s decision of Nganjuk No: 1339/Pdt.G/2013/PA.Ngj and how the analysis of Islamic law against the denial of the confirmation of unregistered marriage for a husband who had married in the Religious Court’s decision of Nganjuk. The data of the research are obtained through documentation and interview. The data are then analyzed by descriptive-deductive mindset. This study concludes that the consideration and the legal basis used by the judge in the case of the confirmation of unregistered marriage is Article 4, paragraph 1 of Law No. 1 of 1974 About Marriage jo. Article 52 paragraph 1 Islamic Law Compilation. In Article 5, paragraph 1 (a) of Law No. 1 of 1974 jo. Article 58, paragraph 1 (a) Islamic Law Compilation states that one of the requirements of conducting polygamy is the condition must be approved by wife. The judge rejected the request of the confirmation of unregistered marriage because in this case, according to the judge, is classified as polygamy. Judge just looks at the judicial aspect without considering the principles of maqasid al-shari’ah. In this case, the very important to note is the civil right and welfare of children which is one of the main constituents of hifzd al-nasl (protection of children) that should be maintained. In consideration of hifzd al-nasl, the petition of the confirmation of unregistered marriage should have been granted.Abstrak: Penelitian ini mengkaji tentang dasar pertimbangan hukum hakim dalam menolak ithbat nikah siri bagi suami yang sudah beristri dalam putusan Pengadilan Agama Nganjuk nomor: 1339/Pdt.G/2013/ PA.Ngj dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap penolakan ithbat nikah siri bagi suami yang sudah beristri dalam putusan Pengadilan Agama Nganjuk tersebut. Data penelitian ini diperoleh melalui dokumentasi dan wawancara yang selanjutnya dianalisis dengan metode deskriptif menggunakan pola pikir deduktif. Penelitian ini berkesimpulan bahwa, pertimbangan dan dasar hukum yang digunakan hakim dalam menetapkan perkara ithbat nikah adalah pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal 52 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Dalam pasal 5 ayat 1 (a) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 jo. Pasal 58 ayat 1 (a) Kompilasi Hukum Islam bahwa salah satu syarat berpoligami harus ada persetujuan dari istri. Hakim menolak permohonan ithbat nikah karena pada kasus ini menurut majelis hakim tergolong perkara poligami. Hakim hanya melihat dari aspek yuridis tanpa mempertimbangkan maqasid al-shari’ah.  Dalam kasus ini yang sangat penting untuk diperhatikan adalah  hak-hak keperdataan dan kesejahteraan anak yang merupakan salah satu unsur pokok hifzu al-nasli yang harus terpelihara. Dengan pertimbangan tersebut permohonan ithbat nikah ini seharusnya dikabulkan.Kata Kunci: ithbat nikah dan nikah sirri
PENOLAKAN PEMBATALAN NIKAH DI ‎BAWAH USIA KAWIN DI PENGADILAN ‎AGAMA SURABAYA
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 6 No. 2 (2016): Desember 2016
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2016.6.2.448-473

Abstract

Abstract: This study examines the legal consideration basis of the judge’s decision of Surabaya Religious Court No. 5157/Pdt.G/2012/PA.Sby. about the denial of cancellation of underage marriage and the juridical analysis against Religious Court’s Decision in Surabaya. The data are collected by using the documentary technique, namely from the verdict, the secondary books, articles, act, and interview. Furthermore, the data are analyzed by the descriptive method and deductive mindset. That is to describe and interpret the collected data with the general theory about the rejection of the cancellation of marriage in procedural law of Religious Court. It is then used to analyze the Religious Court’s decision in Surabaya in the case of rejection of the cancellation of the underage marriage submitted by applicant to the Head Office of Religious Affairs of Sukomanunggal, Surabaya. The research concludes that, the legal consideration basis of the judge’s decision of Surabaya Religious Court No. 5157/Pdt.G/2012/PA.Sby. is by looking the marriage law which includes the criteria of marriage that can be canceled. The judge refused a request of the applicant due to the consideration of profit (maslahah). It was since the defendant II was in 8 months pregnant. So that, the marriage annulment petition was rejected by the judge of the Religious Court in Surabaya through decision No. 5157/Pdt.G/2012/PA.Sby..Abstrak: Penelitian ini mengkaji tentang dasar pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Agama Surabaya dalam putusan Nomor:5157/Pdt.G/2012/PA.Sby. tentang penolakan pembatalan nikah di bawah usia kawin serta analisis yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Surabaya tersebut. Data penelitian dihimpun dengan menggunakan teknik studi dokumenter yaitu mengumpulkan data dan informasi dari putusan, buku sekunder, artikel dan Undang-Undang dan sebagai pengayaan data dilakukan teknik wawancara. Selanjutnya data yang telah dihimpun dianalisis menggunakan metode deskriptif dengan pola pikir deduktif. yaitu menggambarkan dan menafsirkan data yang telah terkumpul dengan teori-teori yang bersifat umum tentang penolakan pembatalan nikah dalam hukum acara peradilan agama yang kemudian digunakan untuk menganalisis putusan pengadilan agama surabaya dalam kasus penolakan pembatalan nikah di bawah usia kawin yang diajukan oleh pemohon Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukomanunggal Kota Surabaya. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa, dasar pertimbangan majelis hakim Pengadilan Agama Surabaya dalam memutus perkara Nomo:5157/Pdt.G/2012/PA.Sby. adalah dengan melihat undang-undang. Perkawinan tersebut, termasuk kriteria perkawinan yang dapat dibatalkan bukan perkawinan batal. Majelis hakim menolak permohonan pemohon dengan pertimbangan kemaslahatan. Dikarenakan termohon II sudah hamil 8 bulan, dan lebih banyak mudaratnya dari pada maslahatnya jika perkawinan tersebut dibatalkan, maka permohonan pembatalan nikah ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Surabaya melalui putusan Nomor:5157/Pdt.G/2012/PA.Sby..Kata Kunci: pembatalan nikah dan usia kawin
PENETAPAN PENGADILAN AGAMA ‎BOJONEGORO TENTANG PENOLAKAN ‎PERMOHONAN WALI ADHAL KARENA ‎PENGINGKARAN ANAK ‎
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 6 No. 2 (2016): Desember 2016
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2016.6.2.474-501

Abstract

Abstract: This study is a juridical analysis to the determination of Bojonegoro Islamic Court petition concerning with the rejection of an adhol guardian caused by a child guardian denial. The judge’s legal consideration of the determination of PA Bojonegoro No. 64/Pdt.P/2014/PA.Bjn regarding with the rejection of the application of an adhol guardian due to a child guardian denial is to be the main topic of the research. The data are obtained through documentation and interview. They are the documentations in the form of the decision of the Islamic Court of Bojonegoro itself and those from judge. Furthermore, the data are analyzed using descriptive method and deductive mindset, which put forward the theory or the arguments of a general nature about the status of guardian and carer of child and setting process of adhol guardian in positive law. It is then drawn conclusions concerning with the establishment of the adhol guardian request. This study concludes that judge rejected the adhol guardian because of the denial of child is still lacking a legal basis, so that a legal certainty in this matter has not reached a minimum threshold of proof.Abstrak: Penelitian ini merupakan analisis yuridis terhadap penetapan Pengadilan Agama Bojonegoro perihal penolakan permohonan wali adhol karena pengingkaran anak. Bagaimana pertimbangan hukum hakim terhadap penetapan PA Bojonegoro No. 64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan permohonan wali adhol karena pengingkaran anak menjadi bahasan utama penelitian. Data penelitian diperoleh melalui dokumentasi dan interview. Dokumentasi yang berupa putusan Pengadilan Agama Bojonegoro dan data hasil wawancara dengan hakim yang memutus perkara tersebut. Selanjutnya data dianalisis menggunakan metode deskriptif dengan pola pikir deduktif, yaitu mengemukakan teori atau dalil-dalil yang bersifat umum tentang wali nikah dan kedudukan anak serta proses penetapan wali adhol dalam hukum positif. Kemudian ditarik kesimpulan mengenai penetapan permohonan wali adhol tersebut. penelitian ini menyimpulkan, bahwa Majelis Hakim dalam menetapkan penetapan menolak permohonan wali adhol karena pengingkaran anak ini masih kurang dasar hukumnya, sehingga kepastian hukum dalam perkara ini belum mencapai batas minimal pembuktian.Kata kunci: Analisis Yuridis, Wali Adhal dan Pengingkaran Anak.

Page 9 of 22 | Total Record : 216