cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Avatara
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
E-Journal AVATARA terbit sebanyak tiga kali dalam satu tahun, dengan menyesuaikan jadwal Yudisium Universitas Negeri Surabaya. E-Jounal AVATARA diprioritaskan untuk mengunggah karya ilmiah Mahasiswa sebagai syarat mengikuti Yudisium. Jurnal Online Program Studi S-1 Pendidikan Sejarah - Fakultas Ilmu Sosial UNESA
Arjuna Subject : -
Articles 40 Documents
Search results for , issue "Vol 7, No 1 (2019)" : 40 Documents clear
TUNJUNGAN PLAZA SEBAGAI AWAL PUSAT PERBELANJAAN MODERN KOTAMADYA SURABAYA TAHUN 1985-1991 RIZQI MAHARDIAN PUTRI, EFRILIA; ALRIANINGRUM, SEPTINA
Avatara Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Seiring dengan perkembangan zaman mulai banyak berkembang pusat perbelanjaan (shopping mall) salah satu diantaranya plaza. Kemunculan shopping mall di Surabaya sedikit tertinggal dari Jakarta yang sudah memiliki Sarinah. Padahal Kotamadya Surabaya merupakan kota dagang besar melebihi Jakarta. Muncul shopping mall di Kotamadya Surabaya pada tahun 1985 yaitu Tunjungan Plaza yang menjadi plaza pertama dibangun dengan konsep shopping mall dan mengawali berkembangnya pusat perbelanjaan di Kotamadya Surabaya. Hadirnya Tunjungan Plaza di pusat kota pasti menimbulkan berbagai dampak baik positif maupun negatif dalam berbagai aspek kehidupan di Kotamadya Surabaya. Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah (1) Mengapa Tunjungan Plaza menjadi awal pusat perbelanjaan modern di Kotamadya Surabaya tahun 1985-1991? (2) Bagaimana dampak Tunjungan Plaza sebagai pusat perbelanjaan modern Kotamadya Surabaya tahun 1985-1991? Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang meliputi Heuristik, Kritik, Interpretasi dan Historiografi.Hasil penelitian ini adalah tentang alasan Tunjungan Plaza menjadi awal pusat perbelanjaan modern karena perekonomian Kotamadya Surabaya sebelum tahun 1985 cenderung menggunakan konsep yang sederhana baik dari fasilitas maupun cara berbelanja yang digunakan. Wilayah Tunjungan Plaza memiliki letak strategis di jantung Kotamadya Surabaya dekat dengan pusat pemerintahan kota, pusat perdagangan kota seperti Jalan Embong Malang, Blauran, dan Genteng serta kawasan Tunjungan yang telah menjadi urat nadi perkonomian sejak masa kolonial. Keberadaan Tunjungan Plaza sebagai pusat perbelanjaan modern dengan konsep shopping mall membawa dampak sosial dan ekonomi kepada kehidupan Kotamadya Surabaya. Dampak sosial yang diberikan Tunjungan Plaza yaitu menjadi jembatan masyarakat dalam mengenal dunia luar, mendorong masyarakat mendapatkan status sosial tinggi, merubah sudut pandang berbelanja sehingga muncul sifat konsumerisme. Tunjungan Plaza berdampak secara ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya yaitu bertambahnya pendapatan masyarakat dari membuka rumah kost maupun warung juga memberi peluang bagi pedagang asongan dan sopir helicak di sekitar depan Tunjungan Plaza. Tunjungan Plaza juga membantu pemerintah kota menyediakan banyak lapangan kerja sebagai bentuk kompensasi pihak mall kepada masyarakat sekitar. Tunjungan Plaza menjadikan perdagangan eceran berskala besar tumbuh pesat melalui investor yang berlomba-lomba mendirikan pusat perbelanjaan modern.Kata Kunci : Tunjungan Plaza, Pusat Perbelanjaan Pertama.
PEMANFAATAN BAHAN AJAR SEJARAH DENGAN PENDEKATAN ILMU – ILMU SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS XII IPS 1 SMA NEGERI 1 TRENGGALEK ASNA, KHABIBATUL; MASTUTI PURWANINGSIH, SRI
Avatara Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pendidikan merupakan sarana terpenting untuk membentuk karakteristik bangsa. Dalam dunia pendidikan ada empat masalah utama pendidikan yang ada di Indonesia. Masalah tersebut meliputi kurikulum, guru, budaya literasi, serta buku teks yang digunakan oleh siswa di dalam kelas. Keempat masalah tersebut saling berhubungan satu sama lain.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan bahan ajar sejarah dengan pendekatan ilmu ? ilmu sosial untuk meningkatkan hasil belajar siswa di SMA Negeri 1 Trenggalek. Peneliti fokus pada satu kelas, yakni XII IPS 1. Dari data yang telah dihimpun oleh peneliti bahwa sekolah telah menyiapkan beberapa buku paket sebagai penunjang belajar siswa, LKS (Lembar Kerja Siswa). Selain itu, sekolah juga memfasilitasi wifi untuk menunjang pembelajaran siswa di dalam kelas.Rumusan masalah dari penelitian ini adalah 1) Bagaimana kelayakan bahan ajar dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial pada pembelajaran di SMA Negeri 1 Trenggalek? 2) Bagaimana bahan ajar dengan pendekatan ilmu sosial dapat meningkatkan hasil belajar siswa SMA Negeri 1 Trenggalek?Kelayakan bahan ajar diukur dengan menggunakan skala Guttman dimana lebih dari 61% respon siswa dapat dianggap bahan ajar layak untuk digunakan di dalam proses pembelajaran. Pada penelitian ini, 73% siswa merespon dan bahan ajar ini dapat dikatakan layak. Sedangkan hasil belajar siswa meningkat setelah diadakan post test pada akhir pertemuan.Kata kunci: Buku Teks, Kelayakan Bahan Ajar, Hasil Belajar.
THE CONCEPT OF DEATH IN THE SRI TANJUNG TEXT (STUDY OF THE COMPARISON OF THE SRI TANJUNG DEATH DEVOTION IN SRI TANJUNGS RELIEF AND RELIEF IN THE 13-15TH CENTURY TEMPLE MASEHI) TAWAKAL RAMADHAN, IQBAL; , ARTONO
Avatara Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kidung Sri Tanjung merupakan salah satu cerita yang terkenal pada masa Jawa Kuna, tepatnya di Provinsi Jawa Timur dan Bali. Periode munculnya cerita ini tepat pada saat Majapahit berkuasa pada abad ke 13-15 Masehi, di daerah tersebut. Cerita Sri Tanjung sendiri berbentuk kidung yaitu tembang yang dinyanyikan. Cerita Sri Tanjung kemungkinan sudah ada sebelum naskah kidung nya diciptakan, hal ini dapat dilihat dari adanya relief mengenai cerita Sri Tanjung pada candi-candi Majapahit yang ada di jawa Timur, candi-candi yang memuat cerita ini adalah Candi Jabung, Candi Penataran, Candi Surowono, dan Gapura Banjang Ratu yang dibangun sekitaran abad ke 14-15 Masehi, sementara naskahnya baru dikenal pada abad ke 16-17 Masehi di daerah Banyuwangi, yang biasa disebut Naskah Sri Tanjung Banyuwangi. dan versi naskah kedua adalah Naskah Sri Tanjung Prijono (naskah babon) yang isinya dirasa sesuai dengan kultur budaya masyarakat pada masa Majapahit. Dalam naskah maupun relief Sri Tanjung terdapat adegan perjalanan roh Sri Tanjung di alam kematian, bahkan pada panil relief tampaknya adegan tersebut menjadi inti cerita dalam kisah Sri Tanjung. Berdasarkan Latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1) Menganalisis Naskah Sri Tanjung dan Adegan Kematian dalam Naskah Sri Tanjung 2) Menganalisi Relief Kematian Sri Tanjung di Candi masa Majapahit. 3) Menganalisis Perbandingan Adegan Kematian dalam Naskah Sri Tanjung Prijono dan Naskah Sri Tanjung Banyuwangi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang meliputi empat tahap. Tahap pertama adalah heuristik yang digunakan untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Tahap kedua adalah kritik, yaitu kegiatan pemilihan sumber sejarah yang didapat agar memperoleh sumber sejarah yang valid. Tahap ketiga adalah interpretasi, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk menafsirkan fakta sejarah melalui analisis dan sintesa. Tahap keempat adalah historiografi, yaitu penyajian keseluruhan hasil penelitian dalam bentuk tulisan yang berbentuk skripsi Berdasarkan hasil analisis sumber menunjukkan 1) Dari perbandingan dan rekonstruksi Naskah-naskah Sri Tanjung yang berasal dari Bali, telah disusun naskah babon atau archetypus-nya oleh Prijono. Setelah pembandingan naskah babon Sri Tanjung Prijono dengan naskah Sri Tanjung yang dijumpai tim peneliti di Banyuwangi , jelaslah bahwa Sri Tanjung Banyuwangi yang terakhir ini tidak termasuk dalam versi Bali. Tanpa membandingkan beberapa naskah yang ada. Adegan kematian Sri Tanjung juga menempati porsi yang cukup banyak dalam naskah Sri Tanjung terdapat di pupuh 5 bait ke 110 sampai dengan pupuh 6 bait ke 10. 2) Adegan kematian Sri Tanjung yang diabadikan pada relief candi-candi pada masa Majapahit, bukan hanya melukiskan bentuk-bentuk figur manusia, namun terdapat berbagai simbol-simbol visual dalam penggambaranya tentang kematian, yang tentu memiliki makna atau mengandung suatu arti khusus didalamnya. Keberadaan naskah Sri Tanjung dalam relief dapat diasumsikan bahwa manusia pada masa itu telah mengenal konsep Ketuhanan dan kepercayaan akan kehidupan setelah kematian, bagaimana manusia pada waktu itu telah bisa menuangkan tentang gagasan konsep kepercayaan akan perjalanan kematian ke dalam karya berbentuk relief. Adegan kematian dalam cerita Sri Tanjung ini pun seolah menghasilkan wujud relief candi yang megah dengan ribuan ajaran hidup yang diabadikan dalam bentuk visual relief. 3) Dalam Jalinan cerita, Sri Tanjung Banyuwangi dan Sri Tanjung Prijono itu pada dasarnya serupa, perbedaan hanya terletak pada aspek kebahasaan nya dan latar cerita nya saja, hal dikarenakan Sri Tanjung versi Prijono berlatar agama Hindu yang kuat dan Sri Tanjung Banyuwangi telah mengalami akulturasi ke masa Islam, akan tetapi terdapat perbedaan penulisan cerita pada tahap kematian Sri Tanjung dan perjalanannya di alam kematian, yang meliputi watak tokoh dan latar cerita.Kata Kunci : Konsep kematian dalam naskah Sri Tanjung, Relief Sri Tanjung
SLOGAN “FUKOKU KYOHEI” (NEGARA KAYA, MILITER KUAT) DAN KETERLIBATAN JEPANG DALAM PERANG PASIFIK 1942 - 1945 WATI, MUSTIKA; , NASUTION
Avatara Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dinamika dalam sebuah negara merupakan suatu hal yang wajar, hal ini berkaitan dengan bagaimana negara tersebut memberikan respon atas tantangan dalam kehidupan yang selalu mengalami perubahan. Pertengahan abad ke 19 merupakan titik balik bagi Jepang, pada era ini Jepang mulai berusaha untuk tumbuh menjadi sebuah negara yang modern. Modernisasi dan usaha Jepang untuk dapat menjadi kekuatan dunia dimulai pada masa Meiji, dimana masa ini terjadi setelah era pemerintahan Tokugawa yang memerintah Jepang selama lebih kurang 250 tahun tahun runtuh pada tahun 1868. Muncullah slogan ?fukoku kyohei? yang menjadi dasar bagi negara Jepang untuk melakukan modernisasi. Jepang secara besar-besaran mengimpor dan melaksanakan modernisasi di berbagai bidang kehidupan, seperti ekonomi, kebudayaan, politik, pendidikan, telekomunikasi dan kemiliteran. Tahun 1873 pemerintah Jepang mulai melaksanakan kebijakan untuk mengirim tentara, mahasiswa, pegawai negeri dan usahawan pergi ke luar negeri untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Dengan harapan dari apa yang mereka telah pelajari tersebut akan dapat dipakai untuk melakukan pembaharuan dalam berbagai bidang kehidupan Jepang, sehingga dikemudian hari Jepang dapat mengejar ketertinggalan mereka dari negara-negara Barat. Dalam penelitian ini membahas mengenai (1) Bagaimana latar belakang lahirnya slogan "fukoku kyohei"; (2) Bagaimana aplikasi slogan "fukoku kyohei" dalam pemerintahan Jepang?; (3) Bagaimana pengaruh slogan "fukoku kyohei" terhadap keikutsertaan Jepang dalam perang Pasifik tahun 1942-1945?. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah, yang terdiri dari tahap heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian ini menjawab tentang slogan ?fukoku kyohei? sebagai sebuah pandangan hidup bangsa Jepang, yang menjadi tujuan Jepang untuk melakukan modernisasi besar-besaran. Jepang melakukan modernisasi dalam bidang ekonomi dengan meningkatkan pemasukan dalam negeri dalam sektor industri. Lalu melakukan perubahan dalam sistem pemerintahan Jepang. Dan kemudian dalam bidang militer mendirikan angkatan perang yang terdiri dari masyarakat biasa dan para samurai. Seiring dengan kemajuan yang dilakukan oleh Jepang ini menimbulkan keinginan untuk dapat melakukan ekpansi untuk mencari daerah sebagai tempat pemasaran hasil produksi dan juga mencari bahan-bahan yang dipakai untuk industri. Jepang melakukan serangan ke Cina dan mendapat pertentangan dari Rusia dan Amerika, sehingga kemudian terjadilah peristiwa Amerika mengembargo Jepang. Lalu Jepang kemudian melakukan penyerangan terhadap Amerika. Peristiwa inilah yang kemudian menjadi awal Perang Pasifik 1942-1945. Akhir dari perang ini adalah kekalahan Jepang, yang ditandai dengan penyerahan Kaisar Jepang pada tahun 1945. Kata Kunci : Fukoku Kyohei, Restorasi Meiji, Perang Pasifik
ISLAMISASI MASYARAKAT TIONGHOA SURABAYA MASA ORDE BARU MUWAFIQ ZAMRONI, M; MASTUTI PURWANINGSIH, SRI
Avatara Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Etnis Tionghoa merupakan etnis minoritas di Indonesia, sebagai etnis minoritas mereka harus bisa berbaur dengan masyarakat pribumi yang merupakan mayoritas di Indonesia. Hal ini menimbulkan berbagai diskriminasi yang terjadi terhadap etnis Tionghoa. Salah satu cara mengatasi diskriminasi adalah melalui asimilasi melalui Islamisasi. Rumusan masalah dalam penelitian adalah (1) Bagaimana tokoh ? tokoh Islamisasi Tionghoa masa Orde Baru di Surabaya (2) Bagimana wadah dan upaya yang dilakukan agar Islamisasi masyarakat Tionghoa masa Orde Baru di Surabaya. (3) bagimana dampak Islamisasi Tionghoa masa Orde Baru di Surabaya. Metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah Heuristik, Kritik, Interpretsi, dan Historiografi. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa terdapat tokoh ?tokoh Tionghoa yang mencetuskan dan mendukung Islamisasi masyarakat Tionghoa salah satunya adalah H. Abdul Karim Oey kemudian ada Junus Yahya. Selain itu, ada juga Bambang Sujanto dan Ust. Syaukani Ong yang merupakan orang ? orang pendiri PITI Surabaya. Dalam proses Islamisasi yang dilakukan terdapat wadah yang menjadi pendukung dilakukannya Islamisasi seperti PITI, Yayasan Pembauran, Yayasan H. Karim Oey dengan cara bersilaturrohim di orang ? orang Tionghoa yang non muslim, selain itu juga dengan mmpertemukan orang ? orang Tionghoa Muslim dan non Muslim di hari raya. Proses Islamisasi yang dilakukan tehadap masyarakat Tionghoa mengalami juga mengalami berbagai masalah dan hambatan mulai dari ekonomi, psikologi serta fisik. Namun berbagai masalah tersebut tidak menjadi penghalang terhadap dakwah di kalangan masyarakat Tionghoa. Islmaisasi dilakukan dengan tujuan agar mereka menjadi seorang muslim yang kemudian menjadi identitas mereka sehingga identitas mereka menjadi Muslim Tionghoa. Kata Kunci: Tionghoa,Orde Baru, Islamisasi, PITI.
MAKNA SIMBOLIK KERIS DALAM STRUKTUR SOSIAL KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT TAHUN 1855-1877 (BERDASARKAN PENELUSURAN PUSTAKA) FEBRIYAN ILHAM RAMADHAN, RIFKI; MASTUTI PURWANINGSIH, SRI
Avatara Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Keris merupakan benda seni warisan nenek moyang bangsa Indonesia berupa seni tempa logam yang diwariskan kepada kita sebagai salah satu identitas diri. Keris dalam perkembangannya bukan lagi sebagai senjata pembunuh, melainkan telah menjadi simbolisasi kehidupan masyarakat, atau dengan kata lain sebagai refleksi persona dan kehidupan masyarakat Jawa. Pada masa lalu, keris juga dipakai sebagai simbol identitas diri, baik itu smbol diri pribadi, keluarga, klan dan status sosial.Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana gaya perkerisan yang mewakili struktur sosial di Keraton Yogyakarta? (2) Bagaimana makna simbolik keris bagi masyarakat di Keraton Yogyakarta?. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menjelaskan secara praktis terkait menjelaskan makna simbolik keris dalam struktur sosial Keraton Yogyakarta. Metode yang digunakan adalah metode pendekatan sejarah (historical approach), yang meliputi empat tahapan proses yakni heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa, Keris tidak hanya memenuhi keindahan dari aspek fisiknya saja tetapi ada makna-makna yang sangat mendasar di dunia perkerisan, sehingga aspek nilai ini pada akhirnya akan membentuk cara berpikir dan perilaku masyarakat Jawa serta akan melahirkan identitas masyarakat Jawa itu sendiri. Makna simbolik keris dalam struktur sosial Keraton Yogyakarta memberikan gambaran tentang kedudukan atau jabatan seseorang dalam lingkungan Keraton Yogyakarta yang didasarkan pada visual bentuk, warna, maupun cara memakainya. Beberapa aspek yang melekat pada keris tersebut yang akan menunjukkan status sosial seseorang dalam lingkungan keraton.Kata Kunci : Keris, Simbol, Keraton
PERANAN SUNGAI KALIMAS SEBAGAI SARANA TRANSPORTASI SUNGAI KOTA SURABAYA TAHUN (1900-1952) KARTIKO ADI, NUGROHO; , ARTONO
Avatara Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kampung-kampung pribumi di kota dibangun di sekitar sungai, seperti daerah pedesaan. Air sungai digunakan untuk mandi dan minum, serta toilet dan pembuangan sampah. Kanal-kanal buatan pemerintah kolonial Belanda yang mengalir di sepanjang jalan mempunyai peran yang sama. Pemukiman di tepi sungai merupakan salah satu ciri khas Kota Surabaya. Sungai Kalimas menjadi sarana transportasi air yang ramai digunakan. Hilir mudik sampan dan perahu kecil mengangkut barang komoditi berupa rempah-rempah dan ikan-ikan hasil tangkapan nelayan. Mereka membawa masuk komoditi tersebut ke daerah dalam kota Surabaya, yang sekarang dikenal sebagai Kembang Jepun sampai ke daerah kayoon. Adapun rumusan masalah yang diambil dalam penelitian ini yaitu (1) Bagaimana peranan sungai Kalimas sebagai sarana transportasi sungai di kota Surabaya. (2) Bagaimana pelabuhan kota Surabaya dan pembentukan zona industri baru di kota Surabaya. (3) Bagaimana normalisasi sungai Kalimas dan pola umum pengelolaan sungai Kalimas kota Surabaya. Metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode sejarah, yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.Hasil penelitian menunjukan bahwa Sungai Kalimas yang tepat membelah tengah kota Surabaya ditetapkan sebagai pelabuhan utama dari berkumpulnya hasil bumi di pulau Jawa, yang kemudian disiapkan guna kebutuhan ekspor ke berbagai daerah di Hindia Belanda dan ke benua Eropa. Surabaya sebagai salah satu kota pelabuhan sekaligus kota industri yang menjadi penunjang bagi kebutuhan industri primer di pedalaman pulau Jawa bagian timur. Kota surabaya merupakan kota komersil yang merupakan salah satu kota pelabuhan terbesar, dengan kondisi perdagangan yang mengalami peningkatan. sungai Kalimas kota Surabaya mempunyai peran sentral dalam perekonomian kota Surabaya di awal abad 20 itu terbukti dengan nilai ekspor impor kota Surabaya, jumlah perahu dan kapal yang bersandar di sungai Kalimas, serta pendapatan bea cukai pelabuhan tradisional sungai Kalimas.Kata kunci: Sungai Kalimas, Kota Surabaya, Perekonomian
PERUBAHAN AGAMA BUDHA JAWI WISNU KE AGAMA HINDU DI MOJOKERTO 1952-1967 ANGGI SUHARTONO, WAHYU; , NASUTION
Avatara Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Awalnya, masyarakat di Mojokerto memiliki agama Budha Jawi Wisnu.Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan masuk dan berkembangnya Agama Buddha Jawi Wisnu di Kabupaten Mojokerto, mendeskripsikan alasan Buddha Jawi Wisnu dibubarkan oleh Pemerintah Kabupaten Mojokerto, serta mendeskripsikan respon penganut Buddha Jawi Wisnu terhadap pembubaran Buddha Jawi Wisnu di Kabupaten Mojokerto terhadap para pengikut.Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Agama Buddha Jawi Wisnu masuk di Kabupaten Mojokerto pada tahun 1952. Agama Buddha Jawi Wisnu di Kabupaten Mojokerto mulai dikenalkan oleh orang bernama Suyadi yang memiliki keinginan untuk mencari agama yang asli dan ingin mengetahui agama bangsa Indonesia terutama di Pulau Jawa.Terkait demikian, Suyadi adalah pelopor Buddha Jawi Wisnu di Kabupaten Mojokerto; 2) Buddha Jawi Wisnu dibubarkan oleh pemerintah Kabupaten Mojokerto karena dianggap sesat.Hal ini dikarenakan terdapat aturan atau ketentuan bahwa resi harus menikah dengan yang memiliki keturunan resi.Hal ini dilakukan secara berkali-kali sehingga resi terkadang memiliki istri lebih dari satu.Setelah mengetahui tentang hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Mojokerto memberikan peringatan terkait dengan pembubaran Buddha Jawi Wisnu. Selain itu, alasan dibubarkannya Buddha Jawi Wisnu oleh Pemerintah Kabupaten Mojokerto karena diduga memiliki keterkaitan dengan orang-orang komunis dan dianggap melanggar aturan atau norma yang ada; serta 3) Respon penganut Buddha Jawi Wisnu pada pembubaran Buddha Jawi Wisnu di Kabupaten Mojokerto adalah awalnya kecewa karena tidak ada kejelasan mengenai alasan Buddha Jawi Wisnu dibubarkan. Para pengikut menganggap bahwa selama ini, Buddha Jawi Wisnu tidak pernah melakukan pemberontakan dan kesalahan-kesalahan.Kata Kunci: Agama, Budha Jawi Wisnu, Respon.
HARMONISASI HUBUNGAN ANTARA ETNIS TIONGHOA DENGAN ETNIS LAINNYA DI SURABAYA PADA MASA KERUSUHAN MEI 1998 ANDRE ALAMSYAH, DEA; MASTUTI PURWANINGSIH, SRI
Avatara Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kerusuhan pada bulan Mei 1998 menjadi puncak dari aksi anti Tionghoa, kerusuhan Mei 1998 terjadi di kota-kota besar yang ada di Indonesia seperti di Padang, Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, dll. Di Surabaya awalnya massa yang terdiri dari sebagian besar mahasiswa dan ada juga warga melakukan aksi turun ke jalan yang tujuannya untuk menuntut adanya reformasi, namun karena masa yang turun ke jalan jumlahnya mencapai ratusan ribu sehingga sulit mengendalikan. Kondisi di Kota Surabaya tergolong aman, sebab hampir tidak ada aksi penjarahan, pemerkosaan, dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa Surabaya. Ini menjadi perbedaan antara Surabaya dengan kota-kota lainnya, perlakuan warga Surabaya terhadap orang etnis Tionghoa membuat kondisi Surabaya tetap aman sehingga hampir tidak ada aksi penjarahan, pemerkosaan dan kekerasan terhadap orang etnis Tionghoa.Rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: (1) Mengapa Etnis Tionghoa di Surabaya mendapatkan perlakuan yang baik dari warga Surabaya. (2) Mengapa warga Surabaya memiliki toleransi besar terhadap orang etnis Tionghoa.Hasil penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut, perlakuan yang baik sekali warga Surabaya terhadap orang etnis Tionghoa di Surabaya karena sejak masa kolonial hubungan antara warga Surabaya, Madura, Arab, dan Tionghoa sudah terjalin dengan sangat baik sekali. Mereka saling berampingan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dampak yang ditimbulkan adalah antara etnis Jawa, Arab, Madura, dan Tionghoa saling memiliki rasa toleransi satu sama lainnya. Bahkan ketika masa Orde Baru, etnis Tionghoa yang terpaksa harus menghilangkan ketionghoaannya kemudian mempelajari budaya warga Surabaya justru semakin memperkuat rasa toleransi antara warga Surabaya dan etnis Tionghoa.Sikap toleransi warga Surabaya terhadap orang etnis Tonghoa begitu besar sehingga orang etnis Tionghoa pada saat terjadinya kerusuhan Mei 1998, warga Surabaya memberikan perlindungan terhadap orang etnis Tionghoa agar tidak dijadikan objek sasaran masa. Sikap toleransi dari warga Surabaya ini dikarenakan warga Surabaya sendiri tidak menganggap orang etnis Tionghoa sebagai orang asing, warga Surabaya menganggap orang etnis Tionghoa merupakan warga Surabaya juga sehingga mereka etnis Tionghoa juga berhak mendapatkan apa yang didaptkan oleh warga Surabaya pada umumnya. Kemudian toleransi warga Surabaya begitu besar terhadap orang etnis Tionghoa karena hubungan keduanya sudah berjalan sangat lama sekali dan tidak jarang antara warga Surabaya dan etnis Tionghoa ada yang memiliki kedekatan emosional.Kata Kunci : Etnis Tionghoa, Surabaya, Kerusuhan Mei 1998, Toleransi
PERKEMBANGAN PERGURUAN PENCAK SILAT JOKOTOLE DI MADURA, 1976-1982 BAGUS SAPUTRA, ADI; , WISNU
Avatara Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Jur. Pendidikan Sejarah FIS UNESA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi terbentuknya Perguruan Pencak Silat Jokotole, kemudian untuk mendeskripsikan perkembangan Perguruan Pencak Silat Jokotole di Madura 1976-1982 dan menganalisis peranan yang diberikan dengan terbentuknya Perguruan Pencak Silat Jokotole di Kecamatan Kamal dalam bidang sosial-budaya dan kemanan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa berdirinya Perguruan Pencak Silat Jokotole diawali dengan berdirinya Perguruan Pencak Silat Sumber Gaya berdiri tahun 1964. Perguruan Pencak Silat Jokotole dalam jangka waktu 1976-1982 dapat berkembang dengan pesat di Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Sumenep dan Kodya Surabaya. Perguruan Pencak Silat Jokotole dalam bidang sosial-budaya melestarikan budaya Pencak Silat di kalangan muda-mudi dengan masuknya Perguruan Pencak Silat Jokotole menjadi ektrakulikuler di Sekolah dan muatan lokal. Dalam bidang keamanan Perguruan Pencak Silat Jokotole memberikan rasa aman bagi masyarakat sekitar. Para muda-mudi berbondong-bondong belajar Pencak Silat untuk mempertahankan dari kondisi lingkungan yang ada dan tradisi carok yang ada di Madura.Kata Kunci: Pencak Silat Jokotole, Sosial-budaya dan keamanan, Madura

Page 1 of 4 | Total Record : 40