cover
Contact Name
Shita Dewi
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
jkki.fk@ugm.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia
ISSN : 2089 2624     EISSN : 2620 4703     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 1, No 3 (2012)" : 8 Documents clear
Konseling Ibu Hamil pada Bidan Praktik Swasta dan Puskesmas di Kabupaten Bantul Retno Heru; Mubasysyir Hasanbasri; Mohammad Hakimi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (209.241 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i3.26926

Abstract

Counseling for Pregnant Women at Midwife Practice and Community Health Center in Bantul DistrictBackground: One of the factors of Maternal and Neonatal Mortality is the lack of knowledge on the cause and how to deal with important complications during pregnancy, labor, and post natal. Counseling is an effort to dig and give useful information in order to help pregnant mother to take decisions. Midwife practice and Community Health Center is an organization which aims at giving service to pregnant mother including counseling. Midwife practice an independent organization which is managed privately, whereas Community Health Center is an organization which belongs and runs by the government. Objectives: The objective of the research is to find out the implementation of counseling on pregnant mother which includes, time, places, instruments, materials, problem solving, training efforts, and form of teaching counseling skill on midwife practice and Community Health Center in Bantul district. Method: Research method used in this research is qualitative research method with case study and descriptive method. The analysis unit is the pregnant mother, midwife in charge in midwife practice and in Community Health Center. The data was taken using purposive sampling through interview, observation and library study. Result: Counseling implementation in midwife practice and Community Health Service is done through giving information. The time done for counseling is under the standard which was below 20 minutes. The counseling process is undergone in one place along with the other services, and there are many patients in the room. The instruments used for counseling is just KIA book and there are no other instruments, the information given is merely on the problems which are shared by the pregnant mother. If the pregnant mother doesn’t share her problem, the midwife will not give counseling. The problem which is often faced by the midwife is that pregnant mother has difficulties in intrepreting information given. Problem solving is done through the participation of the husband during the counseling service. Training efforts to increase the counseling skill has not been done officially. The efforts taken so far is by reading books or learn from other coleagues. The form of teaching counseling skill is using roleplay, done in pairs and not more than 45 minutes. Conclusion: The implementation of counseling for pregnant mother is done inappropriately, which is not the same as it is stated in the Standart Service of Midwifery. It makes pregnant mother doesn’t have the necessary information dealing with the pregnancy.Keywords: Counseling, Pregnancy, MidwifeLatar Belakang: Salah satu penyebab tingginya Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Ibu adalah karena kurangnya pengetahuan tentang penanggulangan dan komplikasi-komplikasi penting dalam kehamilan, persalinan, dan nifas. Konseling adalah upaya menggali dan memberikan informasi guna mendapatkan apa yang dibutuhkan dan membantu ibu hamil dalam mengambil keputusan. Bidan Praktik Swasta dan Puskesmas adalah organisasi pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan pada ibu hamil termasuk konseling. BPS adalah organisasi pelayanan kesehatan swasta yang dikelola secara mandiri, sedangkan Puskesmas adalah organisasi pelayanan kesehatan yang di kelola oleh pemerintah. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan konseling pada ibu hamil yang meliputi: praktik konseling, waktu, tempat, alat bantu, materi, cara mengatasi hambatan, upaya peningkatan ketrampilan, dan bentuk pengajaran ketrampilan konseling di pendidikan di BPS dan puskesmas di Kabupaten Bantul. Metode: Metode penelitian adalah metode kualitatif dengan rancangan studi kasus dan bersifat deskriptif. Unit analisis adalah ibu hamil, bidan pelaksana di BPS dan puskesmas. Data diambil secara purposive sampling melalui wawancara mendalam dan lembar pengamatan konseling serta penelusuran dokumen. Hasil: Praktik konseling di BPS dan puskesmas dalam bentuk pemberian informasi. Waktu yang digunakan dalam proses konseling masih kurang yaitu di bawah 20 menit. Tempat yang digunakan untuk proses konseling menjadi satu dengan tempat yang digunakan untuk periksa kehamilan, dan banyak orang yang ada dalam ruangan periksa. Alat bantu yang digunakan untuk konseling sebatas buku KIA dan belum menggunakan alat bantu yang lain. Informasi yang diberikan sebatas pada keluhan yang disampaikan oleh ibu hamil. Jika ibu hamil tidak menyampaikan keluhan, bidan tidak berusaha menggali permasalahan atau memberikan informasi. Hambatan yang paling sering ditemui bidan adalah sulitnya ibu hamil memahami informasi yang diberikan bidan. Cara penyelesaian hambatan dengan cara melibatkan suami dalam proses konseling. Upayapeningkatan ketrampilan konseling secara resmi seperti pelatihan-pelatihan belum ada. Upaya yang dilakukan selama  ini adalah dengan membaca buku-buku dan belajar dari teman. Bentuk pengajaran ketrampilan konseling di pendidikan dengan metode roleplay, dilaksanakan dikelas, dan dilakukan dengan teman sendiri. Kesimpulan: Proses konseling pada ibu hamil yang dilakukan oleh bidan pada umumnya tidak berjalan sebagaimana mestinya, yaitu tidak sesuai dengan pedoman yang ada dalam standar  pelayanan kebidanan. Dampaknya adalah ibu hamil belum paham dengan segala hal yang berkaitan dengan kehamilan.Kata Kunci: Konseling, Kehamilan, Bidan
Evaluasi Implementasi Kebijakan Bantuan Operasional Kesehatan di Tiga Puskesmas Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2011 Mariane Evelyn Pani; Laksono Trisnantoro; Siti Noor Zaenab
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (300.649 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i3.36018

Abstract

Background: Health Operational Assistance policy is given by the government based on the consideration that operational cost from local government is relatively small and widely used for curative and rehabilitative activities as well as less emphasis on promotive and preventive efforts. BOK fund distribution to Primary Health Care often had administrative obstacles and delays in liquefaction. The purpose of the study: to evaluate the implementation of BOK policy in three Primary Health Cares of Ende district.Methods: The study used a qualitative design with a descriptive case study approach. Results: The BOK funds used in Primary Health Care was utilized based on BOK guidelines that is promotive and preventive in which the utilization is based on the needs in the field with accountability guidelines according to BOK guidelines. The fund was often received late and yet the activity of Primary Health Care was still implemented by using loan or debt system. The role of the head of Primary Health Care in socialization and monitoring as well as the role of staff in the implementation of BOK policy was not yet optimal in Primary Health Care. The coverage program funded by BOK did not showed significant improvement due to limited human resources and lack of oversight in the implementation of BOK policy. Conclusion: The implementation of BOK policy in Primary Health Care was adapted with BOK guidelines for administration purposes, and for the completeness of SPJ without paying attention on the impact toward community. The delayed funds in Primary Health Care due to the fund was given late to the district level and delay in submitting POA so that the activity of Primary Health Care was implemented with credit system. The role of the head of Primary Health Care was not yet optimum in the socialization and monitoring of BOK policy implementation in Primary Health Care. BOK policy has no impact on the program improvement due to the lack of human resources and oversight in the implementation of BOK. Latar belakang: Kebijakan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) diberikan oleh pemerintah berdasarkan pertimbangan bahwa biaya operasional dari pemerintah daerah relatif kecil dan banyak digunakan untuk kegiatan kuratif dan rehabilitatif serta kurang menitikberatkan pada upaya promotif dan preventif. Distribusi dana BOK ke puskesmas sering mengalami kendala administratif dan keterlambatan dalam waktu pencairan. Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi implementasi kebijakan BOK di tiga puskesmas Kabupaten Ende Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif, dengan pendekatan studi kasus deskriptif. Hasil: Dana BOK di puskesmas dimanfaatkan sesuai juknis BOK yakni untuk upaya kesehatan promotif dan preventif secara administratif, dimana pemanfaatannya disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan dengan pertanggungjawabannya disesuaikan dengan juknis BOK. Dana terlambat diterima namun kegiatan di puskesmas tetap terlaksana dengan menggunakan sistem pinjam ataupun hutang. Peran kepala puskesmas dalam sosialisasi dan monitoring serta peran staf dalam pelaksanaan kebijakan BOK belum optimal di puskesmas. Cakupan program yang dibiayai BOK tidak menunjukan peningkatan secara signifikan. yang disebabkan terbatasnya SDM dan kurangnya pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan BOK. Kesimpulan: Implementasi kebijakan BOK di puskesmas disesuaikan dengan juknis BOK untuk tertib administrasi, untuk kelengkapan SPJ tanpa memperhatikan dampak bagi masyara- kat. Keterlambatan dana di puskesmas disebabkan dana yang diberikan terlambat sampai ke tingkat kabupaten dan keterlam- batan dalam memasukan POA sehingga kegiatan di puskesmas dijalankan dengan sistem pinjam. Peran kepala puskesmas belum optimal dalam sosialisasi dan monitoring pelaksanaan Kebijakan BOK di puskesmas. Kebijakan BOK tidak berdampak pada pe- ningkatan program secara signifikan yang disebabkan kurangya SDM dan pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan BOK.
Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse sebagai Upaya Penanggulangan Tuberculosis di Puskesmas yang Berada dalam Lingkup Pembinaan Dinas Kesehatan Kabupaten Subang Felix Kasim; Mary Soen; Katrin Fitria Hendranata
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (458.135 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i3.36019

Abstract

Background: The implementation of the DOTS strategy in health centers aims to, among others, reduce morbidity rates and break the chain of transmission. Indonesia ranks third on the incidence of TB cases. In general, this research aimed to investigate the effort implementation, barriers, benefits and expectations in implementing the DOTS program in 40 health centers within the work area of Subang District Health Office. Methods: This was a qualitative study. Data collection technique was in-depth interviews to the head of health centers and P2TB officers, the DOTS corner participation observation and Focus Group Discussion of TB officers. The research instruments were recorder and camera. The number of population was 40 health centers taken with cluster random sampling technique and the number of samples was 10 health centers, represented by 10 heads of the health centers and 10 P2TB officers. Results: This study found out things such as efforts, barriers, benefits and expectations of the implementation of the DOTS strategy in the health centers of Subang District. The efforts made in 10 health centers were good enough, with some constraints such as lack of laboratory infrastructure, lack of human resources, intersectional collaboration, medication compliance, and the role of PMO personnel, economic factors and poor public education, drug distribution delays, difficulties in recording and reporting of patient transfer. Therefore, improvements should be done in cross-sectoral communication, completeness of lab infrastructure, empowerment of each village cadre for education and networking. Conclusion: In 10 health centers (Pagaden, Gunung sembung, Kalijati, Binong, Purwadadi, Palasari, Cisalak, Kasomalang, Sagalaherang, and Serang Panjang) DOTS program had been done in an effort to overcome tuberculosis in accordance with the 5 elements of DOTS. Latar belakang: Pelaksanaan strategi DOTS di puskesmas salah satunya bertujuan mengurangi angka kesakitan dan memutus rantai penularan. Indonesia menduduki peringkat ketiga insidensi kasus TB. Secara umum penelitian ini bertujuan adalah untuk mengetahui upaya pelaksanaan, kendala-kendala, manfaat dan harapan dalam menjalankan program DOTS di 40 Puskesmas yang berada dalam lingkup pembinaan Dinas Kesehatan Kabupaten Subang. Metode: menggunakan metode kualitatif, teknik pengumpulan data wawancara mendalam Kepala Puskesmas dan Petugas P2TB Puskesmas, Observasi Partisipasi Pojok DOTS, serta Focus Group Discussion kader TB, instrumen penelitian berupa alat perekam dan kamera, jumlah populasi 40 Puskesmas, teknik pengambilan sampel Cluster Random Sampling, jumlah sampel 10 Puskesmas, diwakili 10 kepala Puskesmas, 10 petugas P2TB. Hasil: penelitian, didapatkan upaya, kendala, manfaat dan harapan pelaksanaan Strategi DOTS di Puskesmas Kabupaten Subang. Kesimpulan: upaya yang dilakukan di 10 Puskesmas sudah cukup, dengan beberapa kendala seperti ketiadaan sarana prasarana laboratorium, kurangnya SDM, kerja sama lintas sektoral, kepatuhan minum obat, peran dan tenaga PMO, faktor ekonomi dan rendahnya pendidikan masyarakat, keterlambatan pendistribusian obat, sulitnya pencatatan dan pelaporan pasien pindah dan pindahan. Sebaiknya dilakukan komunikasi lintas sektoral, mengusahakan kelengkapan sarana-prasarana lab, pemberdayaan kader tiap desa untuk penyuluhan dan penjaringan. 
Evaluasi Pelayanan Persalinan oleh Bidan Desa Selama Pelaksanaan Program Jaminan Persalinan di Puskesmas Salomekko Kabupaten Bone Sulawesi Selatan Tahun 2012 Zulaeha Amirudin Amdadi; Chriswardani Suryawati; Cahya Tri Purnami
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (228.136 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i3.36015

Abstract

Background: The delivery assurance (Jampersal) issued from April 2011 aims to increase access to maternal delivery assistance by health workers in health facilities by providing financing guarantees. Delivery coverage by health workers in Bone District in 2011 was 76.67%. Delivery by health workers was only 60% done in health facilities and Salomekko Health Center had the lowest figure which was 25%. Objective: To evaluate service delivery by village midwives during the implementation of Jampersal in Salomekko Health Center of Bone District of South Sulawesi Province in 2012. Methods: This study was observational using a qualitative descriptive design that was evaluative in nature. The study subjects were 8 village midwives in the work area of Salomekko Health Center. The triangulation informants were the head and midwife coordinator of Salomekko Health Center and the head of MCH section of Bone Health office. Data was collected by in-depth interviews and analyzed by content analysis. Results: All midwives in the village did not perform service delivery well because most of them had not joined APN training. There was no Standard Operational Procedures (SOP), four village health post buildings in the four villages were not adequate (their width, no water or electricity and away from settlements), four other villages had not yet Poskesdes, and delivery equipment was also incomplete. The process of planning, implementation, monitoring and supervision of Jampersal was also not performed well. In 2011 and 2012 (January to April), all deliveries by health workers in the Salomekko Health Center were funded by Jampersal although deliveries took place in non-medical facilities. The culture of siri was expected to encourage mothers to give birth at home. The delivery rate by traditional birth attendants was still high. Although there was no necessity, the mothers should pay around 100,000 00 to midwives for consumables without the knowledge of the health office. The application procedure for Jampersal funds with certain administrative requirements was perceived to be quite complicated. Conclusion: Poskesdes needs to be built immediately in four villages and, for the other four villages that already have Poskesdes, the facilities need improving following the completeness of equipment. APN training and Jampersal SOP socialization should be improved and monitoring and supervision by the health center in the village should be increased. Levies should be removed and delivery by health workers not at the health facilities cannot claim Jampersal. Lastly, the claims of Jampersal process should be simplified. Latar belakang: Jaminan persalinan diberlakukan mulai April tahun 2011 dan bertujuan meningkatkan akses ibu bersalin terhadap pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan dengan memberikan jaminan pembiaya- annya. Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di Kabupaten Bone tahun 2011 yaitu 76,67%. Persalinan oleh tenaga kese- hatan hanya 60% dilakukan oleh fasilitas kesehatan dan Puskesmas Salomekko mempunyai angka terendah yaitu 25%. Tujuan penelitian adalah melakukan evaluasi pelayanan persalinan oleh bidan di desa selama pelaksanaan Jampersal di Puskesmas Salomekko Kabupaten Bone Sulawesi Selatan tahun 2012. Metode: penelitian observasional menggunakan rancangan deskriptif kualitatif yang bersifat evaluatif, dengan subyek penelitian adalah 8 orang bidan di desa di wilayah Puskesmas Salomekko. Informan triangulasi adalah Kepala Puskesmas Salomekko dan Bidan koordinator Puskesmas Salomekko, serta Kepala seksi KIA Dinas Kesehatan Kabupaten Bone. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam dan dianalisis dengan content analysis. Hasil: Semua informan bidan di desa belum melaksanakan pelayanan persalinan dengan baik karena sebagian besar petugas belum mengikuti pelatihan APN, belum adanya Standar Operational Prosedur (SOP), empat gedung Pos Kesehatan Desa di empat desa tidak memadai (luasnya, tidak ada air mau- pun listrik dan jauh dari pemukiman), empat desa lainnya belum memiliki Poskesdes, peralatan persalinan juga belum lengkap. Proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan pengawas- an Jampersal juga belum terlaksana dengan baik. Tahun 2011 dan 2012 (Januari sampai April) semua persalinan oleh tenaga kesehatan di wilayah Puskesmas Salomekko dibiayai dana Jam- persal walaupun persalinan dilakukan di non fasilitas kese- hatan. Budaya siri diperkirakan mendorong ibu bersalin di rumah. Angka persalinan oleh dukun bayi masih tinggi. Walaupun tidak ada keharusan tetapi cukup memberatkan ternyata sebagian ibu bersalin membayar sekitar Rp100.000,00 ke bidan di desa untuk bahan habis pakai, dan hal ini tidak sepengetahuan dinas kesehatan. Prosedur pengajuan dana Jampersal dengan syarat administrasi tertentu dirasakan cukup rumit. Kesimpulan: Diperlukan segera pembangunan Poskesdes di empat desa dan perbaikan fasilitas di empat desa yang telah mempunyai Poskesdes berikut kelengkapan peralatannya, pelatihan APN dan sosialisasi SOP Jampersal begitu juga peningkatan upaya monitoring dan supervisi oleh Puskesmas berdasarkan rayon wilayah desa, menghilangkan pungutan, persalinan Nakes tidak di Faskes tidak diklaimkan jampersal serta penyederhanaan proses klaim Jampersal.
Maksimasi, Free Rider dan Kegagalan Implementasi Kebijakan Mubasysyir Hasanbasri
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (228.073 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i3.25038

Abstract

Jika mempelajari policy making process, kita belajar tentang rational choice theory - bahwa setiap individu dalam organisasi akan mengutamakan kepentingan pribadi mereka. Dalam implementasi, kepentingan dari penduduk sering dikalahkan oleh kepentingan pribadi dari penyelenggara layanan. Jadi implementasi kebijakan sering gagal karena adanya kepentingan pribadi dari penyelenggara layanan. Implementasi kebijakan bagian penting dari policy analysis. Jika kebijakan berhasil dibuat dengan susah payah, tidak selalu berarti kebijakan itu akan terimplementasi begitu saja. Ada banyak tantangan yang membuat kebijakan itu tidak berarti apa-apa - kebijakan di atas kertas - tidak ada implementasinya.  Kebijakan yang gagal jika implementasinya tidak ada. Kegagalan implementasi adalah termasuk kegagalan kebijakan. Implementasi adalah ranah dari manajer program. Jika kebijakan ingin berhasil, ia membutuhkan manajer yang efektif. Mereka membuat kebijakan menjadi operasional dan dapat menyajikan layanan kepada penduduk yang membutuhkannya.
Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Bantuan Operasional Kesehatan di Dinas Kesehatan (Studi Kasus di Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul dan Dinas Kesehatan Kabupaten Lebong Tahun 2011) Handry Mulyawan; Laksono Trisnantoro; Siti Noor Zaenab
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (246.234 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i3.36016

Abstract

Background: The low of budget in the health sector in par- ticular promotive causes and preventive health development through many obstacles in the arious fields. BOK program is one of the breakthroughs made by the Ministry of Health to assist in financing health sector. Entering the second year of the mechanisms that change the original BOK disbursed through the mechanism of Bantuan Sosial, in the year 2011 was replaced by Tugas Pembantuan fund. This change of course was followed by delegation of authority and responsi- bility of the Minister of Health to head the district / municipal health department in this regard. So the role of health of health district to be the main benchmark in the success of this programss. Objectives: To evaluate the role of health authorities in the implementation of the BOK in Bantul District Health Office and Lebong District Health office. Methods: The study used a qualitative design, with a de- scriptive case study approach. Results: Bantul district health office and Lebong district Health Office have done management functions including: Planning, Organizing, and Controling well, but due to funding limitations and delays the decline in terms of Actuating BOK it can not be perfect, it is characterized by the BOK funds sosilisasi still “riding” on the socialization of the activities funded in the bud- get. BOK funds from the Ministry of Health as a breakthrough viewed positively in improving staff motivation in the field, but the scope of the program have not seen an increase in the siginfikan. There are diverse opinions about the mechanism for channeling funds BOK, but in general the District Health Office in Bantul want that future BOK disbursed by DAK mecha- nism while at the District Health Office Lebong more likely to Tugas Pembantuan mechanism. Conclusion: Optimal health authorities have a role in financial management and program management views of the manage- ment function which includes Planning, Organizing, and Controling but due to funding limitations and delays the decline Actuating management functions can not be running optimally. BOK program is seen as a policy that needs to be maintained, noting the need for some improvements, especially the mecha- nism for channeling funds quickly and easily accounted for, although it has not been an increase in the scope of the pro- gram. Latar Belakang: Rendahnya anggaran di sektor kesehatan khususnya promotif dan preventif menyebabkan pembangunan di bidang kesehatan mengalami banyak kendala di berbagai bidang. Program BOK merupakan salah satu terobosan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan untuk membantu penda- naan di bidang kesehatan. Memasuki tahun kedua mekanisme BOK mengalami perubahan, yang semula dikucurkan melalui mekanisme Bantuan Sosial, di tahun 2011 diganti melalui Tugas Pembantuan. Perubahan ini tentu saja diikuti dengan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari Menteri Kesehatan kepa- da kepala daerah kabupaten/kota dalam hal ini dinas kesehatan. Sehingga peran dinas kesehatan menjadi tolok ukur utama dalam keberhasilan program BOK ini. Tujuan: Mengevaluasi peran dinas kesehatan dalam pelaksa- naan kebijakan BOK di Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul dan Dinas Kesehatan Kabupaten Lebong. Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif, dengan pendekatan studi kasus deskriptif. Hasil: Dinas Kesehatan Bantul dan Dinas Kesehatan Lebong telah melakukan fungsi manajemen yang meliputi; Planning, Organizing, dan Controling secara baik, namun karena keter- batasan dan keterlambatan turunnya dana BOK maka dalam hal Actuating belum bisa berjalan sempurna, hal ini ditandai dengan sosilisasi dana BOK yang masih “menumpang” pada sosialisasi kegiatan-kegiatan yang di danai APBD. Dana BOK sebagai terobosan dari Kementrian Kesehatan dipandang positif dalam meningkatkan motivasi petugas dilapangan, namun secara cakupan program belum terlihat adanya peningkatan yang siginfikan. Ada beragam pendapat mengenai mekanisme penyaluran dana BOK, namun secara umum Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul menginginkan bahwa kedepan BOK dikucurkan dengan mekanisme DAK sedangkan di Dinas Kesehatan Kabupaten Lebong lebih cenderung untuk tetap mempertahankan pada mekanisme Tugas Pembantuan. Kesimpulan: Dinas kesehatan telah berperan optimal dalam manajemen keuangan dan manajemen program dilihat dari fung- si manajemen yang meliputi Planning, Organizing, dan Con- troling namun karena keterbatasan dan keterlambatan turunnya dana fungsi manajemen Actuating belum bisa berjalan secara optimal. Program BOK dipandang sebagai suatu kebijakan yang perlu dipertahankan, dengan catatan diperlukannya beberapa perbaikan terutama mekanisme penyalura dana yang cepat dan mudah dipertanggungjawabkan, meskipun belum terjadi peningkatan cakupan program.
Ketersediaan Obat Esensial pada Sarana Kesehatan di Kabupaten Bangka Barat Achmad Nursyandi; Mustofa Mustofa; Mubasysyir Hasanbasri
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (318.057 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i3.36017

Abstract

Background: The effectiveness of treatment at government health facilities is largely determined by the availability of the drug. In addition to essential drugs, doctors and the public can choose medications that are considered more suitable for medical needs. Bureaucratic rigidity and lack of funds the government plans to make the supply of medicines in health centers to be minimalist in terms of number and variety of drugs. Such inflexibility encourage minimalist prescribing behavior among primary care physicians and health workers. Objective: This study want to learn management practices that deal with drug supply and its distribution in government owned primary health care facilities. It specifically tried to identify strategies at health center level that allow the provision of more drugs in accordance with the medical needs and rational drug use practices. Method: Data were collected by observation report drug use and demand for health facilities in January-June 2010 and in- depth interview of chief health official, the head of pharmacy department, 7 of pharmacy main health centers and 11 midwives/nurses extending health center, village health clinic and village health post. Results: This case illustrates a successful story about making drugs available at primary health care facilities. Five main health centers, four extending health centers, and ten village health clinic and village health posts are classified as “safe” based on MOH standard. This success reflects human resource capacity and decentralized management of drug supply. Pharmacists and pharmacy assistants throughout the Bangka Barat Regency has already trained in drug supply management. The study also found that the procurement of drugs has been based on bottom-up planning. Although under the coordination of district level pharmacy unit, health care centers has broader authority to determine their drug needs. They also have their own drug procurement budget that are part of district budget that can be used for unexpected situations. Conclusion: This study attempted to show effort to change local government health sector bureaucracy in decentralization era. This case study shows the involvement and bigger participation of primary care facilities in the planning and implementation of drug supply. Health centers have a greater authority in managing the medication needs to circumstances beyond expectations. Communication, information and education to doctors about the drug delivery mechanism will allow doctors to prescribe drugs according to the medical needs of patients and drug development, and because it makes health care facilities into place an effective treatment. Latar Belakang: Efektivitas pengobatan di fasilitas kesehatan pemerintah sangat ditentukan oleh ketersediaan obat. Di samping obat esensial, dokter dan masyarakat dapat memilih obat-obat yang dipandang lebih cocok untuk kebutuhan medik. Kekakuan birokrasi perencanaan dan keterbatasan dana pemerintah membuat penyediaan obat di puskesmas menjadi minimalis dari sisi jumlah dan variasi obat. Kekakuan seperti itu mendorong praktik peresepan minimalis yang diragukan manfaat terapetiknya. Tujuan: Penelitian ini mempelajari manajemen penyediaan obat dan distribusinya di fasilitas kesehatan dasar. Ia secara khusus berusaha menemukan strategi-strategi di tingkat puskesmas yang membuat penyediaan obat lebih sesuai dengan kebutuhan lapangan dan pengobatan rasional. Metode: Data dikumpulkan dengan observasi laporan pemakaian dan permintaan obat sarana kesehatan bulan Januari-Juni 2010 dan wawancara mendalam terhadap kepala dinas kesehatan, kepala instalasi farmasi, 7 pengelola obat puskesmas dan 11 bidan/perawat pustu, polindes serta poskesdes. Hasil: Penelitian ini menunjukkan bahwa lima puskesmas, empat puskesmas pembantu, dan sepuluh polindes dan poskesdes berhasil merencanakan dan menyediakan obat hingga pada tingkat yang “aman”. Keberhasilan ini merupakan bukti dari kapasitas tenaga yang memadai. Apoteker dan seluruh pengelola obat puskesmas Kabupaten Bangka Barat sudah memiliki mengikuti pelatihan manajemen pengelolaan obat. Penelitian juga menemukan bahwa pengadaan obat telah berbasis desentralisasi dan mencerminkan perencanaan bottom up. Meski di bawah koordinasi instalasi farmasi kabupaten, puskesmas memiliki kewenangan menentukan kebutuhan. Mereka juga memiliki fleksibilitas pengadaan obat sendiri untuk situasi di luar dugaan. Kesimpulan: Penelitian ini berusaha memperlihatkan upaya perubahan birokrasi di bidang kesehatan dalam era desentralisasi. Studi kasus dalam penyediaan obat esensial di Kabupaten Bangka Barat menunjukkan keterlibatan dan partisipasi puskesmas yang lebih besar dalam perencanaan dan implementasinya. Puskesmas juga memiliki kewenangan lebih besar dalam mengelola kebutuhan obat untuk situasi di luar dugaan. Komunikasi, informasi dan edukasi kepada dokter tentang mekanisme penyediaan obat akan memudahkan dokter meresepkan obat sesuai dengan kebutuhan medik pasien dan perkembangan obat, dan karena itu membuat fasilitas kesehatan menjadi tempat pengobatan yang efektif.
Peran Puskesmas dalam Pengembangan Desa Siaga di Kabupaten Bantul Lucia Sri Rejeki; Mubasysyir Hasanbasri; Guardian Yoki Sanjaya
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (259.388 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i3.25042

Abstract

Health Center’s Role Alert Village’s Development in Bantul RegencyBackground: Alert village is a village where the residents have the readiness of resources, the ability, and the intention to independently prevent and overcome health problems or threats, disaster, and emergency. Health center has a duty as the facilitator of the alert village’s development, where besides providing basic medical care, health center is expected to be able to carry out the mobilization and the community empowerment. If the facilitation process succeeded, it can evoke intentions and community independence in health, so that alert village’s liveliness comes from community’s initiative and is not from health center. This kind of development strategy leads to community development. Objective: This research aims to review the role of health center within alert village’s development, especially towards the facilitation of alert village’s development. Method: This research uses the qualitative descriptive method along with a case study design, to describe health center’s perception towards alert village’s development and health center’s role as the alert village’s facilitator. The subjects of this research are the heads of health centers and midwife coordinators, as well as the community leaders: the heads of the public’s welfare affair and the chief of village’s women organization. The datas are collected through in-depth interviews. Results: This research showed various activities of Community-Based Health Efforts as the form of alert village’s implementation. The facilitation which health center provides to actualize active alert village had not showed community development, but rather a social mobilization. The obstructions are that health center has not been provided with facilitation techniques and the community’s culture is less independent in health. Conclusion: Alert village’s development towards community development has not been utterly well responded by the community.Keywords: Facilitation, Alert village, Community development.Latar Belakang: Pengembangan masyarakat menjadi salah satu topik yang paling populer didalam konteks intervensi ke- sehatan masyarakat. Di Indonesia, Desa Siaga merupakan ben- tuk pengembangan masyarakat di bidang kesehatan. Desa Sia- ga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber- daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah/ancaman kesehatan, bencana dan kega- watdaruratan secara mandiri. Puskesmas memiliki tugas seba- gai fasilitator pengembangan desa siaga, dimana selain mem- berikan pelayanan medis dasar, diharapkan mampu melaksana- kan tugas penggerakan dan pemberdayaan masyarakat. Fasili- tasi pengembangan desa siaga ini tergantung kemampuan pus- kesmas, disini diharapkan puskesmas mampu menerapkan prin- sip-prinsip fasilitasi yang efektif. Apabila proses fasilitasi ber- hasil akan menumbuhkan kemauan dan kemandirian masya- rakat di bidang kesehatan, sehingga keaktifan desa siaga ber- asal dari inisiatif masyarakat bukan dari puskesmas. Fasilitasi pengembangan seperti ini mengarah pada community devel- opment. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian terha- dap peran puskesmas dalam fasilitasi pengembangan desa siaga. Metode: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan rancangan studi kasus, untuk mendeskripsikan peran puskesmas sebagai fasilitator desa siaga. Subyek penelitian adalah kepala puskesmas dan bidan koordinator, serta tokoh masyarakat : kepala bagian kesejahteraan rakyat desa, ketua Tim Penggerak PKK desa, dan kader kesehatan. Data dikumpul- kan melalui wawancara mendalam dan observasi. Hasil: Desa siaga telah dilaksanakan dengan berbagai kegiatan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), namun belum semuanya berjalan seperti yang diharapkan. Puskesmas telah berupaya dalam mendampingi pengembangan desa siaga, namun fasilitasi yang dilakukan puskesmas belum mewujudkan community development, melainkan lebih kearah mobilisasi sosial. Kesimpulan: Pengembangan desa siaga kearah community development belum terwujud dalam masyarakat.Kata Kunci : Fasilitasi, Desa siaga, Community development.

Page 1 of 1 | Total Record : 8