cover
Contact Name
Shita Dewi
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
jkki.fk@ugm.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia
ISSN : 2089 2624     EISSN : 2620 4703     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 8, No 3 (2019)" : 7 Documents clear
Implementasi Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS PK) Menggunakan Tenaga Kontrak di Kabupaten Kulon Progo Tahun 2018 Shinta Chyntia Agustina; Laksono Trisnantoro; Dwi Handono
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 8, No 3 (2019)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (196.892 KB) | DOI: 10.22146/jkki.45705

Abstract

PIS PK bertujuan untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan di Puskesmas melalui kunjungan rumah. Adanya penetapan sebagai lokus PIS PK oleh Kemenkes RI dan untuk mencapai total coverage verifikasi data di tahun 2019, Kecamatan Sentolo yang mempunyai 2 Puskesmas, yaitu Puskesmas Sentolo 1 dan Sentolo 2 melakukan strategi implementasi yang berbeda, di Puskesmas Sentolo 1 dilakukan oleh tenaga kesehatan Puskesmas sedangkan Puskesmas Sentolo 2 dilakukan oleh tenaga kontrak, hal ini disebabkan oleh jumlah SDM dan analisis beban kerja yang berbeda antara kedua Puskesmas.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana  implementasi PIS PK menggunakan tenaga kontrak, serta faktor-faktor apa yang mempengaruhinya agar dapat dilakukan tindak lanjut sehingga implementasi PIS-PK dapat berjalan dengan optimal. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif menggunakan rancangan studi kasus dengan pendekatan riset implementasi (CFIR). Strategi implementasi PIS PK menggunakan tenaga kontrak dapat memenuhi tujuan implementasi PIS PK yaitu mendekatkan akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat, meningkatkan capaian IKS wilayah dan capaian 12 indikator PIS PK. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi implementasi PIS PK memnggunakan tenaga kontrak antara lain kebijakan eksternal, kebijakan internal, insentif dan penghargaan, sumberdaya yang tersedia, akses informasi serta pengetahuan dan keyakinan individu. Faktor pendukung strategi berupa keyakinan dengan tenaga kontrak bisa mengurangi beban kerja. Sedangkan faktor penghambat adalah belum didukung dengan regulasi, perjanjian kerjasama, akses informasi dan pelatihan untuk tenaga kontrak, aplikasi keluarga sehat yang belum optimal, anggaran untuk sarana prasarana dan alat kesehatan, penerimaan dari lintas program dan masyarakat,  penerimaan tenaga kontrak terhadap insentif serta sistem pelaporan dan validasi data. Harapannya implementasi PIS PK dapat menggunakan tenaga kontrak sebagai anggota tim bina wilayah Puskesmas, didukung dengan regulasi dan anggaran dari Kemenkes dan Pemda, tenaga kontrak PIS PK sebagai tenaga kontrak yang dibiayai dari BOK (tenaga kontrak BOK) selama 1 tahun.
Evaluasi Pengadaan Obat dengan E-Purchasing Melalui E-Catalogue di Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2017 – 2018 Wijaya Andi Saputra; Diah Ayu Puspandari; Muhammad Faozi Kurniawan
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 8, No 3 (2019)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (345.497 KB) | DOI: 10.22146/jkki.47800

Abstract

Latar belakang: Pengaturan pengadaan obat berdasarkan e-catalogue dengan metode e-purchasing adalah dalam rangka meningkatkan efektifitas, efisiensi dan transparansi pada proses pengadaan obat program JKN. Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY mulai menggunakan metode pengadaan obat tersebut pada tahun 2017 setelah sebelumnya menggunakan metode pengadaan langsung. Kendala yang dialami dalam pengadaan adalah waktu pengiriman obat yang bervariasi; beberapa obat yang stoknya kosong di e-catalogue karena kosong pabrik; beberapa penyedia yang mensyaratkan pembelian dengan minimal faktur sehingga tidak sesuai dengan perencanaan; pemesanan yang lama direspon oleh penyedia; obat tidak masuk e-catalogue; terbatasnya tenaga kefarmasian sebagai pejabat pengadaan obat. Tujuan penelitian: Melakukan evaluasi pengadaan obat dengan metode e-purchasing melalui e-catalogue di RS Jiwa Grhasia DIY tahun 2017-2018. Metode penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data primer yang diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap responden yang dianggap mengetahui dan terlibat dalam proses pengadaan dan atau pengelolaan obat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY. Data sekunder didapatkan melalui observasi dokumen yang berhubungan dengan pengadaan obat di RS Jiwa Grhasia DIY tahun 2017-2018. Hasil penelitian: Prosentase jumlah obat dengan lead time lebih dari 30 hari tahun 2017 dan 2018 dengan metode e-purchasing adalah sebesar 35,17% dan 26,98%. Lead time obat dengan metode pengadaan langsung tidak ada yang lebih dari 30 hari. Realisasi pengadaan obat metode e-purchasing paling rendah sebesar 78,72% pada triwulan 4 tahun 2017 dan paling tinggi sebesar 87,93% pada triwulan 2 tahun 2018. Waktu kekosongan obat jiwa paling lama adalah selama 9 bulan dengan tingkat ketersediaan selama 3 bulan. Belum ada bagan struktur organisasi pengadaan obat di RS Jiwa Grhasia. Harga obat yang diperoleh dengan metode pengadaan langsung sebagai akibat kegagalan dalam proses e-purchasing lebih mahal. Pejabat pengadaan obat di RS Jiwa Grhasia bukan seorang tenaga kefarmasian. Kesimpulan: Lead time dan kekosongan obat di e-catalogue merupakan masalah eksternal dari pengadaan obat dengan metode e-purchasing di RS Jiwa Grhasia. Selain itu, terdapat masalah internal seperti terbatasnya tenaga farmasi sebagai pejabat pengadaan obat, ketidakjelasan koordinasi karena ketiadaan bagan struktur organisasi pengadaan obat, dan inefisiensi anggaran karena proses e-purchasing yang gagal.Background : The regulation of medicines procurement based on e-catalogue with e-purchasing method is in order to increase the effectiveness, efficiency and transparency in the procurement process of JKN medicines. Grhasia DIY Mental Hospital has been using e-purchasing method in 2017 after previously using the direct procurement method. Barriers encountered in the medicines procurement process are the varying length of lead time; unavailability of medicines in e-catalogue because of medicines stock out at the provider level; some providers determine purchases with a certain nominal so that it is not in accordance with the plan; some providers require a long time to answer the order; some medicines that are not included in the e-catalogue list; limited pharmacy staff as drug procurement officials.Objective : The aim of this research was to evaluate the medicines procurement with e-purchasing method through e-catalogue at Grhasia DIY Mental Hospital in 2017-2018.Research method : This research was qualitative with a case study approach and used in-depth interviews with respondents who were considered to be understanding and involved in the procurement and / or management of medicines at Grhasia DIY Mental Hospital. Secondary data was obtained through observation of documents relating to the medicines procurement at Grhasia DIY Mental Hospital in 2017-2018.Results : The percentage of medicines with a lead time of more than 30 days in 2017 and 2018 with e-purchasing method was 35.17% and 26.98%. The lead time for medicines with the direct procurement method was no more than 30 days. The lowest realization of procurement of drugs using the e-purchasing method was 78.72% in the fourth quarter of 2017 and the highest was 87.93% in the second quarter of 2018. The longest unavailability of antipsychotic drugs was 9 months with only 3 months availability level. There was no chart of medicines procurement organization in Grhasia Mental Hospital. The price of medicines obtained by direct procurement as a result of failure in the e-purchasing process was more expensive. Medicines procurement official at the Grhasia Mental Hospital was not a pharmacist.Conclusion : Lead time and medicines stock out in e-catalogue was external factors that inhibit medicines procurement using e-purchasing method at Grhasia Mental Hospital. In addition, there was internal problems such as the limited number of pharmacists as medicines procurement officials, unclear coordination because there was no chart of medicines procurement organization, and budget inefficiency due to a failed e-purchasing process.Keywords: Medicines procurement, e-purchasing, medicine availability.
Analisis Pemanfaatan Dana Kapitasi Khusus di Kabupaten Nias Utara Karl Frizts Pasaribu; Julita Hendrartini; Firdaus Hafidz
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 8, No 3 (2019)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (199.071 KB) | DOI: 10.22146/jkki.47885

Abstract

ABSTRAKLatar Belakang: Permenkes No 90 Tahun 2015 mengatur tentang penetapan fasilitas kesehatan di daerah terpencil dan sangat terpencil. Permenkes No 52 Tahun 2016 menetapkan pembayaran kapitasi khusus untuk daerah terpencil dan sangat terpencil. Kapitasi khusus adalah dana kapitasi yang diperuntukkan bagi daerah terpencil dan kepulauan. Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2015 Tentang Daerah tertinggal menetapkan Kabupaten Nias Utara sebagai daerah tertinggal. SK Bupati Nias Utara Nomor 640.2/310/K/TAHUN/2016 menyatakan tujuh kecamatan di kabupaten Nias Utara sebagai daerah terpencil dan sangat terpencil, sehingga mulai Oktober 2017 menerima dana kapitasi khusus. Belum ada laporan atau penelitian mengenai pemanfaatan dana kapitasi khusus yang pernah dilakukan di Kabupaten Nias Utara.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pemanfaatan dana kapitasi khusus di Kabupaten Nias Utara.Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif  kualitatif dengan metode penelitian studi kasus. Penelitian ini dilakukan di tujuh puskesmas penerima kapitasi khusus penerima kapitasi khusus dan Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Utara, Provinsi Sumatera Utara.Hasil: Dana kapitasi khusus dimanfaatkan sesuai peraturan bupati, 60% untuk pembayaran jasa pelayanan, 20% untuk bahan medis habis pakai, obat dan alat kesehatan, serta 20% untuk biaya operasional lainnya. Kendala pemanfaatan dana kapitasi khusus yaitu puskesmas terbentur regulasi pejabat pengadaan barang, kekurangan SDM puskesmas, pemahaman petugas belum baik tentang pemanfaatan dana kapitasi khusus. Dampak dana kapitasi khusus yaitu penguatan pelayanan kesehatan, peningkatan pendapatan petugas dan peningkatan semangat petugas.Kesimpulan: Dana kapitasi khusus dimanfaatkan sesuai dengan peraturan yang ada, meskipun persentasenya belum sesuai dengan regulasi. Regulasi dan pemahaman petugas yang belum baik menjadi kendala utama dalam memanfaatkan dana kapitasi khusus. Dana kapitasi khusus berdampak pada penguatan pelayanan kesehatan dan peningkatan semangat dan pendapatan petugas kesehatan.Kata Kunci: Daerah terpencil;Kapitasi khusus;Pemanfaatan dana
Analisis Implementasi Integrasi Jamsoskes Sumatera Selatan Semesta ke Program Jaminan Kesehatan Nasional di Kota Palembang dari Sisi Stakeholder Melisa Yuni Nirmalasari; Dian Safriantini
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 8, No 3 (2019)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (731.553 KB) | DOI: 10.22146/jkki.48631

Abstract

Backgound: Based on Presidential Regulation No. 82 of 2018, regional governments that carry out the Regional Health Insurance are obliged to integrate it into JKN (National Health Insurance) Program held by the BPJS (Health Insurance Organizing Agency). Similarly, the Government of South Sumatra Province has suspended the Jamsoskes Sumatera Selatan Semesta Program commercing January 1, 2019 by issuing Circular Letter Number 057/DINKES/SE/2018. This study aimed to analyze the integration implementation of Jamsoskes Sumatera Selatan Semesta into the JKN Program in Palembang City.  Method: This study used qualitative approach through in-depth interviews, literature review and field observations. There were 7 informants selected by purposive technique carry out at the Public Health Office, BPJS Health, Social Service, and Puskesmas (Community Health Center).Result: Communication (Transmission, Clarity and Consistency) in implementing the were carried out quite well because each relevant agency had followed up the Circular Letter and disseminated the information clearly and consinstently to the implementing unit underneath it. Resource, there were still obstacles in the form of funds and limited data poor. Disposition, all parties involved in the integration supported this integration. Bureaucratic Structure, there was no Standard Operational Procedure (SOP) at several relevant agencies to carry out the integration. Distribution of responsibilities was carried out by means of stakeholder coordination meetings.Conclusion: The integration still faces obstacles in the form of limited funds to cover people who have not received health insurance and poor popilation data that has not been verified and validated so that the social service needs to directly improve the community data by conducting data collection on poor people in the Palembang city. Keywords: Integration, Jamsoskes, Nasional Health Insurance
Efektivitas Penilaian Mandiri Evaluasi Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi/Wilayah Birokrasi Bersih Melayani di Kementerian Kesehatan dalam Rangka Pelaksanaan Kebijakan Reformasi Birokrasi Dora Dora; Wachyu Sulistiadi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 8, No 3 (2019)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (236.795 KB) | DOI: 10.22146/jkki.26480

Abstract

Self Assessment  Effectiveness of Free of Corruption Area/Clean and Serve Bureaucratic Area Evaluation in The Health Ministry in The Aim of Bureaucracy Reform Policy Background: Implementation of Bureaucratic Reform has an important role in supporting the implementation of national development in the field of health. Strengthening Bureaucracy Reform aims to improve public services because bureaucrats are public servant. Evaluation towards WBK / WBBM is a small form of Bureaucracy Reform applied to a minimum work unit of echelon 3. Evaluation to WBK / WBBM was conducted through self assessment by Internal Assessment Team at Ministry of Health level, which will be futher evaluate by National Assessment Team from Ministry of Empowerment of State Apparatus and Bureaucracy Reform. There is a significant difference between the evaluation results conducted by TPI and TPN. Purpose: The purpose of this study is to determine the effectiveness of self assessment  in the evaluation of WBK / WBBM conducted by Itjen Kemenkes in accelerating the achievement of Bureaucracy Reform in the Ministry of Health. Method: This research is a descriptive study with qualitative analysis method by conducting in-depth interviews with 9 informants and document tracking. Results: The study was conducted in May - June 2017, located in DKI Jakarta area. The result of the research stated that the regulation is not yet complete, the communication of the evaluation implementation clear, the leader has not fully understand about WBK / WBBM, there is still conflict of interest, there are differences of work unit characteristic, there is still difference of motivation, perception and human resource competence become a factors that influence effectiveness of the evaluation towards WBK / WBBM in the Ministry of Health. Conclusion: Self Assessment  implementation  towards WBK / WBBM evaluation in Ministry of Health have not effective so require evaluation and further improvement.Keywords: Bureaucracy Reform, Free Area of Corruption, Clean and Serve Bureaucratic AreaLatar Belakang: Pelaksanaan Reformasi Birokrasi memiliki peran yang penting dalam mendukung mendukung pelaksanaan pembangunan nasional di bidang kesehatan. Penguatan Reformasi Birokrasi bertujuan untuk memperbaiki pelayanan publik karena birokrat adalah pelayan kepentingan masyarakat. Evaluasi menuju WBK/WBBM adalah bentuk kecil dari Reformasi Birokrasi yang diterapkan kepada satuan kerja minimal setingkat eselon 3. Evaluasi menuju WBK/WBBM dilakukan secara penilaian mandiri oleh Tim Penilai Internal di tingkat Kementerian Kesehatan, yang pada tahap lanjut akan dilakukan oleh Tim Penilai Nasional dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara hasil evaluasi yang dilakukan oleh TPI dengan TPN. Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas penilaian mandiri dalam evaluasi WBK/WBBM yang dilakukan Itjen Kemenkes dalam mempercepat tercapainya Reformasi Birokrasi di Kementerian Kesehatan.  Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan metode analisis kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam terhadap 9 informan dan penelusuran dokumen. Hasil: Penelitian dilakukan pada bulan Mei - Juni 2017, berlokasi di wilayah DKI Jakarta. Hasil penelitian menyebutkan bahwa regulasi belum lengkap, komunikasi pelaksanaan evaluasi sudah jelas, pemimpin belum memahami sepenuhnya mengenai WBK/WBBM, masih terdapat benturan kepentingan, terdapat perbedaan karakteristik satuan kerja, masih terdapat perbedaan motivasi, persepsi dan kemampuan sumber daya manusia menjadi faktor yang berpengaruh dalam efektifitas pelaksanaan evaluasi menuju WBK/WBBM di Kementerian Kesehatan.  Kesimpulan: Pelaksanaan Penilaian mandiri  evaluasi menuju WBK/WBBM di Kementerian Kesehatan belum efektif sehingga memerlukan evaluasi dan perbaikan lebih lanjut.
Peran Pelatihan dan Pengembangan dan Pay Fairness terhadap Employee Engagment dengan Keterlibatan dalam Pengambilan Keputusan sebagai Moderasi Ruth Reza Hanggraini; Sito Meiyanto; Andreasta Meliala
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 8, No 3 (2019)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (178.534 KB) | DOI: 10.22146/jkki.37095

Abstract

Latar belakang: Keberhasilan pelayanan kesehatan di rumah sakit bergantung pada partisipasi perawat dalam memberikan perawatan yang berkualitas bagi pasien. Perawat yang engaged dengan pekerjaannya akan lebih proaktif dan menunjukkan inisiatif berkolaborasi dengan profesi lain dan berkomitmen pada kualitas performa yang tinggi. Ketika perawat memiliki kesempatan untuk mendapatkan pelatihan dan pengembangan, mendapatkan pay fairness dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan maka akan meningkatkan engagement. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah menguji peran pelatihan dan pengembangan dan pay fairness terhadap employee engagement perawat. Tujuan berikutnya keterlibatan dalam pengambilan keputusan akan diuji perannya sebagai moderator dari hubungan pelatihan dan pengembangan dan pay fairness dengan employee engagement perawat. Metode: Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan teknik cross sectional survey. Subyek penelitian ini adalah 122 perawat di instalasi rawat inap kelas tiga RSUD Kabupaten Temanggung. Penelitian ini menggunakan skala sebagai alat pengumpul data, selanjutnya hasil pengolahan datanya akan dianalisis menggunakan analisis regresi ganda. Hasil:  Hasil penelitian menujukkan bahwa pelatihan dan pengembangan dan pay fairness merupakan prediktor dari employee engagement (F=3,938; R square=0,062; p<0,05). Selanjutnya keterlibatan dalam pengambilan keputusan tidak berfungsi sebagai moderator dari hubungan antara pelatihan dan pengembangan dan pay fairness dengan employee engagement perawat. Kesimpulan : Berdasarkan hasil penelitian ini maka manajemen rumah sakit perlu memberikan program pelatihan dan pengembangan perawat yang cukup memadai untuk mendukung aktifitas kerja mereka. Organisasi  juga perlu untuk meningkatkan trust dari perawat agar perawat merasa bahwa investasi energi, waktu, dan sumber daya pribadi mereka akan dihargai. Selain itu rumah sakit juga perlu meningkatkan komunikasi yang intensif dan media penyaluran aspirasi yang dikelola secara baik sehingga perawat merasa bahwa aktifitas kerjanya selama ini mendapat perhatian dan pengakuan dari manajemen.
Analisis Stakeholder dalam Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Grobogan Ratna Kusumasari Purbani; Yodi Mahendradhata; Yanri Wijayanti Subronto
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 8, No 3 (2019)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (210.167 KB) | DOI: 10.22146/jkki.37538

Abstract

HIV-AIDS is one of the world's health problems. Grobogan regency is one of the districts in Central Java with HIV number 4 and the discovery of new cases of HIV-AIDS number 3 in Central Java by 2015. Until 2017, HIV-AIDS cases are still fluctuating and tend to increase. Efforts were made to garner support and political commitment from the Grobogan Government and other stakeholders. The continuity of the program depends on political commitment and stakeholder policy support in the region. Conducting stakeholder analysis becomes important for the development of future strategic HIV / AIDS prevention plans. Objective this research to describe how local government strategic planning in HIV and AIDS prevention in Grobogan District. This research is descriptive research with qualitative approach. There were 20 informants in the study: Executive and Legislative officials, HIV / AIDS Caring NGO, VCT Clinic, community of PLWHA. The data was collected by observation, in-depth interview, and document review. Local government strategic planning on HIV / AIDS prevention efforts is still in the form of policy agenda and exit strategy. Although all stakeholders agree and support HIV / AIDS prevention efforts, stakeholder involvement in the formulation of policies and programs is lacking. Coordination of health offices with other stakeholders is also not working well, so the program is not integrated. The health department advocacy to local leaders is still weak. Health workers began to be evaluated for their performance, especially at sub-district level. Proposed alternatives to HIV / AIDS prevention budget from village funds. Unintegrated HIV / AIDS prevention efforts by stakeholders show weak communication and coordinative functioning. This problem is mainly caused by the key personnel dealing with reshuffle including the head of the health office in addition to the new bupati also not fully understand the case of HIV-AIDS that occurred. 

Page 1 of 1 | Total Record : 7